Zeema 8

1088 Kata
Hingga pagi tiba, aku masih senantiasa mengelusnya seperti seorang ibu yang tengah menjaga anaknya semalaman. Pandanganku tak sedikitpun berpindah darinya, bahkan Disaka tak bergerak atau sekedar mengganti posisinya. Pria ini benar-benar tertidur pulas. Perlahan kedua matanya terbuka, seolah menatapku. Disaka mengerjapkan kedua matanya, halisnya saling bertautan. Aku tak mengira jika ia bisa melihatku, lantas aku tersenyum. "Selamat pagi tuan." Sapa ku seraya tersenyum manis. Disaka langsung terduduk, bahkan aku terkejut di buatnya. "Hah?!!" Seolah tak percaya, pria ini mengusap kedua matanya. "Apa itu tadi? Apa aku baru saja berhalusinasi??" Tanyanya dengan mimik wajah yang kebingungan. "Tapi aku mendengar suaranya dengan jelas!" Sontak aku menutup mulutku. "Dia bisa mendengar ku?" "Tidak, aku pasti berhalusinasi. Aku tak percaya hal konyol seperti itu!" Decaknya seraya bangkit, berjalan ke arah kamar mandi. Aku yang merasa sedikit kebingungan hanya bisa menggaruk tengkuk ku saja. Cukup lama Disaka berkalut dengan kesibukkan nya, membuatku menunggu terlalu lama. Bahkan aku sendiripun tak mengerti mengapa aku terus bersamanya, ada hubungan apa aku dengannya, aku tak tahu. Selesai bersiap, Disaka berdiri di hadapan ku, benar-benar di hadapan ku. Aku mendongak menatapnya, pria itu tengah memasangkan jam tangannya dengan mimik wajah serius, berkesan sangat tampan. Dia rapih, wangi, tubuhnya tinggi berisi, penuh dengan wibawa. Tapi siapa sangka pria ini kejam. Saat kedua mataku tengah memandang, dering ponsel menyelanya. Pandangan kami sama-sama tertuju pada sebuah ponsel yang tengah di genggam Disaka. "Halo" Sapanya begitu singkat. "Tuan, wanita ini sudah kami temukan. Bagaimana selanjutnya?" "Biarkan saja dulu, tetap awasi mereka. Ada hal penting yang harus segera ku selesaikan." "Baik tuan." Telpon terputus sampai di sana, pria ini segera bergegas keluar. Tentu aku mengikutinya dari belakang, aroma tubuh Disaka begitu memenuhi penciuman ku. Kami turun ke bawah, berjalan menuju mobil hitam yang sudah siap membawa kami, tidak hanya Disaka. Mereka membungkuk, mempersilahkan Disaka masuk. Aku duduk di samping Disaka, tak ada tanda-tanda asisten Wan di sini. Pandanganku beralih pada Disaka, kedua halisnya bertautan menatap layar berukuran sedang di tangannya. Perlahan tatapan Disaka bergeser, seolah menatapku, tatapannya terhenti saat menatapku. Gleg.... Aku menelan salivaku sendiri, kenapa pria ini begitu sering membuat ku terkejut dengan sikap tiba-tiba nya. Disaka menciumi tubuhnya, mencari aroma yang mungkin barus saja menganggu indra penciumannya. Kedua alisnya tak saling bertautan lagi, ia menutup layar berukuran sedang itu, lalu menyimpannya. Bersandar pada kursi mobil, seraya menutup kedua matanya. Menghirup aroma yang tengah menganggu begitu tenang, membuatku semakin mendekat. Menatap jelas bentuk wajah Disaka yang menurutku begitu menarik, hidungnya mancung, aku suka melihatnya. Semakin wajahku mendekat, Disaka semakin dalam menghirup aroma nya, bahkan aku merasa jika kedua pria yang tengah duduk di depan itu, sekilas memperhatikan Disaka yang terus mengendus. Matanya terpejam, aku tersenyum manis. Seolah kehilangan arah, aku menyimpan sebelah tanganku di dda nya. Aku yakin Disaka tak mungkin merasakannya, tapi sepertinya aku harus menghilangkan dugaan itu. Selang beberapa waktu, Disaka tiba-tiba menaikkan sebelah lengannya, seolah menarik wajahku agara lebih dekat. Hal yang membuatku mematung, lengan Disaka begitu nyata saat menarik surai hitam milikku mendekat ke arahnya. Menjadikan wajah kami saling bertatapan. Aku merasa, jika rasa terkejut ku di rasakan pria itu juga. Ia langsung membuka matanya, kembali tegap, wajahnya begitu jelas menunjukkan rasa terkejut. "Apa yang baru saja......." Ucapannya terhenti, saat melihat anak buahnya menoleh kebelakang. "Apa tuan merasa tak nyaman?" "T-tidak, sepertinya aku kurang beristirahat." Sahutan Disaka meyakinkan anak buahnya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya kami di sebuah bangunan besar berlapis kaca yang pernah ku datangi bersama kakek, Disaka terburu-buru turun dari mobil. Setelah kejadian barusan, Disaka tetap diam tanpa bersuara sedikitpun. Aku tahu jika pria itu tengah berkelahi dengan pikirannya, aku saja terkejut, apa lagi dia. Setelah berjalan cukup lama, Disaka lebih dahulu memasuki sebuah ruangan dengan pintu yang begitu besar tengah di jaga oleh beberapa orang. Di dalam sana, ada sebuah meja panjang yang di kedua sisinya di tempati para pria paruh baya. Hanya Disaka yang ku rasa paling muda, bahkan pria itu duduk terpisah. "Kakek!" Ucapku bersemangat, aku melihat kakek tersenyum padaku. Segera aku berdiri di samping kakek. "Untuk pembangunan pabrik baru ini, tuan kami bernecana......." Bla... bla... bla... Perbincangan yang panjang, rumit, sulit bagiku untuk mencernanya. "Kakek sebenernya ini perbincangan apa?" Kakek menatapku, pria itu mengerjapkan pelan kedua matanya. Aku mengerti harus apa. Akupun terdiam, mendengarkan semua pembicaraan di ruangan itu. Sesekali ku lihat Disaka melirik ke arah kakek, untuk kesekian kalinya Disaka melirik, tatapan kami bertemu. Aku tetap mengira Disaka tak melihatku, aku tersenyum manis. Karna memang, aku adalah gadis ceria, yang sangat suka tersenyum pada siapapun. Disaka berkedip-kedip, menatap ke arahku, menaikkan sebelah alisnya, pria itu memiringkan kepalanya. Mengusap pelan kedua alisnya. "Apa pria ini sungguh melihatku." Ada sedikit keresahan di hatiku, kenapa Disaka terlalu sering menatap ke arahku, seolah ia benar-benar melihatku. "Tuan Disaka, bagaimana pendapat anda?" Tanya seorang pria paruh baya yang tengah berdiri di depan. Barulah tatapan itu berpaling dariku, Disaka hanya mengangguk. Kembali pria itu menatap ke arah ku, tapi reaksinya agak berbeda kali ini, seperti tengah merasa kehilangan. Ia menatap kesana kemarin, mencari sesuatu. Kedua alisnya saling bertautan, hingga akhirnya pria ini bangkit. "Aku telah menyimak semuanya, tapi itu tak membuatku yakin. Akan ku pikirkan kembali." Ucapnya sebelum beranjak pergi. Aku yang takut tubuhku kembali mengikuti Disaka, segera aku memeluk sebelum lengan kakek. "Kakek aku sungguh tak ingin mengikuti Disaka lagi, aku mohon...." Kakek tersenyum padaku, mengelus lenganku yang tengah memeluknya. Menunggu semua orang keluar, hanya menyisakan aku dan kakek. "Nak, Disaka sudah memilikimu seutuhnya. Kecil kemungkinan bagiku untuk merebut mu kembali, untuk itu aku mempersilahkan mu membenciku Zeema." Hatiku bergetar mendengarnya, aku merasa sangat sedih, hatiku pilu mendengar ucapan kakek. "Kenapa kakek mengatakan itu?" "Zeema putriku, saat kau melihat Disaka menatap tempat tinggalmu. Saat itu juga kau menjadi miliknya, bahkan pria itu membeli hutan yang menjadi tempat tinggalmu. 80% miliknya, 20% milikku." "Aku sungguh tak ingin menjualnya Zeema, tapi jika aku tak menyerahkan nya, perusahaan yang ku dirikan bersama mendiang istriku bisa hancur. Perusahaan yang ku dirikan bersama istriku adalah bukti cinta kami, aku tak bisa membiarkannya hancur. Maafkan aku Zeema." Kakek menunduk, aku mendengar isak pilu nya. Pundak pria paruh baya itu bergetar, bahkan aku tak sadar jika air mataku juga menetes, aku mengelus pundak kakek. "Kakek, aku tak akan pernah membencimu. Kau sudah menjadi ayahku sekarang, aku akan mengikuti apapun yang kau lakukan." "Anggap saja, kakek membantu jiwaku kembali, dan aku membantu kakek mempertahan perusahaan kakek dengan menyerahkan tempat tinggal ku dulu. Kita saling membantu bukan? Sudah seperti putri dan ayahnya." Kakek mengangguk dalam kepiluan, aku tetap tersenyum. Sekarang aku tak keberatan hidup bersama dengan Disaka, toh aku masih bisa bertemu kakek juga kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN