“Aduh ... duh! Pelan-pelan, Rin ...”
Pak Dipta meringis kesakitan ketika pertama kali aku menunduk menempelkan es batu di kakinya. Es batu itu kudapatkan dari penjual Thai Tea yang kemudian aku bungkus dengan sapu tangan yang kubawa di tas.
“Makanya Pak Dipta yang bener kalau ngomong,” ujarku pelan, antara merasa bersalah dan masih kesal.
Jadi, kaki Pak Dipta memerah karena tadi reflek kuinjak. Aku merasa tenagaku tidak terlalu kuat, tetapi nyatanya kaki itu terlihat sedikit bengkak.
“Kamu nginjaknya sekuat tenaga, Rin.”
“Ya habisnya Pak Dipta gitu, kok!”
Malam ini Pak Dipta memang tidak mengenakan sepatu. Dia memakai sendal berwana hitam yang terlihat seperti sendal gunung. Sangat wajar kalau dia merasa kesakitan karena sol sepatuku keras dan sedikit bergerigi.
“Saya hanya ingin menyairkan suasana. Tadi kamu mendadak kelihatan serius.”
“Menyairkan suasana, Bapak bilang? Harus dengan kalimat seperti itu?”
“Tapi saya tidak bohong kalau kamu memang cant—“
“Semua perempuan cantik.” Aku menyahut cepat.
Setelah kulihat kaki Pak Dipta tidak merah lagi, aku mengambil es batu itu dan meletakkan di sebelah kakinya. “Coba digerakkan.”
“Sudah tidak sakit.” Pak Dipta tersenyum.
“Beneran? Nanti kesakitan lagi?”
“Tidak. Paling tinggal sedikit.”
Aku mengangguk. “Saya minta maaf, Pak.”
“Tidak apa-apa. Sebagai gantinya, saya suka diperhatikan olehmu— aduh, Rin!” Pak Dipta meringis ketika aku sengaja menyenggol kakinya kuat.
“Pak Dipta mulai lagi!”
“Kamu ini harus masuk dalam daftar bawahan paling kurang ajar yang pernah ada.”
“Saya begini karena Pak Dipta yang mulai. Andai Bapak enggak memperlakukan saya dengan cara yang berbeda, saya juga enggak akan begini. Tanya saja Mas Emran, saya seperti apa dengannya. Saya selalu patuh dengannya. Sekalipun kami bicara non formal, tapi saya enggak pernah berani melawan kalimatnya.”
Tiba-tiba saja, Pak Dipta sedikit menarikku agar duduk sejajar dengannya. Sedari tadi aku memang agak menunduk karena harus memantau kakinya yang merah.
“Ada apa, Pak?”
Pak Dipta menggeleng pelan, lalu menatapku lekat. “Saya minta maaf.”
“Eh?” Jelas aku terkejut. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Pak Dipta minta maaf padaku. “Minta maaf untuk apa, Pak?”
“Saya minta maaf karena sering membuatmu tidak nyaman.”
“Tentang ‘pertemanan’ kita?” aku sedikit menekankan kata pertemanan, dan Pak Dipta langsung mengangguk.
“Iya. Ayo berteman, dalam arti yang sebenarnya.” Pak Dipta mengulurkan tangan kanannya. “Saya benar-benar ingin berteman denganmu.”
Aku tidak langsung menyambutnya, melainkan terdiam selama beberapa saat. Kenapa Pak Dipta tiba-tiba begini? Maksudku, ini terlalu mendadak.
“Sebelum saya iyakan, Pak Dipta bisa janji enggak membicarakan hal-hal aneh lagi?”
“Saya usahakan.”
“Janji bersikap layaknya teman?”
“Saya usahakan?”
“Janji enggak melampaui batas?”
“Saya usahakan. Kamu tahu, saya tidak bisa janji karena saya masih dalam tahap berusaha.”
Aku mengangguk karena paham dengan apa yang Pak Dipta maksud dengan ‘berusaha’. Aku masih ingat dia pernah bilang kalau dia tidak bisa janji dengan sesuatu yang dia sendiri tidak yakin. Namun, di sini aku akan menghargai usahanya.
Sejujurnya, siapa yang tidak mau berteman dengan orang sepertinya? Di luar wajahnya yang tampan—sejak awal aku sudah mengakui yang satu ini— dia terlihat seperti orang yang berwawasan luas. Andai hubungan kami bukanlah atasan dan bawahan, aku rasa kami akan mudah akrab. Kota Seoul adalah bukti betapa kami langsung nyambung, bahkan di pertemuan pertama.
“Tapi, Pak, kalau sedang di kantor, hubungan kita tetap atasan dan bawahan, kan, ya? Maksud saya, jangan menunjukkan interaksi berlebihan.”
“Iya.”
“Oke!” Aku segera menyambut tangan Pak Dipta dan tersenyum lebar.
Aku harap, kali ini Pak Dipta benar-benar serius dengan kalimatnya. Atau kalau tidak, aku bisa benar-benar hilang kepercayaan padanya.
***
“Hanya satu saja, Rin?” tanya Pak Dipta ketika aku menyerahkan tas LV berwarna coklat milo pada petugas kasir. “Yang biru juga cocok untuk kamu.”
“Satu saja cukup, Pak.”
“Tapi—“
“Saya maunya satu aja,” potongku cepat.
“Ya sudah.”
Aku tahu, uang dua puluh juta mungkin sangat kecil untuk Pak Dipta. Namun, itu sudah sangat membebaniku. Kalau bukan karena dia sudah minta maaf, aku masih enggan mendapatkan hadiah barang mewah darinya.
Aku tidak terkejut ketika melihat Pak Dipta mengeluarkan black card untuk membayar tagihan. Justru kataku aneh kalau dia sampai tidak punya.
Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana rasanya memiliki kartu jenis itu?
“Sama syal biru itu satu, Kak,” ucap Pak Dipta sebelum dia benar-benar membayar tagihan.
“Oke, saya ambilkan.”
Sebenarnya aku ingin protes, tetapi tidak jadi karena aku tidak yakin apakah syal itu dia beli untukku atau bukan. Siapa tahu syal itu dia beli untuk Bu Dean atau malah adiknya? Pasti sangat memalukan kalau tiba-tiba aku melarang Pak Dipta membeli sesuatu yang belum jelas akan dia berikan pada siapa.
“Jadi dua puluh enam juta empat ratus, ya.”
“Iya.”
Wow! Hanya kain seperti itu saja harganya enam juta lebih. Bukan main!
“Ayo, Rin.”
“Iya, Pak.”
Aku meraih tas belanjaan di kasir karena Pak Dipta pergi lebih dulu tanpa membawanya. Aku mengekor di belakangnya sampai dia melambat menyamakan langkahnya dengan langkah kakiku.
“Rin, dulu kamu kenapa tidak kuliah di Jogja saja? Bukannya di Jogja juga ada yang bagus jurusan statistiknya?” tanya Pak Dipta ketika dia mengajakku duduk di salah satu bangku yang menghadap jendela besar.
“Saya ingin menghindar dari setiran Ayah, Pak. Hehe.” Aku menyahut setengah bercanda.
“Maksudnya?”
“Ayah maunya saya kuliah pendidikan. Waktu saya diterima SNMPTN jurusan statistik, beliau marah. Alasannya, beliau maunya saya jadi guru, terserah mau guru apa saja boleh.”
“Ayahmu orangnya keras?”
Aku menggeleng pelan. “Sebenarnya enggak, beliau tergolong santai. Cuma khusus memilih jurusan ini beliau agak ngeyel. Di pandangan beliau dulu, anak cewek jadi guru itu udah paling bagus. Sekalian belajar ngurus anak katanya.”
Pak Dipta tertawa pelan. “Ayahmu ada benarnya, tapi kalau memaksakan kehendak ya tidak bagus juga.”
“Makanya saya berontak, Pak. Beda sama kakak perempuan saya. Dia mah iya-iya aja. Beneran, dong. Sekarang udah jadi guru.”
“Kamu berapa bersaudara?”
“Cuma dua, saya sama kakak saya saja.”
“ Ah ... Ayahmu pasti ingin anak-anaknya mengikuti jejak beliau. Ayahmu seorang guru, kan?”
“Eh, kok Pak Dipta tahu?”
“Saya hanya menebak. Betul?”
Aku mengangguk. “Betul. Udah puluhan tahun. Sekarang beliau masih dipercaya jadi kepala sekolah.”
“Kalau Ibumu?”
“Sama, guru juga.” Aku meringis ketika melihat Pak Dipta tampak heran. “Keluarga saya kaku banget ya, Pak?”
“Ada kamu yang menyelamatkan.”
Kini giliran aku yang tertawa pelan. “Ya habisnya. Saya dari dulu enggak suka dikekang, Pak. Bukan berarti saya suka membangkang, cuma ya gitulah.”
“Iya, saya paham. Papa saya juga sama saja sebenarnya. Dibilang membebaskan ya membebaskan, tapi pada ujungnya tetap memaksa juga.”
“Maaf, Pak, kalau saya lancang. Memangnya kenapa bukan saudara Pak Dipta saja yang mengurus perusahaan kalau Pak Dipta kelihatan enggan? Kayaknya kemarin sempat menyinggung tentang tekanan orang tua yang engga ada habisnya. Itu artinya, Pak Dipta aslinya terpaksa, kan?”
Pak Dipta tersenyum, tetapi bukan padaku, melainkan terlihat seperti sedang menertawakan diri sendiri. “Jelas terpaksa. Saya maunya lanjut jadi seniman saja, tapi Papa menentang keras kalau saya fokus di sana. Beliau masih membolehkan saya melukis, tapi hanya sebagai hiburan. Dan tentang kenapa bukan Davka, itu karena saya kalah telak.”
“Maksudnya?”
“Sebenarnya Papa tidak pernah memaksa apakah harus saya atau Davka yang melanjutkan beliau. Boleh siapa saja, bahkan kalau dua-duanya mau juga Papa akan membagi secara adil. Sayangnya, ketika keluarga lain biasanya rebutan, kami berdua justru menolak mentah-mentah.”
Wah, ini menarik!
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kami sama-sama tidak suka berbisnis. Davka sibuk dengan dunia akademiknya, sementara saya sibuk dengan dunia seni lukis yang saya tekuni sejak kuliah. Karena tidak ada yang mau, Papa tidak punya pilihan lain selain memaksa salah satu dari kami. Tentang siapa yang harus mengalah pada mimpinya, adalah dia yang tidak bisa memberi penjelasan logis dan menjanjikan atas pilihannya.”
“Dan Pak Dipta kalah dari Pak Davka?”
Pak Dipta menoleh, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, sangat kalah telak. Davka berhasil meyakinkan Papa dengan segala rencana yang sudah dia susun matang-matang, dan itu memang terbukti dengan dia yang langsung mendapat beasiswa magister setelah selesai studi S1. Sementara saya? Apa yang bisa saya katakan tentang seni lukis? Saya percaya diri dengan jurusan saya, tetapi argumen saya saat itu terlampau lemah. Saya mengakui, sebagian besar apa yang saya tekuni di jurusan seni lukis hanya sebatas menyalurkan hobi dan bakat. Saya tidak tahu harus bagaimana setelah lulus. Agak konyol memang, tapi ya kenyataannya memang begitu. Palingan, ujung-ujungnya saya jadi guru seni rupa. Kalau mau langsung jadi seniman terkenal, itu jelas tidak mungkin karena menjadi seniman terkenal membutuhkan perjalanan yang panjang serta tidak ada yang bisa menjamin bisa sampai pada titik itu.”
Selama Pak Dipta bercerita, entah kenapa aku melihat ada tatapan sendu, geli, senang, dan masih banyak lagi. Barangkali dia memang sempat sedih karena melepas mimpinya, tetapi dia juga tidak menyesali jalan hidupnya yang sekarang.
Ah, entah. Ini hanya murni ke-sotoy-anku.
“Pak Dipta menyesal atau enggak dengan keadaan yang sekarang?”
“Sama sekali tidak. Saya merasa jadi lebih realistis. Saya memiliki privilege lebih, jadi tak seharusnya saya menyia-nyiakan itu. Ini konteksnya beda dengan Davka, karena dari awal pilihan hidupnya sudah terstruktur. Terlebih lagi, Mama memang punya cita-cita memiliki anak yang berprofesi sebagai dosen.”
“Tapi Pak Dipta keren, loh. Dari S1 seni, banting stirnya ke S2 bisnis. Mana cumlaude, lagi?”
“Meski saya tidak secerdas Davka, tapi saya tidak begitu tertinggal jauh. Otak saya berfungsi cukup baik kalau dibutuhkan.” Pak Dipta terkekeh. Meski dia mengatakannya dengan nada bercanda, entah kenapa aku tetap mempercayainya. Kalau dia tidak cerdas, tidak mungkin dia bisa sampai di titik ini.
“Saya percaya, Pak. Oh iya, ngomong-ngomong seni lukis, berarti Pak Dipta dulu ambil jurusan seni murni ya? Soalnya, teman saya ada yang kuliah seni juga.”
“Iya, S1 Seni Murni, Seni Lukis itu konsentrasinya.”
Aku terdiam sesaat, ragu apakah aku boleh mengatakan ini atau tidak.
“Rin? Kenapa bengong?”
“Itu ... apa saya boleh lihat lukisan Pak Dipta? Pasti ada banyak, kan?”
“Hm ... sebenarnya saya ingin bilang kalau akan saya tunjukkan koleksi lukisan itu kalau kamu sudah jadi istri saya, tapi nanti kamu ngomel lagi.”
Jujur, darahku seketika berdesir mendengar kalimat itu. Pasalnya, Pak Dipta mengatakan kata ‘istri’ dengan nada serius. Namun tenang, aku tidak akan luluh hanya karena atmosfer seperti ini.
“Jangan mulai lagi, Pak!”
Pak Dipta tertawa pelan. “Iya, saya hanya bercanda. Kalau begitu, lain kali akan saya tunjukkan kalau sudah saatnya. Perihal kapan, saya belum bisa janji.”
“Siap, Pak.”
Malam ini, untuk pertama kalinya aku melihat sisi baru dari diri Pak Dipta. Dia terlihat lebih manusiawi, dalam arti dia tidak jahil seperti ketika kami hanya berdua dan tidak pula menakutkan seperti ketika di kantor. Aku merasa seperti baru saja diajak sharing oleh seorang teman yang kusegani.
“Rin? Kamu kalau lihatin saya terus, nanti naksir.”
“H-hah? Eh, enggak! Saya enggak lihatin Bapak, ya. Ge-er betul!” Aku menggeleng keras, lalu segera memalingkan wajah.
“Padahal sangat diperbolehkan kalau kamu mau naksir saya—“
“Kan, kan ... Pak Dipta mulai lagi!”
Pak Dipta tertawa, lalu tangannya tiba-tiba terulur mengacak rambutku sampai benar-benar berantakan. Harusnya aku kesal dan marah, tetapi anehnya, aku justru tersenyum.
Sebentar ... kenapa aku merasa ada yang aneh di sini?
***