Zeema
Aku bermain di taman dengan gaun merah ku, berfikir jika hari ini akan menjadi hari bahagia. Cuacanya juga cerah, sangat cocok untuk bersantai bukan?
Jari jemariku terayun, memetik setangkai mawar yang ternyata masih berduri.
Duri itu melukai tanganku, sakit sekali. Belum sempat bibirku mengeluh,
"Zema, ayo pulang. Tak baik sendirian!"
"Iya paman!"
Aku berlari kecil menghampiri pamanku yang masih senantiasa menunggu, kedua pipiku terangkat memberikan senyuman manis.
"Zema, saat kau berada di rumah. Kunci saja rumahnya ya, sembunyi saja di ruangan yang pernah ku tunjukkan, mengerti."
Seketika kedua halisku bertautan, "Ada apa paman?"
Entah mengapa perasaanku jadi tak tenang, pria paruh baya di hadapan ku juga enggan untuk memberi tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya.
"Sudahlah, ikuti saja permintaan ku. Kau adalah tanggung jawabku setelah kedua orang tuamu tiada zeema."
Itu benar, aku memang tanggung jawabnya. Setelah kedua orang tuaku meninggal dalam kejadian pemberontakan itu, menyisakan aku dan pamanku saja di desa ini. Paman adalah adik laki-laki dari mendiang ibu ku dulu.
Aku sangat menyayangi paman, melihat usahanya yang begitu keras mengeluarkan ku dari depresi di usia dini. Saat kedua mata bulat ini menjadi saksi kematian kedua orangtuanya sendiri, mereka di tendang, di pukul bahkan di gusur hingga tetesan darahnya masih terbayang begitu jelas di ingatanku.
Rasanya aku ingin membalaskan dendam ku dulu, tapi sepertinya itu mustahil.
Aku memutuskan untuk pulang, mengikuti permintaan paman yang memintaku untuk mengunci pintu dan bersembunyi di ruangan bawah tanah, yang sengaja di buat untuk persembunyian.
Kain merah itu masih melekat di tubuhku, dengan sebatang mawar yang juga masih ku pegang meskipun mawar ini melukaiku.
"Aku sangat mengkhawatirkan paman, jika aku mengunci pintunya bagaimana paman masuk nanti?"
Terkadang aku berfikir untuk kembali keluar mencari paman, terkadang aku berfikir untuk mengamankan tubuh ku sendiri. Ini mengganggu pikiranku, harus memilih antara orang yang aku sayangi atau diriku sendiri.
Hingga pemikiran ku membulat, aku segera beranjak dari sana. Berjalan keluar mencari paman, saat aku sampai di depan pintu yang ku kuci begitu rapat.
Aku mendengar ada suara gemuruh dari luar, seperti para tentara yang tengah berbaris. Ada suara teriakan juga.
Aku ingin tahu apa yang terjadi di luar sana, kedua kakiku melangkah menuju jendela yang terhubung dengan halaman luar.
Mataku terbelak saat melihat ada begitu banyak orang yang berkumpul di sana, dan.
"Paman!"
Dum...
Dum...
Dum...
Rasanya jantungku ingin lompat keluar, kakiku melemas melihat paman terduduk di tanah dengan kedua tangannya yang di ikat ke belakang, seolah meminta pengampunan.
Bahkan aku tak sanggup menampung air mataku lagi, melihat orang yang ku sayangi di perlakukan seperti seekor hewan.
Tubuhku bergetar melihat peristiwa yang sama terulang, hingga penglihatan ku kabur dan aku tak mengingat apapun lagi setelah itu.
Samar-samar telingaku mendengar berbagai pujian terucap dari bibi seorang pria mes*m, bersamaan dengan wajahku yang terasa panas.
Perlahan membuka kedua mataku, aku mendudukkan tubuhku di atas kayu. Tidak, lebih tepatnya kapal kayu...
Aku di suguhi dengan sebuah pemandangan yang begitu membuat jiwaku bergetar, bagaimana tidak? Ada begitu banyak mayat di hadapanku yang satu persatu di lemparkan ke lautan lepas, bukan hanya mayat. Ada banyak para sandar yang bernasib sama seperti ku, dengan tangan dan kaki yang terikat. Mereka menatapku, seolah tau apa yang akan terjadi padaku selanjutnya.
Ya, ini lautan. Aku berada di tengah-tengah lautan dengan sebuah kapal kayu berukuran besar yang bisa menampung puluhan mayat manusia.
Aku menangis, aku ketakutan melihat para pria ini melemparkan tatapan asing padaku. Bahkan salah satu dari mereka mulai mendekat, mengelus wajahku dengan begitu intim.
"Akan lebih menyenangkan jika kita bermain-main dahulu bukan?" Katanya.
Teman-teman pria ini tertawa, sebuah gelak tawa yang begitu terdengar menyeramkan. Aku benci mereka.
Bahkan yang lainnya pun mulai mendekatiku, mereka mengusap tubuhku, mulai dari wajah punggung bahkan sesuatu yang sangat aku jaga.
Mereka menc*bul* ku, oh tuhan tolonglah aku.
"TIDAK LEPASKAN AKU TUAN, AKU MOHON...." Teriakku pilu.
"Kami akan melepaskan mu, kau tenang saja." Sahutnya.
Pria ini menarik rambutku, menempelkan wajahku pada kelam*n nya. Ini menjijikkan.
"Lihat, pen*sku begitu keras saat melihat pay*dar*mu itu!"
"Tidak, tolong tuan. Jangan sentuh aku, aku mohon tuan...."
"Diam!"
Plak...
Salah satu dari mereka memberi ku tamparan begitu keras hingga tubuhku jatuh tertidur, aku tak bisa melakukan apapun. Kaki dan tanganku di ikat.
Ini seperti mimpi buruk, aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. Apa ini akhir dari hidupku? Apa aku akan mati dengan begitu menyedihkan?
Tangan besar itu menarik paksa gaun merah kesayanganku hingga koyak, menyisihkan pakaian dalam yang sepertinya juga akan di buat koyak.
Aku berusaha memberontak, pemberontakan yang membuat mereka mendang perutku begitu keras. Rasanya sakit sekali.
"Tuan to-long.... Sakit tuan..."
Lagi-lagi pria yang sama itu menarik rambutku hingga wajah ku menyengadah menatapnya, aku melihat tatapan kebencian yang begitu besar di matanya padaku.
"Kesalahan apa yang ku buat hingga aku harus menanggung semua ini?" -Batinku.
"Bersenang-senang lah sebelum kematian mu manis."
Ucapan terakhir yang terdengar membuat ku menangis pilu, tak ada belas kasih yang di berikan padaku.
Bahkan mereka mulai menyentuh tubuhku bergiliran, aku benci sentuhan ini aku merasa jijik dengan diriku. Aku kotor sangat kotor.
Para pria ini begitu puas m*lec*hkan ku, mereka menc*mbu ku seperti seekor anjing. Bergiliran melampiaskan nafsunya padaku, hingga tubuhku terasa sangat lemas. Aku merasa tak ada tenaga sedikitpun untuk bergerak.
Mereka meninggalkan ku begitu saja, tanpa sehelai kainpun yang menutupiku. Aku menjadi tontonan para sandar yang lain, mereka menatap iba padaku yang tak henti-hentinya memohon ampun. Samar-samar aku melihat seorang pria muda, dengan pakaian yang juga sudah kotak, ada banyak luka goresan di wajahnya, rambutnya keriting, wajahnya berkulit pucat. Tengah menatap ku, tatapan pilu yang dia berikan padaku, membuatku kembali menangis.
Seolah kehidupan sudah berada di ujung tanduk, aku memilih untuk mati. Aku tak kuasa menghadapi kehidupan dengan tubuh yang kotor ini, aku berharap dengan mati aku akan tenang selama-lamanya.
Menatap awan yang begitu indah, membuat hatiku tenang sesaat. Sesaat sebelum seorang pria keluar dari arah belakang kapal, pria paruh baya berkumis tebal, wajahnya begitu datar. Tubuhnya tinggi, tak ada seutas senyum sedikitpun di wajahnya, menyeramkan.
"Siapkan busur, ikat saja kakinya pada batu besar. Lalu buang dia ke laut."
Ucapan itu membuat ku diam terpaku, cobaan apa lagi ini ya tuhan.
Setelah bibirnya berucap, aku melihat orang suruhannya menyeret tubuhku ke tepi kapal, mengikatkan tali di kakiku pada sebuah batu berukuran besar.
Saat batu itu di lempar ke lautan, tubuhku tertarik begitu kencang hingga kepalaku terbentuk ke sisi kapal.
"PAMAN!!!"
Byurr!
Tubuhku tertarik ke dalam lautan, aku menyengadah menatap langit yang mulai memudar dari pandangan tertutupi darah yang keluar dari pelipisku.
Belum berakhir rasa sakit yang ku alami, sebuah busur begitu cepat melaju menembus perutku.
"Ukhuk!"
Aku menelan begitu banyak air laut, menahan rasa sakit yang sungguh menyakitkan. Rasa sakit yang menjadi akhir dari kehidupan ku.
Berfikir jika kehidupan ku akan sangat bahagia, merupakan kesalahan besar.
Ini sungguh akhir, akhir dari Camlo Zeema.