Agam terduduk di kursi tunggu ruang UGD. Kenapa ia harus repot-repot seperti ini? Apalagi Agam belum mengisi perut sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi karena Agam tidak bisa untuk pura-pura tidak melihat. Apalagi Zia pingsan di hadapannya sehingga mau tidak mau Agam harus bergerak cepat untuk ke rumah sakit.
Agam sebelumnya tidak pernah menggendong perempuan kecuali sang Mama, tapi karena keadaan darurat maka mau tidak mau Agam harus menggendong Zia untuk dibawa ke rumah sakit.
Apa Agam bisa kabur sekarang? Setidaknya ia sudah menolong sampai sejauh ini. Namun kaki Agam terasa berat untuk melangkah. Seperti tubuhnya terikat di kursi yang sudah ia duduki selama tiga puluh menit.
Pihak medis melakukan penanganan di dalam ruang UGD. Agam menunggu sambil menunduk karena tidak ingin dilihat oleh orang lain. Entah sejak kapan Agam menjadi orang yang sulit untuk bersosialisasi dengan keadaan sekitar.
Entah sudah berapa lama Agam menunggu, yang pasti dokter keluar sambil memberi penjelasan tentang kondisi Zia. Demam tinggi membuat Zia tidak sadarkan diri.
"Maaf Pak, Anda siapanya pasien?"
Agam juga bingung. Dia harus menjawab apa karena mereka tidak punya hubungan sama sekali.
"Saya temannya, Dok." Agam menjawab dengan asal-asalan dan hanya jawaban itu yang terdengar masuk akal.
"Bagaimana keadaan keluarga pasien?"
Agam mengerutkan kening. Pertanyaan ini juga tidak bisa Agam jawab. "Saya tidak tau pasti, Dok. Apa ada masalah?"
Dokter membawa Agam untuk masuk ke dalam ruang UGD. Ada beberapa kain yang menjadi pembatas dari setiap tempat tidur yang ada di ruang UGD.
Agam sudah berada dimana Zia berbaring dengan memejamkan mata. Infus menetes secara perlahan-lahan.
Dokter menunjuk beberapa bekas luka pada tubuh Zia. "Apa Anda tau darimana asal bekas luka-luka ini?"
Agam menggeleng. Dokter menyuruh agar Agam bertanya kepada Zia darimana asal-asal bekas luka itu. Dokter tidak mau asal berargumen tanpa bukti yang jelas. "Saya tidak mau asal tebak, tapi bekas luka ini bisa dari tindak kekerasan," jelas Dokter lagi.
Agam tidak begitu kaget. Apalagi saat mereka bertemu, Zia dalam kondisi yang sangat buruk. "Baiklah, nanti saya akan coba tanyakan Dok."
Berhubung kondisi Zia belum stabil, maka pihak rumah sakit menganjurkan agar Zia diopname selama satu atau dua hari. Agam mengurus proses administrasi sebelum Zia dipindahkan dari ruang UGD ke kamar rawat inap. Meskipun prosesnya tidak banyak, tapi tetap saja Agam merasa ribet. Ia hanya bisa membatin untuk meluapkan keresahan yang ada.
"Agam."
Agam menghentikan langkah ketika ada yang memanggil namanya. Dia bukan kepedean tapi panggilan itu seakan memang tertuju untuknya. Memang benar nama Agam tidak hanya dirinya sendiri. Di luar sana pasti banyak yang memiliki nama Agam seperti dirinya. Agam hanya berhenti sejenak, ia bahkan tidak menoleh ke sumber suara.
"Agam."
Panggilan kembali terdengar. Kali ini Agam membalikkan badan untuk memastikan. Belum sempat Agam mengeluarkan kata-kata, sebuah pelukan langsung menyentuh tubuhnya.
"Kamu kemana saja?" Pertanyaan itu muncul dan Agam tidak bisa menjawab karena tubuhnya membeku.
"Bapak berusaha mencari kamu selama ini, Agam."
Lagi dan lagi, Agam hanya diam membisu. Padahal ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang mengenal dirinya. Tapi sekarang, ia malah bertemu dengan seseorang yang sangat ingin dihindari. Dia adalah Pak Bayu, dosen sekaligus teman sang Mama semasa kuliah.
"Kenapa kamu ada rumah sakit?" Pelukan sudah terlepas. Pak Bayu memeriksa tubuh Agam untuk melihat apakah ada yang lecet atau tidak.
"Saya tidak apa-apa, Pak." Agam menjelaskan supaya Pak Bayu berhenti memeriksa tubuhnya.
"Syukurlah." Pak Bayu bernafas lega. Dia bahkan tersenyum karena melihat orang yang ia cari satu tahun ke belakang dalam keadaan baik-baik saja. Satu hal yang Pak Bayu takutkan yaitu Agam mengakhiri hidup karena depresi kehilangan orang tua.
"Kita duduk dulu," ucap Pak Bayu sambil menarik tangan Agam. Berhubung sudah bertemu maka Agam tidak bisa untuk kabur lagi.
"Bapak sehat?" tanya Agam. Bagaimanapun Pak Bayu sudah seperti keluarga bagi Agam walaupun tidak ada hubungan darah.
"Sehat."
"Kenapa Bapak di rumah sakit?"
Pak Bayu tersenyum. "Periksa mata. Beberapa hari ini mata sebelah kanan Bapak terasa sakit."
"Kamu bagaimana?"
"Saya baik, Pak. Seperti yang Bapak lihat." Agam merentangkan tangannya.
"Kamu tinggal dimana selama ini?" Setelah rumah orang tua Agam disita perusahaan, Pak Bayu ingin membawa Agam untuk tinggal dirumahnya. Namun Agam malah menghilang tanpa jejak. Pak Bayu tidak bisa menemukan keberadaan Agam.
"Bapak tidak perlu khawatir, saya tinggal di tempat yang layak."
Siapa yang tidak khawatir, apalagi bobot tubuh Agam berkurang banyak. Pak Bayu dapat melihat itu.
"Kamu tidak ingin lanjut kuliah?"
Agam menggeleng. Dia tidak berminat untuk melanjutkan perkuliahan. "Buat apa, Pak?" tanyanya dengan senyum penuh luka.
Pak Bayu menepuk pundak Agam beberapa kali. "Kamu harus tetap melanjutkan kehidupan."
"Tolong, Gam. Kamu anak pintar. Bapak yakin orang tua kamu tidak akan pernah setuju jika kamu berhenti kuliah seperti sekarang," lanjut Pak Bayu lagi. Dia hanya ingin kehidupan Agam berjalan seperti semula walau hidupnya sudah sangat berbeda.
Agam tertawa penuh kepedihan. Matanya dapat menyiratkan hal itu. "Mama dan Papa sudah meninggalkan saya, Pak."
"Tidak ada orang tua yang mau meninggalkan anaknya, Gam. Tapi siapa yang bisa lari jika memang sudah waktunya kembali," balas Pak Bayu.
"Mereka bunuh diri, Pak."
"Tidak Agam, mereka tidak bunuh diri. Bapak sangat mengenal Papa dan Mama kamu."
Agam menunduk dalam. Ternyata masih ada orang yang berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak bunuh diri. Selama ini orang-orang percaya bahwa Mama dan Papanya bunuh diri, bahkan rekan kerja yang sudah bertahun-tahun bersama.
"Agam," panggil Pak Bayu karena Agam terus saja menunduk.
"Terima kasih karena Bapak sudah berpikir bahwa orang tua saya tidak bunuh diri," ucap Agam dengan perasaan luar biasa.
"Kamu tidak perlu berterima kasih," balas Pak Bayu.
Sebenarnya masih banyak yang ingin Pak Bayu bicarakan dengan Agam. Apalagi mereka sudah tidak bertemu selama satu tahun. Namun Agam tidak bisa berlama-lama duduk mengobrol dengan Pak Bayu karena harus melihat keadaan Zia yang sebentar lagi dipindahkan ke kamar rawat inap.
Agam hanya memberi nomor ponsel. Jika ingin bertemu, Pak Bayu cukup menghubunginya saja. Supaya Pak Bayu tidak terlalu khawatir, maka Agam berusaha memberi penjelasan bahwa kehidupannya baik-baik saja.
Perawat membawa Zia ke kamar rawat inap. Agam mengeluarkan uang lebih karena memilih kamar VIP. Dia pasti merasa tidak nyaman jika bertemu dengan orang lain dalam satu ruangan. Mau tidak mau, Agam memilih kamar VIP walaupun harganya sangat lumayan.
Zia masih menutup mata. Dia seperti orang yang tidak terus selama berhari-hari. Sejujurnya, Agam sedikit penasaran dengan semua bekas luka yang Zia dapatkan. Ingat, hanya sedikit saja.
Agam menunggu sambil duduk di kursi. Dia bahkan memejamkan mata karena mengantuk. Biasanya di rumah, Agam akan berbaring seharian. Tapi sekarang, ia duduk sampai tubuhnya terasa pegal.
Sudah dua jam Agam duduk tapi Zia tidak kunjung membuka mata. "Ck, anak ini," komen Agam sambil menatap Zia. Berhubung perut Agam sudah tidak bisa diajak bekerja sama, maka ia memutuskan untuk mencari makanan. Agam tidak lupa memakai masker dan topi. Pokoknya kali ini, ia tidak ingin dikenali siapapun.
Saat Agam keluar dari kamar, maka kedua mata Zia terbuka. Sebenarnya ia sudah bangun sejak tadi, tapi ia tidak mau berhadapan dengan Agam. Zia bingung dan malu karena sudah sangat merepotkan Agam.