BAB 22

920 Kata
"Mau kemana sih?" Zio tersenyum. "Rahasia dong." "Ih, nyebelin." Raya cemberut. Zio terkekeh, tangannya terulur untuk menggenggam tangan gadis itu, satu tangannya fokus pada kemudi. Hari ini hari minggu, seminggu setelah kejadian makan malam di rumahnya waktu itu, Raya masih belum mengetahuinya karena Zio sengaja tidak memberitahunya. Zio tidak Raya merasa sedih lagi. "Jangan pulang terlalu sore ya," pinta Raya. "Kenapa?" "Aku ada tugas buat dikumpulin besok. Banyak." Zio tidak menyahut, hanya tersenyum saja. Hari ini adalah hari ulang tahun Raya yang ke 17 tahun. Mungkin gadis itu tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya sendiri. "Kita ke apartemen Kakak," ucap Zio. Satu kali tikungan lagi, mereka sampai di jalan utama apartemen Zio. "Ngapain?" tanya Raya. Zio hanya mengangkat bahunya, enggan menjawab. Beberapa menit kemudian, Zio berhasil memarkirkan mobilnya di basement apartemennya. "Kak..." Zio hanya terkekeh mendengar rengekan Raya. Pintu lift terbuka, mereka keluar dan langsung menuju unit apartemen Zio. "Tutup matanya," ucap Zio, ia memasangkan dasi yang sengaja ia bawa untuk menutupi mata gadis itu. "Kenapa harus di tutup?" tanya Raya. "Udah, diem aja. Sekarang masuk. Pegang tangan aku," ujar Zio lalu menuntun Raya untuk masuk. Raya protes, ia tidak suka seperti ini. Raya takut Zio meninggalkannya, lalu akan ada sesuatu yang buruk terjadi menimpanya. Oke, itu yang Raya pikirkan sekarang. Apalagi saat ia tidak dapat merasakan tangan Zio yang menggenggam tangannya, di situ Raya langsung ketakutan. Raya tidak bisa melihat dan Zio tidak ada di sampinya. "Kak? Kakak dimana? Jangan bikin aku takut ih." Kekehan lembut terdengar, ia menyadari bahwa Zio ada di depannya. Lalu sebuah tangan terulur untuk membuka penutup mata Raya. Saat mata Raya terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah Zio yang berdiri di depannya dengan sebuket bunga mawar merah. "Selamat Ulang Tahun, Sweetheart." Raya terkesiap, ia menutup mulutnya tidak percaya. Zio mengetahui hari ulang tahunnya padahal ia tidak pernah memberi tahu pria itu. Ia bahkan melupakan hari ulang tahunnya sendiri? Gadis itu memejamkan matanya ketika bibir Zio menempel di keningnya. "Happy Sweet Seventeen." Raya menatap sekeliling. Sial, matanya memanas. Kini ia menyadari bahwa sekarang mereka sedang berada di kamar Zio. Ruangan ini hampir semua terisi dengan balon. Ada balon yang berserakan dan balon yang mengapung. Beberapa balon yang mengapung menggantungkan foto-foto kebersamaan dirinya dengan Zio. Lalu di atas kepala ranjang ada balon dengan anggka 'Happy Birthday 17'. Di atas ranjang ada sebuah paper bag besar, boneka beruang berukuran jumbo, kue ulang tahun dan lilin yang disusun membentuk kata 'I Love You'. "Kak..."Raya menatap Zio dengan mata berkaca-kaca. Zio terkekeh ketika Raya langsung memeluknya dan menangis. "Hei, kenapa jadi nangis sih?" Zio tertawa kecil. "Aku... hiks..." Zio tersenyum, mengelus punggung Raya naik-turun, berharap itu bisa menenangkan gadis kecilnya ini. "Jangan nangis." Ia mengurai pelukannya, lalu mengusap wajah gadis itu. "Sekarang tiup lilinnya." Zio berbalik, mengambil kue ulang tahun bertuliskan 'Happy Birthday Sweetheart' dengan lilin angka 17. Raya tersenyum, ia memejamkan matanya dan berdoa. Setelah itu ia meniup lilin itu. Zio menaruh kembali kue ulang tahun itu, berganti memeluk Raya lagi. "Selamat ulang tahun, Sayang. Aku nggak bisa bikin kata-kata romantis kayak laki-laki di luaran sana. Aku nggak bisa kasih kamu sesuatu yang mewah, yang lebih dari ini. Aku cuma mau kamu selalu sehat. Apa pun yang terjadi, jangan jadikan itu alasan untuk kamu jatuh. Kamu gadis kuat, gadisku yang paling hebat." Zio mengelus pipi Raya dengan ibu jarinya. "Aku sayang kamu." Air matanya tak dapat Raya tahan, gadis itu mengangguk. "Aku juga sayang Kakak. Terima kasih untuk semuanya." Zio tersenyum, ia mengusap air mata itu lagi. "Ngeyel banget sih, dibilangin jangan nangis juga." Raya mengerucutkan bibirnya. "Nggak bisa." Zio terkekeh, ia menarik tangan Raya untuk duduk di pinggir ranjang. Ia mengambil sesuatu di dalam paper bag. Sebuah kotak berwarna hitam. "Kamu dan aku nggak akan pernah berpisah." ucapnya lalu mengambil tangan Raya untuk memasangkan cincin bermatakan berlian dengan ukiran nama lengkap Zio di dalamnya. Zio mengangkat tangannya, sebuah cincin yang sama melingkar di jari manis cowok itu. Nama Fabrizio Allegra terukir di cincin yang di pakai Raya. Sedangkan milik Zio terukir nama Britania Raya. Raya tersenyum dengan mata kembali berkaca-kaca. Ia benar-benar tersanjung. Seumur hidupnya baru kali ini ia diperlakukan begitu manis dan penuh perhatian seperti ini, membuat Raya benar-benar ingin menggenggam tangan Zio selamanya. "Apa pun yang akan terjadi suatu saat nanti padaku, kamu ataupun hubungan kita. Ingat, bahwa aku selalu mencintai kamu apa pun keadaannya. Walaupun kita berjauhan, ingat selalu bahwa aku selalu ada dihatimu," ujar Zio, tangannya mengelus pipi Raya. Raya mengangguk, membuat air matanya jatuh. "Aku pun. Apa pun yang Kakak rasakan, aku juga." Zio tersenyum, lalu memberikan kecupan di kening Raya sekali lagi. "Aku masih punya hadiah lain," ucapnya. Raya tertawa sambil menggeleng, masih dengan air matanya yang menetes mengaliri pipinya. "Bahkan ini udah lebih dari cukup buat aku." Zio menunjukkan sebuah liontin dengan bandul berbentuk hati yang terbuat dari butiran berlian. Astaga, berapa banyak uang yang Zio habiskan untuk kejutan ini? Setidaknya itulah pertanyaan Raya sekarang. "Kakak terlalu berlebihan. Uang Kakak bisa habis kalo gini caranya," ujar Raya. "Nggak berlebihan kalo menyangkut kamu." Zio tersenyum lalu memasangkan liontin itu ke leher Raya. "Aku nggak tau lagi harus bilang apa selain terima kasih untuk semuanya. Aku benar-benar sangat terkejut dan terharu," ujar Raya, lalu ia memeluk Zio dengan erat. "Terima kasih." "Apa pun buat kamu, Sayang," bisik Zio. Raya mengurai pelukannya, ia menangkup wajah Zio dengan tangan mungilnya. Mengusap rahang pria itu. "Kamu sempurna," ucap Raya berbisik. Zio tersenyum. "Karenamu. Aku merasa sempurna karena kamu hadir di sisiku." Zio menutup matanya ketika jemari Raya mengusap sudut matanya. Zio lalu berbisik. "Hadiah terakhir." Kini Raya juga menutup matanya ketika bibir mereka bertemu. Kedua tangannya ia alihkan untuk memeluk Zio. Hari ini adalah hari paling indah dalam hidupnya setelah kedua orangtuanya meninggal, dan Raya tidak ingin hari ini berakhir begitu saja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN