5. Atap Gedung

2109 Kata
Aku sudah gagal menikmati libur akhir pekan kali ini. Libur tiga hari yang rencananya akan kuhabiskan dengan banyak tidur, olahraga keluar, juga me time, seketika rusak karena aku terus kepikiran kancing jas milik Pak Dipta. Jangankan untuk jalan-jalan, makan pun rasanya tak enak. Yang aku rusak adalah sebuah jas dengan harga yang bahkan lebih mahal dari dua kali motorku. Bagaimana aku bisa tenang? “Duuuh!” aku meremas pelan rambutku, lalu kembali merapikannya. Sejujurnya, aku heran kenapa orang kaya rela menghabiskan puluhan juta hanya demi sebuah pakaian. Katakan aku belum kelasnya, tetapi bukankah empat puluh juta untuk satu jas itu agak berlebihan? Sejauh ini, baju termahal yang pernah kumiliki itu seharga satu juta dua ratus ribu. Itu pun hanya satu. Selebihnya, harga bajuku berada di angka seratus sampai tiga ratus ribu. Menurutku, itu sudah cukup tinggi dibanding beberapa temanku yang mengatakan kalau baju mereka banyak yang under seratus ribu. Sedangkan ini, satu baju seharga dua motor matic baru? Bukan main! “Rin, lo kenapa, dah, dari tadi gusar mulu?” Kiki datang ke mejaku dengan tangan kanan membawa satu tusuk sate telur puyuh. “Ki, wajar enggak, sih, ada baju harganya empat puluh jutaan? Bukan baju, deh, lebih tepatnya jas.” “Wajar banget, lah! Yang lebih dari itu aja banyak. Absen aja, Rin, brand-brand inter kaya Dior, Channel, Celine, Valentino, Prada, dan lain-lain yang satu tingkat. c*****t sama kutang doang juga harganya jutaan!” “Kenapa contohnya harus banget c*****t sama kutang, sih, Ki? Kamu ketularan Mega, ya?” Kiki terkekeh. “Ya intinya gitu. Brand-brand itu harganya super mahal. Emang kenapa lo tiba-tiba nanya itu?” “Enggak papa, Ki. Hehe ...” aku menggeleng sambil nyengir. “Gue pernah lihat Bu Dean pakai jam tangan merek Chaumet. Gue cari harganya di internet. Behhh, bisa buat DP rumah!” “Emang berapa?” “Design yang Bu Dean pakai harganya puluhan juta. Tujuh puluh lebih dikit kalau enggak salah.” Aku mendadak bergidik ngeri. Tujuh puluh juta hanya untuk satu jam tangan. Kalau untuk aku yang masih jadi kaum mendang-mending, tujuh puluh juta lebih baik kugunakan untuk hal lain. “Kenapa ya, Ki, orang kaya segitunya mau spend money hanya untuk sebuah barang yang sebenarnya kegunaannya sama aja dengan barang lain yang harganya jauh di bawah? Jam tanganku harga satu setengah juta kado dari Ayah, dari kuliah semester awal sampai detik ini masih hidup. Baru ganti baterai satu kali aja. Aku beli sendiri harga empat ratusan ribu, juga masih bagus. Bahkan katakan yang harga tiga puluh lima ribu, fungsinya ya sama aja.” Kiki tampak menghabiskan kunyahan sate telur puyuhnya, lalu ke mejanya untuk minum. Baru setelah itu, dia kembali duduk di dekat mejaku. “Lo lagi menjawab pertanyaan lo sendiri, Rin.” “Eh?” “Gini. Ada jam tangan harga tiga puluh lima ribu, kenapa lo beli yang harga empat ratus ribu? Toh sama aja fungsinya, sama-sama buat tahu waktu.” “Tapi yang tiga puluh lima ribu kena air bisa mati, Ki, yang empat ratus ribu enggak.” Kiki mengangguk. “Oke. Empat ratus ribu udah bagus, ya. Sekarang gue tanya. Kenapa Ayah lo beli jam yang harga satu setengah juta di saat jam harga empat ratus ribu udah bagus? Kalau ngomongin jam kena air enggak mati, jam harga seratus ribu aja juga udah banyak yang tahan sama air.” Aku nyengir, karena analogi Kiki sangat masuk akal. “Iya juga ya, Ki?” “Itulah, Rin. Pertama, kita bukan kelas mereka, jadi rasanya sayang banget. Kedua, orang-orang seperti mereka biasanya juga punya circle yang satu kelas. Salah satu tujuan mereka pakai barang-barang mahal ya untuk branding diri dan kepuasan. Mungkin kelihatannya kaya menghambur-hamburkan uang, tapi mereka sebenarnya lebih bijak dalam menggunakan uang daripada kita para rakyat jelata. Mereka bicaranya presentase.” “Ya istilahnya jangan rakyat jelata juga, kali, Ki.” Kiki tertawa pelan. “Iya, deh, intinya status ekonomi kita timpang dengan mereka. Bahasa gaulnya, kita ini can’t relate sama kehidupan mereka.” “Tapi aku masih enggak ngerti dengan kata bijak di sini. Misal ya, daripada pakai jam tangan seharga DP rumah, kenapa enggak disumbangkan aja buat fakir miskin?” Senyum Kiki terbit, lalu dia menggeleng pelan. “Jangan salah, Pak Dilan dan Bu Dean terkenal sering donasi, entah ke Panti Asuhan, lembaga amal, lembaga pendidikan, dan masih banyak lagi.” “Beneran?” “Yes! Gue tahu ini karena SMA gue dulu termasuk yang dapat donasi. Donasi dari mereka buat ngebantu siswa-siswa kurang mampu. Sebenarnya, Rin, kita cuma enggak sampai aja bayangin seberapa banyak uang mereka. Dan kembali ke yang tadi tentang branding diri, kalau kita pakai barang-barang mahal, relasi yang terbentuk juga akan semakin tinggi. Ibaratnya, itu juga nambah kepercayaan diri serta kepercayaan orang lain. Diakui atau enggak, kalau kita pakai barang-barang mahal, orang lain dengan sendirinya akan mikir kalau kita bukan orang sembarangan.” “Iya juga, sih. Aku enggak mau munafik, konsepnya memang begitu. Btw, kamu kok bisa ngomong kaya gitu, Ki?” “Gue pernah dikasih tahu temen yang punya sahabat anak konglomerat. Bapaknya pengusaha Batubara. Kalau ada pertemuan satu circle, udah berasa fashion show barang branded.” “Ah ...” aku mengangguk paham. “Lagipula, kayaknya keluarga Pak Dilan kelihatan pakai barang-barang mewah kalau ada acara tertentu, deh. Pernah juga, gue lihat Bu Dean pakai baju biasa dari brand lokal. Jadi, mungkin mereka menyesuaikan tempat dan keadaan. Barang-barang super mahal hanya mereka pakai di acara-acara tertentu. Tapi enggak tahu juga, sih, ini hanya pengamatan sotoy gue.” Masuk akal. Pak Dipta pakai jas super mahal mungkin karena hari itu dia datang ke kantor memperkenalkan diri sebagai calon pengganti Pak Dilan. Dia harus menjaga wibawanya, salah satunya dengan berpakaian yang bagus. Namun, bisa juga barang mahal memang sudah jadi makanannya tiap hari. Ah, entah! “Kenapa, sih, Rin? Kok malah manggut-manggut gitu?” Aku menggeleng pelan. “Enggak papa, Ki.” Tidak mungkin aku bilang kalau jas mahal milik Pak Dipta sedang ada di lemariku. Jas mahal yang sudah kurusakkan salah satu kancingnya. Kira-kira, Pak Dipta akan menanyakan jasnya atau tidak, ya? Aku bahkan tidak yakin kapan kami akan bertemu lagi. “Kariiin, bengong, mulu!” “Ki, kasih aku tips cari uang lima puluh juta dalam sebulan.” Kening Kiki mengkerut samar. “Kalau ada, gue juga mau.” “Please, Ki ...” “Buat apa, sih, Rin? Random bener.” “Ya pokoknya ada—“ “Eh ... bisa, Rin, bisa. Jadi simpanan Sugar Daddy. Yuk?” Mendengar itu, seketika aku bergidik. “Amit-amitttt!” Kiki terbahak, lalu dia kembali ke mejanya setelah sebelumnya mencomot beberapa permen dari mejaku. Bertanya pada Kiki atau Mega memang seringnya tidak solutif! *** “Kenyangnyaaa!” Mega mulai mengusap-usap perutnya setelah dia menghabiskan satu mangkuk soto berukuran besar serta tiga potong bakwan jagung. Kiki pun sama, saat ini dia tampak kekenyangan karena beberapa kali bersendawa pelan. “Lo enggak habis, Rin? Tumben. Biasanya juga dua mangkuk habis!” “Enak aja!” aku menyeruput lemon tea yang tersisa. “Lagi enggak enak makan. Please, jangan tanya kenapa. Lagi mode enggak mau ngomong banyak.” “Iyaaa!” sahut Mega dan Kiki kompak. Jam masih menunjukkan pukul setengah satu ketika kami bertiga keluar dari kantin. Biasanya kami akan mengobrol lama sampai mepet jam satu, tetapi kali ini tidak. Begitu selesai makan, kami langsung bergegas naik. “Lama bener, liftnya!” seru Mega tak sabaran. “Sabar, Ga ...” Beberapa saat berlalu, akhirnya lift berhenti. Namun, baru saja aku hendak masuk, tiba-tiba Kiki menahan tanganku. “Kenapa, Ki?” Kiki tidak menjawab, malah menarikku mundur. “Ki, lo kenapa—“ Kalimatku langsung terhenti ketika ternyata yang ada di dalam lift adalah Pak Dipta dan Mas Gilang. Aku langsung menunduk dalam-dalam sampai rambutku menutupi wajah. “Kenapa tidak masuk?” tanya Pak Dipta kemudian. Meski aku tidak melihatnya, tetapi aku sudah hafal suaranya. “K-kami ikut yang setelahnya saja, Pak ...” Mega menjawab pelan. Aku bisa merasakan suaranya agak bergetar. “Masuk saja. Lift masih sangat cukup.” Aku masih terus menunduk, sampai akhirnya tangan Mega tiba-tiba menarikku masuk. “Ya sudah, Pak.” “Karin, lo kenapa nunduk terus—“ “Kiii!” Gagal sudah, Pak Dipta sudah melihatku. Kiki yang tampaknya baru sadar kalau aku menghindari Pak Dipta, kini hanya bisa meringis. “Siang, Pak Dipta ...” sapaku pelan. Kiki dan Mega hanya saling menyenggol, tak berani ikut menyapa. “Iya.” Pak Dipta menyahut, lalu dia melirik jam tangannya. “Jam satu masih lama. Kamu ikut saya sebentar.” “Eh? Buat apa, Pak?” “Apa saya harus menjelaskan alasannya di sini?” “Eee ...” “Karin bawa aja, Pak. Siang ini dia luang soalnya kerjaan dia udah selesai—“ “Ga!” ingin rasanya kulempar kepala Mega dengan bola bekel. Aku melirik Pak Dipta, dan dia masih menatapku. “Atau kamu menolak?” tanyanya. “E-enggak, Pak. Siap, saya ikut Pak Dipta sekarang.” Aku meringis, mencoba menyunggingkan senyum semanis mungkin. Manis di sini lebih kepada karena aku tidak ingin berdebat di lift. “Oke.” Setelah melewati lantai tempat ruanganku berada, kini yang ada di lift tinggal aku, Pak Dipta dan Mas Gilang. Tadi, Mega dan Kiki sempat melambaikan tangan padaku sebelum pintu lift tertutup. “Saya langsung ke ruangan kan, Pak?” suara Mas Gilang memecah keheningan. Agaknya, setelah menjadi sekretaris Pak Dilan, Mas Gilang lanjut menjadi sekretaris Pak Dipta. “Iya. Jangan bilang Papa tentang ini, nanti urusannya bisa panjang.” Mas Gilang tertawa pelan. “Siap, Pak, siap.” Dan akhirnya, Mas Gilang pun keluar begitu dia tiba di lantai tujuh, lantai tempat ruangan Pak Dipta berada. Setelah Mas Gilang keluar, kini tinggallah aku dan Pak Dipta saja. Aku agak terkejut ketika Pak Dipta menekan tombol lantai teratas. Dia ingin mengajakku ke atap? Begitu lift berhenti, Pak Dipta keluar lebih dulu dan aku mengekor di belakang. Dia berjalan ke arah kanan dan aku terus mengekor dengan perasaan harap-harap cemas. Aku was-was kalau dia menanyakan jasnya. “Malam itu kita belum jadi bicara,” ucap Pak Dipta begitu dia berhenti di dekat pembatas. “Apa yang perlu dibicarakan, Pak?” “Tentang kita.” Deg! Kali ini aku beranikan diri mendongak, dan sial sekali, Pak Dipta malah tersenyum. Ini adalah senyum yang sama persis dengan yang dia tunjukkan sebelum kami berpisah di Seoul. “Tentang kita ini, maksudnya apa, ya, Pak? Jangan ambigu.” “Malam ketika di Seoul, kamu setuju menyebut apa yang kita lakukan berdua adalah kencan. Bukannya itu sudah jelas?” “Apanya yang jelas, Pak? Saat di Seoul kita bertemu secara tak sengaja. Saya setuju-setuju saja dengan istilah ‘kencan’ karena saya pikir kita tidak akan bertemu lagi. Anggap saja, saat itu saya hanya iseng. Dan saya minta tolong, Pak, Pak Dipta lupakan saja malam itu. Seperti yang pernah saya bilang saat di di resto ramen, yang bertemu di Seoul adalah Riga dan Arin, bukan Dipta dan Karin. Maaf kalau saya lancang, tapi saya tidak nyaman kalau Pak Dipta begini.” “Saya begini bagaimana?” matanya sedikit memicing. “Ya sampai ngajak saya pergi ke atap berdua. Nanti dikira kita ada apa-apa—“ “Kalau saya maunya begitu?” “Saya yang tidak mau. Pak Dipta ini bicara seperti itu terlihat seolah Bapak sudah biasa merayu perempuan.” Katakan aku terlalu berani, tetapi aku akan memposisikan diriku setengah Arin dan setengah Karin. Maksudku, aku masih mencoba sopan karena aku adalah bawahannya, tetapi aku akan sedikit lebih berani seperti Arin yang dia temui di Seoul. “Kata siapa saya suka merayu perempuan?” “Bukan kata siapa-siapa, tapi ini hanya asumsi saya. Pak Dipta bahkan mencium pipi saya sebelum kita berpisah. Bapak pikir itu hal yang wajar dan normal? Apa jangan-jangan Pak Dipta begitu pada semua perempuan yang baru Bapak temui? Apa Pak Dipta tahu, itu bisa disebut pelecehan kalau saya tidak terima?” “Dan kamu terima atau tidak?” “Sejujurnya, tidak sama sekali, tapi saya tidak punya pilihan lain selain harus melupakannya. Saya menghormati Pak Dipta karena Bapak adalah anak Pak Dilan. Saya maafkan tindakan Bapak malam itu, tapi sebagai gantinya, tolong pura-puralah tidak kenal dengan saya. Saya tidak mau terkena gosip.” “Begitu?” Aku mengangguk. “Iya, Pak. Saya mohon.” “Kalau saya tidak mau?” “Kenapa tidak mau?” Aku reflek mundur ketika Pak Dipta tiba-tiba maju mendekat. Aku baru berhenti begitu punggungku menubruk tembok ruangan teratas gedung ini. “P-pak ...” “Kamu tahu, Rin, saya lebih suka tidak kamu maafkan daripada diminta pura-pura tidak mengenalimu.” Mataku mengerjap karena mendadak otakku blank. “M-maksudnya?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN