Vino dan Raya berjalan beriringan menyusuri lobi dan masuk ke dalam lift. Beberapa staff yang akrab dengan Vino bertanya siapa gadis di sampingnya dan dengan santainya Vino menjawab bahwa itu adalah kekasih Zio.
"Kak Vino kenapa dikasih tau sama orang yang tadi," ucap Raya ketika mereka sedang berada di dalam lift.
"Biar kamu lebih mudah di sini, Raya. Saya yakin Zio akan melakukan hal yang sama," ujarnya.
Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, mereka kemudian berjalan menuju ruangan Zio yang terletak paling ujung. Lantai 13 adalah lantai terakhir, dan di lantai ini hanya ada ruangan Zio dan ruangan Vino sebagai sekretarisnya.
"Masuk."
Raya mengangguk. "Makasih ya, Kak."
Vino tersenyum lalu mengangguk singkat. Raya membuka pintu ruangan Zio. Raya
memasukan kepalanya terlebih dahulu, melihat situasi dan kondisi di dalam. Hal yang ia lihat adalah Zio yang sedang membolak-balikan kertas dan matanya sesekali menatap layar monitor laptop dan mengetikkan sesuatu.
"Kak Zio?" panggil Raya pelan.
Zio langsung mendongak, senyumnya terbentuk. Zio berdiri sambil melepaskan kacamata yang semula bertengger di hidungnya, lalu berjalan ke arah Raya.
Raya masuk dengan senyum di wajahnya.
Zio langsung memeluknya. "Aku kangen banget," ucapnya memeluk Raya erat.
"Kak Zio..."
Zio melepaskan pelukannya, ia kemudian menarik Raya untuk duduk di sofa. "Kita punya banyak waktu nih," ucap pria itu.
"Kak Zio sibuk ya?" tanya Raya.
Zio menggeleng. "Nggak, Sayang. Itu cuma beberapa berkas yang belum selesai aja."
Raya mengangguk, ia melepas tas punggung yang dipakainya.
"Kamu mau makan siang apa? Mau di sini atau di luar?" tanya Zio seraya mengelus rambut coklat Raya.
Raya tersenyum. "Terserah Kakak aja, tapi aku mau ngerjain tugas sebentar di sini nggak pa-pa ya numpang, hehe.."
Zio terkekeh. "Boleh. Sebentar ya." Zio beranjak menuju mejanya, mengambil laptop dan beberapa berkas lalu kembali duduk di samping Raya.
Raya terkekeh, ia mengecup singkat pipi Zio. "Biar semangat."
Zio merasa gemas, ia mencubit kedua pipi Raya lalu mengecup bibir gadis itu singkat. "Ini baru semangat," ucap Zio.
"Sakit." Raya mengusap pipinya dengan bibir mengerucut.
Zio terkekeh lalu menggelengkan kepalanya. Keduanya kemudian tenggelam dalam dunia
masing-masing. Zio yang sibuk menyelesaikan beberapa berkas yang tinggal ia tanda tangani, dan Raya yang sibuk dengan tugas yang tadi diberikan gurunya sebelum sekolah dibubarkan.
Setengah jam kemudian, Zio menyelesaikan tugasnya. Pria itu menutup map serta laptopnya.
"Kita delivery aja kes ini ya? Kamu mau apa?" tanya Zio.
Raya menoleh. "Samain aja."
Zio mengangguk, ia kemudian menelepon seseorang untuk memesankannya makanan. "Masih banyak tugasnya?" tanya Zio.
Raya menaruh pulpennya, ia menegakkan badannya lalu bersandai pada punggung sofa. "Cuma nyalin catatan aja sih, tapi masih agak banyak, nanti aja dilanjutin."
Zio meraih tangan kanan Raya, memijatnya lembut. "Biar nggak pegel," ucapnya.
Raya tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di bahu Zio dan menutup matanya.
Zio menarik Raya kedalam pelukannya, menyandarkan kepala gadis itu di dadanya.
"Kenapa kamu enak banget sih kalo dipeluk?" ucap Zio gemas.
Raya membalas pelukan Zio, lalu gadis itu tertawa pelan membalas ucapan Zio.
Lalu terdengar suara pintu ruangan Zio terbuka, bersamaan dengan suara Vino yang
terdengar.
"Saya sudah bilang kalo Boss Zio lagi nggak bisa diganggu," ucap Vino.
Zio dan Raya berdiri. Pria itu mendengkus dan menatap tajam Kelly yang menerobos masuk ke dalam ruangannya.
"Sorry, Boss, gue udah bilang kalo lo nggak bisa diganggu, tapi Kelly malah maksa," ujar
Vino.
"Kita harus makan siang bersama, Zio, Tante Ely yang nyuruh," ucap Kelly, kemudian ia
melirik Raya, meneliti penampilan Raya dari bawah sampai atas.
"Keluar," ucap Zio.
"Kamu siapa?" tanya Kelly, matanya menatap tangan Zio bertautan dengan tangan gadis itu. Raya diam, ia menggenggam tangan Zio erat meminta pertolongan.
"Dia—"
"Saya Kelly, calon tunangannya Zio," ucap Kelly memotong ucapan Zio.
Dengam refleks Raya melepaskan tangannya yang digenggam Zio. Sedangkan pria itu
membulatkan matanya terkejut. "Vin,"
Vino mengerti, ia menarik tangan Kelly untuk keluar dari ruangan Zio.
"Saya nggak mau pergi," ucap Kelly meronta. "Dia siapa, Zio? Apa dia masih keluarga Allegra?"
"Dia pacar saya dan kamu keluar dari ruangan saya!" teriak Zio. Pria itu maju dan mendorong Kelly untuk keluar dari ruangannya, lalu membanting pintu dan menguncinya.
"Tenang aja, Boss!" teriak Vino dari luar.
"ZIO!!" teriak Kelly.
Zio mengusap kasar wajahnya, ia kemudian berbalik dan berjalan kearah Raya yang masih diam. "Raya?"
"Kak," suara Raya terdengar bergetar menahan tangais.
"Nggak, Sayang, itu nggak akan pernah terjadi," ucap Zio.
Raya menunduk, air matanya lolos. Raya ketakutan, ia takut Zio meninggalkannya karena perjodohan itu.
Zio memeluk Raya dengan erat dan hangat. "Kita akan terus sama-sama, Sayang. Percaya sama aku."
Raya menggeleng, ia mencengkram jas yang dipakai Zio lalu terisak.
Zio mengurai pelukannya, ia menangkup wajah Raya. "Sayang, liat Kakak." Zio memaksa Raya untuk menatapnya. "Baik mami, Kelly, atau siapa pun nggak akan ada yang bisa ganggu hubungan kita. Aku nggak akan ninggalin kamu, Sayang?" ujar Zio dengan lirih.
"Aku takut. Nggak ada yang sayang sama aku selain Kak Zio."
"Jangan takut. Kak Zio akan terus sama kamu sampai kapan pun, kita akan terus sama- sama."
Zio mengusap pipi Raya dengan ibu jarinya, menghapus air mata yang membasahi wajah cantik gadis itu. Zio bersumpah tidak akan meninggalkan Raya sampai kapan pun, walau Ely memintanya sekali pun!
Raya memejamkan matanya saat bibir Zio menyentuh keninganya. Kecupan itu hangat, membuat Raya tidak merasa ketakutan lagi. Ia percaya Zio akan terus bersamanya, tidak akan pernah meninggalkannya.
"Cuma Kak Zio yang aku punya sekarang," ucap Raya lirih. "Aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Zio meraih tangan Raya lalu menggenggamnya erat. "Kamu lihat ini?" Zio mengangkat genggaman tangannya. "Ini nggak akan pernah aku lepas, artinya kita akan terus sama-sama. Kamu jangan pikirkan apa pun, Kakak akan memastikan semua orang nggak akan bisa menganggu hubungan kita."
Raya mendongak, menatap Zio dengan berkaca-kaca. "Aku nggak mau Kak Zio dibenci sama mami Kak Zio hanya karena aku."
Zio menggeleng, ia tersenyum. "Nggak, itu nggak akan terjadi. Semua, apa pun yang kamu takutkan, itu tidak akan pernah terjadi."
Raya mengusap air mata dengan punggung tangannya. Lalu ia memeluk Zio dengan erat seolah ia takut jika Zio akan pergi meninggalkannya. Apa jadinya Raya tanpa Zio?
***