Part 4 : Ternyata Dani itu?

1404 Kata
(PoV Suci) ***** "Gimana tadi di rumah keluarganya mas Arya?" tanya ibuku melihat aku yang sedang duduk di tepian ranjang. "Alhamdulillah..keluarga mas Arya responnya baik semua bu, orang tuanya sangat baik, adiknya mas Arya juga baik dan menurutku lucu." "Lucu?" tanya ibu lagi. "Iya bu...kalau menurut mas Arya sih adiknya itu jahil tapi kalau menurutku lucu aja." "Yang namanya Alya ya kalau gak salah?" aku mengiyakan tebakan ibu. "Ya sudah kamu rehat, sudah malam..ibu juga mau tidur." Sepeninggal Ibu dari kamarku, entah kenapa aku masih kepikiran soal siapa itu Dani. Aku putuskan untuk mengirim pesan pada Alya, menanyakan apakah mas Arya sudah sampai rumah. Kebetulan sekali tadi aku dan Alya sudah langsung akrab dan kami saling bertukar nomor telepon. Deggg… Aku membaca pesan balasan Alya dengan terheran sendiri, sebab sudah 1 jam lebih yang lalu mas Arya meninggalkan rumahku, semestinya ia sudah sampai rumahnya. Namun kata Alya mas nya itu belum sampai rumah. Aku ketar ketir sendiri menunggu balasan pesan dari mas Arya apakah ia sudah sampai rumah. Aku seperti trauma dibohongi oleh seseorang yang aku cintai. Dan betapa lega saat jawaban mas Arya mengatakan ia belum sampai rumah. Aku segera menepis rasa keraguan yang sempat mengganggu pikiranku sejak tadi. Tentang Dani itu, mungkin memang nama temannya mas Arya yang juga bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Aku menghempaskan badanku di ranjang dengan perasaan yang bahagia. Untuk kali pertama tadi aku dan mas Arya berciuman. Berdesir dadaku saat kilasan bayangan di mobil mas Arya tadi melintas di pikiranku. Segera aku menutup diri dengan selimut dan mulai memejamkan mata. ------ Dua hari kemudian, aku tergopoh sedikit berlari di koridor rumah sakit. Ibu mas Arya yang sebelumnya sehat-sehat saja harus dirawat inap sebab badannya yang mendadak panas tinggi dan lemas. Aku segera menjenguk tante Sofi, begitu mas Arya menelpon mengabarkan jika nanti malam tak jadi ke rumah sebab ibunya sakit. Aku terus melangkah menuju ruangan dimana tante Sofi dirawat. Aku mencari kamar pasien atas nama ibunya mas Arya. Dari jauh aku dapat melihat Alya yang sedang duduk dan disampingnya berdiri seorang perempuan tinggi semampai. "Mba Suci.." sapa Alya yang terkesan sedikit canggung. "Ibu bagaimana kondisinya sekarang Alya?" tanyaku tidak mempersoalkan mimik Alya yang menurutku mungkin saja karena sedang khawatir memikirkan ibunya. "Sudah lebih baik mba," jawab Alya. Aku menolehkan pandangan ke perempuan yang sejak tadi diam saja di samping Alya. Aku memberi kode bertanya pada Alya namun Alya tak bergeming, membuatku heran. "Ya sudah aku pamit dulu ya Alya, salam buat tante Sofi semoga lekas pulih," pamit perempuan itu, jalan berlalu begitu saja melewatiku yang sibuk berpikir siapa sebenarnya dirinya. Apakah kerabatnya mas Arya tapi mengapa aku merasa sikapnya dingin padaku. Kemudian Alya mengajakku masuk untuk menemui ibunya, namun tak urung aku mengiyakan ajakan Alya. "Tadi siapa Alya?" Alya terlihat salah tingkah hingga kemudian aku bertanya sekali lagi. "Itu tadi mantannya mas Arya," Alya menjawab pertanyaanku dengan menunduk. Mungkin dia merasa tidak enak hati denganku. Aku tersenyum dan mengusap pundak Alya. Berkata jika aku tidak apa-apa. Lagian sudah jadi mantan kan, pikirku. Namun pikiranku sejurus kemudian menjadi tidak nyaman ketika Alya memberitahu nama lengkap mantan mas Arya, Putri Hapsari Wardani". Entah mengapa pikiranku terfokus pada nama Wardani, apakah itu Dani nama kontak yang sempat membuat mas Arya senyum-senyum saat aku makan malam di rumahnya. Ya Allah..Ya Rabbi..semoga saja ini hanya pikiran jelekku semata. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh dulu soal ini pada mas Arya, aku tahu pasti mas Arya sedang risau memikirkan ibunya. Aku harus bersabar untuk menunggu mas Arya membuka ceritanya tentang dia, Putri. Dulu tak banyak yang aku ketahui tentang cerita masa lalu mas Arya. Setahuku mas Arya memang belum lama putus saat pertama kali mba Irma memberi nomorku padanya. Mungkin saja Putri itu orangnya, mantan mas Arya sebelum aku dan mas Arya menjadi dekat. Tak lama berselang, terlihat mas Arya datang ke rumah sakit. Sikapnya masih sama padaku, hangat seperti biasanya. Aku pun berusaha untuk bersikap biasa. Namun ketika mas Arya menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang, aku menolak. Kebetulan aku juga bawa mobil sendiri dan aku ingin mas Arya fokus pada kesembuhan ibunya. Harapanku hanya satu, Alya bercerita pada mas Arya tentang pertemuanku dengan Putri. Aku ingin mendengar langsung ceritanya dari mas Arya. Bagaimanapun aku merasa tak nyaman mendapati mantan mas Arya masih begitu peduli dengan menjenguk tante Sofi di hari pertamanya dirawat di rumah sakit. Hari berganti namun mas Arya tak kunjung membahas perihal Putri. Aku masih terus bersabar, setidaknya menunggu tante Sofi pulih terlebih dahulu. ------- Mas Arya mengabariku jika ibunya sudah dibolehkan untuk pulang. Aku berinisiatif menawarkan diri membantu mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah. Sedangkan mas Arya sendiri terkendala meeting yang tidak bisa ia tinggalkan sehingga tidak bisa turut menemani ibunya pulang. "Terimakasih mba Suci sudah peduli sama Ibu," ucap pak Rahmat, ayah dari mas Arya begitu melihatku sedang membantu Alya merapikan barang-barang. Setelah administrasi diselesaikan, kami dibolehkan membawa tante Sofi meninggalkan rumah sakit. Aku membawakan kursi roda dari fasilitas peminjaman rumah sakit agar tante Sofi tidak kecapaian berjalan menuju mobil om Rahmat. Alya dan ibunya duduk di kursi penumpang belakang, sementara aku duduk di depan bersebelahan dengan om Rahmat. Mobil melaju pelan menuju rumah mas Arya. Pukul 17:00 WIB terdengar deru suara mobil mas Arya pulang. Ia menghampiriku dan mengucap terimakasih padaku yang telah membantu wanita yang telah melahirkannya pulang dari rumah sakit. "Mas tahu ada yang ingin kamu tanyakan soal masa laluku," ucap mas Arya tiba-tiba. Aku hanya menghela nafas dalam. "Tunggu ya, mas mandi dulu sebentar." "Iya mas." Terlihat mas Arya menemui ibunya sebentar lalu beranjak ke kamarnya untuk mandi. Drrttt….drrrtt….drrrrtttt… Terdengar gawai mas Arya bergetar, sekilas aku memandang layar yang berkelap-kelip itu. Ada yang menelepon rupanya, 'gumamku'. Aku mendekat ke arah handphone yang tergeletak di atas meja, tertera nama Dani disana. Jantungku seketika terpacu lebih cepat, aku putuskan mengambil handphone itu dan membawanya ke beranda depan rumah. Dua panggilan terlewatkan dan ternyata si Dani ini masih berusaha menelepon lagi. Kesempatan emas buatku yang selama ini penasaran, aku pegangi dadaku lalu ku tekan tombol hijau untuk mendengarkan suaranya. "Halo mas....udah sampai rumah? lama banget gak jawab telpon nya," terdengar suara wanita bernada lembut di seberang sana. Segera ku matikan teleponnya. Ia berusaha menelepon lagi dan aku biarkan saja hingga panggilannya terputus sendiri. Dani itu perempuan rupanya, batinku. Tring… [ Ibu gimana mas jadi pulang hari ini? ] Satu pesan aku baca dari nomor bernamakan Dani. Aku memeras otakku untuk berpikir siapa Dani sebenarnya. Mas Arya berkata padaku jika Dani ini adalah pria, teman sekantornya. Sungguh aku takut dengan fakta yang tersembunyi dariku ini. Apakah aku akan terluka lagi? Tapi aku tak ingin membuang waktu lagi. Aku beranikan diri membuka riwayat pesan yang ternyata belum mas Arya hapus. Aku scroll terus hingga aku menemukan chat mereka yang dimana mas Arya memanggil Dani itu dengan nama Putri. "Suci…." terdengar suara mas Arya memanggilku. Dia sudah selesai mandi rupanya. Raut wajahnya tampak lebih fresh dan pastinya semakin terlihat tampan. Sayangnya suasana hatiku sedang tak bisa memuji ketampanannya. Aku memberikan gawai mas Arya seraya berkata, "Maaf tadi ada yang telepon mas, Dani itu Putri kan?" lolos sudah kalimat yang paling tidak aku harapkan. "Suci...aku...aku bisa jelaskan." "Cukup mas, jangan mendekat, aku mau pulang, sampaikan salam untuk orang rumahmu." Mas Arya meraih kedua tanganku, ia menahanku untuk tidak langsung pergi begitu saja. "Tolong Suci...dengarkan aku dulu." "Apa mas? Coba katakan apa yang perlu Suci dengar dari mas saat ini? Jika mas hendak menjelaskannya sekarang, itu sudah sangat terlambat mas, Suci sudah tahu semuanya sendiri…" susah payah aku meredam suaraku agar tidak sampai terdengar hingga ke dalam rumah mas Arya. "Belum semuanya Suci...maka itu tolong beri aku waktu untuk menjelaskan." "Tolong jangan sekarang mas, Suci sedang butuh waktu untuk sendiri, tolong…" aku menarik paksa tanganku hingga terlepas dari genggaman mas Arya. "Setidaknya biar mas antar Suci pulang ya," rintih mas Arya yang matanya mulai memerah dan berkaca-kaca. "Tidak perlu mas, Suci sudah memesan taksi online, Suci pamit, Assalamu'alaykum. " Aku memasuki taksi yang telah aku pesan. Aku mengusap kasar bulir bening yang mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Supir taksi terlihat bingung mendapati penumpangnya yang tiba-tiba menangis. "Tolong jalan pak," aku jelaskan arah alamat rumahku. "Siap non. " Aku mengatur nafas agar tidak terus menangis, namun gagal. Air mata malah semakin deras saja. "Tolong putar arah dulu ya pak, saya masih butuh waktu." "Baik Non." Aku harus bisa menguasai diriku sebelum sampai rumah. Aku tak ingin membebani ibu. Biar untuk sementara aku rahasiakan dulu kemelut rasa ini darinya. *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN