16. Menghilang

1681 Kata
Kabut putih layaknya asap kini tengah menyelimuti sebuah hutan yang gelap. Suara hewan malam tampak saling bersahut-sahutan membelah kesunyian malam di dalam hutan kematian. Bahkan sesekali tampak terdengar suara lolongan hewan malam yang semakin menambah kesan misteri hutan kematian. Langit yang biasanya menaburkan gemerlap kemilau bintangnya kini tampak tertutup oleh awan hitam yang menyelubungi alam semesta. Sementara kini yang terlihat hanya secuil bulan sabit yang tampak mencoba menelusupkan cahayanya diantara awan gelap yang mengelilinginya. Sementara di dalam hutan kematian, tampak sedikit cahaya yang berasal dari api unggun kecil yang dibuat oleh beberapa prajurit yang ikut menyertai Kaisar Han. Dan tak jauh dari api unggun tersebut, tampak seorang tabib tengah melakukan pengobatan medis terhadap sesosok permaisuri yang masih dengan setia memejamkan kedua matanya. Disana tampak Tabib Zola mulai menempelkan beberapa lintah untuk menyedot racun yang terkandung dalam darah permaisuri. Ada sekitar 5 lintah yang digunakan Tabib Zola, masing-masing dari lintah tersebut diletakkan di area denyut nadi permaisuri pada kedua pergelangan tangannya. Dua lintah lainnya diletakkan di atas lipatan siku permaisuri, dan yang terakhir diletakkan pada leher Permaisuri tepat di bawah telinga sebelah kiri. Kaisar Han yang melihat bagaimana dengan rakusnya lintah tersebut menyedot darah pada tubuh Keyra tampak memasang raut wajah khawatir saat secara perlahan tubuh keyra semakin memucat akibat darah dalam tubuhnya yang semakin berkurang. "Tabib, kurasa cukup!" "Tunggu sebentar lagi Yang Mulia!" Mendengar perkataan tabib Zola membuat pandangan Kaisar Han semakin menggelap, ingin rasanya Kaisar Han mengambil paksa semua lintah yang telah menyakiti permaisurinya. Tapi ia mencoba meredakan emosinya hingga rahangnya tampak mengeras. Tabib Zola yang menyadari bahwa Kaisar Han tengah menahan emosinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan sedotan lintah tadi dengan menggunakan garam yang ia bawa. Tak lama setelah kelima lintah tadi telah terlepas dari tubuh permaisuri, perlahan kelima lintah tersebut tergeletak tak berdaya sebelum akhirnya mati secara perlahan. "Yang Mulia, waktu kita tidak banyak. Tampaknya kandungan racun yang telah tersebar dalam tubuh permaisuri sangat mematikan. Alangkah lebih baik jika Yang Mulia segera bergegas mencari tanaman lavender hitam untuk kesembuhan permaisuri." "Aku akan segera bergegas, jaga Permaisuri untukku!" "Baik Yang Mulia!" Sebelum berangkat mencari tanaman lavender hitam Kaisar Han menyempatkan diri guna memberikan sebuah kecupan singkat pada kening Permaisuri dan mencium bibir Keyra sekilas, sebelum akhirnya bergegas menunggangi kuda hitamnya untuk segera menuju kawasan lembah gunung kematian. Saat ini Kaisar Han tengah memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Ia tak mempedulikan dengan jalanan terjal yang tengah dilaluinya saat ini, yang ia pikirkan kini hanyalah bagaimana ia harus dengan secepatnya mendapatkan tanaman lavender hitam tersebut untuk kesembuhan permaisurinya. Kabut hitam yang menyelimuti hutan kematian secara perlahan mulai memudar sedikit demi sedikit saat mentari pagi tampak mulai menerobos di antara celah-celah lebatnya pepohonan yang menjulang tinggi dan besar dalam hutan kematian. Semakin memasuki lebih dalam lagi menuju lembah gunung kematian, justru kabut yang terdapat dalam hutan tersebut semakin pekat dan menghitam. Membuat Kaisar Han selama beberapa saat menghentikan pergerakan laju kudanya saat jalanan yang dilaluinya kini semakin terjal, belum lagi ditambah minimnya pencahayaan akibat kabut hitam yang semakin pekat menyelimuti lembah gunung kematian. Sehingga membuat Kaisar Han sedikit kesulitan dalam menemukan arah yang akan dia ambil. Salah melangkah sedikit saja, nyawa bisa saja menjadi taruhannya. Kaisar Han terus melajukan kudanya pada jalanan terjal yang cukup menanjak di hadapannya. Kaisar Han mengetahui jika ini tidak mudah, bahkan hampir beberapa kali kudanya terperosok menuju jurang. Namun beberapa kali pula Kaisar Han menarik kuat pelana kudanya agar tidak sampai terjatuh ke dalam jurang. Entah sudah berapa lama Kaisar Han terus melajukan kudanya hingga kini ia telah sampai pada puncak gunung kematian, barulah Kaisar Han mendapati bahwa kini matahari telah tepat berada di atas kepala. Kaisar Han menyadari bahwa waktunya sudah tidak lama lagi, dengan segera Kaisar Han turun dari kuda hitamnya dan mengikat kudanya pada salah satu pohon yang terdapat disana. Tak lama kemudian Kaisar Han melanjutkan niat awalnya untuk turun dan mulai perlahan menginjakkan kakinya untuk turun memasuki lembah gunung, karena sangat tidak memungkinkan baginya untuk menaiki kudanya guna turun ke bawah. Di bawahnya kini terdapat sebuah lembah yang cukup curam, ralat sangat curam. Lembah tersebut layaknya sebuah pusaran hitam yang terdiri antara tebing dan bebatuan terjal yang melingkupinya. Semakin ke bawah lembah tersebut semakin gelap seperti tak berpenghuni dan tak pernah terjamah sama sekali. Sempat terbasit keraguan dalam diri Kaisar Han selama beberapa saat. Tapi Kaisar Han kembali menepis kegusarannya saat kembali mengingat bagaimana kondisi Keyra saat ini. Setelah memantapkan hatinya, Kaisar Han kini mulai turun dengan berpijakan pada bebatuan berwarna hitam pekat. Bahkan hampir semua tanaman yang terdapat disini berwarna kehitaman, sehingga tidak heran jika tempat ini disebut hutan kematian karena apa pun yang terdapat disini mencerminkan kekelaman. Srettt Brukkk Sekuat tenaga Kaisar Han menahan pegangan tangannya pada bebatuan yang tengah dipegangnya kini. Pasalnya Kaisar Han baru saja kehilangan pijakan pada kakinya akibat tebing yang rapuh dan keropos, membuat Kaisar Han kini bagai terombang ambing antara menjatuhkan dirinya ke dalam lembah begitu saja atau tetap bertahan dengan berpegangan pada batu sedang yang tengah dipegangnya kuat-kuat saat ini yang entah sampai lapan mampu menumpu berat badannya. Kaisar Han memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya dengan keyakinan penuh, secara perlahan Kaisar Han melepaskan pegangan tangannya pada bebatuan yang menjadi satu-satunya pegangannya kini. Brukkk --- Dilain sisi terdapat segerombolan pria berpakaian serba hitam tengah mengendarai kudanya masuk ke dalam lembah gunung kematian. Tak lama kemudian mereka tampak bersembunyi dibalik beberapa semak-semak pohon yang cukup lebat. Mereka tampak mengamati apa yang kini tengah menjadi incaran mereka, mata mereka memincing tajam dengan kain yang menutupi sebagian wajah mereka layaknya seorang ninja. Selama beberapa saat tatapan mata mereka saling beradu, seolah saling berkomunikasi guna menciptakan sebuah isyarat melalui tatapan mata. Serempak mereka mengangguk sebelum pada akhirnya berpencar mencari posisi yang pas untuk mengepung target sasaran. Tabib Zola kini tengah serius mengupayakan berbagai cara guna terus memantau kondisi permaisuri yang kian menurun seiring mengikisnya waktu yang mereka miliki. Ia masih terus berupaya menjaga kestabilan kondisi permaisuri hingga Kaisar Han kembali dengan menggunakan berbagai peralatan medisnya. Sementara tak jauh dari Tabib Zola dan Permaisuri, tampak Panglima Lou berjalan mondar-mandir sambil sesekali matanya menatap awas pada apa pun disekitarnya. Perasaannya mendadak gelisah, seakan instingnya mengatakan bahwa akan ada hal buruk yang akan menimpa mereka. Bahkan Panglima Lou telah mengerahkan beberpa prajurit yang ikut bersama mereka agar berpencar mengamati keadaan disekitar mereka, tapi hingga saat ini beberapa prajurit yang dikerahkannya tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Membuat kegelisahan dalam diri Panglima Lou semakin menjadi, hingga akhirnya Panglima Lou memutuskan mengutarakan kegelisahannya pada Tabib Zola yang tengah dengan serius mengobati Permaisuri saat ini. "Tabib, aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.." Srettt Belum sempat Panglima Lou melanjutkan kalimatnya saat sebuah anak panah melesat tepat ke arahnya yang beruntung gerak refleknya lebih cepat untuk menghindar sehingga anak panah tersebut kini menancap dengan sempurna pada sebuah batang pohon yang memiliki diameter cukup besar. Setelah tersadar dari keterkejutannya, kini Panglima Lou dan Tabib Zola segera mengambil ancang-ancang untuk melindungi Permaisuri sebagaimana amanah yang telah diberikan Kaisar Han kepada mereka. "Tabib, kau hanya perlu fokus menjaga Permaisuri agar tetap aman. Jangan biarkan mereka melukainya, biar aku yang akan menangani mereka!" "Hati-hati! Aku yakin mereka bukan orang sembarangan, dan jumlah mereka tidak sebanding dengan kita." Panglima Lou hanya mengangguk mendengar perkataan Tabib Zola sebelum pada akhirnya muncul kira-kira tujuh orang dengan pakaian serupa serba hitam kini tengah mengepung mereka. Panglima Lou dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi mulai maju dengan menarik kuat pedang yang selalu dibawanya hingga akhirnya pertarungan sengit pun tidak bisa terelakkan. Dengan tatapan tajam khas seseorang panglima yang tengah bertempur dalam medan peperangan, Panglima Lou mulai melancarkan serangan bertubi-tubi pada lawan di depannya. Panglima Lou pada awalnya merasa bisa mengalahkan lawan di hadapannya, akan tetapi seiring jumlah lawan yang dihadapinya semakin bertambah membuat Panglima Lou cukup merasa kewalahan. Ditambah dengan menghilangnya para prajurit yang ditugaskan untuk memantau keadaan sekitar yang tak kunjung kembali, membuat Panglima Lou semakin yakin bahwa ini semua telah direncanakan dengan baik. Panglima Lou kini telah berhasil menumbangkan dua diantara ketujuh orang yang tengah mengepungnya kini. Merasa bahwa jumlah mereka kini berkurang, maka serempak tiga orang berpakaian hitam itu langsung maju melawan Panglima Lou. Panglima Lou merasa sedikit kewalahan menghadapi serangan dari ketiga pria berpakaian serba hitam itu, apa lagi dengan kemampuan mereka yang tidak bisa dianggap cetek. Mereka kompak melancarkan serangan-serangan yang berpotensi melukai titik-titik vital pada diri Panglima Lou, berusaha mempersempit ruang gerak Panglima Lou untuk menghindar. Srettt Seketika Panglima Lou memegangi bagian bahunya yang telah berhasil tergores oleh pedang musuh. Tidak menyerah, Panglima Lou kembali mengayunkan pedangnya hingga mengenai lengan dan bagian pinggang kedua lawannya. Tanpa diduga, satu dari ketiga lawan panglima Lou yang tidak terluka langsung menyerang bagian kaki Panglima Lou, sehingga membuat Panglima Lou jatuh berlutut saat merasakan perih pada bagian pahanya. Tidak jauh berbeda dengan Panglima Lou, kini Tabib Zola juga tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ia ditugaskan untuk menjaga Permaisuri dengan segala risiko yang ditanggungnya, akan tetapi keberadaan kedua musuh yang secara terang-terangan terlihat menatap penuh minat pada Permaisuri mau tak mau membuatnya ikut serta bertarung melawan kedua musuh dengan pakaian serba hitam. Tabib Zola memang tidak terlalu mahir dalam berperang, akan tetapi ia cukup tau bagaimana cara menghadapi musuh disaat genting seperti saat ini. Dengan mantap, Tabib Zola mengambil pedang yang berada tidak jauh darinya dan memulai pertarungan dengan kedua musuh di hadapannya. Perkiraan Tabib Zola yang mengatakan bahwa mereka bukan orang sembarangan memang terbukti benar, saat kini ia telah mendapati bahwa mereka telah berhasil meringkus Panglima Lou yang terkenal sangat pandai dalam medan peperangan hingga dalam kondisi luka disana-sini. Tabib Zola yang menyadari bahwa mereka bukan lawan yang seimbang untuknya, kini berusaha memutar otak untuk menyelamatkan Permaisuri. Prankkk Belum sempat menemukan jalan keluar untuk menyelamatkan Permaisuri, kini pedang yang tengah dipegang Tabib Zola telah berhasil ditepis hingga melayang dan jatuh sejauh lima meter dari tempatnya kini. Dengan berbagai luka sayatan diberbagai tubuhnya, Tabib Zola masih berusaha beringsut mendekati Permaisuri yang dalam kondisi kritis. "Maa_afkan saya Permaisuri.." Bughhh Tabib Zola tersungkur beberapa meter dari tempatnya tadi saat mereka dengan tak berperasaan semakin melayangkan hantaman dan tinjuan diseluruh tubuhnya sehingga kondisinya kini tak jauh berbeda dengan Panglima Lou. "Apa yang harus kita lakukan." "Taburi mereka bubuk ini, dan bawa secepatnya gadis ini pergi dari sini!" Sesuai perintah salah satu pria berpakaian hitam tersebut, mereka segera menaburkan bubuk putih pada Panglima Lou dan Tabib Zola yang telah terikat pada sebuah batang pohon yang berseberangan. Tak lama kemudian pandangan mata dari Panglima Lou dan Tabib Zola mulai berkabut sebelum pada akhirnya kesadaran mengambil alih dunia mereka. To be Continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN