18. Terbangun

1626 Kata
Tampak seorang informan kepercayaan Kaisar Han kini tengah menunduk dengan hormat di hadapan Kaisar Han barang sejenak. Dalam suasana ruangan yang remang dengan hanya dihiasi oleh beberapa lilin yang terdapat dalam ruang kerja pribadi Kaisar Han. Di Sana berdiri dengan tegap Sang Kaisar yang tampak memandang lurus ke depan, dengan Hugo yang merupakan tangan kanan kepercayaannya berdiri di belakangnya siap menerima titah dari Sang Kaisar untuk dijalankan olehnya. "Kau tentu tau apa maksud tujuanku menyuruhmu kemari Hugo." "Tentu saya mengetahuinya Yang Mulia. Tapi sebelumnya saya ingin menyampaikan beberapa hal mengenai pengamatan yang telah saya lakukan." "Katakan!" Titah Kaisar Han tegas menunggu setiap kalimat yang akan disampaikan oleh Hugo padanya. "Saya telah menyelidiki mengenai seseorang yang sebelumnya telah berniat mencelakai Permaisuri dengan menggunakan anak panah." Ekspresi Kaisar Han seketika mengeras mendengar penuturan Hugo yang mengatakan bahwa ada seseorang yang telah dengan berani berniat mencelakai permaisurinya dalam lingkup istana ini ketika dia tengah berada dalam medan perang. Perlahan Kaisar Han membalikkan badan sepenuhnya menghadap pada Hugo, menanti setiap informasi yang akan didapatinya mengenai sesosok orang yang telah mencelakai Keyra. "Pada saat peristiwa itu berlangsung, beruntung posisi saya berada tidak terlalu jauh dari Permaisuri Keyra sehingga pada saat anak panah tersebut melesat ke arah Permaisuri saya masih bisa berusaha melindungi Permaisuri dengan menjadikan diri saya sendiri sebagai tameng. Lalau setelah itu saya segera bangkit untuk mengejar sesosok berpakaian serba hitam yang telah melayangkan anak panah pada Permaisuri." "Apakah kau berhasil menagkapnya?" "Mohon maaf Yang Mulia, saya gagal menangkap penyusup tersebut dikarenakan luka pada anak panah yang mengenai lengan kiri saya sepertinya mengandung racun hingga membuat tubuh saya lemas dan kehilangan kesadaran setelahnya." Suasana dalam ruangan yang remang itu seketika semakin terasa mencekam seiring dengan kemurkaan Kaisar Han yang tertahan. Kedua tangan Kaisar Han terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, ekpresi Kaisar Han tampak begitu kelam dengan kedua rahang yang saling menekan keras saat menyadari bahwa orang yang telah mencelakai permaisurinya saat ini masih berkeliaran dengan bebas di luar sana. "Lalu apa lagi yang kau dapatkan." Tak lama kemudian Hugo mengeluarkan sebusur anak panah berukuran kecil yang terbungkus kain lusuh dari balik pakaiannya kepada Kaisar Han yang langsung mengamati anak panah tersebut dengan kilat mata tajamnya yang berwarna merah darah. "Anak panah tersebut bukanlah anak panah sembarangan, hanya keluarga bangsawan dengan tingkat kasta tinggi yang memiliki anak panah tersebut Yang Mulia." Mendengar jawaban dari Hugo membuat Kaisar Han menipiskan bibirnya membentuk seringai mengerikan yang bahkan membuat Hugo selaku tangan kanan Kaisar Han merasakan perasaan was-was ketika melihatnya. "Keluarga bangsawan Dieng," senyum misterius itu kini semakin terukir jelas pada wajah Kaisar Han sebelum ia melanjutkan perkataannya, "aku akan mengerahkan orang kepercayaanku untuk meluluh lantahkan kediaman Bangsawan Dieng hingga merata dengan tanah." Hugo yang telah menjadi tangan kanan Kaisar Han selama hampir sepuluh tahun hidupnya, seharusnya tidak lagi merasa terkejut atas apa yang diucapkan Kaisar Han dengan nada mendesis tajam itu, akan tetapi tubuhnya tetap merasa menciut setiap melihat secara langsung kekejaman Kaisar Han bagi siapa saja yang telah berani melawan kehendaknya, apalagi dengan mencelakai seseorang yang cukup berarti baginya. Bahkan Hugo berani bersumpah bahwa dia tidak akan pernah sekali pun berani menghianati Kaisar Han dengan alasan apa pun meski nyawa taruhannya. *** Pada keesokan harinya, berita mengenai penyerangan terhadap para Bangsawan Dieng telah menyebar rata ke seluruh penghuni istana dan para penduduk. Banyak diantara mereka yang bertanya-tanya mengenai siapa yang telah memusnahkan bangsawan tinggi Dieng hingga kini telah merata dengan tanah. Tapi melihat sikap dan respon Kaisar Han yang seolah tidak terlihat kaget mau pun risau akan hal itu, malah beliau tampak terlihat cukup puas setelah mendengar berita kemusnahan para Bangsawan Dieng sampai ke telinganya. Melihat dari cara respon Yang Mulia Kaisar Han, membuat beberapa orang mengambil kesimpulan jika apa yang telah terjadi pada Bangsawan Dieng adalah atas campur tangan Kaisar Han sendiri. "Kuharap dengan kejadian ini, bagi siapa saja yang berani melakukan kudeta pada kerajaanku dapat berpikir ulang jika kalian memang masih sayang pada nyawa dan keluarga kalian." Itu adalah kalimat penutup yang dilontarkan Kaisar Han dengan menampakkan wajah bengisnya disertai tatapan mata tajamnya yang seolah menghunus setiap orang yang menghadiri rapat kali ini. Suara gemerisik jubah Kaisar Han seolah membuat setiap orang yang hadir dalam rapat singkat tersebut seketika menahan napas sejenak saat Kaisar Han berjalan melalui mereka, hingga ketika sosok Kaisar Han telah menghilang di balik pintu besar berdaun dua pada ruang rapat tersebut, barulah mereka bisa menarik napas lega setelah terjadi ketegangan saat Sang Kaisar masih berada dalam ruang rapat kerajaan tadi. *** Dalam Istana Tumbuhan yang lokasinya berada tak jauh dari Istana Merah, tampak sesosok Tabib Zola yang kini tengah berjalan berdampingan dengan Panglima Lou untuk meminta beberapa obat yang diperlukannya untuk mengatasi luka yang terdapat pada lengannya. Kemudian tampak keduanya berjalan memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat berbagai macam jenis obat-obatan yang ditata tapi pada sebuah rak kayu dengan ukiran serupa tumbuhan sehingga tampak elegan. "Kudengar, Kaisar Han baru saja meluluh lantahkan bangsawan tinggi Dieng karena telah melakukan kudeta." tabib Zola memecah keheningan dengan bertanya mengenai apa yang baru saja di dengarnya dari beberapa prajurit maupun para menteri. "Iya tabib, kau benar. Bahkan Kaisar sendiri yang memintaku untuk menyiapkan para prajurit kepercayaanku untuk segera melenyapkan para bangsawan arogan itu." "Jadi luka yang kau dapatkan ini," tabib Zola tampak menghentikan pertanyaan seraya menatap luka melintang yang terdapat pada lengan Panglima Lou. "Ya, beberapa dari mereka melakukan perlawanan hingga memberiku luka ini. Tapi itu sepadan ketika aku dan para prajuritku berhasil meluluh lantakkan mereka dengan tanah." tak ada bentuk penyesalan atau empati apapun yang diucapkan Tabib Zola mengenai tugasnya untuk meluluh lantahkan para Bangsawan Dieng. "Kau benar-benar terdengar tidak memiliki sisi manusiawi saat mengatakannya." "Aku tidak peduli, toh aku melakukannya atas perintah Kaisar. Lagi pula, aku benar-benar merasa muak dengan segala tipu muslihat mereka selama ini." Panglima Lou menjawab acuh pernyataan Tabib Zola dengan nada muak yang tak disembunyikan. "Baiklah, ini obat yang bisa kau gunakan agar lukamu cepat mengering. Dan juga ini ramuan yang bisa kau minum untuk menjaga kondisimu dari dalam agar dapat melakukan pemulihan secara lebih cepat." "Haruskah aku meminumnya?" Panglima Lou menatap ramuan berwarna hijau lumut kental yang berasal dari beberapa jenis tanaman obat yang terlihat begitu menjijikkan baginya, membuatnya mengernyit sejenak merasa tak yakin dengan perkataan Tabib Zola. "Tidak, kau cukup harus menegaknya dalam sekali tarikan napas, dan semuanya akan selesai." "Bukannya itu sama saja." Panglima mendengus pelan mendapati jawaban Tabib Zola yang terkesan tidak membantunya sama sekali. "Aku akui kau memang seorang Pamglima, dan kemampuanmu dalam bermain pedang sangatlah hebat, tapi itu semua tidak sepadan saat kau bahkan tidak bisa menghabiskan seteguk ramuan obat. Ck, payah." Mendengar nada mengejek yang terlihat jelas sedang digunakan Tabib Zola untuk memanas-manasinya membuat Panglima Lou hanya bisa memutar bola matanya kesal. "Terserah." "Mengingat-ingat mengenai kau yang tidak bisa meminum obat, aku jadi teringat pada Permaisuri Keyra." Mendengar kata Permaisuri Keyra disebut, membuat Panglima Lou yang tadinya merasa kesal kini beralih menatap Tabib Zola dengan pandangan penuh tanda tanya. "Memangnya kenapa dengan Permaisuri Keyra?" "Dulu sewaktu Permaisuri Keyra sakit, dia juga tidak bisa meminum obat sama sepertimu." "Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan tabib?" Panglima Lou semakin merasa penasaran saat melihat tatapan Tabib Zola yang tampak menerawang seolah mengingat kembali kejadian itu. "Aku tidak melakukan apa pun," Tabib Zola menatap Panglima Lou dengan senyum penuh artinya, "tapi Kaisarlah yang melakukannya." "Maksudmu?" "Yah, kaisar sendirilah yang membuat Permaisuri meminum ramuan obat itu hingga tandas." "Bagaimana caranya?" Melihat Panglima Lou yang terlihat semakin penasaran, justru membuat Tabib Zola semakin menyunggingkan senyum misteriusnya. "Sebenarnya ini rahasia," Tabib Zola tampak mengulur-ulur waktu, ia sengaja membuat Panglima Lou semakin merasa penasaran karenanya. "Katakan tabib." "Kaisar menggunakan dirinya sebagai sarana, kau tau maksudku?" Tabib Zola tampak berpikir sejenak sebelum kembali melanjutkan perkataannya, "yah, Kaisar Han berinisiatif meminumkan obat itu pada Permaisuri melalui bibirnya." Selama beberapa saat, Panglima Lou terdiam berusaha mencerna maksud perkataan Tabib Zola pada otaknya, sebelum kemudian wajahnya memerah malu saat perlahan mulai mengerti maksud perkataan Tabib Zola. Suara tawa Tabib Zola pun akhirnya pecah saat melihat wajah Panglima Lou yang memerah layaknya tomat busuk, sangat kontras dengan wajah sangarnya yang biasanya hanya berupa tatapan datar atau bengis miliknya. "Tapi sayangnya, setahuku kau bahkan tidak memiliki seorang kekasih yang bisa membantumu untuk meminum ramuan obat itu, seperti layaknya apa yang dilakukan Kaisar Han pada Permaisuri Keyra. Apa perlu aku memanggilkan salah satu wanita bordil untuk membantumu meminum obat?" Tabib Zola menaik turunkan kedua alisnya semakin berniat menggoda Panglima Lou. "Sialan!" Suara gelak tawa langsung saja keluar dari bibir Tabib Zola saat melihat raut wajah kesal Panglima Lou yang langsung bergegas meninggalkan ruangannya dengan sesekali mengumpat kasar pada sang tabib. "Katakan padaku jika kau memang membutuhkan seorang wanita untuk membantumu meminum obat." Panglima Lou yang sudah berada diambang pintu mansion Tabib Zola kembali mendengus mendengar nada penuh ejekan yang sengaja dilontarkan Tabib Zola dengan nada sedikit dikeraskan padanya, membuat tawa dari Tabib Zola semakin keras hingga terdengar dari luar mansionnya. *** Ruangan sederhana dalam lingkup sudut istana uang terletak cukup terpencil dan jauh dari tempat istana utama, tampak seorang pemuda yang tak lain Pangeran  Zenix seperti biasa menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Putri Akaira Zhang Lie yang masih dengan setia memejamkan matanya seolah tak kenal lelah. Tatapan mata serwarna biru laut miliknya tampak berpendar, menatap lembut sosok di hadapannya, tangannya terulur guna menggenggam jari-jemari sang putri yang terasa dingin dan membawanya dalam genggaman tangannya yang hangat untuk kemudian dikecupnya punggung tanga sang putri yang juga terasa dingin. Bahkan denyut nadi sang putri pun begitu terasa lemah saat Pangeran Zenix memeriksanya, membuat Pangeran Zenix hanya bisa menghembuskan napas pelan. "Cepatlah terbangun." setelahnya, Pangeran Zenix beranjak berdiri dari posisi duduknya di samping ranjang sang putri dan melayangkan satu kecupan hangat pada kening Putri Akaira Zhang Lie. Pangeran Zenix pun akhirnya beranjak meninggalkan kamar sang putri dengan sebuah harapan besar bahwa Putri Akaira akan segera terbangun dari tidur panjangnya. Tak beberapa lama kemudian, tampak kelopak mata yang terpejam itu sedikit demi sedikit mulai menunjukkan pergerakan kecil. Hingga pada akhirnya, sedikit demi sedikit dari pergerakan itu membuat kedua kelopak mata sang putri yang telah tertidur panjang kini membuka secara perlahan, menampakkan kedua iris matanya yang sewarna coklat terang. To be Continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN