"Boleh minta kontaknya?" tanya Hiro sambil tersenyum. Ia harap semua cepat selesai dan bisa segera pergi. Senyum terlalu lama dapat membuat otot-otot wajahnya menjadi pegal.
"Boleh." Target dengan mudah memberikan kontak yang bisa dihubungi. Siapa yang akan tahan dengan pesona Hiro. Apalagi Hiro terlihat seperti pria yang memiliki banyak uang. Bagi wanita yang menyukai uang, Hiro adalah sosok yang tepat. Lihat saja berapa banyak makanan mahal yang dipesan oleh Hiro. Target pasti terkagum-kagum melihatnya.
Mereka berdua sudah bertukar kontak. Target tampak penasaran dengan kehidupan pribadi Hiro walaupun tidak terlihat secara jelas. Bagaimanapun, Hiro berusaha menjawab tanpa memberitahu privasi realnya.
"Keren banget," puji target
"Tidak tidak, biasa saja. Masih banyak pengusaha yang lebih hebat dari saya." Hiro bersikap rendah hati.
Target terus saja memuji Hiro. Tenang saja, Hiro tidak akan terbuai oleh pujian tersebut. Apalagi saat target mengatakan Hiro sukses diusia muda.
Iya benar, saya masih muda. Tidak seperti Anda yang sudah berumur tapi masih berusaha terlihat muda. Hiro menggerutu di dalam hati. Ia mana bisa mengucapkan secara langsung. Bisa-bisa rencana mereka gagal.
"Ini apa?" tanya Target karena Hiro mengirimkan sesuatu.
"Hadiah, coba buka." Hiro tersenyum lebar.
Target tampak antusias membuka apa yang dikirim oleh Hiro.
Saat Target menekan tombol yes, sebuah efek kembang api muncul. Layar menampilkan nominal hadiah yang didapat oleh target.
"Wah, ini serius?" Mata target tampak berbinar-binar.
Hiro mengangguk. Dua juta rupiah bukan nominal besar bagi Hiro. Jadi tidak apa memberikan secara cuma-cuma. Hiro sadar jika uang itu lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkan diluar sana, namun mereka memiliki rencana yang tidak biasa.
Hadiah itu sebagai bentuk permintaan maaf karena sudah menumpahkan minuman yang ada di atas meja. Target menerima tanpa ada kecurigaan sama sekali.
Banyak obrolan yang terjadi, Hiro mudah menebak watak target yang ada di depannya. Target sangat ahli dalam memanipulasi. Cukup berbahaya bagi orang-orang yang mudah percaya begitu saja.
Hiro membayar tagihan yang mereka pesan. Setelah itu ia pamit dengan alasan ada pekerjaan yang mendesak. Hiro tidak mau berlama-lama, cukup satu jam saja.
Agam menunggu di dalam mobil. Ia tidak bisa berlama-lama di dalam mall. Keringat dingin hampir mengguyur tubuhnya jika memilih untuk bertahan di dalam mall.
"Gimana?" tanya Agam saat Hiro sudah masuk ke dalam mobil.
"Kalau gue udah turun tangan, maka semua selesai." Hiro sedikit menyombongkan diri. Agam tidak salah meminta bantuan kepada Hiro karena pesonanya cukup kuat.
Agam memberikan jempol sebagai bentuk apresiasi. Ia tinggal mengeksekusi ketika sudah sampai di rumah.
"Lo kenal cewek itu dari mana?" Berdasarkan informasi yang Hiro terima dari informan, target yang baru saja ia temui bukan wanita baik-baik. Banyak kasus yang menjerat, terutama judi dan narkoba.
Agam mengarahkan tatapannya pada Hiro. Dia tidak perlu berkata-kata karena Hiro dengan mudah mengerti. "Oke oke, gue nggak akan tanya lagi." Hiro mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
"Gue ingetin, dia bahaya," lanjut Hiro lagi.
"Gue tau."
Hiro mengangguk. Ia tampak fokus memainkan ponsel. Apalagi yang dilakukan Hiro kecuali bermain game.
"Jangan lupa, ganti." Hiro mengingatkan.
Agam geleng-geleng kepala. Selama ini, dia tidak pernah meminta uang untuk biaya tempat tinggal dirumahnya. "Oke, ntar gue ganti." Biaya yang Hiro keluarkan untuk memikat target malam ini sekitar dua juta lebih.
"No no no, gue nggak minta ganti uang."
Agam mengerutkan kening. Apalagi yang Hiro rencanakan tanpa sepengetahuan Agam. Terkadang Agam tidak mengerti jalan pikiran Hiro.
"Terus?"
"Akun game lo buat gue."
Agam ingin tertawa. Sungguh permintaan yang tidak bisa ditebak. Berhubung Agam tidak terlalu candu dengan games, maka permintaan Hiro bukanlah perkara besar.
Tiga puluh menit perjalanan, Agam dan Hiro sampai di tempat tujuan. Kawasan sepi seperti tidak berpenghuni menyambut kedatangan mereka. Hiro dan Agam tidak takut sama sekali. Bahkan mereka sering berkeliaran tengah malam.
"Isi kulkas lo kemana?" Hiro tidak mendapati cemilan yang sering ada di dalam kulkas. Bahkan s**u kotak sudah lenyap tidak meninggalkan jejak.
"Beli sendiri."
Agam membuka hoodie dan topi. Dia sudah berpakaian santai menuju ke ruang khusus. Komputer rakitan dengan spesifikasi tinggi.
Malware sudah bergerak di dalam ponsel target. Agam tinggal mencari video yang digunakan target untuk mengancam keponakannya sendiri.
"Butuh bantuan gue?" Hiro menawarkan diri.
Agam menggeleng. Ia fokus menyadap ponsel milik target. Apa yang dilakukan Agam tidak benar, apalagi menyadap ponsel seseorang. Tapi Agam tidak punya pilihan lain, apalagi video itu belum terhapus secara permanen. Dia hanya mencari video dan tempat penyimpanan cadangan dari video tersebut. Ia yakin target mencadangkan file di tempat lain.
Berhubung sistem keamanan ponsel tidak terlalu canggih. Maka Agam tidak kesulitan untuk mencarinya. Dia tidak membuka dan langsung menghapus secara permanen. Semua cadangan dari berbagai tempat berhasil diringkus.
Agam memastikan bahwa video itu tidak akan muncul dipermukaan lagi. Semua sudah beres dalam kurun waktu tiga puluh menit.
Agam merenggangkan otot-otot tubuh. Dia cukup kelelahan karena terlalu aktif dalam beraktivitas. Biasanya Agam menghabiskan waktu dengan berbaring di atas tempat tidur. Namun setelah bertemu dengan Zia, tubuhnya bergerak sesuai dengan kodrat.
"Lo mau kemana?" tanya Hiro karena Agam mematikan komputer.
"Keluar."
"Tapi masih jam sebelas." Hiro sedikit bingung, biasanya Agam keluar pukul satu atau dua dini hari.
"Gue nggak pulang, jadi jangan dicari."
"Ha?" Hiro kaget karena apa yang dikatakan Agam tidak bisa diterima oleh otaknya. "Lo punya cewek, hotel mana?" tanya Hiro penasaran.
Agam langsung memukul perut Hiro. Tatapannya bahkan menajam.
"Sakit woi," ringis Hiro sambil memegang perutnya.
"Makanya jangan asal ngomong." Agam keluar dari ruangan. Ia membawa tas berisi laptop, selimut dan kebutuhan wajib lainnya.
Sepanjang jalan ke rumah sakit, Agam mendumal tidak jelas. Mulutnya berkata tidak ingin ke rumah sakit, tapi hati dan alam bawah sadar berkata sebaliknya.
Lampu ruang dimana Zia dirawat sudah mati. Hanya ada lampu tidur yang menerangi ruangan. Agam membuka pintu, dia tidak bersuara sama sekali.
Plak
Baru masuk, wajahnya sudah terkena bantal. Agam menarik nafas dalam-dalam. Entah drama apa yang sedang dimainkan oleh perempuan depannya.
Sabar Agam, lo jangan terpancing. Hatinya berusaha membujuk diri sendiri untuk tidak terpancing emosi.
"Siapa kamu?"
Agam tidak menjawab, ia langsung menghidupkan lampu kamar.
Saat lampu menyala, kekagetan tidak bisa Zia sembunyikan. "Maaf," cicit Zia bersembunyi dibalik selimut.
"Drama apa lagi?" tanya Agam dengan suara berat.
Zia menggeleng. Dia terlalu parno dan was-was sehingga mengira sosok Agam sebagai orang jahat. Bersembunyi dibalik selimut adalah cara Zia untuk menghindar.
"Ck, aneh.”
Zia tidak lagi bersembunyi dibalik selimut. “Siapa yang aneh?” tanyanya.
Agam tidak mengatakan apa-apa kecuali hanya menatap ke arah Zia.
“Wajar aku takut, gimana kalau yang datang orang jahat?”
“Sekedar informasi, rumah sakit tidak akan membiarkan sembarangan orang masuk. Apalagi area VIP.”
Agam pikir, Zia terlalu banyak menonton drama atau membaca n****+ sehingga berpikir yang tidak-tidak.
“Jangan banyak drama,” lanjut Agam lagi.
Zia menatap Agam dengan tatapan tajam. Kedua alisnya bahkan hampir menyatu.
“Apa?” Ketusnya karena wajah Zia terlihat tidak bersahabat. Jika diberi efek, mungkin di atas kepalanya akan timbul petir menggelegar.
“Aku mau tidur,” ungkap Zia dengan perasaan kesal.
“Emang gue ada larang?”
“Emang gue ada larang?” tiru Zia dengan suara kecil. Bahkan ia melebih-lebihkan ekspresi.
“Gue dengar,” ucap Agam.
“Gue dengar.” Zia kembali mengulang perkataan Agam dengan nada ejekan.
Agam memilih untuk diam. Jika tidak maka pembicaraan yang tidak penting akan terus berlanjut. Meskipun tidak bersosialisasi dengan dunia luar, namun Agam tetap bekerja dengan menyamarkan identitas.
Kemampuan yang ia miliki bisa menghasilkan uang. Tentu saja ia dapatkan dengan cara yang halal.
Agam sibuk dengan laptop, namun sesekali ia melihat ke arah Zia untuk memastikan keadaan Zia. Sebelum Agam datang, Zia sulit untuk tidur. Perasaan takut menghantui dirinya. Namun setelah Agam datang, dia dengan mudah tertidur. Ternyata Zia sudah sangat percaya dengan kehadiran Agam.
Walaupun mulut Agam sedikit tidak bersahabat, tetapi dia orang baik. Zia mempercayai hal itu untuk sekarang, tapi untuk nanti ia tidak bisa memastikannya.