Bulan demi bulan berlalu, aku merasa rutinitasku dalam bekerja banyak yang berubah. Pekerjaanku memang tidak sebanyak dulu, tetapi aku merasa tidak boleh lengah sedikit pun. Aku harus memantau anggota tim-ku agar tetap bekerja dengan baik dan terus konsisten.
Dibilang mudah ya mudah, dibilang sulit ya sulit. Yang sering membuatku agak ciut adalah ketika Pak Dipta mengumpulkan masing-masing ketua divisi untuk melaporkan perkembangan tiap-tiap tim. Untuk yang satu ini, Pak Dipta tidak pandang bulu ketika mengkritik kinerja tim yang menurutnya kurang memuaskan.
Sejujurnya, Pak Dipta terlihat keren sekaligus menakutkan. Ini berbeda jauh dari sifat jahil yang sesekali dia tunjukkan ketika kami hanya berdua. Dia bisa terlihat menjadi orang yang sangat berbeda ketika itu menyangkut tentang perusahaan. Dia sangat serius!
Drrrrt!
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba mendengar ponselku bergetar panjang. Ternyata ada telepon dari Pak Dipta. Panjang umur sekali orang ini!
“Hallo, Pak?” sapaku begitu panggilan terhubung.
“Rin, besok malam minggu.”
Aihhh!
Pak Dipta mulai lagi. Hampir tiap ada kesempatan, dia selalu mengingatkanku tentang malam minggu. Terkadang dia mengirimi pesan, terkadang pula dia telfon.
Tahu, kan? Dia masih saja membahas tentang bonus berupa ‘kencan’ yang masih kutolak sampai sekarang. Kalau sedang begini, dia terlihat seperti bos kurang kerjaan yang gemar mengganggu bawahannya.
“Terus kenapa kalau malam minggu, Pak?”
“Saya masih punya utang—“
“Kan saya bilang enggak usah, Pak. Itu bukan utang, dan Pak Dipta enggak perlu bayar. Saya sudah bilang ini berkali-kali.”
“Saya belum menyerah.”
Aku mengembuskan napas pelan, mencoba sabar dengan gangguan yang satu ini.
“Pak, biasanya kan yang dapat bonus yang nagih. Ini kok yang mau ngasih bonus malah yang maksa?”
“Saya kan—“
“Sore, Mbak Kariiin! Mega mau ngumpulin laporan, nih!” Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba Mega masuk ruanganku. “Wih, Bu Bos lagi teleponan. Sama siapa?”
“Mega! Kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!
“Udah, ya. Aku udah ketuk pintu. Lagi telfon sama siapa, Mbak Gunung?”
“B-bukan siapa-siapa, Ga. Ini cuma—”
“Berani matiin telfon ini, kamu saya pecat.” Tiba-tiba terdengar suara pelan Pak Dipta di seberang sana.
Dasar manusia otoriter!
“Dari siapa, Mbak Karin? Kok panik?”
“Bukan, dari siapa-siapa, Ga. Kamu ngumpulin laporan? Taruh meja aja.”
“Oke.” Setelah meletakkan laporan, bukannya pergi, Mega malah duduk di kursi yang ada di depanku.
“Kok malah duduk di situ?”
“Lima menit lagi jam pulang. Enggak korupsi waktu, kan? Yang penting laporanku selesai.”
“Bukan itu. Kamu keluar aja—“
“Nelepon siapa, sih, Rin? Gebetan baru pasti? Kamu enggak biasanya panik begitu?”
Aduh! Radarnya Mega mulai beraksi. Anak ini selalu saja cepat tanggap kalau ada sesuatu yang membuatnya curiga.
“B-bukan, ini Ibuku—“
“Ehm!” tiba-tiba Pak Dipta berdehem keras. Mega mendelik, itu artinya dia dengar kalau suara di seberang sana adalah suara laki-laki.
“Karin, kamu bohong! Sejak kapan suara Ibumu jadi besar gitu? Kamu punya pacar, ya?”
“Bukan, ini bukan pacar.” Aku menggeleng keras.
“Gebetan?” kini Mega mencondongkan badannya.
“Pergi kamu, Ga!”
“Sayang, itu teman kamu?” Aku mendelik kaget, dan Mega pun lebih lagi.
“Wah, manggil sayang! Hallo, Mas, pacar baru Karin, ya?” Ketika Mega hendak merebut ponselku, aku langsung berdiri dan menghindar. Kali ini segera kudorong Mega keluar dan terpaksa kukeluarkan ultimatumku.
“Ga, ini masih di kantor. Aku ini atasanmu. Tolong jaga sikap kalau enggak ingin kena masalah!”
“Ya ampun, Rin. Galak amat. Semoga harimu Senin teruuus!” Mega mendengus.
“Bodo amat!”
Aku segera mengunci pintu dan saat ini jantungku terasa sepeti mau copot karena takut ketahuan. Aku tidak bisa membayangkan andai Mega tahu yang sedang meneleponku adalah Pak Dipta.
“Temanmu sudah pergi?” tanya Pak Dipta beberapa detik kemudian. Aku bisa mendengar nada geli di suaranya.
“Pak Dipta, saya marah!”
“Marah? Mau saya belikan es krim?”
“Bapak maunya apa, sih?”
“Keluar dengan kamu. Kalau kamu belum mau, saya masih akan terus seperti ini.”
Aku menggeram tertahan. Sepertinya aku kembali dihadapkan pada satu-satunya pilihan. “Ya sudah, Pak, besok malam kita keluar.”
***
Daftar orang yang paling membuatku kesal saat ini :
1. Dipta
2. Auriga
3. Winata
Weekend yang seharusnya bisa kuhabiskan dengan banyak istirahat atau menonton drama, kini harus kuhabiskan untuk meladeni Si Bos yang sangat tak tahu diri. Judul pergi kali ini memang dalam rangka memberiku bonus, tetapi di sini justru dialah yang paling untung.
Apa-apaan ini?
“Sabuk pengamannya jangan lupa. Rin.”
“Iya.” Aku tidak bisa menyembunyikan nada ketus di suaraku.
Selama di perjalanan, aku tidak banyak bertanya. Aku tidak begitu peduli dia akan membawaku ke mana. Yang terpenting, dia tidak membawaku ke tempat-tempat yang kurang baik. Saat ini aku hanya berharap satu hal, semoga tidak ada orang kantor yang melihat kami. Kalau sampai ada, itu benar-benar gawat!
“Mall?” gumamku pelan ketika Pak Dipta membelokkan mobilnya menuju salah satu mall terbesar di Jakarta.
“Tempat ini paling cocok untuk mendapatkan semuanya. Kita bisa makan sekaligus cari bonus untuk kamu.”
Sejujurnya, ini adalah kali kedua aku masuk mall ini. Dulu aku ke sini bersama Mega, dan kami hanya numpang makan di foodcourt setelah lelah berkeliling untuk cuci mata.
Sebelum keluar mobil, aku memakai masker sekaligus kacamata bening yang aku beli sejak masih kuliah. Dua benda ini jelas bertujuan untuk menyamarkan wajahku. Aku benar-benar takut kalau ada orang kantor yang melihatku sedang bersama Pak Dipta.
Oh iya, demi menyamarkan diri, malam ini aku dandan agak berbeda dari biasanya. Kalau biasanya aku suka mengenakan setelan celana dan baju, kali ini aku mengenakan floral dress di bawah lutut serta jaket denim.
“Pilih nasi atau mie lagi, Rin?”
“Nasi,” jawabku cepat.
“Seafood mau?”
Aku mengangguk. “Mau.”
Aku sengaja tidak banyak protes agar semuanya segera selesai. Aku malas berdebat karena Pak Dipta dengan segala akal-akalannya selalu saja membuatku hampir kehabisan kata-kata. Belum lagi, aku tetap ingat kalau dia atasanku. Sejengkel-jengkelnya aku, aku masih memiliki rasa hormat padanya.
“Waaah!” aku langsung menelan ludah ketika pelayan datang dan menumpahkan satu wadah besar seafood ke atas meja yang sudah dilapisi kertas alas.
Aku melihat ada dua lobster besar, dua kepiting yang juga besar, kerang hijau, cumi, dan masih banyak lagi. Tadi Pak Dipta memang pesan porsi besar karena dia bilang dia sedang lapar.
“Davka paling suka lobsternya, kalau saya lebih suka kepitingnya.”
“Padahal bumbunya sama, Pak.”
“Tapi tekstur dagingnya itu beda.”
Tiba-tiba saja, Pak Dipta memakai sarung tangan, mengambil satu kepiting dan membuka cangkangnya. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama pada lobster. “Coba bandingkan rasanya. Kamu lebih suka yang mana?”
“Ini buat saya?”
Pak Dipta mengangguk. “Coba saja.”
“Terimakasih, Pak.” Pak Dipta kembali mengangguk, lalu mengambil bagiannya sendiri. Sementara dia mulai sibuk dengan makanannya, aku mulai mencicipi lobster dan kepiting bergantian.
Ah, harga memang tidak pernah bohong. Dua-duanya enak sekali!
“Gimana, Rin?”
“Saya enggak bisa milih. Enak semua ...”
“Pilih satu.”
“Enggak bisa, Pak. Dua-duanya super enak.” Aku benar-benar tidak bisa memilih. Baik lobster maupun kepitingnya sama-sama meledak di mulutku.
“Ya sudah. Oh iya, akhir bulan depan saya mau ke Jogja. Kamu ikut, ya?”
Aku menoleh. “Dalam rangka?”
“Survey lokasi.”
“Kenapa harus ajak saya? Saya kan ada kerjaan di sini, Pak.”
“Itu gampang. Mau, ya?”
Aku menggeleng. “Saya enggak bisa, Pak. Kecuali saya memang dibutuhkan secara teknis.”
“Kamu lagi-lagi menolak saya.”
“Ya habisnya Pak Dipta gitu, kok.”
“Atau minggu depan?”
Mataku menyipit. “Apa lagi, ini?”
“Kalau ini alasan pribadi. Saya mau jenguk Davka dan istrinya.”
“Oh, yang kemarin hamil?”
“Sudah bukan kemarin lagi, Rin, perut ipar saya sudah mulai besar. Tadi siang saya baru dikasih lihat foto terbarunya.”
“Hehe, iya, maksud saya istrinya Pak Davka.”
“Gimana? Mau ikut?”
Aku menggeleng pelan. “Semakin enggak ada alasan saya untuk ikut, Pak.”
“Memangnya kamu tidak rindu orang tuamu?”
“Jelas kangen, Pak, tapi saya sudah punya agenda sendiri untuk pulang. Kedua orang tua saya juga maklum.”
Pak Dipta lagi-lagi mengangguk, lalu dia menguyah lagi makanan di depannya. Aku reflek meraih tisu dan memberikan padanya ketika kulihat ada kuah kepiting mengalir di dagunya.
“Dagu kiri.”
Pak Dipta tersenyum. “Terimakasih, Rin.”
“Sama-sama.”
Mendadak, suasana di antara kami jadi canggung. Pasalnya, kata ‘terimakasih’ yang diucapkan Pak Dipta terasa berbeda. Entah nadanya, atau momennya, aku tidak tahu.
“Kamu lebih suka mana, tas atau sepatu? Atau malah baju?” tanya Pak Dipta sembari melepas sarung tangan, tanda dia sudah selesai makan.
“Enggak semuanya, Pak. Saya anggap makan malam ini bonusnya.”
“Kamu ini sekali saja langsung mengiyakan dan jawab dengan benar, bisa atau tidak?”
“Tadi kan saya sudah langsung iya waktu diajak makan seafood. Saya enggak nyaman, Pak, kalau asal dibelikan barang—“
“Ini bukan asal, Karin. Ini bonus. Kamu membantu saya menangkap Pak Amir. Meskipun dia tidak bisa mengembalikan seluruh dana yang dikorupsi, setidaknya separuh lebih sudah kembali dan dia mendapat hukuman yang setimpal.”
Aku terdiam sejenak. “Saya beneran enggak butuh dibelikan apa-apa, Pak.“
“Kamu ini perempuan pertama yang hampir selalu menolak pemberian saya, kecuali tentang makan.”
“Soalnya saya bukan tipe yang suka diberi tanpa ada alasan yang menurut saya jelas. Saya tidak suka merasa berutang budi. Saya akan berusaha membeli sendiri apa yang saya mau.”
“Kamu ini unik.”
Aku tersenyum. “Perempuan seperti saya sebenarnya lumayan banyak di luar sana, Pak. Ya, meski yang sebaliknya justru lebih banyak. Memanfaatkan uang pacar untuk beli ini itu, minta dinafkahi, padahal belum sah.”
“Oh, sebentar ...”
“Kenapa, Pak?”
“Secara tidak langsung, kamu baru saja mengakui kalau saya pacar kamu.” Senyum miring seketika terbit di bibir Pak Dipta.
“He? Mana ada!”
“Yang barusan ini?”
Aku buru-buru menggeleng kuat. “Enggak, saya enggak bermaksud begitu.”
“Saya anggap begitu. Oke, kita pacaran—“
“Saya enggak mau!”
“Kamu baru saja menolak saya. Lagi dan lagi.”
Aku diam sejenak, lalu menyeruput es jeruk yang tersisa. Setelah itu, aku menoleh dan kuberanikan diri menatap lurus mata Pak Dipta.
“Pak ... Pak Dipta harusnya tahu alasan kenapa saya menolak dan mungkin akan terus menolak kalau caranya begini. Pak Dipta harusnya juga tahu kalau—“
“Sebentar! Saya ingin menginterupsi.”
“Ada apa?”
Selama beberapa saat, Pak Dipta hanya menatapku tanpa kedip. “Rin, saya baru saja menyadari satu hal.”
“Tantang?”
“Ternyata kamu jauh lebih cantik kalau dilihat dari dekat. Semoga nanti anak-anak kita mirip kamu.”
Heh? Apa katanya?
Aku segera berdiri, lalu kuinjak kaki Pak Dipta cukup kuat. “Bisa-bisanya Pak Dipta berani bahas anak sama saya!”
***