“Bu Karin, selamat!”
Aku merasa jengah mendengar Mega dan Kiki sedari tadi terus menggodaku tak ada habisnya. Syarif pun sama, dia ikut-ikutan menyebutku ‘Bu Karin’ setelah SK kenaikan jabatan resmi keluar. Di sini hanya Mira yang diam saja. Dia memberiku selamat sekali, lalu sibuk dengan setumpuk pekerjaannya.
Sejujurnya, reaksi Mega, Kiki, juga Syarif, membuat hatiku menghangat. Kupikir mereka akan sedikit iri atau tidak terima karena Mas Emran lebih memilihku, tetapi ternyata aku salah besar. Ucapan selamat langsung terlontar dari mulut mereka secara kompak, bahkan sejak perama kali Mas Emran memberi tahu. Mereka bilang, aku memang paling pantas menggantikan Mas Emran.
“Bu Karin—“
“Ga, jangan gitu terus napa, sih!”
Mega nyengir. “Jadi kapan kamu mulai menempati ruangan Mas Emran?”
“Lusa kayaknya. Mas Emran mau beres-beres dulu. Senin depan dia udah harus masuk di kantor cabang Surabaya.”
“Ah, oke-oke.”
“Btw, Rin, masa kita manggil ‘Karin’ aja ke atasan sendiri? Kan aturannya enggak boleh. Gue paham, lo enggak nyaman kalau kami tiba-tiba mengubah panggilan. Cuma ya aturan tetap aturan.” Kiki meringis, dan ucapannya itu mendapat anggukan dari Mega.
“Betul itu, Rin.”
Memang benar, peraturan di kantor ini melarang keras memanggil atasan hanya menggunakan nama saja. Harus diberi embel-embel Mbak, Mas, Pak, ataupun Bu, tergantung kenyamanan masing-masing tim.
“Hm ... gini aja, kalian panggil Karin aja enggak papa kalau buat urusan pribadi atau sekiranya lagi enggak ada orang lain. Bisa ditambah embel-embel ‘Mbak’ kalau posisinya lagi kerja atau ada orang lain di luar tim. Jangan panggil ‘Bu’ pokoknya, pakai sebutan ‘Mbak’ aja. Kaya manggil Mas Emran gitu, jadinya lebih santai.”
Mega dan Kiki mengangguk kompak. “Oke, deh. Nanti kita bilang ke Syarif juga. Anak itu lama amat ke toilet.”
“Lagi agak diare katanya.”
“Oh, pantesan!”
Oh iya, ngomong-ngomong, SK kenaikan jabatanku ditandatangani langsung oleh Pak Dipta dan bukan Pak Dilan lagi. Pak Dipta sempat mengirimiku pesan dan memberi selamat. Agaknya, dia benar-benar tidak tahu kalau aku dipromosikan sampai SK itu keluar dan dia harus tanda tangan.
Aku juga masih ingat bagaimana tadi ketika kami berjabat tangan. Pak Dipta ini sepertinya bisa masuk dalam kategori orang yang sangat professional ‘selagi dia mau’. Maksudku, tadi dia tidak memperlihatkan gelagat aneh sedikit pun. Berbeda sekali dengan saat-saat kami hanya berdua atau ada orang-orang tertentu yang mungkin dia anggap ‘aman’.
“Rin, dipanggil Mas Emran, tuh. Urgent katanya!” Tiba-tiba Syarif datang dari luar dan aku lihat wajahnya agak pucat. Sepertinya diarenya cukup serius.
“Kamu habis ketemu Mas Emran, Rif?”
“Iya, barusan . Ditunggu, katanya.”
Aku mengangguk. “Oke, oke. Terimakasih, ya!”
***
“Bakal kangen Mas Emran, ini! Beneran, deh ...” Mega tampak menekuk bibirnya. Mas Emran tersenyum, lalu menatapku, Mega, Kiki, Syarif, dan Mira bergantian.
“Ada Karin, Ga. Aku yakin dia akan jadi pemimpin yang baik.”
“Kalau itu, iya. Aku ini bukannya meragukan kemampuan Karin, Mas. Tapi kayaknya aku bakal kangen aja cari info dari Mas Emran. Sumber terpercaya sepanjang masa.”
Mas Emran tertawa. “Kalian ini jangan hobi cari gosip terus. Aku jawab pertanyaan kalian karena kalian udah aku anggap seperti adik sendiri.”
“Pokoknya terimakasih banyak untuk semuanya, Mas.” Itu suaraku.
“Sama-sama, Rin. Aku percaya kamu bisa gantiin aku dengan baik. Dan untuk kalian berempat ...” Mas Emran menjeda kalimatnya sejenak. “Tolong setelah ini hormati Karin lebih dari biasanya. Dalam arti, minimal di tempat kerja. Bagaimanapun juga, sejak SK turun Karin sudah resmi jadi bos kalian.”
“Siap, Mas! Kami tahu posisi, kok. Lagipula dari awal kami sangat paham kenapa Mas Emran pilih Karin. Semenyebalkan apa pun Karin, aku mengakui kalau dia memang paling kompeten.” Mega memberi salam hormat.
“Kamu itu lagi muji apa menghujat, Ga?” tanyaku.
“Ini pujian, Bu Karin. Mana berani saya menghujat Bu Bos— duh! Sakit, Rin!”
Mas Emran lagi-lagi tertawa pelan. “Sudah, sudah. Aku pulang dulu, ya. Terimakasih sudah bantuin angkat barang. Kalau main ke Surabaya, kabar-kabar. Mertuaku ada usaha penginapan di sana.”
“Oke, Mas! Aku mau minta tumpangan gratis!” Kiki nyengir.
“Iya. Yang penting jangan dadakan.”
“Siap!”
Sejujurnya, melepas Mas Emran memang sangat berat. Bahkan sekalipun kepergiannya membuatku jadi dipromosikan, aku merasa masih ingin bekerja dengannya. Dia benar-benar atasan yang baik.
“Aku duluan, ya!”
“Hati-hati, Mas!”
“Iya.”
Kami berlima kompak melambaikan tangan ketika mobil Mas Emran perlahan pergi. Aku melihat Mega dan Kiki tampak berkaca-kaca, tetapi kemudian mereka buru-buru mengusap mata dengan sapu tangan.
“Akhirnya, mulai detik ini kejayaan Bu Karin dimulai.”
“Ki!”
Kiki meringis. “Iya, Mbak Karin. Bukan Bu. Protes mulu, lo!”
“Ya habisnya, tua amat! Aku sama kamu aja tua kamu, Ki.”
“Sama gue juga masih tua gue, Rin.” Syarif menyahut.
“Iya, Rif. Intinya, panggil aku santai aja. Senyamannya kalian. Yang penting tau tempat.”
Semua mengangguk, kecuali Mira. Mira sedari tadi tampak sibuk dengan ponselnya.
“Mira?”
“Eh, iya, Mbak? Ada apa?” Mira tampak gelagapan dan buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Enggak papa. Cuma manggil aja.”
Mira meringis, sementara Mega dan Kiki tampak mencibir pelan.
“Jangan hapean mulu, Mir. Apalagi di depan Mbak Karin. Dia atasan kita sekarang.” Kiki berujar tegas.
“I-iya, Mbak Ki. Aku minta maaf.”
“Minta maafnya sama Mbak Karin—“
“Sudah, sudah. Aku enggak papa. Intinya Mir, lain kali kurangin main hape kalau lagi bareng-bareng kaya gini.” Aku menegur pelan, dan Mira langsung mengangguk.
“Iya, Mbak. Siap!”
Aku menghela napas sejenak, lalu kali ini kutatap satu persatu Si Mega, Kiki, Syarif, serta Mira.
“Mulai detik ini juga, aku minta kerjasamanya, ya? Ayo, kita tetap bentuk tim yang solid meskipun tanpa Mas Emran. Jangan sia-siakan kepercayaan Pak Dilan yang sudah memilih kita.”
Mereka berempat mengangguk kompak. “Siap, Mbak Karin!”
Ah, mereka ini!
“Mbak Karin, ditunggu traktirannya!” celetuk Mega sambil menaik-turunkan alisnya.
“Iya, nih! Pizza loyang besar bisa, kayaknya.” Kiki ikut mengompori. “Atau burger jumbo juga bisa.”
Aku tertawa pelan. “Oke, aku beliin siang ini buat makan siang.”
“Asiiik!”
***
Sore ini Pak Dipta tiba-tiba memanggilku ke ruangannya. Aku tidak tahu apa tujuannya, tetapi sepertinya itu berhubungan dengan pekerjaan. Harusnya iya, karena ini masih jam kerja. Aku harap dia professional seperti kemarin.
Tok tok tok !
“Masuk!” suara berat di dalam sana sudah menyahut bahkan sebelum aku mengatakan sepatah kata pun. Pelan-pelan aku membuka pintu, dan kulihat Pak Dipta sedang memilah-milah berkas. Aku cukup terkejut dengan penampilannya karena dia tampak sangat santai.
Saat ini Pak Dipta hanya mengenakan kaos lengan pendek yang memperlihatkan lengan berototnya. Aku melihat jas navy yang pagi tadi dia kenakan tersampir di stand hanger berbahan kayu yang terletak di sebelah kiri kursi kebanggaannya.
“Pak Dipta manggil saya ada perlu apa ya, Pak?”
“Duduk dulu, Rin. Tunggu lima menit.”
Aku mengangguk, lalu segera duduk di sofa lebar yang tersedia di ruangan. Selama menunggu, sesekali aku mengedarkan pandangan. Sebelum ditempati Pak Dipta, aku hanya pernah sekali masuk ruangan ini. Itu pun ketika mengantar Mas Emran menemui Bu Dean. Selebihnya aku tidak pernah ada urusan di ruangan ini.
“Karin, tolong ambil kertas di rak itu. Cukup satu atau dua lembar saja,” ucap Pak Dipta sambil menunjuk sebuah rak kecil di sudut ruangan.
“Iya, Pak.” Aku langsung menyanggupi tanpa banyak bertanya.
Baru saja aku meloloskan dua lembar kertas, kulihat Pak Dipta berjalan ke arah sofa dan duduk di area yang tadi kududuki.
“Cepat ke sini. Saya butuh bantuanmu.”
Aku berjalan pelan ke arah sofa, dan tiba-tiba saja Pak Dipta menepuk bagian di sebelahnya. “Duduk sini. Saya tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi saya memang benar-benar butuh bantuanmu. Kamu dulu anak statistik, kan?”
“Iya, Pak.”
“Saya minta tolong hitungkan ini.”
“Eh?”
Kali ini aku segera duduk di sebelahnya, sementara Pak Dipta berdiri mengambil laptop.
“Harusnya ini bukan pekerjaan saya, tapi gara-gara saya mencurigai sesuatu, jadi saya perlu memastikan.” Pak Dipta kembali duduk di sebelahku, dan seketika wangi maskulin langsung menusuk indra penciuman.
Kira-kira butuh berapa juta untuk mendapatkan parfum dengan wangi seperti ini?
“Memangnya ada apa, ya, Pak?”
“Orang-orang serakah ini kembali mencoba menipu perusahaan.”
“Korupsi, maksudnya?”
Pak Dipta mengangguk. “Kamu pasti paham betul aplikasi excel sampai ke akar-akarnya, kan? Tolong masukan data-data ini dan cari hasil akhirnya. Kalau sudah, sebut nominal akhir.”
“Kalau boleh tahu, ini dari kantor cabang mana, Pak?”
“Surabaya, yang nantinya akan diisi Emran. Sepertinya kepala cabang sana tiba-tiba mengajukan resign karena takut ketahuan korupsi. Emran masih masuk senin depan, jadi masih ada waktu buat saya ngasih hukuman kalau pihak sana terbukti memalsukan laporan.”
“Oh iya, Pak. Coba sini saya kerjakan.”
Pak Dipta segera memberikan laptopnya serta beberapa map berisi data yang tadi dia maksud. Kertas yang tadi kuambil ternyata bermanfaat untuk coret-coretan serta menulis poin-poin penting yang janggal.
“Jari kamu gerak lincah sekali, Rin” ujar Pak Dipta pelan.
“Yang seperti ini sudah jadi makanan saya sehari-hari, Pak.”
“Saya kembali kenal statistik sejak ambil S2 jurusan bisnis. Kalau tidak, mungkin saya hanya sebatas tahu menghitung mean, median, dan modus di bangku sekolah.”
Aku tertawa pelan. “Pak Dipta alumni seni, ya?”
“Iya.”
“Hebat sekali S2-nya lanjut bisnis.”
“Kekuatan tekanan orang tua yang tiada habisnya.”
“Tetap saja keren. Saya dengar, Bapak cumlaude waktu S2.”
Pak Dipta tidak menjawab, dan ketika aku menoleh, dia sedang tersenyum. “Cepat lanjutkan. Saya maunya sore ini juga harus ketahuan hasilnya.”
“Tapi pekerjaan saya—“
“Saya tahu, pekerjaanmu sedang tidak banyak. Emran sudah menyelesaikan semuanya sebelum dia pindah.”
Aku meringis. “Iya, sih, Pak.”
Selama hampir satu jam, aku terus mengerjakan apa yang diminta Pak Dipta. Pak Dipta duduk di sebelahku sambil memeriksa pekerjaannya. Aku bisa paham kenapa dia butuh bantuan anak statistik. Basic Pak Dipta bukan orang eksak, jadi dia pasti kurang familiar dengan aplikasi excel. Kalaupun dia paham, aku yakin hanya sebatas rumus-rumus tertentu.
“Benar, Pak. Sepertinya ada korupsi di sini,” ujarku pelan ketika sudah menemukan hasil akhir yang berbeda jauh dengan laporan yang ada.
“Beda berapa ratus juta?”
“Seratus tujuh puluh jutaan.”
Pak Dipta tiba-tiba tertawa. “Ternyata jauh lebih kecil dari dugaan saya. Kamu tidak salah hitung, kan?”
“Enggak, Pak. Tapi ini baru satu produk—“
“Ah, hitung semua dulu, baru kasih tahu saya selisih total.”
“Saya minta waktu sepuluh sampai lima belas menit lagi, Pak.”
“Oke.”
Sepuluh menit berlalu, akhirnya kerjaanku selesai. Aku cukup menganga melihat nominalnya.
“Selesai, Rin?”
Aku mengangguk. “Selisihnya, satu milyar kurang beberapa juta saja, Pak. Lebih tepatnya, sembilan ratus sembilan puluh empat juta dua ratu enam puluh ribu rupiah. Kurang lebih segitu. Kalau ada melesetnya, enggak banyak.”
“Screenshot semua bukti hitunganmu, juga minta tolong foto coretanmu, simpan dalam satu folder. Setelah itu, taruh di dokumen. Tikus got macam ini harus segera mendapat sanksi. Enak saja coba-coba kabur!”
“Siap, Pak.”
Setelah semua selesai, kulihat Pak Dipta kembali ke mejanya dan sibuk dengan komputer di depannya. Dia tampak serius menatap layar, dan entah kenapa, pemandangan seperti itu membuatku berdebar.
Aduh, Rin, sadar!
“Rin, tolong kirimkan ke email saya bukti-bukti yang barusan. Tetap disimpan di dokumen, plus kirim sekalian. Kamu buka email di situ, terus kirim sekarang.”
“Alamat emailnya?”
“Diptaauriga_w@gmail.com.”
“Siap, Pak.”
Setelah selesai mengirim email, kulihat Pak Dipta kembali fokus menatap layar. Aku ingin pamit karena pekerjaanku sudah selesai, tetapi aku takut mengganggunya. Alhasil, selama beberapa saat aku menyibukkan diri dengan googling asal-asalan.
“Kamu boleh kembali ke ruangan, Rin. Terimakasih banyak,” ujar Pak Dipta tanpa menoleh ke arahku.
“Baik, Pak. Sama-sama.” Aku segera berdiri setelah sebelumnya aku membereskan kertas-kertas yang ada di meja. “Saya permisi, Pak.”
“Iya. Eh, sebentar ...”
Kali ini Pak Dipta menoleh ke arahku, lalu dia tersenyum. “Sekarang saya tahu alasan kenapa Emran pilih kamu. Benar katanya, kerjamu sangat cepat.”
“Terimakasih untuk pujiannya, Pak.”
“Sepertinya saya perlu kasih kamu bonus.”
“Bonus?” mendengar kata bonus tentu saja membuatku berbinar. “Beneran, ini, Pak?”
“Iya, dan ini dari saya pribadi.”
“Waaah ...”
“Malam minggu ini, kamu jangan kemana-mana.”
Keningku seketika mengkerut bingung. “Kok malam minggu? Apa hubungannya antara malam minggu dengan bonus?”
“Bonusnya berupa kencan.”
Mendengar itu, bahuku seketika terkulai lemas. “Lebih baik saya enggak dapat bonus!”
Apa-apaan! Memangnya dia pikir aku akan senang keluar dengannya lagi? Tidak!
“Saya belikan hadiah—“
“Saya enggak mau. Saya anggap bantuan sore ini karena kecintaan saya pada perusahaan.”
“Bukan pada pemiliknya?” senyum miring tercetak jelas di bibir Pak Dipta.
“Pemilik? Maksud Bapak, Pak Dilan?”
“Apa? Kamu mau mengajak perang Mama saya?”
Aku tertawa pelan. “Saya bercanda, Pak. Kalau begitu, saya permisi sekarang.”
Pak Dipta tidak menjawab, tetapi aku tetap menunduk sejenak lalu bergegas pergi. Namun, baru saja tanganku hendak memegang gagang pintu, aku merasa ada langkah kaki mendekat. Aku reflek menoleh, dan benar saja, kini Pak Dipta sedang berjalan ke arahku.
“A-ada apa, Pak?”
“Sekali lagi terimakasih banyak, Rin.” Tangan Pak Dipta terulur mengusap kepalaku pelan. “Dan tolong, jangan sering senyum atau tertawa seperti barusan. Nanti saingan saya semakin banyak. Ngerti?”
***