“Gak boleh mengganggu, berbuat kebisingan dan tidur terpisah. Kalau kamu mau makan atau lakukan hal diluar kamar, usahakan Ketika saya tidak ada. Gak usah khawatir sama kebutuhan rumah tangga, setiap dua hari sekali ada yang control kulkas dan bersihin apartemen.”
“Wow.” Rebecca tertawa hambar. “Itu mah kayak yang bukan nikah, aku gak diajarin kayak gitu.”
“Tapi kesepakatan itu bisa bikin kamu dapetin tanah lebih banyak.”
Rebecca diam.
“Atau enggak sama sekali.”
“Nanti kalau ketahuan kita nikahnya kayak nikah-nikahan gimana, Mas?”
“Kalau di depan orang kita harus berusaha sebisa mungkin buat nutupin itu, harus kelihatan baik-baik aja.”
Rama menatap lama perempuan yang kini menghela napas dan membuka cadarnya. Mata birunya menatap Rama. “Nikah gak seburuk itu, aku juga gak sejelek itu, Mas. Masa gak mau nidurin aku?”
“Kata saya apa? Jaga jarak dari saya,” ucapnya berjaga-jaga saat Rebecca mendekat.
Perempuan itu memutar bola matanya malas. “Tapi nanti yang kerja disini cewek kan?”
“Iya, kamu gak perlu khawatir. Uang bulanan nanti saya transfer, minta semua kebutuhan ke saya. Jangan sampai orangtua kamu nyangka saya gak punya uang,” ucapnya sambil mengeluarkan kartu disertai pin nya, menggantikan ponsel Rebecca dengan yang lebih bagus hingga membuat perempuan itu bertepuk tangan.
“Makasih banyak, Mas.”
Tanpa menjawab, Rama melangkah masuk ke koridor dibelakang ruang televisi. Rebecca segera mengikutinya. “Ini kamar kamu.”
Kamar mereka berhadapan. “Kalau kamar ujung itu kosong?”
“Yang ini aja, biar gak keliatan jauh.”
Ada 4 ruangan di koridor tersebut yang saling berhadapan, 3 diantaranya kamar dan satunya lagi perpustakaan. Apartemen yang cukup besar, tapi bukan penthouse. Meskipun begitu apartemen Rama memiliki loby nya sendiri, kolam renang pribadi dan begitu luas meskipun dalam satu lantai.
Rebecca suka dengan kamarnya, tapi dia lebih suka melihat wajah tampan Rama. Membereskan dulu pakaiannya dan membuka baju gamis. Karena jadwal siang, Rebecca memakai baju santai dulu. Melihat dapur dengan makanan yang penuh menambah semangatnya untuk memasak. “Jadi inget masa-masa sama si Mama. Banyak makanan enak,” ucapnya mulai memasak.
Rama mematung melihat penampilan Rebecca yang berbeda 180 derajat dari biasanya. “Mas mau berangkat sekarang? Aku bikinin bekal makan siang gimana?”
“Gak usah. Saya mau berangkat.”
“Ouhh tunggu!” Rebecca berlari ke arah Rama yang membuat pria itu melotot dan melangkah mundur.
“Mau apa? Saya bilang jangan buat ker¾” Rebecca hanya ingin mencium tangannya.
“Hati-hati dijalan, Mas. Jangan lupa berdoa sebelum naik mobil ya.” Sambil tersenyum menampilkan seluruh giginya.
Setelah Rama pergi, barulah Rebecca berfikir bagaimana caranya dia mendapatkan hati suaminya. Karena berangkat siang, Rebecca sedikit bersantai. Dia sengaja pergi berjalan kaki ke kampus karena cukup dekat, untuk menikmati hari yang panas sambil berfikir terkait rumah tangganya.
Drrttt… drtttt…
“Hallo, Assalamualaikum Ummi?”
“Tadi Ummi nguping pembicaraan Abi sama kakeknya suami kamu. Katanya terkait tanah itu bakalan diurus sama suami kamu. Tolong percepat supaya dana yang terkumpul bisa segera disalurkan.”
“Ummi, kami baru nikah kemarin.”
“Kesepakatannya kayak gitu. Ini demi kepentingan semua orang. Tolong minta suami kamu bersiap juga kalau nanti ada dana kurang ya.”
Terasa berat bagi Rebecca sampai dia berjalan dengan lemah. Di saat yang bersamaan, Kakek Ismail mengajak Rama bertemu di café yang ada dekat kantor advokatnya. Ingin menekankan Rama supaya mempercepat pembalikan nama dan memberikan tanah itu pada mereka.
“Tunggu seminggu dulu, kami baru nikah. Rama juga harus lihat apakah berjalan dengan baik.”
“Berjalan dengan baik apanya?”
“Bukan apa-apa.” Rama mengeruput kopinya sambil melihat keluar kaca. Keningnya berkerut mengenali seseorang dengan tas pink itu.
“Bukannya itu Becca ya?” Tanya Kakek. “Sekesal-kesalnya sama pernikahan ini, kamu gak boleh perlakukan istri kamu kayak gitu, Rama! Anterin dia dulu.”
***
Keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Rebecca, dia diantarkan oleh sang suami. Meskipun Rebecca menerima banyak nasihat untuk naik taksi. “Iya paham, Mas Ganteng. Sini salim dulu.” Menarik tangan Rama dan menciumnya. “Berangkat dulu ya!”
Selain berusaha mendapatkan perhatian Rama, Rebecca juga harus meminta Rama memproses tanah itu. Caranya dengan menuruti perintah Rama, salah satunya pulang dengan menggunakan taksi, menyiapkan makan malam dan Rebecca menunggu semalaman. Sayangnya, Rama tidak pulang hari itu. Sampai Rebecca pergi ke kampus lagi dan melewati kantor advokat sang suami.
“Gak papa deh, kan dia suami gue. Eh¾ aku maksudnya.”
Telpon dan pesan tidak dijawab, menjadi alasan Rebecca pergi kesana. “Assalamualaikum.” Begitu masuk.
“Selamat sore, Bu. Sudah buat janji?”
“Um, belum. Tapi saya mau ketemu Mas Rama. Saya istrinya.”
“Istrinya? Pak Rama ada di ruangannya.”
Rebecca diantarkan sampai ke depan, dia masuk dengan perlahan dan melihat Rama yang terlelap dengan wajah Lelah. Tumpukan berkas di depannya membuat Rebecca yakin kalau pekerjaan Rama sedang banyak. Dia berinisiatif membuatkan teh hangat dicuaca yang dingin seperti ini.
“Sari wangi biar pikiran terang.” Menyimpannya di meja tepat samping kepala sang suami.
Saat Rebecca ingin ke kamar mandi, dia baru menyadari kalau lampunya mati. “Mbak, lampu di kamar mandi dalam mati ya?”
“Oh iya, Bu. Belum dibetulkan. Ibu mau pakai kamar mandi yang diluar?”
“Gak usah yang ini aja.” Karena akan sangat merepotkan, Rebecca suka membuka kerudungnya dulu. Sengaja membukakan pintu agar cahaya masuk. “Duh, malah kena baju lagi. Harus dijemur inimah.” Tanpa berfikir Panjang, Rebecca membuka pakaiannya dulu.
Saat itulah Rama terbangun, pandanngannya langsung mengarah ke kamar mandi melihat perempuan berambut pirang yang hanya memakai pakaian dalam saja. Rama refleks bangun dan menyenggol gelas. CRAI!
“Akhhhh!”
“Mas!”
Teriakn Rama sepertinya membuat pegawainya panik, dia langsung berdiri dan menutup pintu kamar mandi.
“Bapak gak papa?”
“Gak papa. Jangan masuk kalau istri saya ada disini.”
“Ba-baik, Pak. Saya minta maaf,” ucapnya bergegas keluar.
“Mas, bukain pintunya. Becca takut kegelapan, Mas…”
****
“Makasih udah anterin kesini ya, Pak.”
“Sudah tugas saya, Bu.” Supir yang bekerja di kantor Advokat Rama itu sudah pergi. Rebecca berbalik dan mendapati sang suami sudah melangkah lebih dulu. Sepertinya dia marah. Tangan kanannya harus dibalut perban karena melepuh, salahnya membuat teh dengan air terlalu panas.
“Mas, mau makan malam sama apa?”
“Urus diri kamu sendiri aja.”
“Becca minta maaf, tadi niatnya pengen Mas seger lagi. Ditambah kemarin malam gak pulang dan gak ngasih kabar, Becca jadi khawatir, Mas.”
Sebelum masuk kamar, Rama berbalik menatap sang istri. “Gak perlu khawatir sama saya. Itu juga salah satu kesepakatan. Kalau saya gak pulang, pasti punya kesibukan sendiri.”
Bibir Rebecca melengkung kebawah, dia pergi ke kamarnya dan merenung sendirian. Dekat dengan Rama tidak dapat, tanah juga belum. Dia malah mengacaukan semuanya. “Harus gimana biar bisa deket sama cinta pertama aku huhuhuhu.”
Namun setiap ada kesempatan, Rebecca akan berusaha untuk mengambilnya. Menjelang malam, dia mendengar suara dari arah dapur. Ternyata Rama sedang berusaha untuk memasak dengan tangan kanan yang tidak bisa digunakan. “Mas, Rebecca bantu ya.”
“Gak usah.” PRANG! Mangkuk stainless stell itu malah jatuh. “Saya mau bikin telur orak arik.”
“Biar aku yang masak! Mas duduk nunggu aja,” ucapnya dengan riang. Merasa menjadi istri yang berguna Ketika bisa memasak sambil memandang Rama yang duduk memeriksa ipadnya. “Udah selesai makanannya, Mas!”
“Simpen aja disitu.”
“Mas kan susah makannya, aku suapin ya.” Datang dengan membawa piring berisi makan malam sang suami. “Coba buka mulutnya.”
“Saya bisa sendiri.” Rama mencoba menggunakan tangan kiri, tapi nasinya malah tumpah ke sofa.
“Tuhkan, aku yang suapin aja.”
Kali ini, Rama menerima suapan, tanggung membaca beberapa hal di ipad. Makanan Rebecca tidak terlalu buruk juga.
“Enak ‘kan?”
“Hmm… lumayan.”
“Aku bisa masakin Mas tiap hari, bilang aja Sukanya makan apa aja.”
“Gak perlu. Makasih makan malamnya, saya mau istirahat.”
Rebecca mengangguk sambil mengulum senyum, terbayang-bayang dirinya yang menyuapi sang suami. “Hihihiii seneng banget deh.”
CRAI! Kembali terdengar suara kaca pecah, Rebecca berlari ke kamar sang suami. “Mas? Duhh, biar aku bantu kalau butuh apa-apa.”
“Saya Cuma mau buka kancing.”
“Tapi gak bisa kan? Sini aku bantuin.” Satu lagi membantu Rama membuka kancing pakaiannya, sebelum diia dipaksa keluar.
“Oke makasih, sekarang kamu keluar.”
“Ya ampun, gak usah dorong-dorong juga kali, Mas. Hehehe.”
Pintu ditutup kencang, tapi tidak membuat Rebecca kehilangan senyumannya. Dia malah meleleh, duduk di depan pintu kamar Rama sambil mengingat kejadian 15 tahun lalu saat dirinya berusia 6 tahun.
Ketika Rebecca sedang menangis kencang karena tidak kunjung dijemput sang Mama, seorang pria datang dengan memberikannya lollipop. “Hei, adek cantik gak boleh nangis. Mau permen lollipop?”
Bahkan Rebecca masih teringat bagaimana tubuhnya digendong untuk Kembali ke sekolah dan menunggu ibunya disana. “Jangan nangis lagi ya, Kakak punya banyak lollipop disini. Buat kamu.”
“Kakak sapa?”
“Rama.”