Meringkus

1666 Kata
Beberapa kali Zia menangkap Agam menguap. Bahkan matanya terlihat memerah. Ciri-ciri itu menunjukkan jika seseorang kurang tidur atau tidak tidur semalaman. Setelah Zia tidur, ia tidak bangun sampai subuh datang. Biasanya Zia sering terbangun dimalam hari, entah karena gelisah, was-was, takut atau bahkan bermimpi buruk. Agam memijat pangkal hidung. "Kenapa?" tanyanya dengan nada ketus, padahal mereka bukan bermusuhan. "Apanya?" Zia mengikuti nada bicara Agam. "Lo nggak pernah lihat orang ganteng?" Zia tertawa. Dia tidak menyangka sosok presma yang berwibawa bisa pede seperti sekarang. "Ganteng darimana?" Zia berbicara dengan nada pelan. "Gue dengar," komen Agam. "Baguslah." Zia berbaring membelakangi Agam. Berada dirumah sakit sungguh membosankan. Bahkan Zia tidak melakukan apa-apa kecuali hanya berbaring, tidur dan mengisi perut. "Oi." "Aku punya nama," jawab Zia. Agam kembali memanggil. "Oi!" "Apaan?" Zia berbalik badan. Dia jadi kesal padahal punya nama tetapi Agam malah memanggilnya dengan sebutan "oi". Agam menunjukkan layar ponsel yang memuat gambar. Ia memperhatikan setiap ekspresi ketika gambar berganti. "Foto siapa?" tanya Zia penuh kebingungan. Ia tidak mengenal setiap gambar yang Agam tunjukan. "Lihat aja." Zia mengerucutkan bibir. Meskipun begitu, ia tetap melihat gambar orang yang ditunjukkan oleh Agam. Wajah Zia mendadak pucat. Agam tidak lagi menggeser gambar karena perubahan respon tubuh Zia. "Lo kenal?" tanya Agam. Zia memeluk tubuhnya penuh ketakutan. "Jangan," lirihnya berulang-ulang kali. Agam semakin mendekatkan ponsel untuk memastikan. Dalam hitungan detik, ponsel Agam terlempar ke lantai karena Zia membanting ponsel tersebut. Agam menutup mulut saking tidak percaya. Sedangkan Zia bersembunyi dibalik selimut. Agam tidak bisa marah sehingga langsung memungut ponsel yang berada di lantai. Layarnya pecah karena Zia membanting sekuat tenaga. Agam mengendalikan diri agar tidak marah walaupun rasa kesal sudah menumpuk. Agam melihat jam, ternyata sudah pukul delapan pagi. Lebih baik Agam segera pulang untuk membersihkan diri. Agam juga butuh tidur karena ia bukan manusia super yang akan baik-baik saja walaupun tidak memejamkan mata. "Gue mau pulang. Lo nggak usah takut karena sistem keamanan rumah sakit sangat ketat." Zia tetap bersembunyi dibalik selimut. Agam memutuskan untuk pulang dengan menggendong tas ransel. Setelah Agam keluar, Zia bisa menonton televisi untuk mengisi kesunyian di dalam ruangan. Namun tempat ini lebih baik daripada rumahnya sendiri. Rumah yang dulu nyaman berubah menjadi tempat yang menakutkan dan menyeramkan bagi Zia. Sampai kapanpun, ia tidak akan mau pulang ke rumah itu lagi. Lebih baik Zia tidur di jalanan daripada pulang ke rumah. Seperti hari-hari biasa, Agam mendapati Hiro yang masih bertahan di dalam rumahnya padahal matahari sudah timbul. Walaupun begitu, Agam tidak terlalu peduli. Dia langsung masuk ke dalam kamar setelah menunjukkan diri kepada Hiro. Sebelum beristirahat, Agam membersihkan tubuh terlebih dahulu. *** Saat malam menyapa. Agam mendapat pesan dan langsung membukanya. Pesan yang terbaca alan langsung terhapus. ZeroBlack : Mereka kumpul di rumah Bos Agam langsung bersiap-siap dengan menggunakan pakaian serba hitam. Topi dan masker tidak lupa ia kenakan. "Gue pinjam mobil," pinta Agam sambil tersenyum. Hiro bergidik ngeri karena senyum Agam sangat-sangat terpaksa. "Nggak usah senyum," balas Hiro. Sedetik kemudian, wajah Agam kembali datar. Itu lebih baik daripada wajah penuh keterpaksaan dan kepalsuan. "Mau kemana?" "Ada urusan." Hiro menatap Agam dengan tatapan mencurigakan. "Lo-" "Tenang aja," potong Agam langsung. Dia tahu jika Hiro berpikir yang tidak-tidak. Kenapa Hiro bisa berpikir demikian? Selama satu tahun ke belakang, Agam melakukan sesuatu yang menyakiti dirinya sendiri. Hiro menjadi saksi hidup bagaimana Agam hancur dan kehilangan harapan untuk hidup. "Jangan sampai mobil gue lecet." Hiro menyerahkan kunci mobil. Sebenarnya Agam bisa saja membeli mobil, tapi ia tidak butuh. "Hm." Agam keluar, dia sudah membawa sesuatu yang dibutuhkan. Mobil hanya berjalan beberapa menit. Agam memarkirkan mobil di rumah yang tidak berpenghuni. "Gimana?" tanyanya kepada 3 orang yang sudah lebih dulu ada disana. "Mereka ada dirumah itu bos, sepertinya sedang pesta." "Mana?" Agam meminta informasi yang sudah ia instruksinya. "Jangan panggil gue bos," ujar Agam lagi. "Lebih enak gitu, Bos." Nama samaran Zeroblack menyengir. Agam geleng-geleng kepala. Ia memiliki beberapa orang-orang kepercayaan. Seperti 3 orang di dekatnya sekarang. Agam memanggil mereka dengan nama samaran yaitu Zero, Yu, dan Lp. Lp memberikan beberapa dokumen dan foto kepada Agam. Ia melihat sekilas dan tersenyum tipis penuh arti. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Yu. "Bakar aja bos rumahnya." Agam langsung menatap tajam. "Sorry Bos." Zero cepat-cepat minta maaf. "Laporkan kepada polisi," ucap Agam. Zero, Yu dan Lp saling pandang. "Apa polisi masih bisa dipercaya?" "Lakukan saja!" Zero, Yu dan Lp tidak bisa membantah. Walaupun Agam tidak percaya dengan polisi setelah kasus kedua orang tuanya, tapi dia tidak punya pilihan. Tujuan Agam adalah rumah berada di depan sebuah rumah yang tampak tidak terurus. Sekarang pukul sebelas malam dan lampu rumah masih menyala. Agam berjalan mengendap-endap untuk melihat keadaan di dalam rumah. "Biar kami saja Bos," ucap Yu dengan suara pelan. Agam tidak menjawab. Dia ingin memberi pelajaran kepada orang-orang didalam rumah sebelum diserahkan kepada polisi. Agam tidak mau membuang-buang waktu. Dia langsung menendang pintu depan sampai kuncinya rusak. Semua yang ada di dalam rumah langsung kaget dengan kedatangan Agam. "Siapa kalian?" Agam tersenyum dibalik masker. "Kalian tidak perlu tau,” jawabnya. Sumpah serapah bertaburan. Bahkan kata-kata yang tidak baik terdengar begitu nyaring. Meskipun begitu, Agam tidak merasa takut. Orang-orang di depannya berjumlah 7 orang yang terdiri dari 4 laki-laki dan 3 perempuan. Rumah tampak berantakan dan Botol minuman berserakan di lantai. “Mau mati?” Satu laki-laki maju ingin melayangkan pukulan, tapi Agam dengan mudah menghindar. Jangankan untuk melayangkan pukulan, berjalan saja sempoyongan. “Biar kami saja bos,” pinta Lp karena tidak ingin Agam turun tangan. Agam menggeleng. “Kalian tetap diam,” balasnya. Agam mengepalkan tangan saat bertatapan dengan pria yang membuat Zia menjadi trauma. “Keluar dari rumah saya!” Suara perempuan terdengar. Agam bertepuk tangan. “Wah, luar biasa,” ucapnya. “Bisa-bisanya berpesta sedangkan keponakannya tidak tau hidup atau mati,” lanjutnya lagi. Pupil mata perempuan di depan Agam melebar. Dia adalah Tante Nina. Sekarang Agam memang berada di rumah Zia. “Apa dia mati?” Tante Nina bertanya dengan mudahnya. “Mati?” beo Agam tidak percaya. “Dia pantas mati,” ucap Tante Nina lagi. Plak Agam langsung memberikan tamparan. “Tidak tau malu,” ujarnya. Semua yang ada di ruangan terkejut. “Kurang aja,” teriak laki-laki lain. Keempat laki-laki di depan Agam langsung maju untuk memberikan pukulan. Agam sudah terlatih, melawan empat orang bukan hal sulit. Satu bersatu lawan terkapar di lantai. Beberapa pukulan juga mengenai tubuhnya terutama wajah. Bibirnya tergores sehingga mengeluarkan darah. “Hanya segini?” tanya Agam sambil mengusap dari dari sudut bibir. Tidak ada yang berani melawan. Agam mendekat kepada laki-laki yang sudah melecehkan Zia. “Bangun!“ sentaknya sambil menarik kerah baju. “A-ampun…” laki-laki itu meminta pengampunan agar Agam tidak lagi memukulnya. Tangan Agam sampai bergetar karena emosi yang tertahan. Matanya menajam seakan ingin memangsa orang di depannya. “Ampun?” beo Agam sambil tertawa keras. “To-tolong, jangan pukul saya.” Kedua telapak tangan laki-laki itu menempel. “Ampun,” lirihnya lagi. Agam melayangkan tamparan. “Takut?” ucapnya. Laki-laki itu mengangguk cepat. “Bagaimana dengan perempuan yang ingin kamu lecehkan?“ Laki-laki itu meneguk air ludah dengan susah payah. Agam menendang perutnya sambil terkapar di lantai. “Ma-maaf, sa-saya minta maaf.” Laki-laki itu memohon dengan sisa tenaga yang ada. “Apa semudah itu? Bagaimana dengan trauma yang dia dapatkan?” Agam tahu bagaimana rasanya ketika seseorang mengalami trauma. Bahkan rasa trauma itu sangat menakutkan “Jawab!” bentak Agam. Tidak ada jawaban selain kata maaf dan ampun yang keluar. Apa pelaku pelecehan itu memikirkan korban yang mengalami trauma seumur hidup? Kesenangan sementara membawa luka serius dalam diri korban. Mereka benar-benar gila dan pantas untuk dihukum. Bahkan mereka tidak pantas hidup bahagia diatas penderitaan korban yang terus dihantui rasa ketakutan. Agam kembali memberi pukulan. Kali ini lebih brutal. Darah segar mengalir begitu saja. “Sudah Bos, sudah. Dia bisa mati.” Zero langsung menghentikan Agam. Tangan Agam memar, bahkan kilat emosi tidak bisa disembunyikan. Agam menutup wajah dengan tangan. Dia kehilangan kendali karena emosi sudah menguasai diri. Jika Zero tidak menghentikan, maka Agam bisa saja menjadi pembunuh. Agam menarik nafas dalam-dalam. Dia tidak boleh hilang kendali karena itu sangat menakutkan. “Lebih baik kita pergi Bos,” ucap Yu. Agam belum selesai. Dia perlu memberi peringatan kepada Tante Nina untuk tidak mengganggu Zia kedepannya. “Jika ingin tetap hidup, maka jangan pernah ganggu hidup Zia lagi.” Baru pertama kali, nama Zia keluar dari mulut Agam. Tante Nina mengeluarkan air mata karena rasa takut yang besar. “Mengerti?” tanya Agam dengan tatapan tajam. “Me-mengerti,” jawab Tante Nina terbata-bata. “Jika merasa bersalah, silahkan hidup dengan baik di balik jeruji besi.” Agam tersenyum miring. Tante Nina menggeleng. “To-tolong, jangan.” Dia bahkan memegang kaki Agam sambil memohon. Tentu saja Agam tidak akan luluh. Perbuatan mereka sudah sangat kelewatan. Mengambil hak anak yatim piatu, merusak hidupnya, melakukan kekerasan fisik dan verbal. Agam menendang Tante Nina agar terlepas dari kakinya. Ia memberi instruksi kepada Lp agar memberi laporan kepada polisi. Sebelum meninggalkan rumah, Agam membawa barang-barang Zia yang penting. Hal yang paling utama adalah dokumen-dokumen penting. Agam membawa sampai isi kamar kosong. Zia tidak bisa lagi hidup dirumah ini. Setelah menyelidiki tentang Tante Nina, Agam mendapat fakta bahwa rumah ini telah dijual untuk melunasi hutang-hutang judi Tante Nina. Zia butuh tempat aman agar bisa menyembuhkan trauma walaupun butuh waktu yang sangat lama. Sepeninggalan Agam dan anggota kelompok, polisi datang untuk meringkus Tante Nina dan teman-temannya. Agam sudah memberikan bukti kuat agar penangkapan dilakukan, termasuk tentang percobaan pelecehan, penganiayaan, narkoba, judi dan penipuan. Untuk penganiayaan Agam memberikan laporan visum Zia yang didapat dari rumah sakit. “Bos kemana?” tanya Zero. “Ada urusan, kalian silahkan kembali,” jawab Agam. Ia mengemudi mobil menuju rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari dan ternyata Zia belum tidur sama sekali. Agam tidak marah atau berkomentar karena sudah sangat lelah. Ia hanya masuk dan langsung berbaring di sofa. Agam tidur setelah memastikan Zia tidur bukan pura-pura tidur. Anehnya, baru beberapa menit berlalu Zia sudah berada di alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN