Jika kalian bertanya, hal apa yang paling membahagiakan dalam hidup Zio, jawabannya ada pada gadis yang tengah terlelap di depannya. Hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya adalah kebahagiaan Raya.
Hanya itu.
Tangan Zio terulur untuk menyingkirkan sejumput rambut yang menghalangi wajah cantik Raya, lalu menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuh gadis itu. Tangannya kini beralih untuk mengelus permukaan wajah Raya. Diusapnya pipi gadis itu dengan lembut, namun itu justru membuat Raya malah terjaga.
"Aku ganggu ya?" tanya Zio
.
Gadis itu menggeleng. "Aku tidurnya lama?"
"Hanya 2 jam."
Raya beringsut untuk lebih dekat dengan Zio, membuat pria itu terkekeh pelan.
"Masih ngantuk? Tidur aja, nanti sore aku bangunkan."
"Nggak. Aku laper." Raya terkekeh.
"Mau aku masakain?"
Raya mendongak, menatap Zio. "Memangnya Kakak bisa masak?"
Zio menyengir lalu menggeleng. "Delivery mau?"
Gadis itu mengangguk. Selanjutnya mereka kemudian beranjak dari kasur dan pindah duduk di ruang tamu selagi menunggu pesanan mereka. Raya tersenyum memandang jarinya sendiri. Ah, lebih tepanya menatap cincin yang Zio berikan kepadanya.
"Nggak usah diliatin gitu. Itu nggak bakalan hilang dari jari kamu kok," celetuk Zio.
Raya menoleh lalu tersenyum manis. "Makasih ya."
Zio mengecup keningnya. "Apa pun buat kamu."
Raya tersenyum. Lalu perhatian mereka teralihkan ketika suara bel berbunyi. Mereka saling tatap. Pikirannya sama. Mana mungkin kurir makanan datang secepat itu.
"Bentar ya," ucap Zio. Pria itu kemudian berlalu untuk membuka pintu. Mata Zio seketika membulat saat melihat siapa yang datang. "Mami?"
Ely menatap putranya tanpa ekspresi, kemudian berlalu begitu saja masuk ke dalam apartemen Zio. Wanita itu terkekeh sinis melihat Raya yang semula duduk sekarang berdiri karena menyadari kehadiran ibunya Zio.
Raya tau karena Zio pernah menunjukkan foto Ely padanya. "Tante..." Raya tersenyum canggung, ia tau Ely tidak menyukainya.
Ely mendelik sinis, kemudian mengalihkan tatapannya pada Zio.
"Mami ngapain ke sini?" tanya Zio, ia berdiri didepan Raya, seolah melindungi gadis itu.
"Mami mau memberikan kamu kesempatan."
Zio menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti maksud ucapan Ely.
"Tinggalkan dia, maka semuanya akan baik-baik saja."
"Kita udah bicarain ini, Mi. Zio gak akan berubah pikiran," ujarnya. Zio meraih tangan Raya lalu menggenggamnya.
Dapat ia rasakan tangan Raya gemeteran. Gadis itu pasti kaget dengan ucapan Ely yang tiba-tiba.
Wanita itu tersenyum miring. "Berarti kamu menginginkan gadismu ini kenapa-napa, Zio?"
"Mi..."
"Baiklah." Ely berbalik ke arah pintu. Kemudian menghilang dibalik pintu yang baru saja tertutup dan terkunci otomatis.
Zio menghela nafasnya kemudian berbalik menatap Raya yang masih bergetar. "Raya..."
Tatapan Raya lurus dan kosong, tangannya mencengkram tangan Zio yang menggenggamnya. Ia tau jika Raya ketakutan.
"Nggak akan ada yang terjadi, Raya. Percaya sama aku," ujarnya.
Raya beralih menatapnya, gadis itu menggeleng. "Kembalilah. Aku nggak pa-pa."
Zio menggeleng. "Aku nggak ngerti apa maksud kamu, dan aku nggak mau tau."
Zio menangkup wajah Raya. "Semua akan baik-baik aja, Sayang. Percaya sama aku."
Raya menunduk dan mulai terisak. "Aku nggak mau Kakak menderita hanya karena aku."
Zio kembali menggeleng, kali ini dengan tegas. "Jangan ngomong kayak gitu. Kamu hidupku, dan aku bahagia bersamamu." Zio langsung memeluk gadis itu. "Maafkan perkataan mami yang menakutimu. Aku janji nggak bakalan ada yang terjadi setelah ini."
"Kak... hiks!!"
Zio mengusap punggung Raya, menenangkan. "Jangan menangis. Ini ulang tahunmu. Aku mau kamu bahagia."
Raya menggigit bibir bawahnya, menahan tangis sekuat yang ia bisa. Lalu Zio melepaskan pelukannya ketika suara bel kembali terdengar. Kali ini delivery makanan yang datang.
"Makan yang banyak. Setelah ini aku akan kasih bonus buat kamu," ujarnya.
Raya membuka kotak makannya, ia menatap Zio dengan tatapan bertanya.
"Aku akan melakukan apa pun yang kamu suruh setelah kamu makan."
Raya tersenyum. "Apa pun?"
Seperti virus yang menular, Zio ikut tersenyum. "Apa pun."
***
"Hahahaaa..."
Raya tak kuasa menahan tawanya, ia tertawa terbahak-bahak melihat hasil karyanya pada
wajah Zio. Sedangkan pria itu hanya terkekeh kecil melihat gadis itu menertawakannya.
"Seneng? Puas? Mau lagi?"
Raya mengusap sudut matanya yang berair, ia meraih lipstick miliknya dan menekan pipi
Zio agar bibir pria itu mengerucut lalu memoleskan lipsticknya serapih mungkin.
Karena tadi Zio bilang jika pria itu akan melakukan apa saja yang Raya suruh, jadilah sekarang Raya memanfaatkan ini untuk bersenang-senang. Tertawa hingga menangis dan perutnya merasa sakit.
"Ih, cantik banget," ucap Raya. Dalam artian sebaliknya. "Harus lebih merah dong, biar kayak bendera Indonesia, kan kulit Kakak putih."
Zio hanya diam, membiarkan Raya melakukan sesuka hatinya pada wajahnya tampannya.
Selesai memoleskan lipstick, Raya kini menahan tawanya agar tidak meledak. Namun sebelum tawa Raya meledak, Zio lebih dulu menarik tengkuk Raya, lalu mengujami ciuman diseluruh wajah gadis itu hingga seluruh wajah Raya terdapat bekas kecupan bibirnya.
"Hahahahaaa ... Kakak!!" Raya tidak dapat menghidari kecupan Zio diseluruh wajahnya.
"Ahahaha..." Kali ini Zio yang terbahak. Melihat seluruh wajah Raya yang terdapat bekas bibirnya yang berwarna merah.
"Kak Zio ih," rengek Raya disela-sela tawanya. Gadis itu mengambil ponsel Zio yang tergeletak di atas meja lalu membuka aplikasi kamera. Ia meringis melihat pantulan wajahnya di kamera. Hampir seluruh wajahnya berwarna merah dan berbentuk bibir.
Raya mengerucutkan bibirnya. "Ih, curang."
Zio menahan senyumnya. "Apa yang curang? Itu barusah bonus kedua. Enak kan dicium cowok ganteng? Diseluruh wajah pula. Kurang baik apa coba aku?"
"Ih, merah semua, ‘kan."
"Biarin." Zio tersenyum, lalu mendekat. "Satu lagi yang belum kena."
Raya menatapnya dengan bingung, ia menaikkan sebelah alisnya. "Apa? Ini merah semua juga ih."
"Yang ini." Zio mengecup bibirnya.
Raya cemberut lalu. Ia menatap Zio dengan wajah cemberutnya yang menggemaskan.
***