4. Jas Dipta

1402 Kata
Mie Ramen di depanku tampak mengepul panas. Kuahnya yang merah, juga topping-nya yang melimpah, membuatku menelan ludah sekali lagi. Aku lapar, tetapi aku gengsi. Krik krik krik ... Sudah beberapa menit berlalu, bahkan sejak pesanan belum datang, baik aku maupun Pak Dipta belum ada yang bersuara. Dia masih duduk bersedekap, sementara aku hanya terus menunduk tak berani menatap matanya. Kalau bukan karena Pak Dipta, harusnya saat ini aku sudah mandi dan rebahan di kos. Sayangnya, kali ini aku tidak bisa kabur lagi. Tadi aku hanya bisa meringis seperti orang bodoh dan langsung mengiyakan ketika dia mengajakku untuk bicara sebentar. Ternyata, Pak Dipta mengajakku ke restoran ramen yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor. Motorku masih di parkiran karena aku ke sini naik mobilnya. “Kenapa cuma diam? Malam itu kamu suka ramen, makanya saya ajak ke sini.” Aku menatapnya sejenak, lalu mataku kembali tertuju pada mangkuk ramen. Jangan tanya kondisi jantungku saat ini. Sudah jelas rasanya tidak karuan, terlebih saat aku naik ke mobilnya. Mobil Pak Dipta berwarna hitam. Aku tidak yakin dengan mereknya, tetapi kurasa kalau bukan bentley yang lexus. Lebih dari itu, wangi mobil itu membuatku pusing. Pusing yang membuat betah. Nah, loh! “Arin—“ “Nama saya Karin, Pak.” “Ah ... jadi kamu menipu saya?” Mendengar itu, aku reflek mendongak dan menatapnya. “Siapa yang menipu? Saya hanya mengurangi huruf K. Pak Dipta lebih parah lagi. Riga dan Dipta itu jauh sekali.” “Tapi saya tidak menipumu. Riga juga tetap nama saya.” Aku diam. Pak Dipta memang benar, tetapi tetap saja dia sedikit lebih menipu. Pantas saja aku tidak menemukan akun media sosialnya. Ternyata, nama depannya itu Dipta, bukan Riga! “Ya sudah, sekarang kamu makan dulu, saya tidak akan bertanya apa pun lagi. Sayang kalau mie-nya sampai ngembang.” Aku kembali menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Selama beberapa saat, aku fokus makan mie ramen yang tersaji. Mie ini adalah salah satu jenis mie kesukaanku. Teksturnya lembut, juga tidak terlalu besar. Selama makan, sesekali aku melirik Pak Dipta. Dia terlihat makan dengan lahap, benar-benar sama persis seperti malam itu. Sejujurnya, Pak Dipta terlihat lebih tampan daripada Mas Riga sekalipun mereka adalah orang yang sama. Barangkali karena rambutnya yang sekarang sudah dipotong, juga gaya berpakaiannya lebih rapi. “Ehm!” aku berdehem pelan ketika mie di mangkukku sudah habis, menyisakan kuah yang tinggal sedikit. “Pak Dipta ada perlu apa, ya, sampai mengajak saya makan? Obrolan apa yang ingin Bapak sampaikan?” “Sebelumnya, saya lebih suka panggilan kamu ketika di Seoul.” “Mas Riga?” Pak Dipta mengangguk. “Pertama, saya memanggil Mas karena Mas adalah panggilan yang paling umum untuk laki-laki asing yang di mata saya terlihat lebih tua. Kedua, panggilan Bapak itu Dipta, bukan Riga. Jadi, tidak ada lagi alasan buat saya manggil Bapak dengan sebutan Mas Riga seperti ketika di Seoul.” “Bagaimana kalau Mas Dipta?” Deg! Entah kenapa, aku mendadak merasa ada getaran aneh. Yang benar saja! M-mas Dipta? Geli, sumpah! “Pak Dipta saja, ya, Pak. Seperti yang lain, hehe ...” aku meringis, lalu pura-pura sibuk dengan minumanku yang hampir habis. Demi apa pun, tiap kali aku lihat wajah Pak Dipta, sebenarnya aku ingin menanyakan alasan kenapa malam itu dia menciumku. Namun, untuk saat ini aku sama sekali tidak berani. Oh iya, mulai malam ini tidak ada lagi istilah Mas Riga. Mas Riga cukup kukenang sebagai teman kencan ketika di Seoul. Yang di depanku ini adalah Pak Dipta, yakni anak Pak Dilan yang harus kuhormati. “Oke, baiklah.” Aku lihat Pak Dipta menegakkan badannya, dan itu membuatku juga mengikutinya. Detik berikutnya, aku segera mengambil dompet, lalu berdiri. “Hari ini saya yang bayar, terimakasih!” Aku setengah berlari menuju kasir, lalu menyerahkan nomor meja untuk membayar tagihan. Aku menoleh ke arah Pak Dipta, dan kulihat dia masih duduk di tempat. Bisa dibilang, aksiku ini adalah kabur karena Pak Dipta belum jadi menyampaikan maksudnya. Aku hanya tidak tahan duduk berdua dengannya, apalagi lama-lama. Kalau setelah ini aku langsung balik kantor tanpa kembali ke meja lagi, itu boleh saja, kan? Aku bisa naik ojek untuk mengambil motorku. Aku tidak mau naik mobil Pak Dipta lagi. Setelah menerima kembalian, aku buru-buru keluar. Di luar masih hujan, tetapi sudah tidak sederas tadi. Aku segera membuka aplikasi ojek online untuk memesan driver. Namun, baru saja aplikasiku berhasil mendapatkan driver, tiba-tiba kurasakan ada jas hitam yang melingkupi badanku. Begitu aku menoleh, kulihat Pak Dipta sudah berdiri di sebelahku. “Pakai itu karena pakaianmu tidak tebal.” “Oooh, tidak usah, Pak. Ini saya kembalikan.” Aku segera melepas jas itu dan menyerahkan kembali padanya. “Karin—“ “Pak ... apa bisa saya minta Bapak lupakan saja semua yang kita lalui di Seoul? Yang ketemu di sana adalah Riga dan Arin. Kalau yang di sini, Dipta dan Karin. Beda, kan?” aku meringis. “Beda apanya? Jelas-jelas baik Riga dan Arin ataupun Dipta dan Karin adalah dua orang yang sama.” “Tapi, Pak— oh, ojeknya datang! Selamat malam, Pak Dipta!” Tepat ketika aku baru turun satu langkah dari teras, Pak Dipta sudah menahanku. Tanpa mengatakan apa pun, dia kembali memakaikan jas hitamnya di badanku. Dia bahkan mengikat kedua lengan jas agar tidak jatuh. “Kita bisa bicara lagi lain kali. Sana kalau mau pulang. Hati-hati di jalan.” Setelah mengatakan itu, Pak Dipta berlari menuju mobilnya menerjang gerimis. Aku terdiam selama beberapa saat sampai mobilnya menyala dan mulai bergerak. “Mbak Karin Shayena! Kok malah bengong?” “Oh, iya, Pak. Itu saya. Saya ke situ!” *** “HIIIH!” Malam ini harusnya aku lelah bukan main karena pulang telat, tetapi saat ini aku masih saja terjaga. Tak peduli jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, rasa kantukku hanya belum datang sama sekali. “Pak Diptaaa!” aku menggeram tertahan, lalu untuk kesekian kalinya aku terfokus pada jas hitam yang menggantung di balik pintu. Jas hitam itu pastilah mahal, terasa dari bahannya yang tebal dan sangat halus. Aku bahkan sudah membayangkan, kira-kira butuh berapa bulan gajiku untuk membeli satu jas itu? Karena tak kunjung tidur, akhirnya aku kembali berdiri dan mengambil jas itu. Aku akan mencucinya besok, meski aku tidak yakin kapan aku bisa mengembalikannya. Aku bilang begini karena Pak Dipta tidak masuk dalam list orang-orang yang mudah kujangkau. Kalau dia mengikuti jejak Pak Dilan, dalam satu bulan belum tentu kami ketemu. Selama beberapa saat, aku terus mengamati jas itu. Jasnya besar, sesuai dengan postur tubuh Pak Dipta yang tinggi. Tadi dia terlihat keren sekali. Warna hitam benar-benar cocok untuknya. Kali ini aku mendekatkan jas itu ke hidungku, lalu dengan tak tahu malunya, senyumku perlahan mengembang. Wangi ini sama persis dengan wangi yang kuhirup ketika di Seoul. Wangi yang benar-benar berbahaya. “Ah, mbuh!” Aku melempar jas itu ke atas ranjang, lalu menjatuhkan diri di sebelahnya. Aku menatap langit-langit kamar selama beberapa saat, kemudian kembali memejamkan mata. Tiba-tiba saja, aku terbayang bagaimana tadi ketika Pak Dipta memakaikan jasnya di badanku tanpa canggung. Apa mungkin dia seorang playboy? Setelah menciumku tanpa izin, kini dia mencoba merayuku dengan sikap manisnya. Bisa saja, kan? Kalau benar begitu, aku tidak boleh cepat tersentuh. Bisa saja aku hanya salah satu dari sekian banyak ‘target’-nya. Tapi sebentar ... kenapa dia malah menargetkan karyawan sendiri? “Maumu itu apa, Pak Dipta!” geramku tertahan sembari menggulingkan badan ke samping, membiarkan badanku menimpa jas mahal yang harusnya tak kuperlakukan seperti ini. Detik berikutnya, ketika aku kembali berguling ke tempat semula, aku merasakan sweater rajutku tersangkut. Tanpa pikir panjang, aku segera menarik paksa sweater-ku agar terlepas. Namun, dalam hitungan detik, tiba-tiba terdengar bunyi benda jatuh. Aku buru-buru bangun untuk mengeceknya, dan betapa terkejutnya aku ketika tahu yang jatuh adalah kancing jas milik Pak Dipta. Kancing itu ternyata lepas! Rasa kantuk yang sebenarnya mulai lamat-lamat menyerang, kini seketika hilang. Aku segera berdiri dan mengambil kancing yang menggelinding sampai bawah meja rias. “Bodohnya dirimu, Rin!” Aku terus merutuki diri begitu kancing itu berhasil kuambil. Aku segera menghampiri jas yang masih tergeletak di atas ranjang, lalu mencoba memperbaikinya. Namun sayangnya, usahaku harus sia-sia karena bagian pengaitnya patah. Kalau ini jas mahal, kenapa lemah sekali? Atau benda ini lepas karena tenagaku saja yang terlampau kuat? Aku segera meraih ponsel untuk mencari harga jas itu di internet. Sesuai dugaan awal, bola mataku seperti mau melompat keluar begitu melihat harganya. “T-tiga ribuan dollar? Mati, aku!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN