BAB 20

1120 Kata
Penelitian berjalan dengan lancar. Kini mereka semuanya sedang berada di museum terakhir dan sedang melakukan penelitian. Mendengarkan apa yang dijelaskan petugas yang bertugas mengantarnya mengelilingi museum. Raya memijat lehernya yang terasa pegal. Hampir dua jam lamanya mereka berdiri dan jalan-jalan, membuat sekujur tubuhnya terasa lelah. Zio, berjalan di barisan belakang itu melihat jelas kegiatan pribadi Raya yang memijat lehernya sendiri, membuat Zio dirundung rasa khawatir. Jika ia tidak mengingat pesan Raya yang menyuruhnya jaga jarak selama penelitian agar hubungan mereka tetap aman, Zio pasti sudah menghampiri Raya dari tadi. Merengkuh tubuh mungkil itu ke dalam pelukannya, menggendong Raya agar gadis itu tidak kelelahan, membiarkan kakinya menggantikan kaki Raya dan berjalan untuk gadis itu. Zio mengepalkan tangannya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk melihat Raya kelelahan seperti itu. Dengan cepat, Zio membuka ponselnya dan mengirim pesan pada gadis itu. Fabrizio : Acaranya 15 menit lagi selesai. Sabar ya. Aku nggak tega liat kamu kelelahan kayak gitu. Nanti kita pulang bareng. Jangan naik bus. Send. "Setelah ini langsung pulang, ‘kan, Bu?" tanya Zio kepada Ibu Noni yang berjalan satu langkah di depannya. Ibu Noni menoleh. "Iya. Tapi ke sekolah, baru ke rumah masing-masing." Zio tersenyum lalu mengangguk sekilas. Ia mengetik pesan lagi untuk Raya. Fabrizio : Sayang, kita nggak mungkin bareng dari sini. Aku akan tunggu kamu di restoran italy yang nggak jauh dari sini. Kamu tau, ‘kan? Tadi kita lewat sana. Waktu 15 menit itu cepat berlalu. Zio berpamitan terlebih dahulu kepada semua guru-guru yang ada di sana dengan alasan ada urusan kantor mendadak. Zio menyempatkan untuk melarikan pandangannya pada Raya sebelum akhirnya ia memasuki mobilnya dan pergi ke restoran tujuannya. *** "Bu, saya boleh nggak pulangnya pisah?" "Kenapa, Raya? Kamu di jemput?" tanya Bu Noni. Raya meremas tangannya. "Nggak, Bu, Raya ada urusan buru-buru." Bu Noni mengangguk. "Ya sudah. Kamu boleh pergi pisah sama rombongan. Hati-hati ya! Jangan lupa tugasnya." Raya mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih." Setelah berpamitan kepada guru-guru yang lainnya, Raya langsung pergi dari sana menuju restoran italy yang dimaksud Zio. Raya tau restoran itu dekat makanya ia milih untuk berjalan kaki, walaupun itu harus menambah rasa pegal di kakinya. Sesampainya di sana, ia tidak melihat Zio sama sekali, padahal mobil pria itu ada di parkiran restoran ini. "Britania Raya?" Raya terkesiap kaget. Ia menatap pelayan perempuan didepannya itu. Perlahan ia mengangguk kaku. "Pak Zio ada di ruangan VIP. Mari saya antar," ucap pelayan itu. Raya mengikuti langkah pelayan itu menuju lantai dua, lalu berhenti di depan pintu dengan nomor 12 yang terpasang di sana. "Silahkan masuk." Raya masuk tanpa pelayan itu. Gadis itu langsung menemukan Zio yang duduk sofa hitam dengan beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. "Kak Zio ngapain pake ruangan VIP segala," ucap Raya setelah menutup pintu. Zio menyambut Raya dengan senyuman dan pelukan hangat. "Kamu kelihatan kecapean, makanya aku pake ruangan VIP, biar kamu bisa istirahat walaupun di sofa." Raya memijit kakinya pelan yang terpasang sneakers putih. "Iya sih, tadi soalnya jalan mulu." Zio tersenyum, ia lantas jongkok di depan Raya, mangangkat kaki gadis itu dan menaruhnya di pangkuannya. "Kak Zio... nggak usah, Kak," ucap Raya, manahan tangan Zio yang hendak melepaskan sepatunya. "Kaki kamu sakit. Sini aku pijitin," ucap pria itu masih dengan berusaha melepaskan sepatu Raya yang satunya. "Nggak pa-pa, Kak." Zio memijit dengan lembut kaki Raya, betis hingga telapak kaki gadis itu, tanpa merasa risih sedikit pun. "Udah nggak pegel, Kok. Sekarang Kakak duduk lagi." Zio terkekeh dan menurut. Ia kembali duduk di samping gadis itu. Pria itu mengelus kepala Raya. "Kamu nggak pa-pa?" Raya tersenyum, lalu mengangguk. "Aku boleh makan?" Zio terkekeh. "Aku pesen buat kamu." Senyum gadis itu semakin mengembang lebar, membuat Zio gemas untuk tidak mencuri cium di sana. Tapi sepertinya Zio harus menahannya karena Raya sudah mulai makan spaghetti yang ada di atas meja tadi. Zio meraih spaghetti yang satunya lagi, lalu memakannya dengan masih memperhatikan gadis itu. "Tadi grogi ya karena ada aku?" Raya meliriknya, lalu mengangguk. "Cowok itu deket-deket kamu terus," ucap Zio lalu mendengus. "Aku nggak suka." "Siapa?" "Itu yang tadi pakai kemeja biru." "Oh, Adi? Dia temen sekelas aku," ucap Raya. "Aku nggak peduli mau temen sekelas atau bukan, yang jelas dia deketin kamu terus dan aku nggak suka itu!" ujar Zio, nada bicaranya ketus. "Ya ampun, Kakak, kami nggak ada apa-apa, kok." Zio menatap gadisnya. "Sejak kapan dia deketin kamu kayak tadi? Harus ya jalannya dempetan gitu? Nyesel aku nggak jalan di samping kamu tadi." Raya terkekeh, ia menaruh piring spaghetti itu lalu memegang tangan Zio. "Dia nggak deketin aku dan kami juga nggak dekat, dari dulu sampai sekarang." Gadis itu tersenyum. "Aku milik Kakak." Raya memeluk Zio, menyandarkan kepalanya di bahu lebar pria itu. "Aku mencintaimu." Zio tertegun, namun membalas pelukan gadis itu tak kalah erat. Membawa gadis itu kian merapat dalam pelukannya. "Aku lebih mencintaimu." "Jangan takut pada apa pun atau siapa pun. Hati aku, bahkan tubuhku sekali pun cuma milik Kakak. Orang lain nggak punya hak untuk itu." Zio terkesiap. "Tubuhmu?" ucapnya tanpa sadar, terdengar bisikan namun terdengar jelas ditelinga gadis itu. Raya terdiam, ia tanpa sadar menyebut tubuhnya milik Zio. Ia mengurai pelukannya, namun Zio tidak melepaskan tangannya dari pinggang Raya. "Kak," Zio menatapnya intens, membuat Raya terhipnotis karena tatapan tajam yang menghanyutkan itu. "Kamu milikku, Raya. Kamu milikku!" Raya mengangguk kaku. Gadis itu terkesiap lalu memejamkan matanya ketika bibir mereka bertemu. Terasa berbeda. Ada yang menuntut. *** "Kak Zio, aku masuk dulu ya." Zio tidak menjawabnya, ia hanya menyandarkan tubuhnya pada jok sambil terus memandang Raya menggenggam erat tangannya. "Jangan dulu masuk. Kakak masih kangen." Raya tertawa. "Kak, kita seharian bareng-bareng, lho." "Tapi kita nggak deketan, nggak pegangan tangan kayak gini, nggak pelukan juga." "Tapi Kakak bisa lihat aku, aku juga bisa lihat Kakak." Raya tersenyum manis, ia mengecup pipi kiri Zio. "Aku masuk ya. Nanti aku telepon Kakak." Karena hari sudah mulai sore, Zio membiarkan Raya pergi setelah mencuri satu ciuman yang membuatnya begitu kecanduan. Ia melambaikan tangannya begitu Raya akan masuk ke dalam rumahnya. Setelah memastikan Raya masuk, Zio melajukan mobilnya meninggalkan daerah tempat tinggal Raya. Setengah jam kemudian ia sampai di apartemennya. Begitu Zio masuk ke dala unitnya, ia sudah mendapati maminya dengan Kelly di sana. "Mami ngapain di sini?" Ely menyunggingkan senyum sinis. "Ternyata kamu emang tidak bisa hidup tanpa Allegra. Zio menaikkan satu alisnya tidak mengerti. "Kami pikir Mami nggak tau. Kamu menggunakan nama Allegra untuk masuk ke sekolah gadis SMA itu. Cih, menyerahlah, Zio." Ely melipat tangan di depan dadanya dan menatap Zio angkuh. Zio hanya tersenyum. "Ah, maaf kalo karena itu Mami sampai cape-cape dateng ke sini," katanya. "Tapi gimana ya, menyerah? Menyerah itu apa?" Ely terlihat kesal karena ucapan putranya itu. "Malam ini datang ke rumah untuk makan malam dengan keluarga Jeermy!" "Lihat nanti ya, Mi, soalnya jadwal Zio padat banget." Pria itu masih tersenyum. Ely menyunggingkan senyum miring. "Kamu ngelawan Mami?" Zio menggeleng. "Nggak, Mi, tapi gimana ya. Nanti aku tanya jadwal kosongku ke Vino dulu." Katakanlah Zio sedang melawan Ely tapi dengan cara yang halus. Ia tidak bisa sekasar itu pada Ely, walau bagaimanapun dia tetap ibunya. "Mami dan Kelly lebih baik pulang," ucapnya. “Zio cape banget, pengin istirahat.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN