“Kariiin! Keluar kamar mandi, lo! Cepet!”
Gedoran Mega dan Kiki membuatku berjengit kaget. Ternyata mereka belum juga menyerah ingin menginterogasiku. Sudah capek-capek aku sembunyi di toilet, tampaknya mereka tidak peduli.
“Perutku mulesss, aduh!”
“Alasan, kamu, Rin!” Mega berseru lantang.
Aku melirik jam tangan, dan ternyata sebentar lagi sudah masuk jam istirahat makan siang. Itu artinya, kemungkinan besar toilet ini akan segera ramai.
“Tunggu aja di ruangan. Please, jangan ganggu aku pup!”
Ini jelas bohong. Mana ada aku pup! Aku ke toilet memang untuk kabur dari serangan pertanyaan mereka berdua.
“Ya udah, cepet!”
“Iya.”
Aku mengembuskan napas lega ketika mendengar suara langkah menjauh. Aku semakin lega lagi ketika mendengar suara pintu ditutup, itu artinya dua orang tukang kepo itu benar-benar pergi.
“Ishhh! Kenapa hidupku gini banget, sih!” aku terus menjedotkan kepala ke dinding karena merasa semua ini benar-benar konyol dan tak terduga.
Demi apa pun, aku sama sekali tidak menyangka kalau Mas Riga adalah Pak Dipta. Bayangkan saja, yang ingin aku marahi adalah anak Pak Dilan.
Oh, ya ampun!
Kalau sudah begini, aku tidak yakin berani minta penjelasan atas tindakannya malam itu. Tadi saja, aku meraih tangannya karena merasa tidak enak kalau dia terus terulur tangan sementara ada Mega dan Kiki di belakangku. Baru setelah aku berdiri, aku langsung menunduk dalam-dalam dan buru-buru kabur naik ke lantai empat menuju ruangan.
Katakan aku tidak sopan, tetapi aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih karena jantungku kembali terasa seperti mau melompat keluar begitu tangan kami bersentuhan. Aku bisa merasakan tangan halus itu memang milik Mas Riga. Tangan halus yang menandakan kalau si empunya tidak pernah kerja kasar.
“Kamu dalam masalah besar, Rin!” sekali lagi, aku menjedotkan kepala ke dinding.
Bawahan macam apa, yang setelah ditolong bukannya berterimakasih malah kabur?
“Kariiin!” suara Mega kembali terdengar.
“Iya, ini lagi cebok!”
“Njir, ya jangan jujur-jujur juga, kelesss!”
Aku pura-pura menyalakan tombol saluran air, lalu memantapkan diri untuk keluar. Belum-belum, aku sudah membayangkan akan kembali dicecar pertanyaan oleh dua manusia kepo yang haus akan informasi.
“Itu orangnya!” Benar saja, kini terlihat Mega, Kiki, bahkan Syarif, sudah duduk melingkar di dekat mejaku.
“Memangnya kalian enggak ada kerjaan, apa, malah duduk di situ?”
“Kalau masalah kerjaan ya selalu ada, tapi deadline-nya lagi enggak mepet. Saat ini, masalah Pak Dipta dan kamu jauh lebih penting.”
“Kami enggak ada apa-apa, Ga. Kan aku udah bilang.”
Mega tiba-tiba berdiri dan berkacak pinggang. “Enggak ada apa-apa, gimana? Jelas-jelas aku denger Pak Dipta bilang ‘akhirnya kita bertemu lagi’. Lagi, ya, Rin, LAGI! Itu artinya, kalian pernah bertemu sebelumnya.”
“Ah, gue tahu! Ternyata lo pura-pura enggak tertarik dengan Pak Dipta karena lo udah kenal secara pribadi? Iya?” Kiki menudingkan jari telunjuknya padaku.
“Enggak gitu, ya, Ki! Enak aja. Kemarin-kemarin, aku memang enggak tertarik sama sekali.”
“Terusss?” tanya Mega tak sabaran.
Aku yakin sekali Mega akan semakin kaget kalau tahu Pak Dipta adalah Mas Riga yang selama ini aku cari. Kiki juga mungkin akan kaget, tetapi tidak akan sekaget Mega. Dia memang tahu tentang aku yang bertemu sosok Mas Riga di Seoul, tetapi aku tidak pernah bercerita detail padanya. Aku bercerita detail hanya pada Mega. Kalau syarif, sepertinya dia hanya ikut-ikutan karena penasaran.
“Kalian pasti akan syok, tapi aku takut dimutilasi.”
“Yeee! Dikira kami psikopat, apa?”
“Ya lagian! Belum-belum aja, kalian udah nekat gedor-gedor toilet!”
Mega dan Kiki malah nyengir. “Soalnya kami sekepo itu, Rin. Jujur. Ya bayangin aja, Pak Dipta nyapa lo duluan! Siapa yang enggak kaget?”
“Iya, sih. Jangankan kalian, aku aja sampai jatuh karena saking kagetnya. Kira-kira, dia nungguin di sana karena emang sengaja atau kebetulan, ya?”
“Coba aja, tanya.”
“Ngawurrr! Mana berani, aku.”
“Kan sebelumnya udah kenal—“
“Kenal satu malam—“
“Waittt! Jangan-jangan, kalian pasangan one night stand? Berapa kali goal?”
Mendengar itu, segera kulempar wajah Kiki dengan sapu tangan. “Aku masih perawan, ya, Ki! Enak aja, ONS!”
“Ya kirain, Rin. Kalau iya, gue mau minta review. Pak Dipta jago atau enggak—“
“Udah, jangan bahas itu lagi!”
Kini, Mega segera menarikku agar duduk di kursi. “Kalau memang bukan ONS, sekarang coba jelasin kenapa kalian kenal? Kenalnya kapan, di mana, dan ngapain aja?”
“Enggak aku jelasin lebar sekalipun, kalau aku ngomong satu fakta penting, kamu akan tahu jawaban dari pertanyaanmu sendiri, Ga.”
“Maksudnya?”
Aku meraup wajahku sendiri, lalu menunduk dalam-dalam. Sepertinya, aku tidak punya pilihan lain selain jujur. Karena kalau tidak, mereka pasti akan terus menjadikanku bulan-bulanan.
“Rinnn! Kok diem?”
“Janji dulu jangan ember!”
Mega dan Kiki kompak mengulurkan tangan mengajak jabat tangan. “Iya, janji.” Aku segera menyalami tangan mereka berdua, lalu dengan Syarif pun sama.
“Jadi ... Pak Dipta itu ya Mas Riga yang selama ini aku cari.”
“WHAT? BENERAN?”
***
Aku mulai kesal karena sedari tadi Mega terus merecokiku makan siang. Sesekali dia menyandar padaku, sesekali pula dia mengambil makananku.
Sebenarnya ini lebih baik daripada dia marah-marah. Kupikir dia akan menjauhiku perkara tahu kalau ‘Mas Riga’-ku adalah ‘Ayang Dipta’-nya. Jangan salah paham dulu, ‘ku’ dan ‘nya’ di sini bukan dalam arti kepemilikan yang sesungguhnya.
“Ga, makan yang bener! Jam makan siang bentar lagi habis!” Aku menyenggol Mega kuat sampai dia terhuyung ke samping.
“Masih dua puluh menit, kali, Rin.”
Ngomong-ngomong, saat ini aku dan Mega sedang makan berdua di kantin perusahaan. Kiki dan Syarif keluar karena ingin makan di McD. Aku menyendok bakso di mangkuk, lalu mengunyahnya bulat-bulat. Aku melirik Mega, dan kulihat anak ini menatapku dengan ekspresi agak aneh.
“Karin sayangku ...”
“Demi Allah, Ga, aku enggak punya info apa pun tentang Pak Dipta kecuali yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Kami orang asing yang secara random jalan bareng dan berkahir gitu. Iya, gitu doang, enggak ada yang lebih.”
Mega kembali mendekatkan badannya dan mengapit tanganku. “Rin, review bibirnya Pak Dipta, dong.”
Aku hampir saja memuncratkan bakso di dalam mulut ketika mendengar ucapan Mega.
“Review? Kamu pikir apaan?”
“Lembut, Rin? Kenyal? Atau—“ kalimat mega terputus ketika aku menyumpal mulutnya dengan donat kentang yang niatnya akan kubawa naik ke ruangan.
“Donatnya enak!” Dengan santainya, Mega malah menghabiskan donatku sampai tak tersisa.
Manusia satu ini, selain heboh, terkadang juga random dan sulit ditebak. Kalau bukan karena kami sudah terlanjur dekat, terkadang aku ingin sekali melemparnya ke Laut Kaspia.
“Rin, tangan Pak Dipta gimana? Halus, ya? Hangat?”
Iya, halus dan hangat!
“Enggak ingat, aku.”
“Enggak asik banget, sih, jadi orang. Pelit banget bagi info!”
“Info apa, sih, Ga? Itu udah setengah tahun yang lalu—“
“Tapi kamu bilang enggak bisa lupa dengan semua yang kalian lalui. Katamu juga, kamu masih ingat sama rasa tteokbokki malam itu.”
Mega memang benar, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Jujur saja, sebenarnya rasa kesalku masih ada, tetapi mengingat siapa aku dan siapa Pak Dipta, aku memilih untuk berusaha melupakan semuanya meski aku yakin itu akan sulit.
“Rin, kok malah bengong, sih?”
“Ga, please, jangan tanya apa-apa dulu. Aku beneran lagi kacau, ini.”
“Harusnya kamu seneng karena orang yang kamu cari selama setengah tahun ini akhirnya ketemu.”
“Masalahnya, orang yang aku cari itu adalah anak Pak Dilan, Ga. Dan dia juga ingat aku. Mana tadi aku langsung kabur setelah dia tolong. Karyawan macam apa, aku, ini?” Aku meraup wajah kasar, lalu menelungkupkan kepala di atas meja.
“Ya udah, aku enggak tanya-tanya lagi. Sekarang habisin baksomu, terus kita naik.”
Aku mendongak, lalu mengangguk. “Iya.”
***
Hari ini aku sengaja pulang telat untuk membereskan pekerjaan karena besok tanggal merah dan langsung disusul weekend. Aku lebih baik bersusah-susah sekarang, jadi weekend bisa hibernasi sepuasnya. Lumayan, libur tiga hari berturut-turut.
Perusahaan tempatku bekerja menggunakan aturan delapan jam kerja dan lima hari masuk. Jam kerja begini sebenarnya bervariasi. Ada pula perusahaan yang menggunakan aturan tujuh jam kerja dan enam hari masuk. Jumlah jam yang baru saja kusebutkan tidak termasuk jam istirahat.
Biasanya, tiap-tiap perusahaan memiliki peraturan yang berbeda. Jadi, jangan heran kalau hari sabtu ada yang libur, ada pula yang masuk full, atau bahkan hanya masuk setengah hari. Peraturan seperti ini bisa berbeda lagi untuk karyawan pabrik atau bagian lain yang kiranya memang membutuhkan kebijakan khusus.
“Rin, ayo pulang!” Mas Emran membuka pintu ruanganku dan melongok masuk. Tadi, aku memang sudah memberitahu dia kalau aku akan ikut pulang telat.
“Iya, Mas. Ini lagi matiin komputer.”
“Pulang naik motor?”
“Ya jelas, Mas. Apalagi kalau bukan?” Aku nyengir.
“Di luar lagi hujan deras. Bawa jas hujan kan, ya?”
“Eh, hujan?”
Aku segera menoleh ke belakang, tepatnya ke arah jendela. Benar saja, di luar ternyata sedang hujan deras. “Ya ampun, gara-gara saking fokusnya, aku sampai enggak sadar lagi hujan, Mas.”
“Udah dari jam setengah empat. Ini aja aku mau buru-buru pulang karena istriku udah nunggu.”
“Enaknya yang pulang langsung disambut istri.”
Mas Emran tertawa. “Walaupun agak menggelikan, tapi kuakui memang enak, Rin. Beda jauh, lah, sama jaman masih lajang.”
Mas Emran ini bisa dibilang masih pengantin baru karena usia pernikahannya belum genap satu tahun. Dia menikah dua mingguan sebelum naik jabatan.
Rezeki istrinya, kali, ya?
“Aku doain semoga lekas ada kabar baik ya, Mas.”
“Aamiin.”
“Mas Emran duluan aja enggak papa. Aku bawa jas hujan, kok.”
“Lorong depan itu sepi kalau sore begini. Ayo, turun bareng.”
“Ya sudah, Mas. Tunggu dua menit.”
Dua menit berlalu, aku dan Mas Emran turun bersama menuju parkiran. Kami berpisah ketika Mas Emran jalan menuju mobilnya, sementara aku menghampiri motorku. Parkiran mobil dan motor memang dipisah supaya terlihat rapi.
“Karin, aku duluan, ya!” Mas Emran berhenti sejenak, dan aku yang sedang mengganti sepatu dengan sendal, langsung mengangguk.
“Iya, Mas, hati-hati! Salam buat Mbak Salma!”
“Ya!”
Meski saat ini sudah lewat jam pulang kerja, tetapi parkiran masih terang karena hampir tiap harinya selalu ada orang pulang telat atau bahkan lembur. Kalau tidak salah, gedung ini baru benar-benar sepi ketika jam sudah mendekati pukul sembilan malam.
Aku pernah dengar, terkadang Pak Dilan menginap di kantor ini kalau pekerjaan sedang menggunung. Memang tidak mudah jadi Bos. Kelihatannya saja ongkang-ongkang kaki, tetapi sebenarnya mereka memikul beban yang begitu berat di pundak.
“Kok jadi dingin, sih!” aku bergidik ketika tiba-tiba terasa seperti ada angin yang berembus di sekitarku. Aku buru-buru memasukkan sepatu ke dalam jok motor, lalu segera mengenakan jas hujan. “Aduh! Aku lupa beli jas hujan baru!”
Aku benar-benar tidak suka dengan jas hujan yang kumiliki sekarang. Tahu kan, jenis jas hujan kelelawar yang menurutku agak ribet untuk memakainya? Jas hujan ini aku beli secara mendadak dan tak sengaja ketika jas hujan lamaku sobek tercantol pagar restoran. Saat itu aku asal beli karena posisinya harus buru-buru pulang.
“Ish! Malah nyangkut!“ aku hendak melepas kembali jas hujanku ketika kurasakan kepalaku salah masuk lubang. Yang seperti ini bukan pertama kalinya. Hampir tiap kali aku buru-buru, jas hujan sialan ini selalu saja berulah.
Namun, belum sempat jas hujanku benar-benar terlepas, tiba-tiba aku merasa ada orang lain yang membantuku dari luar. Aku diam saja dan membiarkan dia mencarikan lubang yang benar untuk kepalaku.
“Ah! Selesai. Terimakas—“
Mendadak saja, kalimatku terhenti karena jantungku terasa seolah jatuh menembus lambung begitu melihat siapa yang baru saja menolongku memakai jas hujan. Tangannya masih berada di kedua sisi kepalaku, lalu detik berikutnya dia tersenyum tipis. “Kenapa tadi pagi malah kabur, Arin?”
“M-mas Riga— eh, Pak Dipta?”
***