PROLOG
“Tergantung anak sulung kamu, kalau dia gak mau nikah dengan orang pilihan Kakek, maka kalian semua gak akan dapet warisan sepeserpun.” Kakek Ismail sampai mengetuk tongkatnya pada granit hingga menimbulkan suara.
“Gak bisa gitu dong, Kek! Ini Ari udah nikah, bentar lagi kasih Kakek cicit. Gak adil kalau harus Abang yang nikah. Dia mah perjaka tua, udah gak ada niatan mau nikah.”
“Keputusan Kakek biar mendorong dia nikah, karena itu penyempurna ibadah. Kakek kasih kalian waktu sampai Rama datang ke rumah kakek dan menyanggupinya.”
Kakek Ismail bangun dari duduknya dibantu sang ajudan. Mantan Hakim Ketua itu keluar dari rumah anaknya dengan santai berucap, “Bagus ya bunganya.”
Meninggalkan keluarga Kusumadiningrat dengan wajah yang panik. “Pah, masa iya kita gak dapet sepeserpun hartanya Kakek, 1000 hektar mau dikasih ke orang lain?”
“Mas, Ayah kamu itu gak pernah main-main sama ucapannya. Kita harus gimana.”
“Arimbi sampe nikah cepet demi warisan kakek loh, Pah,” rengek anak bungsunya.
“Tapi nyatanya yang Kakek kamu inginkan itu Abang kamu. Dimana dia sekarang?”
“Di Papua, lagi ngurusin kasus pertambangan.”
Rama Kusumadiningrat, anak pertama dari pasangan Surya Kusumadiningrat dan Rima Rumania. Usianya mengkhawatirkan kakeknya karena tidak kunjung menikah. 32 tahun dan sibuk bekerja sebagai pengacara. Dari satu kota ke kota yang lain demi menghindari desakan keluarga.
Drrttt…. Drrttt…
“Pak, hapenya bunyi,” ucap rekan kerjanya.
Rama menatap lama sebelum berdiri dari duduknya dan mengangkat diluar ruangan. “Hallo, Ma? Rama lagi rapat. Kenapa?”
“Kakek kamu tadi kesini, ngasih peringatan terakhir. Kalau kamu harus nikah. Kakek kasih kamu waktu seminggu buat datang ke rumahnya.”
“Berapa kali Rama bilang kalau pernikahan buat Rama itu gak akan ada. Kalau masalah cicit, kan Arimbi lagi hamil sekarang.”
“Dia khawatirin kamu, Bang. Bagi Kakek kamu nikah itu Sebagian dari Ibadah, kamu udah tua.”
“Ibadah bisa pake jalan lain, gak harus nikah, keputusan aku tetep sama, Ma.” Mematikan telpon dan Kembali ke ruangan.
Selama dua minggu di luar pulau, Rama membatasi dulu pesan dan panggilan dari keluarga demi kemenangan kasus yang sedang ditangani. Kembali ke Jakarta juga di dini hari supaya tidak diketahui keluarganya. Namun, Rama dikagetkan dengan keberadaan adik iparnya yang menduduki kursi di depan pintu, dia tertidur pula.
“Eh, abang udah pulang?” Reza yang hampir terkantuk lantai itu langsung bangun. “Arimbi maksa mau nunggu disini, tapi saya gak izinin.”
“Kenapa?”
“Mama masuk rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Dia di ICU.”
“Gimana? ICU?” Sedrama apapun Mamanya, tidak sampai masuk ICU. Rama langsung pergi terburu-buru meninggalkan adik iparnya yang memanggil meminta tebengan. Kesal pada sang Mama, tapi tidak mengharapkan hal ini terjadi.
Sepertinya ini bukanlah scenario, karena tatapan Surya begitu tajam saat Rama tiba. “Dihubungi sejak dua minggu yang lalu tapi diabaikan. Untung aja Mama kamu masih bertahan hidup.”
Tanpa banyak bicara, Rama masuk ke ruang ICU. Hanya ada Mamanya sendirian disana, dengan berbagai alat yang terpasag ditubuhnya. Tubuhnya kurus, wajahnya juga pucat.
“Pak, tolong jangan ganggu pasien ya. Beliau baru saja tertidur,” ucap sang perawat masuk.
“Penyakit apa?”
“Bengkak jantung, dan kemungkinan ada tumor di paru-parunya. Kami harus memastikan napasnya stabil dulu, baru bisa ditindak lebih.”
Ibunya tidak pernah sejauh ini. Rama menghela napasnya dalam dan memejamkan mata beberapa saat. “Saya hanya akan diam, gak akan ganggu dia.” Meminta sang perawat pergi.
Surya masuk, melihat kebingungan di mata anaknya. “Papah gak bisa maksa kamu nikah. Cuma alasan Mama kamu mau nikah sama Papa ya karena Papa banyak hartanya, sekarang Kakek kamu tiba-tiba bilang kalau tanah itu mau dikasih ke orang lain.”
“Rama bisa beliin lebih banyak tanah buat Mama.”
“Yang Mama kamu inginkan ya punya Kakek kamu, tanahnya strategis dan emang warisan keluarga.”
Menikah? Rama menertawakan dirinya sendiri.
“Ram, Kakek yang pilihkan calon kamu. Itu pasti yang terbaik.”
***
Disinilah Rama sekarang, rumah tua dengan halaman luas. Kakek Ismail sedang menyiram bonsai, senyumannya mengembang melihat Rama keluar dari mobil. “Gak kesasar nemu rumah Kakek, Ram?”
“Hampir aja salah belok,” ucapnya duduk di kursi yang ada di depan teras. Pelayan membawakan teh dingin seolah tahu ada pembahasan panas diantara mereka berdua.
“Kamu telat datang, Kakek dalam proses kasih itu tanah ke oranglain.”
“Tanah itu alasan Mama mau nikah sama Papa. Rama gak harus dijatah, tapi yang lainnya kasih sesuai aturan.”
“Ini juga hak kakek memilih kasih ke orang lain ‘kan?” Ismail meminum teh dinginnya dengan santai. “Kakek kasih kamu kesempatan satu kali lagi, nikahi perempuan yang Kakek pilih.”
“Seenggaknya kita harus ketemu dan saling kenal.”
“Gak usah, kamu ketemu dia langsung nikah. Namanya Rebecca, anak bungsu dari pimpinan pondok pesantren. Dia paham agama, dan bisa jadi istri yang baik buat kamu. Sekarang dia lagi kuliah PAI semester empat, usianya baru 21 tahun, pinter banget dan cekatan, aktiv organisasi juga. Dia bisa ngimbangin kamu dalam debat juga.”
“Rebecca? Gak kayak anak pesantren.”
“Ibunya emang blasteran dan dia yang kasih nama.”
Terdesak keadaan, akhirnya Rama berucap, “Oke, Rama bakalan nikah sama anak itu.”
Keputusan itu membuat Ismail tersenyum dan menepuk bahu Rama. “Bagus, dia bisa jadi penyeimbang kamu, yang ngingetin kamu biar jadi pengacara yang baik.”
Rama hanya menunggu waktu, tidak terlibat dalam persiapan pernikahan ataupun mendapatkan informasi apapun mengenai calon pengantinnya lagi. Yang Rama lakukan hanyalah ke kantor advokat miliknya, menangani beberapa kasus dan masuk ke kampus sebagai dosen tamu.
Hanya tinggal dua minggu lagi dirinya menikah. Di kampus yang sama Rama mengajar sekarang, katanya sang calon istri juga kuliah disini. Dengan semua rasa penasaran, Rama berjalan-jalan ke FKIP prodi PAI. Barangkali disana ada calon istrinya.
“Rebecca!” teriak seorang perempuan sebelum berlari ke rombongan dibelakang Rama.
Menoleh dan kaget melihat kelompok perempuan memakai cadar dengan pakaian serba hitam. Yang mana Rebecca? Namun Ketika mereka lewat, Rama mendengar salah satunya berkata, “Kiww kiww, cowok ganteng.”
Yang membuat kericuhan pada yang lain dan langsung bergegas pergi dari sana. Bukan itu calon istrinya ‘kan? Genit sekali.
Untuk sesaat, Rama mengalihkan pikirannya pada pekerjaan. Sampai waktunya tiba, dia harus pergi ke pesantren menjemput sang istri disana. Pernikahan dilaksanakan di masjid, para santri sudah menyambut kedatangannya. Rama tidak menyangka dirinya akan ada di posisi ini.
Kakek Ismail tampak senang, dia ternyata bersahabat dengan calon mertua Rama. “Ganteng sekali calon menantunya Abi. Ayok biar kita yang gandeng sekarang.”
Fokus Rama hanya pada dirinya sendiri. Ketika waktunya ijab Kabul, Rama mengatakannya dalam sekali tarikan nafas. “Saya terima nikahnya Rebecca Mariana putri bapak untuk saya dengan mas kawin 210 gram emas dibayar tunai.”
Kata SAH langsung menggema di telinga Rama. Tidak lama setelah itu, pengantin perempuan diizinkan keluar. Mata birunya begitu cantik meskipun dibalik cadar, dengan pakaian serba putih. Semua orang terbelalak, kagum dan memuji. Namun Rama hanya focus sampai perempuan itu berdiri di depannya kemudian mengulurkan tangan untuk mencium tangan Rama.
***
“Mama kenapa diliatin sama orang-orang ya?”
“Kerudungnya turun, Ma. Jangan gitu, ini di pesantren,” ucap Arimbi membenarkan kerudung sang Mama. Dia berdehem merasa dirinya juga diperhatikan orang-orang sekitar. “Udah ngomong sama menantu Mama?”
“Belum, tadi lagi dibawa pergi sama Kakak-kakaknya.” Senyuman Rima langsung terbit Ketika besannya datang. “Ibu Hafsiah, bagaimana kabarnya?”
Sedikit banyak Rima mencari tahu tentang informasi umum pesantren ini. “Saya Malihah, Hafsiah itu Ibu saya yang sudah meninggal.”
“Uhuk! Kayaknya saya salah baca informasi, maaf maaf.”
“Tidak apa-apa, mari duduk disana.”
“Mau ketemu Becca. Dia dimana ya?”
“Tadi kejepit rambutnya, lagi dibenerin. Tuh dia balik lagi ke suaminya.”
Terlihat Rebecca yang diantarkan oleh dua kakak perempuannya yang seusia Rima. Anak bungsu yang usianya jauh berbeda dengan kedua kakaknya. Rama yang tadinya tengah berbincang dengan Papah dan Kakeknya itu langsung dipanggil untuk menyambut tamu Bersama dengan sang istri.
Tidak banyak pembicaraan antara Rama dan istrinya, karena nyatanya Rama tidak peduli sama sekali. Cukup untuk membuat Ibunya senang, maka Rama menjadi tenang. Perasaannya hambar, bahkan Ketika adiknya menggoda malam pertama. “Kita pulang dulu ya, Abang yang betah disini.”
“Bang, Mama curiga sesuatu deh.”
“Udah ayok pulang, Ma.” Surya menarik sang istri pergi dari sana.
Karena pernikahan dilaksanakan sore hari, maka Rama dan Rebecca tidak terlalu lama bertemu dengan orang. Rebecca sudah Kembali ke rumah lebih dulu, Rama tertinggal karena dia Bersama dengan ayah mertuanya; Pak Achmad. Mereka membicarakan terkait tanah pesantren pada awalnya, sampai…., “Rebecca itu anak yang aktif, ceria dan sangat special. Saya mempercayakannya pada Nak Rama karena yakin kalian bisa saling melengkapi.”
“Saya akan berusaha yang terbaik,” ucap Rama. Usia Pak Achmad sama dengan usia Kakeknya, mereka berteman baik.
“Saya tidak akan melarang Nak Rama membawa Rebecca, tapi kalian juga dapat jatah rumah disini. Tapi untuk sekarang masih dalam proses pengecatan, jadi sementara tidur dirumah bapak dulu.”
“Tidak masalah, Pak.”
“Nah, kamar Becca yang ada tirai pink itu ya. Kamar mandinya di dalam, Nak Rama bisa dengan nyaman berkenalan dengan Becca.”
“Baik, terima kasih, Pak.”
Dengan penuh ketenangan, Rama mengetuk pintu. “Masuk,” jawab seseorang dari dalam. Begitu membuka pintu, Rama kaget melihat Rebecca yang sedang mengangkat koper ke atas lemari, kesusahan dengan pakaiannya yang begitu tertutup.
“Biar saya bantu.”
“Uh, makasih. Aduh, berotot sekali,” ucapnya sambil terkikik malu-malu.
Itu menjadi nilai minus untuk Rama dan membuatnya melangkah mundur setelah membantu. “Kamu jangan merasa tidak nyaman, saya tidak akan menuntut apapun. Pernikahan ini atas keinginan orangtua kita., jangan menjadi beban untuk kamu.”
“Hmmm?” mata birunya mengadah menatap Rama.
“Saya mau mandi dulu.”
“Gak usah mandi, Mas. Kan nanti juga keringetan,” ucap Rebecca menahan pergelangan tangan Rama. “Kita kan udah sah, gak ada yang Namanya tekanan untuk saya, yang ada saya pengennya ditekan sama Mas. Kenapa Mas malah mundur mundur?”
“Kamu kenapa maju-maju?”
“Emangnya sama suami sendiri gak boleh? Bahkan saya bisa lakuin ini,” ucapnya mencubit daada Rama yang membuat pria itu kaget. “Arggh!”
Rama yang panik menginjak baju dilantai BRUK! Hingga jatuh dan menarik Rebecca hingga menimpa tubuhnya. “Aduhhh…, liat banget daadanya.” Siku Rebecca menahan cadar tanpa sadar hingga penghalang itu merosot tatkala Rebecca mengangkat kepalanya.
Rama diam sejenak. “Kamu?”
“Iya, aku istri kamu. Cantik ‘kan?” Rebecca membuka penuh cadarnya.
“Kamu?! Bukannya kamu yang dulu ada di pusat rehabilitasi narkooba?!” Rama menatap terkejut
“Hehehehe, Mas Pengacara inget juga. Jadi Sayangmu ini gak perlu perkenalan diri dulu ya? Bisa langsung gas. Mau gaya apa, Mas?” Rebecca menduduki perut Rama dan mulai melucuti pakaiannya.