Hawa sejuk pepohonan yang bergerak melambai tertiup desauan angin tampak menerbangkan beberapa helai dedaunan yang terjatuh dari pohonnya. Suasana semilir angin yang tenang juga tampak menggoyangkan ilalang yang disambut dengan beberapa biji bunga dandelion yang tengah berkelana mencari jati diri.
Sorotan sewarna jingga kekuningan tampak menghiasi langit bagaikan taburan cat kanvas yang sengaja ditorehkan pada sebuah kain putih di tengah keheningan yang menenangkan jiwa. Warna demi warna ia bubuhkan pada selembar kain yang perlahan mulai membentuk sebuah panorama alam yang begitu menawan dan menakjubkan. Suatu lukisan mengenai keindahan alam yang coba ia abadikan dalam suatu perpaduan berbagai macam cat kanvas dan juga kuas.
Tak lama kemudian, sosok tersebut menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk seulas senyum tipis yang menawan. Tampak lesung pipit muncul pada pipi sebelah kirinya, yang semakin menambah ketampanan dalam dirinya. Merasa puas dengan hasil karya tangannya, pria tersebut lantas mengambil lukisan tersebut dan membawanya dengan senyum tipis yang tak kunjung luntur dari bibirnya.
Setelah sampai pada suatu ruangan yang cukup luas, pria tersebut tertuju pada dinding kayu yang kokoh dan dengan perlahan memajang lukisan panorama alam tersebut disana. Lagi-lagi, tatapan matanya yang tajam berpendar menuju ke seluruh penjuru ruangan, dan seketika tatapan matanya melembut saat mendapati sesosok yang tengah berbaring di atas ranjang berukuran sedang itu.
Langkah kakinya perlahan mendekat ke arah ranjang tempat gadis tersebut memejamkan kedua matanya dengan damai. Wajahnya yang pucat tetap tak mengurangi kecantikan alamiah yang melekat pada dirinya, membuatnya kembali merasakan perasaan aneh yang selalu merasuki dadanya setiap melihat wajah cantik tersebut. Meski baru beberapa hari yang lalu ia melihat dan bertemu dengan gadis tersebut, akan tapi sudah mampu membuat perasaannya menghangat dan berdebar disaat yang bersamaan.
Apa mungkin ini yang dinamakan perasaan jatuh cinta sejak pandangan pertama?
Mendapati pemikirannya tadi, membuat pria tersebut kembali mengulas senyumnya, tak memungkiri perasaan hangat yang dirasakannya kini. Karena jika memang apa yang dirasakannya kini memang cinta, maka ia akan tetap mempertahankannya dan berupaya agar wanita yang dicintainya kini juga akan merasakan hal yang sama.
Samar-samar, suara derap langkah kaki yang mendekat dan tampak semakin jelas dalam sekejab telah melunturkan senyum manis yang semula bertengger di bibir tipisnya. Saat tampak dua orang masuk ke dalam kamar tempat gadis tersebut terbaring dalam damainya.
"Permisi Pangeran, saya selaku tabib akan memeriksa keadaan Putri Akaira Zang Lie." Tabib yang diperkirakan berusia setengah abad tersebut membungkuk hormat kepada Pangeran Zenix sebelum akhirnya memeriksa keadaan Putri Zang Lie.
Pangeran Zenix sedikit menggeser tubuhnya sedikit guna memberikan ruang bagi tabib Kuang dan asistennya agar bisa memeriksa putri Zang Lie, tetap dengan tatapan matanya yang tidak terlepas menatap tubuh putri Zang Lie yang masih setia memejamkan kedua matanya dalam damai.
"Apakah ada perubahan?"
Tabib Kuang hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan pangeran Zenix, sementara pangeran Zenix sendiri tetap menampilkan ekspresi datarnya melihat jawaban tak langsung dari tabib Kuang.
"Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung?"
"Kemungkinan sampai batas waktu yang tidak bisa diprediksikan Pangeran, hanya keajaiban yang dapat menyadarkan putri Zang Li dari tidur panjangnya Pangeran."
"Kau boleh pergi." Setelahnya, sang tabib mohon undur diri disertai dengan penghormatan singkat sebelum beranjak keluar dan kembali menutup pintu kamar dengan rapat. Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut pangeran Zenix seusai perginya tabib Kuang dari kamar Putri Zang Lie.
Kini langkah kaki pangeran Zenix semakin mendekat pada ranjang Putri Zhang Lie yang masih memejamkan kedua matanya, sebelah tangannya terangkat guna menyentuh wajah pucat Putri Zhang Lie yang terasa dingin.
"Cepatlah bangun, ada banyak hal yang ingin aku ketahui tentangmu."
***
Suasana mencekam dengan aura kemarahan yang menguar begitu kuat kini seolah tengah memenuhi keseluruhan istana kerajaan Blutenblat. Setiap orang yang berada disana seolah lebih memilih menundukkan kepalanya dengan begitu dalam karena perasaan takut yang memenuhi relung d**a mereka akibat murka sang Kaisar yang tengah meledak. Keadaan istana yang terasa hening, seolah-olah semakin memberikan perasaan takut yang begitu mengancam bagi siapa pun yang mencoba membuka suara.
Para perdana menteri, panglima Lou, tabib Zola, dan beberpa prajurit yang berada dalam aula besar tersebut kini tengah menundukkan kepala mereka dengan begitu dalam memberi penghormatan atas kemurkaan sang kaisar. Tidak ada diantara mereka yang membuka suara untuk meredakan kemarahan kaisar, karena jika mereka salah berbicara sedikit saja yang mampu menyulut emosi kaisar semakin meledak, maka nyawa mereka akan menjadi taruhannya.
"Ampun Yang Mulia." Suara dari Panglima Lou yang pertama kali memberanikan diri angkat suara, membuat tatapan mata Kaisar Han yang begitu berkobar api kemarahan kini memincing tajam memandang Panglima Lou dengan tatapan mematikannya.
Sejenak, keringat dingin tampak menetes di kening Panglima Lou saat menyadari tatapan tajam Kaisar Han yang ditujukan padanya. Bahkan, suaranya pun terasa tercekat ditenggorokan akibat perasaan takut yang menggelayuti dadanya.
"Saya sudah menggerahkan pasukan terbaik saya untuk menyisir bagian hutan kematian dan sekitarnya, akan terapi tidak ada jejak yang ditinggalkan oleh sekawanan kelompok yang menculik permaisuri Yang Mulia. Mereka menghilang seolah tanpa bekas."
Ekspresi Kaisar Han mengeras, pupil matanya yang sewarna darah menggelap dengan rahang mengeras dan kedua tangan yang saling mengepal kuat pertanda kemarahannya.
"Kerahkan lebih banyak prajurit lagi untuk menyisir kawasan hutan kematian, dan terus mencari jejak sekecil apa pun yang bisa menjadi petunjuk mengenai keberadaan permaisuri saat ini." Kaisar Han berkata dengan nada datar yang begitu menyimpan peringatan tersirat dan amarah yang coba dikontrol hingga suaranya terdengar bagai desisan mengerikan bagi setiap orang yang mendengarnya.
"Yang Mulia." Kini tatapan mata tajam Kaisar Han beralih pada Tabib Zola yang berada tak jauh dari Panglima Lou dalam posisi berlutut dengan kedua tangan menyatu di atas kepala.
"Mohon ampun Yang Mulia, saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya."
Kaisar Han tetap bergeming, menanti kelanjutan perkataan tabib Zola dengan tatapannya yang tajam.
"Melihat dari kondisi permaisuri Keyra pada saat penculikan itu berlangsung, saya cukup merasa ragu apakah permaisuri bisa bertahan tanpa obat penawar racun tersebut hingga saat ini."
Sorot wajah Kaisar Han semakin menggelap saat mendengar penuturan tabib Zola yang meski pun pemikirannya berusaha menolak dengan tegas, akan tetapi logikanya mengiyakan segala kemungkinan kebenaran dari apa yang diungkapkan oleh tabib Zola.
"Jadi secara tidak langsung kau mengatakan bahwa permaisuriku telah meninggal, begitu tabib."
Suara kaisar Han yang begitu murka langsung mengalun memenuhi aula tersebut, disertai dengan pedang berukiran naga milik sang Kaisar yang telah dilepas dari sarungnya, dan kini telah teracung tepat di hadapan wajah tabib Zola yang semakin memucat.
"Mohon ampun Yang Mulia, hamba tidak bermaksud. Hamba memang mengatakan kemungkinan yang bisa terjadi, meski masih ada harapan bahwa permaisuri masih bisa bertahan jika para penculik itu telah memberikan obat penawar dari tanaman lavender hitam pada Permaisuri Keyra."
Hening, suasana kembali hening untuk beberpa saat ketika Kaisar Han mencoba menelaah setiap kalimat yang diucapkan tabib Zola.
"Saat mengambil tanaman lavender hitam, aku melihat ada sebagian tanaman lavender hitam itu yang telah tercabut, hingga menyisakan sedikit untuk kuambil sisanya."
Pandangan Kaisar Han menerawang saat ia berhasil terjun menuju lembah gunung kematian dengan beberapa luka pada tubuhnya dan sebelum kemudian ia mengambil tanaman lavender yang berhasil ditemukannya tanpa menaruh curiga bahwa terdapat bekas cabutan tanaman serupa dari tanaman lavender hitam itu. Yang berarti, telah ada seseorang yang mendahuluinya untuk mengambil tanaman tersebut sebelum dirinya. Kaisar Han tidak terlalu mempedulikan hal itu sebelumnya, karena yang ada dipikirannya saat itu hanya keselamatan Keyra dan keterbatasan waktu yang dimilikinya untuk menyelamatkan Keyra.
"Jika memang itu yang terjadi, ada beberapa kemungkinan. Penculikan yang dilakukan terhadap permaisuri Keyra telah direncanakan dengan begitu matang, namun kita tidak mengetahui apa maksud dan tujuan mereka menculik Permaisuri Keyra yang masih menjadi pertanyaan kita hingga saat ini." Tabib Zola menyambung ungkapan yang dipaparkan Kaisar Han dengan jawaban logis sehingga mampu diterima oleh Kaisar Han.
"Segera cari informasi apa pun yang dapat memberikan petunjuk mengenai dalang dari penculikan Permaisuri Keyra dan juga cari sampai ketemu siapa yang telah berani meracuni Permaisuri." Titah Kaisar Han mutlak yang langsung diangguki serempak oleh seluruh orang yang ada dalam aula rapat tersebut.
"Saya sudah mengerahkan prajurit saya untuk menangkap seluruh juru masak yang bertugas melayani permaisuri dan seluruh dayang yang memberikan makanan pada Permaisuri Keyra Yang Mulia." Panglima Lou berkata dengan nada hormat saat memberikan laporan mengenai usaha penyelidikannya untuk menangkap siapa orang yang telah meracuni permaisuri.
"Apa yang kau dapat panglima?"
"Seluruh dayang istana tidak ada yang mengaku bahwa mereka terlibat dalam upaya meracuni Permaisuri Keyra Yang Mulia, bahkan saat para prajurit telah bertindak tegas akan tetapi mereka sama sekali tidak ada yang mau mengaku."
"Siapkan hukuman pancung besok pagi bagi semua para dayang tersebut yang telah lalai hingga sampai berhasil meracuni permaisuri."
Semuanya terdiam, hanya mampu mengangguk atas segala perintah yang telah ditetapkan oleh Kaisar Han tanpa ada yang berani membantah mau pun menyangggah. Nasib para dayang maupun seluruh juru masak yang bertugas melayani permaisuri akan mendapatkan hukuman penggal esok hari, tidak peduli apakah mereka bersalah atau tidak. Karena diantara mereka tidak ada yang mengaku, maka hukuman penggal akan disama ratakan.
Setelahnya, satu persatu orang yang berada dalam aula besar tersebut meninggalkan aula hingga menyisakan Tabib Zola, dan Panglima Lou, serta Kaisar Han sendiri di dalamnya. Setelah memastikan bahwa semua orang yang berada dalam lingkup aula pertemuan tadi telah benar-benar beranjak pergi, barulah Panglima Lou kembali angkat suara.
"Yang Mulia!" Panglima Lou menunduk hormat sejenak, sebelum akhirnya menyerahkan sebuah lencana berbentuk bintang berwarna emas dengan ukiran angsa di tengahnya yang berwarna merah darah pada Kaisar Han.
"Hamba mendapatkan lencana tersebut pada saat menyisir perbatasan hutan kematian, yang lokasinya berada tak jauh dari tempat insiden penculikan permaisuri berlangsung."
Kaisar Han mengamati lencana dalam genggaman tangannya dengan ekspresi datar yang sulit diartikan. Untuk kali ini, tampaknya Kaisar Han telah bisa menguasai emosinya hingga mampu mengatur ekspresi datarnya seperti biasa.
"Tentu kau mengetahui darimana lencana ini berasal Panglima."
Panglima Lou mengangguk dengan tegas, "tentu hamba mengetahuinya, lencana tersebut berasal dari Kerajaan Barak. Kerajaan terbesar ke-tiga setelah Kerajaan Elsikir, dan Kerajaan Blutenblatt," ujar Panglima Lou dengan suara mantap seolah telah mengetahui maksud dari pertanyaan Sang Kaisar secara tidak langsung.
"Bagus! Segera siapkan 3000 pasukan berkuda, 2000 pasukan bayangan, 1000 pasukan yang akan menyerang dari jarak jauh, serta 500 pasukan pemanah. Secepatnya kita akan menyerang Kerajaan Barak." Kaisar Han berkata dengan tegas dengan kilat api kemarahan yang tampak jelas dari kedua bola matanya.
"Akan tetapi Yang Mulia," Tabib Zola mencoba menyanggah keputusan Kaisar Han yang menurutnya terlalu gegabah dalam mengambil kesimpulan. Apalagi Kerajaan Barak bukanlah kerajaan kecil yang bisa mereka kalahkan dengan cukup mudah. Tentu akan terdapat banyak korban jiwa jika sampai mereka melakukan pertempuran tanpa adanya rencana serta strategi penyerangan yang matang.
"Kau berani melawan titahku." Tatapan Kaisar Han menajam, seolah menghunus Tabib Zola dalam euforia menakutkan yang seketika membuat nyalinya menciut, akan tetapi ia kembali menguatkan tekadnya demi kelangsungan kerajaan ini.
"Saya sama sekali tidak ada hak untuk membantah atau pun melawan titah Anda Yang Mulia, saya hanya ingin Anda berpikiran lebih jernih lagi, karena bagaiman pun Kerajaan Barak bukanlah kerajaan kecil yang bisa kita serang begitu saja. Kita harus melakukan pertemuan penting untuk mengatur strategi yang matang, dan agar tidak menimbulkan perpecahan antar kekaisaran karena telah menyerang kerajaan Barak yang termasuk dalam tiga Kerajaan besar dalam Dinasti Ying."
Kisar Han termenung dalam sesaat, penuturan Tabib Zola tidak bisa ia abaikan begitu saja, karena apa yang dikatakan Tabib Zola memang benar adanya. Jika ia terlalu gegabah menyerang Kerajaan Barak, maka ia sama saja dengan menyulut perselisihan dengan kerajaan lain. Sehingga besar kemungkinan akan muncul sekumpulan pemberontak yang akan bergabung dengan beberapa kerajaan lain untuk menggalang pasukan yang berpotensi untuk menggulingkan Kekaisaran yang dipimpin oleh Kaisar Hanover Maximilan.
"Kalau begitu kirimkan mata-mata terbaik untuk menyusup dalam lingkup Kerajaan Barak, cari hal-hal mencurigakan yang terdapat dalam istana dan laporkan padaku segera."
"Baik Yang Mulia!"
Setelahnya, Panglima Lou dan Tabib Zola mohon undur diri untuk meninggalkan ruangan tersebut hingga menyisakan Kaisar Han seorang diri. Ia kembali merenung, dengan kedua tangan yang dikepalkannya. Pikirannya saat ini kacau, hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih dan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang yang malah hanya akan mempersulit keadaan. Untunglah tadi Tabib Zola sempat mengingatkannya mengenai konsekuensi dari keputusan gegabahnya. Jika tidak, tentu saja kelangsungan kekaisaran ini akan dipertaruhkan.
"Keyra, aku yakin kau masih hidup."
***
Di tempat lain, dalam suasana remang yang melingkupi sebuah ruangan, tampak beberapa orang tengah berkumpul untuk melakukan sebuah diskusi yang cukup penting. Masing-masing dari mereka memakai tudung sewarna hitam untuk menyamarkan diri mereka dalam remang cahaya.
Meja berukuran cukup besar yang berbentuk bundar di tengah para orang bertudung tersebut seolah menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan dengan sebatang lilin berwarna merah yang berdiri tegak di tengahnya.
"Bagaimana misi kita selanjutnya?" Salah seorang pria bertudung hitam tersebut bertanya dengan suara beratnya yang terasa misterius.
"Kita akan melakukan adu domba antar dua kerajaan besar, hingga rencana kita untuk menggulingkan tahta kekaisaran terwujud." Salah seorang lagi yang berada dalam ruangan tersebut menjawab dalam desisian dingin. Seringai tajam tampak muncul dari sudut bibirnya yang menyimpan begitu banyak rencana tak terduga dalam setiap perkataannya.
To be Continued...