Prolog
Langit Seoul malam ini terasa gelap pekat. Udara berembus cukup kencang, membuat daun-daun yang sudah kecoklatan serentak gugur mengotori jalan. Aku kedinginan, tetapi aku enggan beranjak dari tempatku duduk saat ini.
‘Rin, aku dan Ema akan menikah. Hari ini kami tunangan. Aku minta maaf, aku enggak bisa ninggalin Ema dan calon anak kami. Kuakui aku sudah khilaf, dan aku harus bertanggungjawab. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf.’
Aku membaca pesan itu berulang kali. Saking banyaknya, rasa-rasanya aku sudah mati rasa. Aku bahkan tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar terbaru dari b******n satu ini. Seorang b******n yang selalu saja bertindak seolah menjadi malaikat paling suci di dunia.
“Daki Gajah sialan!!!” aku mengumpat pelan sambil menendang-nendang tumpukan daun gugur di bawah kursi. “Apa aku harus menunggu Pangeran Berkuda Putih supaya Daki Gajah satu itu tahu kalau sejak awal aku selalu baik-baik saja tanpanya?”
Aku menggeram tertahan, lalu menyandarkan badanku di sandaran kursi. Aku mendongak, menikmati embusan angin malam yang dingin. “Ah, nikmatnya ...”
PLETAK!
“Aduh!” aku reflek menegakkan badan ketika kepalaku tiba-tiba terkena lemparan benda cukup keras. Aku langsung menoleh ke belakang, dan ternyata kulihat ada kaleng minuman yang sudah diremas jatuh terpental tidak jauh dari kursi tempatku duduk saat ini.
Begitu aku mengangkat kepala dan menatap lurus, kulihat seorang laki-laki sedang berdiri dengan tangan kanan masih memegang ponsel di telinga. Aku hampir saja menyumpah serapah, tetapi tidak jadi karena ini di Korea, bukan Indonesia. Mereka tidak akan paham dengan bahasaku.
“Hi, you!”
Aku segera berdiri dan menghampiri laki-laki itu. Namun, baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku sudah berhenti. Mataku memicing selama beberapa saat.
“Are you Indonesian?” aku bertanya ragu.
“Memangnya wajah saya seperti orang Korea?”
Rasa kesalku mendadak menguap entah kemana, digantikan perasaan senang karena bertemu orang Indonesia di sini. Harusnya aku lanjut menyumpah serapah padanya karena dia paham bahasaku, tetapi yang kulakukan selanjutnya justru hanya diam.
Saat ini aku memang sedang berada di Korea dalam rangka liburan. Cuti tahunanku belum kuambil, jadi rasanya sayang saja kalau tidak terpakai sama sekali. Aku ke Korea sendiri, benar-benar sendiri. Aku hanya ingin me time di negara orang setelah sebelumnya hari-hariku selalu dipenuhi dengan pekerjaan yang tak ada habisnya.
“Enggak. Kelihatan kaya orang Indo, kok, makanya saya tanya.”
Laki-laki itu mengangguk, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku coat tebal yang dia pakai. Kini dia mendekat, sementara aku tetap bergeming di tempat.
“Saya minta maaf, yang barusan itu tidak senga—” laki-laki itu tiba-tiba menghentikan kaki dan kalimatnya. Dia mendadak menatapku dengan tatapan yang sedikit aneh, tetapi aku benar benar tidak paham dengan maksud tatapannya.
“Kenapa kok diam?”
Dia masih diam dan hanya terus menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.
“Hallo? Mas!” seruku sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.
“A-ah ... maaf, maaf. Saya minta maaf, yang tadi itu tidak sengaja.”
“Saya maafin asal kalengnya segera dibuang ke tempat sampah. Ini negara orang, Mas, jangan asal membuang sampah sembarangan.” Dia kembali mengangguk, lalu mengambil kaleng yang tadi mengenai kepalaku dan segera membuangnya ke tempat sampah terdekat.
“Kepalamu tidak benjol, kan?” tanyanya setelah kembali berdiri di depanku.
“Enggak, tapi cukup sakit dan bikin kaget.” Aku menjawab sambil mengusap-usap kepalaku sendiri.
“Kamu kenapa di sini sendirian? Setahu saya, area ini cukup sepi kalau malam.”
“Bosan di hotel, Mas, jadi saya memutuskan untuk keluar. Kayaknya saya sudah jalan terlalu jauh. Masnya sendiri kenapa di sini?”
“Dalam rangka kabur.”
“Kabur?” tanyaku membeo. “Masnya buronan?”
Tiba-tiba dia tertawa pelan, dan demi apa pun, tawanya itu sangat enak dilihat. Ah, aku lupa memberi tahu, laki-laki di depanku ini sangat tampan dan berperawakan tinggi. Wajahnya kecil, hidungnya mancung, alisnya tegas, serta rahangnya tampak sangat kokoh.
Sebentar ... kenapa aku agak tak asing dengan wajah ini? Di mana aku pernah melihatnya?
“Buronan orang rumah.” Jawaban laki-laki itu membuyarkan lamunan sesaatku.
“Bercandanya enggak lucu, Mas.”
“Siapa yang lagi ngelucu?”
Hening.
Mendadak saja, tidak ada yang bersuara di antara kami. Aku celingukan sebentar, dan sepertinya benar kata laki-laki ini, area ini memang cukup sepi. Sedari tadi aku jarang melihat ada orang lewat.
“Eee, kalau gitu saya pergi dulu—”
“Sebentar!” tangan laki-laki itu terulur hendak menahanku, tetapi dia berhenti dan membiarkan tangannya menggantung di udara.
“Kenapa?”
Dia melirik arlojinya sesaat, lalu menatapku. “Depan sana itu ada lokasi seperti pasar, tapi mayoritas isinya stand makanan. Mau menemani saya ke sana?”
Aku tahu tempat apa yang laki-laki ini maksud. Jarak setengah kilo dari tempat kami berdiri saat ini memang ada sebuah tempat kulineran yang kalau di Indonesia terlihat seperti bazar makanan.
“Hm ... boleh.” Aku mengangguk menyanggupi.
Aku menyanggupi ajakannya karena kurasa makan di tempat itu adalah ide yang bagus. Aku sendiri juga belum makan malam. Lagipula, dilihat dari wajahnya, laki-laki ini sama sekali tidak tampak seperti orang jahat. Aku tidak tahu kenapa dia mengatakan dirinya berada di sini dalam rangka kabur.
Akhirnya, kami mulai berjalan beriringan meski dengan suasana yang sedikit canggung. Aku biasanya gampang membuka topik obrolan, tetapi entah kenapa kali ini lidahku mendadak kelu.
“Suka makanan pedas atau tidak?” tanyanya begitu kami sudah hampir tiba di lokasi.
“Suka. Masnya suka atau enggak?”
“Suka, tapi lambung sangat tidak bersahabat.”
“Kalau gitu jangan maksa beli yang pedas.”
“Iya.”
Kami mulai berkeliling mencari makanan yang kiranya enak dan aman. Dia selalu membayari makananku dan menolak ketika aku hendak menggantinya. Dia bilang, traktirannya itu adalah bentuk permintaan maaf karena sudah tak sengaja melempariku kaleng minuman.
Jujur, aku tidak tahu apakah aku boleh menyebutnya Pangeran Berkuda Putih atau tidak. Namun yang jelas, laki-laki ini seolah datang dikirim Tuhan untuk menghiburku setelah mendapat pesan menyakitkan dari Saga, mantan pacarku yang secara luar kelihatan alim, tetapi ternyata b******k bukan main.
“Adik saya sering makan makanan ini kalau di rumah,” ucap laki-laki itu ketika kami pesan dua kotak tteokbokki berukuran sedang dan empat tusuk odeng.
“Ini makanan sudah diekspor ke berbagai negara, bahkan di Indonesia sendiri rasanya juga mulai disesuaikan. Jujur saja, ini enak, tapi sausnya agak aneh.”
Laki-laki itu mengangguk sambil terus mengunyah. “Lebih worth it beli nasi padang.”
Aku tertawa mendengar jawabannya yang terlalu jujur. Sepertinya laki-laki ini kuat makan karena sedari tadi dia terus mengunyah dan makanannya selalu cepat habis.
“Tiap hari makan nasi padang juga bosan, Mas. Tiap makanan punya nilai jual sendiri-sendiri. Ada alasan kenapa rasanya seperti itu dan dibandrol dengan harga tertentu. Enggak semua makanan adalah tentang rasa kenyang, tetapi ada juga nilai kepuasan di sana.”
Laki-laki itu mendadak menghentikan kunyahannya. “Kamu sepertinya paham sekali tentang hal itu?”
“Eee ... ini hanya opini pribadi. Hehe ...”
Hening lagi.
Aku merasa tidak perlu menjelaskan kenapa aku bisa berpikir sampai sana. Aku bahkan tidak tahu laki-laki ini siapa dan bekerja di mana. Jadi, dia juga tidak perlu tahu banyak tentangku.
Malam itu, kami berdua terus saja berkeliling. Kadang makan, kadang membeli pernak-pernik random, pokoknya apa saja kami lakukan dengan tujuan yang sangat tidak jelas.
Ini benar-benar tak terduga. Aku sama sekali tidak menyangka akan menghabiskan malam terakhirku di Seoul besama laki-laki tampan tak dikenal. Dari sorot matanya, aku merasa dia seperti sedang ada masalah. Entah masalah atau mungkin tekanan, intinya semacam itu. Bisa jadi, dia secara random mengajakku jalan juga bertujuan untuk meredakan pikirannya yang sedang kacau.
“Makin malam kok makin sesak, sih!” aku mulai mengeluh karena beberapa kali bahuku bersinggungan dengan pengunjung lain. Aku juga beberapa kali tertinggal karena laki-laki itu memiliki langkah lebar. Badannya yang tinggi menjulang membuat satu kali langkahnya hampir dua kali langkahku.
“Kamu ini lama sekali!” ujarnya tak sabaran karena sepertinya dia sudah menungguku cukup lama.
“Lho ... Masnya lihat sendiri, di sini ramai. Masa iya saya mau asal nabrak orang lewat?”
Dia tampak mengembuskan napas panjang, lalu tiba-tiba tangannya terulur. Aku menatapnya bingung. “A-apa ini?”
“Ck!” dia berdecak pelan, dan aku cukup terkejut ketika tangannya tiba-tiba meraih tanganku. Dia menyela-nyela jemari kami, lalu segera menarikku pergi.
Semakin ke dalam, suasana semakin sesak. Tangan laki-laki itu terus saja menggenggam tanganku erat. Sesekali aku terseok-seok menyamakan langkahnya tiap kali ada space untuk berjalan cepat. Aku ingin protes, tetapi aku tidak bisa menampik kalau genggaman tangannya terasa hangat.
“Masih kuat makan lagi?” tanyanya ketika kami sudah tiba di sebuah jalan yang mulai tampak sepi.
“Enggak, saya sudah enggak kuat.” Aku menggeleng pelan.
“Di mana kamu menginap? Biar saya pesankan taksi.”
“Oh, enggak perlu, Mas. Saya bisa pesan sendiri.”
“Laki-laki seperti saya mungkin tidak datang dua kali padamu. Saya sudah meluangkan waktu untuk menemanimu kencan gratis.”
“He? Kencan?”
“Apa lagi namanya kalau bukan kencan?”
Aku terdiam selama beberapa saat. Apa tidak berlebihan menyebut malam ini sebagai kencan? Memangnya laki-laki setampan dia tidak memiliki pacar?
“Eee ... karena kita mungkin enggak akan bertemu lagi, oke, saya anggap malam ini adalah kencan.”
Laki-laki itu tersenyum, lalu lagi-lagi dia menarikku pergi.
“Ini saya udah berasa diculik, kemana-mana digandeng plus ditarik-tarik.”
“Kalau kamu sampai hilang, populasi orang Indonesia akan berkurang satu. Sudah, jangan banyak protes.”
“But ... makasih, masnya.”
Rasa-rasanya, aku memang perlu berterimakasih padanya. Tidak hanya untuk makan gratisnya, tetapi juga untuk waktu luangnya yang sudah berhasil membuatku lupa dengan masalahku sementara waktu.
“Saya punya nama.”
“Siapa?”
“Riga.”
“Riga?”
“Kamu sendiri siapa?” tanyanya balik.
“Arin.”
Dia mengangguk, lalu tangan kami akhirnya terlepas ketika tiba di pinggir jalan raya. Dia mencegat sembarang taksi yang lewat, lalu memberikan sejumlah uang pada Pak Supir setelah sebelumnya aku dipaksa menyebutkan nama hotel tempatku menginap.
Setelah itu, dia membukakan pintu untukku, lalu mengisyaratkan dengan matanya agar aku segera masuk. Entah kenapa, aku mendadak enggan berpisah dengannya.
Apa-apaan, ini?
“Terimakasih untuk malam ini, Mas Riga ...” lirihku tepat ketika aku berdiri di depannya sebelum masuk mobil.
“Sama-sama, Arin,” sahutnya pelan, dan lagi-lagi aku menangkap tatapan matanya yang agak aneh. Aku mengatakan tatapannya aneh karena memang terlihat tak biasa. Mungkin sedikit menyelidik, tetapi juga ragu-ragu?
Ah, entah!
Begitu aku masuk mobil, dia segera menutup pintu. Namun, mendadak saja dia juga kembali membukanya. Aku terhenyak ketika dia melongokkan kepala ke dalam.
“A-ada apa?”
Tiba-tiba, dia menempelkan sebuah stiker di pipi kiriku lalu mengecupnya pelan. Aku mendelik kaget, tetapi sedetik kemudian dia sudah keluar dan segera menutup pintu mobil. Ketika taksi mulai berjalan, aku melongokkan kepala ke luar dan kulihat dia melambaikan tangan padaku dengan senyum mengembang lebar.
Detik itu juga, jantungku mulai berdetak sangat kencang sampai rasanya akan melompat keluar dari tempatnya. Setelah aku kembali duduk, aku melepas stiker yang menempel di pipi. Ternyata, stiker itu adalah stiker bergambar kartun lucu yang tadi dia beli secara random di stand pernak-pernik.
Kini tangan kananku terulur untuk menyentuh d**a kiri bagian atas, sementara tangan kiriku menyentuh pipi bekas tempelan stiker. Jantungku masih begitu menggila, sementara kulit wajahku terasa sangat panas.
Ini aneh! Kenapa aku tiba-tiba merasa sangat dekat dengannya? Ataukah aku sudah jatuh cinta pada pandang pertama?
***
Autumn Blooming— 29/06/2022