Beberapa pasang mata mengarah kepada Agam. Ia berusaha mengontrol diri agar tidak gelisah dan cemas. Efek pemberitaan tentang kedua orang tuanya satu tahun yang lalu sangat mempengaruhi kondisi psikis Agam. Itu juga yang menjadi penyebab ia tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian Agam benar-benar berubah.
Agam hanya memesan makanan, setelah itu ia buru-buru kembali ke kamar rawat Zia. Dia tidak nyaman makan di kantin rumah sakit. Sebelum masuk, Agam mengintip dari kaca kecil yang ada di pintu.
Agam tidak melihat apa-apa karena dari kaca ia tidak bisa melihat ranjang dimana Zia berbaring. Agam membuka pintu secara perlahan. Dia masuk dan menemukan Zia masih berbaring dengan mata terpejam.
Agam begitu memperhatikan Zia. "Sudahlah, tidak usah pura-pura," ucapnya setelah sadar jika Zia sudah bangun. Apalagi selimut yang menutupi tubuh Zia sedikit berubah posisi dari sebelumnya.
"Lo kira gue bodoh?" lanjut Agam lagi. Dia duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. Hal yang terpenting sekarang adalah mengisi perut. Agam sudah lama membiarkan perutnya kosong.
Zia tidak kunjung membuka mata. Ia tetap mempertahankan diri untuk berpura-pura. Hal itu terjadi sampai Agam menghabiskan sebungkus nasi goreng. Berhubung dia lapar, maka nasi goreng habis begitu saja. Soal rasa, Agam tidak berkomentar.
"Kalau lo nggak mau buka mata, gue akan hubungi keluarga lo." Agam memberi ancaman.
Tentu saja Zia langsung ketakutan dan menghentikan kepura-puraan yang dilakukan. "Saya ada dimana?" Zia mulai berakting seakan baru sadar.
Agam hanya memberikan tatapan datar. Apa Zia mengira dia anak kecil yang mudah untuk dibohongi? Sungguh pikiran yang sangat dangkal sekali. "Nggak usah banyak drama," balas Agam.
Zia mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak berani untuk menatap Agam. Tatapan Agam sangat menakutkan.
"Gue Agam, lo?"
"Kakak nggak kenal sama saya?" Bukannya menjawab, Zia malah balik bertanya. Jika dilihat-lihat, kondisi Zia mulai membaik. Buktinya ia berani bertanya kepada Agam seakan tidak ingin berakting lagi.
"Zia, mahasiswa semester 3 jurusan teknik informatika." Jari-jari Agam begitu lihai menari di atas layar ponsel.
"Kok kakak tau jurusan saya?" Zia sedikit kaget karena Agam mengetahui jurusannya.
"Tidak perlu basa basi, lo pasti tau gue bukan?"
Zia mengangguk. "Agam, presiden mahasiswa," jawabnya mengikuti gaya penjelasan Agam.
"Ralat, gue bukan lagi presiden mahasiswa." Agam mengoreksi informasi yang dijabarkan oleh Zia.
"Kok bisa?" Zia sendiri kaget karena tidak tahu jika jabatan presiden mahasiswa sudah tidak lagi dipegang oleh Agam.
"Kok bisa?" beo Agam seakan tidak percaya dengan respon Zia. Ia yakin bahwa seluruh kampus tahu jika jabatannya sudah dilengserkan dan diganti oleh orang lain.
"Eh." Zia pura-pura memegang kepala karena ketahuan tidak mengetahui tentang kampusnya sendiri. Sejak sang ayah meninggal, Zia tidak tertarik dengan apapun. Dia juga tidak mengikuti kegiatan apa-apa kecuali mengikuti kelas mata kuliah wajib. Sepanjang kelas berlangsung, Zia duduk di belakang seperti orang yang tidak niat untuk menuntut ilmu.
"Kalau main-main, nggak usah kuliah." Agam menyindir Zia secara langsung tanpa basa basi. Apa menusuk? Sebenarnya iya, tapi apa yang dikatakan Agam tidak salah.
"Terus kenapa kakak nggak jadi presma lagi? Kakak kena kasus?"
Agam memijat pangkal hidung. Padahal berita tentang orang tuanya sudah menggelegar seantero negeri. Tapi perempuan di depannya malah tidak tahu sama sekali. Agam menemukan manusia langka.
"Terserah lo mau berpikir apa," balas Agam sudah cukup lelah menghadapi Zia.
"Saya salah bicara ya, Kak?" tanya Zia hati-hati.
Agam tidak menjawab. Ia malah mendekat ke arah Zia. Tanpa diduga, tangan Zia malah mencengkram selimut dengan kuat seakan ingin melindungi diri. Agam mengetahui hal itu, apa dia seperti orang jahat? Apa yang Agam lakukan untuk Zia termasuk dalam perbuatan jahat? Tentu saja tidak, Agam bahkan menjadi sosok pahlawan yang tiba-tiba muncul dalam hidup Zia.
"Gue nggak tidak tertarik sama lo, jadi stop drama!" Agam berbicara dengan wajah serius. Cengkraman tangan Zia pada selimut perlahan-lahan mulai melonggar.
Berhubung Agam tidak suka basa basi tidak jelas, maka ia langsung bertanya tentang bekas luka yang ada di tubuh Zia. Awalnya Zia tidak mau menjawab, tapi membohongi Agam tidak mudah. Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, Zia menceritakan apa yang terjadi.
"Gue rasa lo bukan cewek lemah, kenapa tidak melawan?" tanya Agam.
Zia ingin tertawa. Dia memang bukan perempuan lemah, tapi apa daya jika sang tante terus mengancam dirinya dengan sesuatu yang sangat menakutkan bagi Zia. "Saya nggak bisa," jawab Zia dengan kedua tangan saling menggenggam.
"Mau sampai kapan ditindas? Sampai mati?"
"Jadi cewek jangan bodoh," lanjut Agam lagi.
Zia mengarahkan pandangan ke arah Agam. Bibirnya bergetar bahkan matanya tidak berkedip sama sekali. "Kenapa?" tanya Agam.
"Bisa diam?" ujar Zia kesal. Padahal ia korban, kenapa malah menyalahkan dirinya.
Agam merasa tidak enak hati, namun ia tidak akan mau untuk mengakui itu. "Setelah keluar dari rumah sakit, gue harap kita tidak akan bertemu lagi." Agam tidak mau terlalu ikut campur, apalagi hidupnya juga tidak jelas. Ia memilih untuk melangkah keluar kamar. Namun baru beberapa langkah, Zia berceletuk. "Saya bisa saja melawan, tapi dia mengancam akan menyebarkan video saya."
Langkah kaki Agam berhenti. Hati dan logikanya saling bertolak belakang. Apa yang harus Agam lakukan sekarang? Dia masih berdiri di tempat tanpa bergerak sama sekali.
"Daripada video itu tersebar, lebih baik saya mati," lanjut Zia. Air matanya menetes, namun tangannya dengan cepat mengusap air mata tersebut.
Agam menarik nafas dalam-dalam. Jika tidak ingin berurusan dengan Zia, maka sekarang waktu yang tepat untuk lari. Sayangnya, hati Agam mengalahkan logika. Padahal ia laki-laki tetapi logikanya masih kalah dengan perasaan.
Agam tidak jadi keluar dari ruangan sehingga kedepannya ia akan berurusan dengan Zia. Agam yakin bahwa pilihan ini akan mempengaruhi kehidupannya.
"Video apa?" tanya Agam sambil melihat ke arah Zia.
Selama ini Zia berusaha menyembunyikan tentang video dan tentang kekerasan yang ia terima. Namun ia tidak ingin menutup mulut lagi karena semua akan semakin menyesakkan. Bagaimanapun, Zia ingin sang tante menerima ganjaran dari apa yang ia lakukan. Apakah menyakiti orang lain sebuah kesenangan? Bahkan pelaku tidak peduli dengan trauma yang akan didapatkan oleh korban seumur hidup. Sekarang saja, Zia takut untuk dekat dengan laki-laki. Lantas kenapa ia tidak takut dengan Agam? Zia juga tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Tante Nina mengambil video saat Zia tidak sadarkan diri. Dalam video itu, ia tanpa menggunakan busana sama sekali. Sudah berulang kali tante Nina berjanji untuk menghapus video tersebut tapi semua hanya janji belaka. Terakhir kali tante Nina meminta surat rumah, Zia memberikan dengan syarat video itu dihapus. Namun video itu masih ada sampai sekarang. Zia memang bodoh, bisa-bisanya ia percaya begitu saja. Tante Nina seakan tidak mau melepaskan Zia padahal semua uang dan harta yang ayahnya tinggalkan sudah habis.
"Kenapa diam saja?" tanya Zia karena Agam tidak memberi respon apa-apa. Dia sudah menceritakan kisah hidup penuh luka dan air mata tetapi Agam malah sibuk dengan ponselnya. Zia tidak mengharapkan apa-apa, tapi tidak bisakan Agam berempati sedikit saja. Mengeluarkan satu atau dua kata penenang bukanlah permintaan yang mahal bukan?
"Gue harus respon seperti apa?" Bukannya menjawab, Agam malah balik bertanya.
Zia mengepalkan tangan. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik Zia membalikan badan sehingga memunggungi Agam. Dia tidak mau melihat sosok Agam sekarang.
"Jangan harap gue bakal bujuk," celetuk Agam.
"Siapa juga yang mau dibujuk? Gue bukan cewek baperan," balas Zia tidak mau kalah.
"Baguslah. Dokumen identitasnya lo mana?"
"Di rumah."
Agam tidak lagi berbicara sedangkan Zia penasaran kenapa Agam bertanya tentang dokumen identitasnya. Suasana sunyi seketika sehingga Zia berpikir Agam sudah keluar.
"Kok masih disini?" kaget Zia karena Agam masih duduk di sofa.
"..." Tidak ada respon yang diberikan Agam. Dia masih sibuk dengan ponsel. Lebih baik Zia mengendalikan diri agar tidak mudah kesal dan sejenisnya. Seharusnya dari awal Zia sudah tahu bagaimana sosok Agam.
"Setelah keluar dari rumah sakit, kita nikah."
"Ha?" Zia berteriak histeris. Pupil matanya bahkan melebar dengan sempurna. Agam hampir membuat Zia jantungan.