Raya menjatuhkan bokongnya pada bangku panjang di depan kelas. Ia mengambil napas banyak-banyak sambil mengipasi seluruh wajahnya dengan menggunakan tangannya.
Olahraga tepat jam 11 siang membuatnya dua kali lipat kelelahan, ditambah sinar matahari yang lumayan menyengat karena berjalan menuju tengah hari.
Seseorang duduk di sampingnya, menyodorkan sebotol air mineral kepadanya. "Lo harusnya langsung ke kantin, Ray, selagi masih ada waktu sebelum abis ke pelajaran berikutnya."
Adi membuka tutup botol itu sebelum akhirnya menyodorkannya kembali kepada Raya.
"Gue cape banget," ucap Raya lalu ia meneguk minuman itu.
Hampir saja gadis itu menyemburkan minuman dalam mulutnya ketika matanya menangkap Zio berjalan di koridor sekolahnya. Pria itu nampak berjalan santai, mengabaikan banyak siswi yang mencuri-curi pandang ataupun terang-terangan memperhatikannya.
Dengan tangan tenggelam dalam celana bahan, setelan yang biasa Zio pakai ke kantor, cowok itu berjalan semakin mendekat ke arahnya.
Raya menggenggam erat botol minum ditangannya ketika Zio berhenti di hadapannya. Ia menundukkan kepalanya gugup.
"Ruang kepala sekolah dimana ya?" tanya Zio dengan seringaian kecil terbentuk di bibirnya, walaupun tidak ketara namun Raya melihatnya dengan jelas.
Adi berdiri, menatap sopan karena tau siapa Zio. "Di sebrang lapangan, Pak, tepat di samping perpustakaan."
Zio mengangguk kecil. "Terima kasih," ucapnya pada Adi. Lalu tatapan Zio teralih pada Raya yang menatapnya dalam diam.
"Ah, gue lupa!" Adi berdiri lalu berbalik ke pintu kelasnya. "Katanya, hari ini belajarnya di perpus. Bu Noni ngasih waktu 15 menit buat ganti baju, setelah itu semuanya ke perpus dan bawa buku catatan kayak biasa."
Raya menghela napas, biasanya selalu senang ketika belajar di perpustakaan, namun kali ini Raya sangat ingin memohon pada Bu Noni agar tetap belajar di kelas. Ruang perpustakaan dan ruang kepala sekolah bersisian, membuat Raya tidak ingin di sana karena ada Zio, walaupun pria itu tidak ada di hadapannya.
Zio akan membuatnya takut dan gugup.
***
"Pihak sekolah sepakat dengan semua guru Bahasa Indonesia, PKN dan Sejarah Indonesia kelas sepuluh dan sebelas jika acara penelitian ke museum nanti itu sebagai tugas kalian selama kelas duabelas melaksanakan ujian nasional..."
Raya mencoba memfokuskan dirinya pada Bu Noni yang menerangkan di depan sana.
"...kita akan berkunjung ke dua museum sekaligus. Yang pertama kita ke Museum Nasional Indonesia, yang kedua ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi."
Seorang siswi mengangkat tangan. "Semua murid kelas sepuluh dan sebelas wajib ikut?" tanya siswi itu.
Bu Noni tersenyum. "Ya, semua wajib ikut. Karena Ibu sendiri dan mungkin semua guru mata pelajaran yang bekerja sama dengan acara ini sepakat untuk menggunakan ini sebagai nilai ujian prakter akhir semester kalian."
"Bu, katanya kan kita disuruh bikin rangkuman tentang isi dari museum tersebut, berarti kita bikin tiga catatan rangkuman dong, Bu? Yah Ibu, pasti banyak dong," ujar Adi, diikuti desahan protes dari teman-teman yang lainnya.
"Tenang aja, kalian cukup bikin satu rangkuman saja dan kasih liat ke guru mata pelajarannya. Cukup kasih liat aja dan dikasih paraf. Selesai."
Semua bersorak gembira. Mereka tidak perlu cape kerja tiga kali. Namun seketika suara hening ketika dua orang pria dewasa masuk ke dalam perpustakaan.
"Ah, silakan dilanjutkan saja. Bapak cuma ngajak Pak Zio berkeliling sekolah saja," ujar kepala sekolah.
Zio hanya tersenyum, membungkuk sedikit sebagai sapaan untuk semua penghuni perpustakaan sekarang. Semua orang menatapnya, kecuali satu orang gadis yang malah mendunduk, membuat Zio gemas dan ingin menggodanya.
"Bu, boleh saya ganggu sebentar?" tanya Zio, berjalan mendekat kearah Bu Noni.
Bu Noni memandang Zio heran, namun karena ia tau siapa Zio, jadi Bu Noni hanya mengangguk sebagai jawaban.
Zio tersenyum. "Terima kasih." Pria itu mengalihkan tatapannya kepada semua siswa disana. "Gimana sekolah kalian? Apa kalian nyaman sekolah di sini?"
Kebanyakan siswi memekik tertahan ketika melihat senyum Zio. Senyum yang membuat mata pria itu menyipit dibuatnya.
Semuanya kompak berteriak. "NYAMAN BANGET!!" Siswi lebih mendominasi teriakan tersebut.
Zio tertawa kecil, membuat jantung kebanyakan perempuan di sana berdegup kencang. Termasuk Bu Noni dan penjaga perpustakaan, juga tak terkecuali Raya yang sialnya duduk persis berhadapan lurus dengan tempat Zio berdiri.
"Silakan lanjutkan belajarnya." Zio tersenyum kemudian mengucap terima kasih kepada Ibu Noni lalu pergi bersama kepala sekolah.
***
"Raya, kamu dipanggil kepala sekolah, disuruh keruangannya," ujar salah satu teman sekelas Raya yang baru saja kembali dari toilet.
"Ada apa ya?"
Cewek itu mengedikan bahunya. "Nggak tau. Ke sana aja gih."
Raya mengangguk. Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar, berjalan menuju ke ruang kepala sekolah. Ada dua kemungkinan kenapa kepala sekolah memanggilnya tidak seperti biasanya.
Pertama karena ulah Zio. Kedua karena benar-benar ada urusan dengan Raya.
Raya mengetuk pintu dua kali, lalu terdengar suara kepala sekolah menyuruhnya masuk. "Bapak manggil saya?"
"Duduk, Raya. Bapak manggil kamu kesini karena Pak Zio ingin bertemu dengan siswi yang mendapat beasiswa dari sekolah ini," ujar Pak Elang.
Raya melirik Zio, ia menajamkan tatapannya menegur Zio.
Pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum menyebalkan. "Pak Elang, bisa tinggalkan kami berdua? Saya ingin berbicara dengan siswi ini," ujar Zio seraya menaruh kembali gelas kopi di atas meja.
Pak Elang berdiri lalu mengangguk. "Baiklah."
Raya meremas tangannya gugup, ia melirik kearah pintu melalui ekor matanya. Pintu itu tertutup dan Pak Elang sudah keluar.
"Hai pacarku yang cantik." Zio tersenyum, menggoda Raya.
"Kak Zio!" Raya panik melirik pintu. "Nanti ada yang denger."
Dengan secepat kilat, Zio berpindah tempat duduk di samping Raya, membuat gadis itu
menolehkan kepalanya ke arah pintu dengan takut.
"Kak Zio..." Raya merajuk dengan penuh kepanikan.
"Apa sih, Sayang?" Zio mengusap pipi Raya.
"Nanti ada yang liat, kan gawat."
"Nggak akan ada yang liat, Sayang. Ini ruangan jendelanya tinggi. Pintunya juga ditutup," ujar Zio.
"Kak Zio ngapain sih ke sini segala, pake nyuruh aku ke ruang kepala sekolah, dan malah nyuruh kepala sekolah keluar." Raya berdecak sebal.
Zio mengecup pipi gadis itu, membuat Raya melotot dan memegang pipinya.
Jika bukan di area sekolah, apalagi ini ruangan kepala sekolah, Raya akan dengan senang hati membalasnya dan meminta lebih dari sekedar ciuman di pipi.
"Kak..."
Raya menatapnya dengan memelas, berharap Zio tidak melakukan sesuatu yang
aneh. Raya tidak ingin ada yang melihatnya berduaan saja dengan Zio di sini.
Tapi Zio, pria itu malah menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Raya. "Kakak kangen
sama kamu."
***