Nikah?

1525 Kata
"Kakak kenapa?" Zia kaget ketika mendapati wajah Agam yang penuh dengan memar. Bahkan darah sudah kering di sudut bibirnya. "Apanya?" Agam pura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Zia. Jujur saja, seluruh tubuhnya terasa sakit. Bagaimana tidak karena beberapa pukulan mengenai tubuhnya. "Itu..." Zia menunjuk wajah Agam. "Oh." Agam tidak berkomentar lebih padahal Zia butuh penjelasan dari mana asal memar itu berasal. Jika karena jatuh, itu alasan yang sangat tidak masuk akal. Apalagi Zia bukan anak kecil lagi. Zia mengepalkan tangan karena kesal. Kalau tahu begini, ia tidak akan mau capek-capek bertanya. Baiklah, Zia seperti tidak mengenal sosok Agam saja. Dia bagaikan kulkas sepuluh pintu. Meskipun begitu, Zia tidak peduli. Kedepannya kulkas sepuluh pintu itu akan terbakar sendiri. Zia tersenyum miring seakan menyimpan ribuan rencana. Hari ini, Zia sudah diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Tinggal menunggu infus habis, maka Zia sudah bisa pulang. Agam menyelesaikan semua pembayaran rumah sakit. Baru 2 hari dirawat, bobot tubuh Zia naik 2 KG. Biasanya jika dirawat, bobot tubuh berkurang tapi Zia malah sebaliknya. Selama dirawat, Zia makan makanan yang bergizi. Dia tidak terlalu khawatir karena tidak bersama tante Nina. "Aku nggak mau pulang," ucap Zia saat Agam selesai membayar tagihan rumah sakit. Agam menatap Zia. "Ini rumah sakit," balasnya. Kali saja Zia lupa jika tempat ini adalah rumah sakit bukan hotel. "Aku nggak mau pulang." Zia tetap kekeh karena takut bertemu dengan tante Nina. "Kenapa?" "Aku nggak mau dipukul lagi," cicit Zia dengan suara pelan. Meskipun begitu, Agam dapat mendengar dengan jelas. "Jangan jadi lemah." "Aku juga nggak mau jadi lemah, tapi aku bisa apa, Kak?" Zia menatap dengan pandangan penuh kefrustasian. "Ck, nggak usah banyak alasan." Agam mulai membereskan kamar. Ada bungkus-bungkus plastik yang berada di atas meja. Mau bagaimanapun menolak, Zia harus tetap keluar dari rumah sakit. Sembari menunggu kedatangan dokter untuk pemeriksaan terakhir, Zia dan Agam sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Jika waktu bisa dihentikan, maka Zia akan langsung menghentikan waktu. Tapi apa boleh buat karena dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan waktu. Suasana kamar sunyi dan Agam tidak tertarik dengan kerisauan Zia. Pemeriksaan terakhir selesai, dokter mengatakan kondisi Zia sudah sangat baik. Dia hanya butuh istirahat dan banyak makan makanan bergizi. "Kak," rengek Zia sambil menunjukkan wajah sedih. Ia berharap Agam berbaik hati untuk tidak mengantarkannya pulang ke rumah. "Lo mau tinggal disini sendiri?" Agam memberikan tatapan tajam. Zia menggeleng. "Tapi aku nggak mau pulang." Tidak ada respon dari Agam. Ia tetap mendorong kursi roda dimana Zia duduk. Padahal Zia sudah bisa lari, tetapi suster malah menyediakan kursi roda untuk mengantarkan Zia sampai ke dalam mobil. Agam kira kursi roda itu akan didorong oleh suster atau orang rumah sakit, tetapi perkiraan Agam salah karena dirinyalah yang mendorong kursi roda tersebut. "Kak..." Zia kembali merengek. Sungguh nyali yang luar biasa. "Gue pusing dengar lo rengek. Lo bukan anak kecil lagi!" Sangat mengejutkan karena Agam mengeluarkan kata-kata dengan penuh penekanan. Nyali Zia langsung terjun bebas. Lebih baik Zia mencari aman dengan mengunci mulut. Bisa-bisa kalau Zia tidak mencari aman, Agam mendorongnya ke jurang penuh kegelapan. Mobil sudah ada di depan rumah sakit. Agam meminta tolong kepada Yu untuk ke rumah sakit. Sebenarnya Yu penasaran siapa perempuan yang dibawa oleh bosnya itu. Tapi Yu masih ingin hidup aman sentosa sehingga tidak mau bertanya yang macam-macam. Zia masuk ke dalam mobil. Ia sedikit takut karena melihat orang asing di dalam mobil. "Dia bukan orang jahat," ujar Agam agar Zia tidak terlalu takut. Sungguh ajaib, alam bawah sadar Zia mempercayai perkataan Agam sehingga rasa takutnya perlahan-lahan berkurang. Zia duduk di kursi belakang sambil memeluk tas yang berisi beberapa helai pakaiannya. Sedangkan Agam duduk di samping kursi pengemudi. "Kita kemana Bos?" tanya Yu karena tidak tahu kemana tujuan bosnya itu. Agam menentukan tujuan di GPS navigasi sehingga Yu tinggal mengikuti arah yang ditampilkan. Sepanjang perjalanan yang tidak tahu entah kemana, suasana mobil sangat sunyi. Yu tidak berani menghidupkan music atau radio karena tidak disuruh oleh Agam. Apalagi Agam terlihat memejamkan mata. Diam-diam, Yu mengintip perempuan yang dibawa oleh sang bos dari kaca spion dalam. Hanya 3 kali karena Yu tidak takut ketahuan mengintip. Bisa-bisa dia dilempar ke kolam yang berisi buaya oleh sang bos. Perjalanan memakan waktu empat puluh lima menit, Yu mengenal daerah dimana mobilnya berada. GPS navigasi menunjukkan suatu tempat dan Yu dihantui rasa kebingungan. Apa ia salah membaca GPS atau sang bos salah menentukan tujuan? Yu hanya bisa menggaruk kepala. "Bos," panggil Yu memberanikan diri. Bahkan ia memanggil dengan suara yang sangat pelan. Agam membuka mata sambil memegang leher. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tapi Agam tidak mau terlihat kesakitan. Selagi rasa sakitnya masih bisa ditahan, maka Agam tidak akan memperdulikan tubuhnya sendiri. “Sudah sampai?” tanya Agam sambil melihat keadaan luar. “Maaf Bos, saya salah.” Yu mengakui salah karena berhenti ditempat yang aneh baginya. Agam keluar dari mobil. Melihat itu, Yu panik dan langsung ikut keluar dari mobil. “Maaf Bos, saya salah membaca arah,” ucapnya lagi. Agam mengerutkan kening. “Salah apa?” Yu menunjuk kantor dimana mereka berhenti sekarang. Agam tidak memberi respon. Ia mengetuk jendela dimana Zia berada. Jangan harap Agam akan berinisiatif untuk membuka pintu. Hal itu tidak akan terjadi. “Kenapa?” tanya Zia yang ikutan bingung. “Lo minta nikah bukan?” Agam bertanya dengan sangat santai. Padahal pembahasan tentang nikah bukan perkara sembarangan. “Ha???” Yu kaget luar biasa. Apa yang sedang terjadi sekarang? Yu seperti tersesat di lautan yang tidak berujung. “Sekarang nikahnya?” tanya Zia balik. Dia bahkan tidak kaget sama sekali. “Hm.” “Tapi aku nggak pegang dokumen identitas.” Zia menunjukkan kedua tangannya kosong tanpa membawa apapun. Agam mengeluarkan dokumen yang mereka butuhkan. Kali ini, Zia baru kaget. Bagaimana mungkin Agam memegang dokumen-dokumen penting miliknya. “Gue masih banyak kerjaan, lo mau nikah apa enggak?” Agam kembali bertanya. Kali saja Zia berubah pikiran sehingga mereka tidak jadi menikah. Zia mengangguk dengan semangat. Keduanya berjalan masuk ke bangunan tempat pendaftaran pernikahan. Agam sudah melakukan pendaftaran secara online dan memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Agam tinggal mengucapkan ijab kabul. Soal wali, Zia tidak memiliki wali nasab sehingga wali hakim yang akan menggantikannya. Mereka menikah secara sederhana. Bahkan pakaian yang mereka gunakan adalah pakaian biasa. Sebelum ijab kabul, wali hakim bertanya tentang kesediaan Zia menikah. Wali hakim tidak ingin ada keterpaksaan sehingga memastikan lebih dulu. Perasaan Zia sedih, bukan karena menikah dengan Agam. Namun ia sedih karena tidak ada sosok sang ayah. Bagaimanapun, semua anak perempuan menginginkan wali nikah utama yaitu sang ayah. Agam mengucapkan qabul dengan satu tarikan nafas. Prosesnya tidak lama, dan mereka sudah sah menjadi suami istri. Yu menjadi saksi atas pernikahan itu. Wajahnya menyiratkan rasa kebingungan yang luar biasa. Bayangkan saja, sang bos menikah secara tiba-tiba. Pikiran Yu jadi kemana-mana. Bahkan terlintas dalam pikirannya jika perempuan yang menjadi istri bosnya sekarang sudah hamil. “Kenapa?” tanya Agam kepada Yu. “Ti-tidak Bos.” Yu menjawab dengan terbata-bata. Jangan sampai isi pikirannya bocor dan sampai pada telinga sang bos. “Ya sudah, jalankan mobil.” Yu buru-buru menjalankan mobil untuk pulang ke rumah sang bos. Zia tersenyum, entah kenapa hatinya merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Perjalanan kembali sunyi, bagaimana mungkin Yu bisa yakin jika bosnya sudah menikah jika suasana seperti sekarang. Biasanya pasangan suami istri akan bermesraan, tapi ini bersentuhan saja tidak. Yu bisa melihat ada jarak antar keduanya, tapi kenapa bisa mereka menikah? Bayangkan jika berada dalam posisi Yu sekarang. Otaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan pikiran yang terkadang tidak masuk akal sama sekali. Agam memiliki 2 bangunan, satu ia beli dan satu lagi ia sewa. Satu bangunan yang ia tempati sekarang dan satu bangunan lagi ditempati oleh Yu, Lp dan Zero. Berhubung Agam sudah menikah, maka Zia akan tinggal bersamanya. Agam tahu Zia untuk sekarang, Zia akan kesulitan untuk berinteraksi atau bertemu dengan orang-orang baru. Oleh karena itu, Agam akan memindahkan ruang kerjanya di bangunan dimana Yu, Lp dan Zero tempati. Mau tidak mau, Agam juga akan mengenalkan Hiro kepada yang lain. Mobil sudah sampai di depan rumah. “Yang lain udah sampai?” tanya Agam karena beberapa menit yang lalu ia menyuruh Lp untuk datang menjemput Yu. Mobil yang mereka pakai sekarang adalah mobil Hiro. “Udah Bos, itu…” Yu menunjuk mobil sedan yang sudah terparkir rapi. “Siang, Bos.” Zero dan Lp menyapa. “Hm,” balas Agam seadanya. Ia menunggu Zia keluar sendiri dari mobil. Namun sudah beberapa menit berlalu, Zia tidak menunjukkan batang hidungnya. Agam mengetuk jendela, tapi Zia tidak kunjung keluar. Akhirnya karena tidak ingin membuang-buang waktu, Agam masuk kembali. “Kenapa nggak keluar?” tanyanya. “Mereka siapa? Kakak nggak jual aku kan?” Zia berpikir yang tidak-tidak. Agam menghela nafas panjang. “Nggak ada yang mau beli lo,” balasnya tajam. Zia lega, padahal kalimat yang Agam lontarkan cukup kasar. Akhirnya dia keluar, tapi Zia bersembunyi dibalik tubun Agam. “Siapa?” tanya Lp kepada Yu. "Istri bos." "Haa...?! Istri bos? Emang kapan bos nikahnya?" teriak Zero. "Iya! Kok bisa?" "Jangan-jangan hamil sebelum menikah ya?" Kehebohan semakin menjadi karena ide bodoh ini. “Berisik amat, ada apa ini?” Hiro menunjukkan batang hidungnya. Keadaan sungguh membingungkan. Apalagi ada perempuan di tengah-tengah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN