Suami?

1681 Kata
"Kakak serius?" Zia masih tidak percaya. Bagaimana mungkin ada orang yang mau menikah padahal tidak terlalu kenal. "Iya," jawab Agam seadanya. "Kakak tidak kenal saya, bagaimana kalau saya orang jahat?" Agam tersenyum kecil. Pertanyaan Zia benar-benar lucu. Orang jahat katanya, apa dia berani melakukan sesuatu kepada Agam? Menatap mata Agam saja Zia tidak berani, apalagi sampai berbuat jahat. "Oh ya?" Agam menatap tajam ke arah Zia. Sepersekian detik, Zia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. "I-iya," jawab Zia gugup. Agam melihat jam, ternyata ia sudah lama berada di rumah sakit. Sejak satu tahun yang lalu, Agam tidak pernah keluar rumah terlalu lama. Tapi sekarang, ia bahkan tidak tahu jika waktu sudah berlalu cukup lama. "Gue mau pulang," ucap Agam. Zia menggeleng. "Jangan," balasnya. "Kenapa?" Agam mengerutkan kening. "Saya takut." Zia berkata jujur. Bagaimana jika tante Nina menemukan keberadaannya. Zia tidak mau kembali ke rumah. Walaupun rumah itu memiliki kenangan bersama sang ayah, tapi kesehatan mental Zia jauh lebih berharga. Hidupnya sudah lama kehilangan harapan, dan mentalnya tidak baik-baik saja. "Jangan jadi cewek lemah, siapa yang bisa berbuat jahat di rumah sakit?" "Jangan pergi," cicit Zia. Biarlah jika ia disebut cewek lemah, cengeng atau manja. Tapi Zia benar-benar takut. Mendengar suara jejak kaki di luar kamar saja dia sudah berpikir yang tidak-tidak. "Ck, menyusahkan," gerutu Agam. Ia kembali duduk di sofa sambil bermain ponsel. Tidak ada yang bisa Agam lakukan sekarang. Detik demi detik berlalu. Zia ingin bertanya beberapa hal karena ia masih belum percaya soal pernikahan. Bisa saja Agam hanya asal bicara, setelah itu ia meninggalkan Zia sendiri. Walaupun Zia tidak memiliki hak untuk menahan Agam berada di dekatnya, tapi saat ini Zia hanya percaya kepada Agam. "Kak," panggil Zia memberanikan diri. "..." "Kak..." Zia kembali memanggil. Mungkin ia tidak akan berhenti sampai Agam benar-benar memberi respon. "..." Zia geleng-geleng kepala. Padahal volumenya cukup tinggi, maka sangat mustahil tidak didengar. Apalagi jarak mereka tidak terlalu jauh. Bisa dikatakan, Agam sengaja tidak mau merespon panggilannya. Zia melampiaskan rasa kesal dengan menonton televisi. Kebetulan remot televisi ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Ia menekan tombol on pada remot sehingga televisi menyala. "Matikan!" sentak Agam secara tiba-tiba. Tentu saja Zia kaget dan tubuhnya langsung menegang. Ia memang sering dibentak dan diberi perlakuan yang tidak baik oleh sang tante, tapi tetap saja Zia masih belum terbiasa. Zia tidak kunjung mematikan televisi. Agam mematikan sendiri dengan mengambil remot dari tangan Zia. Seketika Zia melihat tubuh Agam dipenuhi dengan keringat. Padahal suhu ruangan cukup sejuk sehingga tidak mungkin mengeluarkan keringat. Zia tidak asing dengan respon tubuh Agam. Dia bahkan pernah mengalami respon tubuh seperti itu. Zia hanya memperhatikan Agam tanpa mengeluarkan kata-kata. Matanya terus saja menatap Agam tanpa teralih sedikitpun. Nafas Agam terengah. Detak jantungnya semakin menggila. Ternyata Agam masih tidak bisa menatap dan mendengar televisi. Berita tentang orangtuanya mengudara melalui berbagai media, terutama televisi. Saat itu, setiap televisi menayangkan berita tentang kedua orang tuanya. Mereka bahkan mengatakan kedua orang tua Agam sebagai manusia yang tidak berhak hidup didunia ini. Zia hanya bisa melihat saat Agam masuk ke dalam kamar mandi. Suara air mengalir sedikit terdengar dari luar. Zia tidak berkomentar karena Agam butuh waktu untuk menenangkan diri. Cara seseorang dalam mengendalikan diri tentu saja bermacam-macam. Ada yang bersembunyi di bawah tempat tidur, di lemari atau bahkan di kamar mandi sekalipun. Mereka merasa tempat seperti itu aman dari penyebab rasa takut muncul. Saat keluar dari kamar mandi, keadaan Agam jauh lebih baik. Zia bernafas lega karena Agam akhirnya keluar setelah hampir satu jam berada di dalam kamar mandi. "Kenapa?" tanya Agam dengan mata elang yang tajam. Biasanya Zia akan kesal dengan tatapan Agam, tapi kali ini dia malah bersyukur. Tatapan tajam lebih baik daripada tatapan penuh ketakutan. "Lapar," jawab Zia asal-asalan. "Ya makan." "Makan apa?" Di dalam kamar tidak ada makanan sama sekali, apa mungkin Agam menyuruhnya untuk makan angin? jika angin bisa dimakan maka orang-orang yang hidup akan bersorak bahagia. Mereka tidak perlu kesulitan untuk mengisi perut lagi. "Jangan bilang lo nyuruh gue-" Agam menunjuk dirinya sendiri. Zia tersenyum lebar. "Aku mau sate," ucapnya. Agam terbengong. Bisa-bisanya dia disuruh seperti ini. Tentu saja Agam tidak akan mau. "No," jawab Agam. "Yang lain kalau gitu." Ternyata Zia tidak mengerti jawaban Agam. Ia kira Agam tidak memperbolehkan dirinya untuk makan sate padahal Agam tidak mau keluar untuk membeli makanan. "Ah, nasi padang juga boleh," ucap Zia bersemangat. Sudah lama ia tidak makan nasi padang karena lebih banyak makan mie instan. "Gue nggak mau," ujar Agam penuh penekanan. Meskipun mendapat penolakan, nyatanya Zia tidak kunjung menyerah. "Masa tega biarin istrinya kelaparan." "Istri?" beo Agam seakan tidak percaya. "Iya suamiku," jawab Zia sambil mengedipkan mata. Agam memasang wajah yang tidak perlu dijabarkan. Zia pun sudah menduga bagaimana respon Agam. "Sua-" "Stop," potong Agam agar Zia tidak memanggil-manggil dirinya dengan sebutan suami lagi. "Lo mau makan sate bukan? Oke gue cari," ucap Agam lagi. Zia tersenyum lebar. Jika tidak ada Agam, mungkin ia akan tertawa terbahak-bahak sekarang. Agam langsung keluar dari ruangan untuk mencari sate. Kemana dia akan mencari? Entahlah, dia benar-benar buntu. Agam mencari diluar kawasan rumah sakit. Biasanya banyak yang berjualan makanan disana. Ternyata benar, walaupun matahari sudah meninggi tapi masih ada yang berjualan sate. Agam membeli satu bungkus. Setelah itu, ia mampir sebentar di minimarket yang tidak jauh dari rumah sakit. Agam membeli beberapa minuman sehat, buah-buahan dan roti. Walaupun ia tidak ingin peduli, tapi nyatanya Agam tidak bisa menghiraukan Zia sama sekali. Agam yang satu tahun kebelakang tidak pernah keluar di siang hari walaupun kelaparan, sekarang malah berlalu lalang di siang hari. Beberapa kali tubuhnya tidak sengaja bersenggolan dengan orang lain karena jalan terlalu ramai. Hal ini tidak pernah Agam bayangkan sebelumnya. Ia seperti melawan diri yang tidak ingin bertemu dengan keramaian. “Ini,” ucap Agam menyerahkan 2 kantong plastik. “Banyak amat,” balas Zia. Kini posisinya sudah tidak berbaring lagi tetapi sudah duduk bersandarkan bantal. “Kalau nggak mau, buang aja.” Zia langsung memeluk 2 kantong plastik tersebut. Sayang sekali jika dibuang, mana Zia jarang makan makanan yang ada di plastik tersebut. “Makasih SUAMI.” Zia memberi penekanan pada kata suami karena ingin menggoda Agam. “Jangan bilang itu lagi, gue geli.” Agam memberi peringatan kepada Zia. “Kan bentar lagi mau nikah, apa salahnya?” Zia menunjukkan wajah polos. “Nggak gitu juga konsepnya,” balas Agam. Tidak hanya menyuruh Agam membeli sate, tetapi Zia juga meminta tolong agar diambilkan piring dan juga sendok. Apa Agam akan menuruti keinginan Zia begitu saja? Tentu saja tidak. Dia mendumal tidak jelas tetapi tetap mengambil piring dan juga sendok yang ada di lemari kecil. “Gue mau pulang, kalau ada apa-apa lo tinggal pencet ini.” Agam menunjuk tombol yang berada di samping ranjang. Zia mengangguk. “Eh eh, nanti balik lagi kan?” Bagaimanapun Zia takut jika Agam kabur. Siapa yang akan membayar biaya rumah sakit? Zia tidak punya uang sepeserpun. “Lo suka beneran ya sama gue?” “Iya.” Zia menyengir lebar. Bahkan matanya hampir tidak kelihatan. “Nggak usah drama,” ucap Agam karena Zia terlalu jelas berpura-pura. Dia pergi begitu saja dari rumah sakit. Agam kira setelah sampai dirumah, ia akan mendapat ketenangan. Namun perkiraannya salah karena Hiro sudah ada di ruang yang dijadikan tempat kerja. “Lo darimana?” tanya Hiro. “Keluar.” “Ha?” Hiro kaget. Dia bahkan langsung berdiri dari tempat duduk saking kagetnya. Fakta Agam keluar di siang hari adalah sesuatu hal yang terdengar sangat aneh. “Lo sakit?” tebak Hiro. Kali saja karena tidak sanggup menahan sakit, Agam memutuskan untuk keluar membeli obat. “Lo kenapa ada disini?” Bukannya menjawab, Agam malah bertanya. “Mumet gue dirumah.” Biasanya Hiro datang ketika matahari sudah terbenam. “Lo amankan?” Hiro masih penasaran. “Nggak usah pikir yang macam-macam.” Berhubung Hiro sudah ada dirumah, maka Agam ingin meminta bantuan. “Lo sibuk?” Hiro menggeleng. “Kenapa?” “Gue mau minta bantuan.” “Apaan?” Wajah Hiro tampak serius. Agam menceritakan gambaran umum apa yang ingin mereka lakukan. “Ini orangnya?” tanya Hiro ketika Agam menunjukkan gambar seseorang. “Iya. Gue minta supaya lo bisa dekat sama dia.” “Oke. Kapan gerak?” “Malam ini.” Hiro tidak banyak bertanya. Ia hanya tahu jika dalam ponsel tersebut ada video yang tidak pantas dan dapat merugikan orang lain. Tanpa Agam jelaskan, Hiro sudah tahu video apa itu. Dia juga tidak suka ada orang menggunakan cara licik untuk menginjak orang lemah. Sebelum bergerak, Hiro mencari tahu tentang perempuan yang akan ia hadapi. Mencari informasi tidaklah sulit, apalagi ada situs hitam yang menjadi tempat jual beli informasi. Asal ada uang maka semua akan mudah. Hiro sudah mendapat informasi jika perempuan yang akan menjadi target malam ini akan bertemu dengan laki-laki di sebuah restoran yang ada di kawasan mall. Mereka bersiap-siap untuk aksi. Kira-kira pukul sembilan mereka sudah sampai di restoran tersebut. “Gue kira pria muda, ternyata kakek kakek.” Hiro tertawa saat melihat pria yang ditemui oleh tergaet mereka. “Demi uang semua bisa dianggap normal,” balas Agam. Hiro mengangguk. “Lo aman kan?” Dia sedikit khawatir dengan Agam. Apalagi mereka ada di kawasan yang ramai pengunjung. “Aman, lo fokus untuk menjerat target.” Setelah kakek-kakek itu pergi, Hiro mulai melancarkan aksinya. Penampilannya menjadi lebih manly dan penuh pesona. Apalagi barang-barang yang dipakainya tergolong sangat mahal. Hiro pura-pura menyenggol meja dimana target duduk. Bahkan gelas yang berisi air tumpah. “Aduh, maaf maaf.” Agam hampir pangling dengan akting Hiro. Padahal Hiro benar-benar merasa sakit. Niatnya akting malah benar-benar terjadi. “Eh iya nggak apa-apa Mas.” Target mulai memberi respon. “Saya tidak sengaja, wah bagaimana ini?” Hiro memasang wajah bersalah. Padahal dalam hati ia ingin menyiram target dengan air comberan. “Tidak apa-apa, Mas. Saya baik-baik saja.” Mulut target sangat manis. Hiro bahkan ingin muntah. “Mbaknya sendiri?” “Iya, saya sendiri.” “Kalau begitu, apa keberatan saya duduk disini?” Target menggelang. Hiro tersenyum puas. Mudah sekali mendekati target. Hiro berusaha memberikan kesan terbaik. Dia sangat ahli dalam menjerat orang-orang yang harus dengan uang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN