Pengantin Baru

1917 Kata
Tiga tahun sebelumnya….. Rebecca, gadis berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA. Karena merasa pusing belajar terus menerus, Rebecca menolak untuk kuliah lagi pada Ibunya. “Yaudah terserah kamu, tapi jangan sampai buat ulah.” Namun karena tanpa pengawasan orangtua, Rebecca bisa melakukan apapun terlebih lagi sang Ibu memberikannya fasilitas yang tidak terbatas. Apartemen, mobil dan juga uang. Rebecca menghabiskan hari-harinya dengan pesta Bersama dengan teman-temannya. Memiliki banyak pengikut di i********: dan menjadi pusat perhatian laki-laki. Drrtttt…. Drtttt…. “Bec, hape lu bunyi tuh.” “Dari Mama gue,” ucap perempuan yang baru saja berulang tahun ke 18 tahun segera mengangkatnya. “Hallo, Ma?” “Kamu belanja apa aja sampai tagihan membludak hah?!” “Kata Mama aku boleh belanja apa aja.” “Ya enggak gitu juga Rebecca!” “Becca! Mau ikut gak? Pesta kembang api yok?!” teriak salah satu temannya. “Siapa itu, Becca? Kamu main sama cowok malem-malem gini?” “Ma, gak Cuma berdua kok. Ini ditemenin sama temen yang lainnya. Udah dulu ya, nanti ngobrol kalau Mama pulang dari Luar Negara,” ucapnya mematikan panggilan. Rebecca berlari keluar tempat karaoke, teman-temannya sudah menaiki motor. Rebecca memiliki tempat tersendiri. “Silahkan, Tuan Putri,” ucap sang ketua geng. “Kita mau ngapain sekarang?” “Liat kembang api.” Mereka membelah jalanan, menyalakan kembang api sepanjang jalan mengganggu orang-orang. Bagi mereka, itu adalah hal yang menyenangkan. Setiap hari melakukan itu, sempat melakukan aksi kejar-kejaran Bersama polisi. Rebecca tidak asing lagi dengan alcohol, dia terbiasa minum sampai teler. Namun hari itu, dia tiba-tiba terbangun di kantor polisi dengan tuduhan penyalahgunaan n*****a. “Aku gak pakai n*****a, Pak polisi!” Tapi hasil tes menunjukan fakta bahwa Rebecca menggunakan n*****a jenis h****n. Ketika Ibunya datang, Rebecca dibuat semakin sedih Ketika sosok itu mengatakan, “Mama pusing ngurus kamu yang gak mau kuliah dan terus main-main. Beres rehabilitasi, kamu bakalan dijemput sama Ayah kamu. Kamu ikut keluarga dia.” “Gak mau! Rebecca mau sama Mama! Mamaaaa!” itu menjadi hari terakhir Rebecca bertemu dengan Ibunya, dia dibawa ke asrama tempat remaja menghabiskan waktu rehabilitasinya. Karena tidak mau tinggal dengan keluarga Ayahnya, Rebecca beberapa kali berusaha kabur. Pura-pura sakit, mendobrak pohon sampai menaiki benteng. “Bentar lagi gue lewatin benteng ini.” Dan BYUR! Ternyata dibalik benteng itu saluran kotor. “Astaga, Beccca!” teriak sang pengurus. “Kalau aja kamu bukan anak kiyai, udah saya kasih hukuman.” “Tolonggg biarin aku pergiiii! Gak mau disiniiii!” berteriak Ketika dua penjaga membawanya Kembali masuk, kaki Rebecca terluka hingga tidak bisa berjalan dengan benar. Tapi itu tidak membuatnya menyerah, tangan Rebecca mengusap wajah kedua penjaga itu hingga kotor. Begitu dapat celah, dia berlari lagi. “Ahahahahahaha gak dapat! Gak dapat! BRUK!” Tubuh besar dan kokoh seorang pria membuat Rebecca jatuh terlentang. “Heh… lu….. astaga.... Mas gulali!” ucapnya tersenyum. Pria itu hanya bisa melihat gigi putihnya saja, dia kotor dan bau. “Pak Pengacara, saya mohon maaf atas kekacauan ini. Anak ini sedang masa rehabilitasi disini.” “Lepasinnnn! Seenggaknya izinin aku liat wajah ganteng Mas Gulali buat hiburan! Lepasinnn!” teriaknya Ketika dibawa pergi lagi. “Pak Rama?” “Dia gak salah masuk ‘kan? Bukan harusnya ke Rumah Sakit Jiwa?” “Hehehehe, anaknya memang seperti itu.” Flashback off. *** “Mas inget sekarang? Emang jodoh gak kemana ya. Yuk kita jalani ritual malam pertama dulu.” Rama panik Ketika Rebecca membuka kerudungnya, kemudian kancing bajunya. “Tunggu dulu, saya perlu penjelasan.” “Penjelasan apalagi sih. Kita tinggal bikin anak.” “Minggir, bangun dari tubuh saya. Bangun.” “Ih ya ampun, sabar dulu kenapa.” Rebecca terburu-buru bangun dan tanpa sadar menginjak kerudungnya sendiri hingga BRUK! Kali ini jatuhnya Rebecca lebih kuat hingga dia langsung tidak sadarkan diri. Rama bergegas memeriksa apakah ada luka, untuknya tidak ada. Menghela napas lega karena perempuan ini diam sekarang. Dengan otak yang penuh tanda tanya, Rama mengangkatnya ke atas ranjang. Memandang lama Rebecca yang Sebagian bajunya sudah melorot. Ini lebih mengejutkan daripada menikah mendadak. Rama tidak bisa diam begitu saja, dia butuh penjelasan. Dia keluar dari kamar dengan rahang mengetat. Merasa tidak adil karena tidak diberitahukan apapun tentang istrinya. Rama ingin mengajak bicara ayah mertuanya, tapi langkahnya terhenti saat melihatnya terbatuk-batuk dan dibantu oleh santri untuk duduk di kursi. “Minum dulu, Abi,” ucap istrinya. “Istirahat aja, tamu biar anak-anak yang handle.” “Gak bisa, ini hari membahagiakan.” “Ummi tau kalau Abi Bahagia, tapi Abi juga harus jaga Kesehatan.” “Anak bungsu kesayangan Abi akhirnya nikah, jadi tenang sekarang.” Kondisi yang tidak memungkinkan untuk menodong berbagai pertanyaan terkait Rebecca. “Eh, Nak Rama diluar? Perlu sesuatu?” “Tidak, Bu, say---” “Ummi, manggilnya Ummi.” “Iya, Ummi. Saya harus ke kantor sebentar, ada hal penting yang harus saya urus.” “Malam ini?” tanya Ibu Malihah. “Rama ini pengacara ternama, pasti ada hal yang mendesak sampai harus pergi di malam pernikahannya ‘kan?” “Maaf. Becca sedang istirahat, saya tidak membangunkannya karena kasihan.” Untungnya Pak Achmad mengizinkan Rama pergi. Pria itu ingin menyelidiki apa benar Rebecca terbukti pelaku penyalahgunaan narkooba. Malam hari dia mengganggu temannya untuk memberikan data tentang Rebecca, hingga Rama bisa langsung pergi ke rumah Kakeknya di tengah malam. Untuk mengeluarkan kekesalannya, apa Wanita seperti ini yang Kakek berikan pada Rama? “Pak Rama?” asisten kakeknya tampak kaget. “Baru mau pulang, Pak?” “Iya. Bapak ada perlu apa? Bapak Ismail baru saja tidur.” Tapi Rama mengabaikan dan tetap melangkah masuk, sampai dia berhenti melangkah saat melihat tumpukan berkas. Membuat asisten kakeknya panik. “Kalau kamu beresin, itu bikin saya lebih curiga.” Rama merebutnya dan melihat. Kakeknya mempersiapkan untuk membalikan nama beberapa tanah miliknya. “Tanah ini menjadi milik saya sekarang ‘kan? Kakek seharusnya meminta izin pada saya untuk menggunakannya.” “Kesepakatan itu dilakukan sebelum anda memiliki seluruh tanah milik Bapak Ismail.” “Tetap saja transaksinya masih dalam proses saat tanah sudah menjadi milik saya.” Menatap sang asisten itu. “Jadi, anak itu ditukarkan dengan tanah? Mereka menjualnya?” “Ini kesepakatan yang sama-sama saling menguntungkan. Tanah akan dibangun untuk pondok pesantren, dan anda mendapatkan istri yang baik.” “Istri yang baik?” Rama tertawa. “Saya menginap disini. Ada yang harus saya bicarakan dengan Kakek.” Sang asisten menelan salivanya kasar. Dia juga akan menginap disini demi Kesehatan majikannya. *** Kakek Ismail tidak tahu kalau Rama akan tetap berontak sampai sekarang. “Memang dengan Rebecca menjadi istri kamu, Kakek kasih mereka tanah buat bangun pesantren. Apa salahnya? Mereka juga kasih anak yang sholehah buat jadi istri kamu.” “Istri sholehah? Dia pernah menyalahgunakan narkooba dan direhabilitasi. Beberapa kali mengacau dijalanan juga.” Dengan mudahnya Rama mengeluarkan bukti itu di atas meja. Kakek Ismail menghela napasnya dalam. “Itu masa lalu, Becca udah jadi anak yang berbakti dan sholehah sekarang.” “Kakek udah tau?” “Dia tinggal sama Ibunya sejak kecil tanpa figure seorang Ayah. Cuma bertemu beberapa kali sama Achmad karena gak diizinkan sama Ibunya. Dia bukan Wanita yang paham agama, jelas Rebecca tumbuh jadi anak yang kayak gitu. Tapi setelah sama Achmad, dia sekarang jadi Wanita yang sholehah.” Rama tertawa tidak percaya. “Jangan sampai kamu kecewakan Kakek. Pulang kesana dan temui istri kamu. Dia yang terbaik, Rama.” “Maka permasalahan tanah ini juga akan Rama ambil alih. Kakek menjanjikan seluruh tanah buat Rama kalau nikah.” “Tapi itu jatah buat pesantren, kamu gak boleh Tarik lagi.” “Gak akan Rama Tarik lagi, Cuma diurus aja.” “Kamu mau kemana sekarang?” “Lakuin apa yang kakek mau.” Rama pergi dengan surat-surat tanah yang memang sudah menjadi miliknya. Walaupun Ismail mantan Hakim, tapi Rama lebih cerdik. Dia pasti punya bukti yang konkret yang bisa menyerang ismail jika dia tetap menahan tanah itu. Meskipun Rama tidak menyukai pernikahan ini, tapi dia bukanlah orang yang tidak bertanggung jawab. Imagenya sangat penting, Rama membeli dulu beberapa makanan enak sebelum Kembali ke pesantren. Terlihat Achmad yang sedang duduk diberanda rumahnya langsung tersenyum senang melihat mobil Rama parkir di garasi. “Nak Rama, Abi kira pulangnya masih lama.” “Saya ingin membawa Becca Bersama dengan saya, Abi. Apartemen tempat saya tinggal dekat dengann kampusnya, itu akan memudahkannya.” “Abi tidak bisa menahan karena kalian sudah menikah. Sering saja datang kesini, rumah di sebrang jalan itu punya kamu sama Becca.” Ruma para dewan guru memang membentuk kompleksnya sendiri. “Semua anak-anak Abi tinggal disini. Tapi karena Becca menikah dengan pengacara yang punya kesibukannya sendiri, Abi memakluminya.” “Terima kasih.” “Sarapan dulu disini ya.” Rama masuk ke dalam rumah setelah pembicaraan selesai. Karena kamar Rebecca ada di belakang, Rama bisa melihat dapur dimana Rebecca berada disana dengan Ibu Malihah. “Aduh, Becca. Yang bener dong ah, kamu bisanya bikin Ummi kesel aja.” “Nggak tuh, Becca bikin Ummi sama Abi bangga. Kan sekarang kalian dapet tanah buat bangun pesantren lagi. Emang gak seneng?” “Mulutnya dijaga. Kalau orangtua ngomong itu cukup didengerin, gak usah dibalas. Paham?” Rebecca diam. “Kenapa gak jawab?” “Katanya gak usah jawab, Ummi pikun atau gimana sih?” sambil menyingkab kerudungnya yang hampir terkena air. Rebecca kesal ditinggal oleh sang suami semalam tanpa melakukan malam pertama. “Udah tuh ya, Becca mau mandi dulu.” Begitu masuk kamar, senyuman Rebecca mengembang. “Mas Rama,” pekiknya dan merentangkan tangan hendak memeluk. Rama dengan sigap menahan kepala perempuan itu hingga tidak bisa menyentuhnya. “Duh, aduh ih kenapa ditahan? Sakit kepala tahu.” Rengeknya sambil membenarkan letak kerudung. Perempuan yang usianya 11 tahun lebih muda dari Rama itu hanyalahh seorang anak kecil di mata Rama. “Beresin baju kamu, kita pindah ke apartemen saya.” “Alhamdulillah! Akhirnya bisa minggat dari tempat ini. Hehehehe, makasih Mas Rama Sayang.” “Kamu mau ngapain?” “Cium lah ngapain lagi?” “Jaga jarak kamu dari saya, Becca.” “Ohhh… masih kaget ya? Nanti dikebiasain deh liat wajah cantik aku. Sekarang mau packing dulu ya.” Rama tidak berlama-lama di kamar, dia menunggu di ruangan lain sambil berbincang dengan kedua mertuanya. Dengan keadaan sekarang, Rama bisa menebak kalau Rebecca lahir dari istri mudanya, dan sekarang mereka sudah tidak Bersama lagi. Ketika sarapan, Rama terbiasa tenang dan sendirian. Tapi sekarang ada Rebecca disisinya yang terus mengajak bicara, juga turut mengotori piringnya dengan terus memberikan lauk. “Makan ini juga, Mas. Biar kenyang.” “Suami kamu udah kenyang kayaknya, jangan ditambahin mulu.” “Biar kuat ya, Mas?” Rama tidak bisa apa-apa karena kedua mertuanya disini. Namun, kesempatan baginya menjelaskan aturan Ketika mereka berdua sudah di dalam mobil. “Mas, kenapa diem mulu sih?” “Kamu tahu kalau pernikahan ini menguntungkan kamu ‘kan?” “Huh?” “Kamu ditukar dengan tanah.” “Ouhh…. Kan Mas juga dapat istri yang cantik plus pinter, cocok kan? Meskipun dulunya nakal, kan sekarang nakalnya buat kamu aja, Mas.” “Saya bisa menahan tanah itu, hingga keluarga kamu gak akan mendapatkannya. Kakek Ismail gak bisa lakuin apapun karena secara sah itu semua sudah menjadi milik saya.” “Kok pelit?” gumam Rebecca denga suara kecilnya. “Kenapa gitu? Itu tanah yang penting buat Ummi sama Abi. Kan kesepakatannya gitu.” “Saya mau buat kesepakatan baru sama kamu. Jika kamu mengikuti apa yang saya katakana, bagian tanahnya akan lebih besar.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN