17

2229 Kata
Mea melihat Levo masuk ke sebuah kedai. Kemudian sosok itu tak ada keluar dan menghilang. Sepertinya dugaan Mea benar, Fany tak ada di kedai. Sontak ada satu tempat yang terlintas. Rumah Fany. Pasti Levo juga sudah pergi ke sana. Dengan cepat, Fany bergegas. Dia tak bisa berpindah tempat secara tiba-tiba dan dalam sekejap seperti Levo. Oleh karena itu, Mea pun langsung berlari menuju sebuah taksi yang berhenti untuk seseorang. Ia menerobos masuk dengan membuat dirinya transparan. Sehingga tak kan membuatnya harus membayar taksi. Toh ia bisa menggunakan tubuhnya untuk menembus keluar jika sudah sampai di tempat. Meski kemampuan menghilangnya akan berkurang beberapa menit. Untung saja rumah Fany juga tak terlalu jauh dari kedai. Sudah pasti taksi itu juga melewatinya. Tujuannya sudah di depan mata, ia pun langsung menembus pintu dan merelakan diri untuk bergeluntungan di aspal karena nekat keluar saat taksi masih melaju cukup kencang. Ia menatap sebuah rumah sederhana yang memiliki dua lantai. Selain menghilang, penciumannya juga bisa diandalkan. Ia sangat peka dengan sebuah bau. Bau darah. Bau itu sangat mengganggu penciumannya. Kini bau itu tercium dari dalam rumah yang kini ada di depan matanya. Tak salah lagi, ada korban tak bersalah. Levo pasti juga sudah mengetahuinya. Tanpa menunggu Levo keluar, Mea langsung mencari tahu keberadaan Fany. Seperti ada yang tak beres. Ia tak mencium darah Fany. Ia menghapal semua bau darah orang di sisinya. Levo, Nezi, Zack, Sena, mereka memiliki bau darah yang hampir sama. Sebab, ada cairan yang tercampur dalam tubuh. Termasuk Dexa yang baru bergabung menjadi anggota Blackhole. Selain itu, ia menghapal bau darah seseorang yang pernah terluka di dekatnya. Termasuk Fany. Gadis itu pernah terluka saat membuka mesin kasir. Kebetulan saat itu Fany tengah mengambilkan kembalian untuk dirinya. Sehingga tak sengaja ia mencium bau darah Fany yang tercium anyir bercampur wangi. Menandakan bahwa gadis itu masih suci. Rerata seperti itu sejauh yang dimengerti oleh Mea. Mea masih merasa ada Levo di dalam. Mungkin sosok itu sedang menelaah apa yang sedang terjadi. Sedangkan dirinya mencoba untuk mencari petunjuk. Ia pun teringat dengan satu hal. "Kekasih Fany?" Tanpa basa basi lagi, Mea langsung bergegas kembali ke markas. Ia ingin menjemput Zack. Akan tetapi, ternyata ia bertemu Zack di kedai. Sosok itu sudah lepas dari belenggu cairan Sena ternyata. "Zack!" Mendengar suara yang ia kenal, Zack menoleh. Wajahnya pucat pasi. Ia khawatir akan keadaan Fany. Mea sangat paham itu. "Kau mencari Fany? Dia tidak ada di kedai maupun di rumah." Zack terdiam. Ia menatap Mea dengan penuh keresahan. Pikirannya kacau. Sudah pasti. Sebab, jika Mea mengatakan bahwa Fany tak ada di rumah, sudah pasti Fany ada di ... "Apartemen kekasihnya." Zack langsung berlari. Ia mencari taksi kosong dan bergegas pergi bersama Mea menuju apartemennya. Di sana, ia pernah melihat Fany bersama dengan kekasih gadis itu. Sudah pasti, Fany di bawa ke sana jika Fany tak ada di rumah atau kedai. Gadis itu bukan gadis yang suka jalan-jalan sendirian, ia pasti bersama dengan kekasihnya sekarang. Mea berusaha membuat Zack lebih tenang. Agar semua berjalan dengan baik dan tidak terburu hingga merepotkan diri sendiri. "Di mana Nezi?" tanya Mea di sela perjalanan mereka. "Nezi dan Dexa sedang menyusul Levo. Mereka juga akan bergegas mencari tau keberadaan Fany. Sekaligus ... pembunuh keluarga Fany." Mea membulatkan matanya. "Kau tau jika keluarga Fany terbunuh?" "Kau lupa jika Nezi adalah mata kita?" Mea terlanjur panik hingga ia lupa jika Nezi pasti sudah melihat semua yang terjadi. "Aku bersyukur karena Fany tak ada. Tapi aku juga belum lega jika belum mendengar kabar dari Fany. Sebab, Nezi mengatakan jika keberadaan Fany tak terlihat." Mea hanya berharap, Fany baik-baik saja. Gadis itu tak bersalah. Ia hanya digertak oleh Zack untuk mencari tau tentang Andrew. Ia tak mengerti apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh Blackhole. Lirikan matanya beralih pada Zack. Sosok itu duduk dengan gelisah. Sudah pasti Zack merasa bersalah. Gadis yang ia cintai dalam bahaya. Ia berpikir bahwa Fany dalam bahaya dan membuat keluarga gadis itu terbunuh semua karena dirinya. Karena gertakan darinya. Pasti Fany akan sangat membencinya. "Dia tak akan membencimu. Semua sudah takdir." Mea berucap sok tahu. Zack hanya diam. Ia tak mampu berkata-kata sekarang. Sebab, jika sampai dirinya tersulut amarah karena kebodohannya sendiri, apinya takkan terkontrol. Ia bisa membakar apapun yang ada di sisinya. Dan itu tak ingin ia lakukan. Tak lama perjalanan, mereka pun sampai di apartemen. Apartemen yang mereka tinggali. Jujur saja Mea terkejut dengan hal itu. Padahal setahunya tak ada orang dari Andrew yang tinggal di sana. Tapi Zack tak mungkin salah. Setelah menbayar taksinya, Zack dan Mea langsung turun. Mereka bergegas masuk ke apartemen. Akan tetapi, Tiba-tiba Zack terhenti. Membuat Mea terheran. "Ada apa?" tanya Mea. "Bodoh. Aku tak tau dia tinggal di unit berapa." "Kau tidak menguntitnya hari itu?" Zack menggeleng. "Aku cukup sakit hati." Mea menghela napas panjang. "Kita ke unitku dulu. Biar kupanggil Levo ke sana. Kita bicarakan bersama Nezi juga." Zack mengangguk. Mereka pun naik ke lantai sepuluh. Di mana unit kamar Mea ada di sana. Sama dengan kamar unit milik Sena. Akan tetapi, Sena lebih sering menghabiskan waktunya di markas sama seperti Nezi. Sesampainya di unit kamar Mwa, Zack menggersah. Ia tak bisa diam saja tapi juga tak tahu harus bagaimana. Dirinya serba bingung dan serba salah. "Tenanglah. Kau membuatku bingung, Zack." "Kau pikir aku tidak bingung, huh? Fany akan terluka dan semua pasti karena aku." "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kita akan menemukan Fany dalam keadaan baik-baik saja. Masalah keluarga Fany, bukan kau yang menjadi penyebab semua itu." Mea membuka sebuah ponsel. Ia mengirimkan sinyal pada Levo agar Levo menghampiri mereka. Tak lama menunggu, Levo datang bersama Nezi dan Dexa. Mereka bertiga tampak datar. Setelah tau apa yang terjadi bukanlah hal sepele. Pembunuhan berantai dan sepertinya terencana. Hilangnya Fany bukan lagi misteri. Sebab, Nezi tau di mana keberadaan gadis itu. Sorot mata Nezi tertuju pada Zack. Sosok itu seolah menahan rasa marah dan kesal karena Zack bertindak begitu bodoh. Ia tak seharusnya menggunakan manusia lain untuk mencari informasi tentang target. Sudah pasti akan menjadi masalah besar untuk Blackhole. Terlebih lagi, sekarang Nezi melihat sesuatu yang akan membuat Zack kehilangan kesabaran. Ia terpaksa diam dan tak bertindak begitu saja. Sebab, Levo sudah menyusun rencana yang baik. "Zack, bakar unit apartemen yang ada di lantai tiga belas. Aku akan mengantarmu ke sana." Tiba-tiba Levo memerintah tanpa mengatakan apapun pada Zack. Mea jelas bingung dengan apa yang terjadi. Dari sorot mata Nezi, Fany tampaknya tidak dalam keadaan baik-baik saja. "A—apa ada Fany di sana?" tanya Zack. "Lakukan saja apa yang kuperintahkan." Levo pun mengajak Zack menuju lantai tiga belas. Mereka masuk ke sebuah unit uang Levi tau bahwa unit itu kosong. Ia sengaja mengajak Zack untuk membakar. Bukan dengan menyalakan kompor atau semacamnya. Sebab, sudah pasti akan tercium polisi jika ada jejak yang tertinggal. Jika tak ada jejak yang tertinggal, Polisi akan berpikir bahwa kebakaran itu murni dari korsleting. Zack mematuhi perintah Levo. Setelah alarm kebakaran berbunyi, Levo menemukan seseorang keluar dari sebuah unit yang ada di pojok lantai. Dengan cepat, ia menyambar tangan sosok itu dan memberi aba-aba untuk Zack. "Masuk ke unit 13004." Zack mengangguk bersamaan dengan Levo menghilang bersama dengan seorang yang ada di genggamannya. Setelah Levo menghilang, Zack masuk ke unit kamar nomor 13004. Meski semua penghuni lantai tiga belas kalang kabut karena ada kebakaran yang mendadak, Zack tetap masuk ke unit kamar tersebut. Ia merasa ada Fany di sana. Makanya Levo memberikan tugas itu padanya. "Fany?" Tampak seorang gadis tergeletak di ranjang. Tak terbalut sehelai kain pun. Wajahnya pucat dan air mata membasahi pipi hingga matanya memerah. Tangannya terikat ke atas. Kakinya terbebas. Hanya saja. Melihat Fany tanpa sehelai kain pun, Zack berusaha menunduk. Hatinya hancur melihat gadisnya hancur. "Maaf." Mulut Fany yang tersumpal tak mampu menyumpah serapahi Zack. Sosok itu memandang Zack penuh amarah. Akan tetapi, Zack yang berusaha mencarikan pakaian apapun untuk Fany hanya menahan tangis. Setelah menberikan setelan kaos dan celana, Zack mendekati Fany. Ia berusaha untuk tidak menatap tubuh elok Fany yang polos. Tak mulus lagi, tubuh Fany penuh luka. Gadis itu tak hanya kehilangan masa depan, tapi kekerasan juga telah dilakukan. Pasti sangat menyakitkan untuk seorang Fany. Zack melepaskan ikatan di tangan Fany. Dengan gemetar, Fany menarik selimut ke atas. Menutupi tubuhnya. Perih dan sakit. Di sekujur tubuh. Gadis itu tak bersalah. Semua karena Zack. Tak ada yang bisa dikatakan oleh Zack. Ia merosot ke lantai. Menjambak rambutnya dengan kasar. "Sial, sial, sial!" Ia memukuli dirinya sendiri. Tangannya terasa panas hampir membakar tubuh yang sendiri. Akan tetapi, Fany menahan. Gadis itu sudah berpakaian sekarang. Meski hanya terbalut kaos dan celana entah milik siapa. "Seharusnya aku yang membencimu, Zack. Seharusnya aku yang membunuhmu. Seharusnya aku! Aku! Kau merusak segalanya! Kau merusak hidupku, Zack!" Zack pikir, itulah yang akan dikatakan oleh Fany. Akan tetapi, itu hanya suara yang ia ciptakan sendiri. Fany memang menahan tangannya. Menatapnya dengan tajam. Penuh kebencian dan aura gelap yang menyelimuti. Tapi matanya berlinang air mata. Tersorot sangat rapuh. Mulutnya terbuka seolah ingin berkata. Tapi tak mampu. "Fany, aku ... aku ... " "Diam." Zack menatap lesu ke arah Fany. Gadis itu berantakan. Pasti hidupnya tak mampu tertata kembali dengan mudah. Terlebih lagi, Fany kehilangan segalanya. Akankah gadis itu mau memaafkannya? Levo datang dalam sekejap. Fany yang tak melihat itu terkejut saat menyadari ada sosok lain yang datang entah sejak kapan. Tanpa mengatakan apapun, Levo menggandeng kedua orang itu dan menghilang. *** Pelukan Fany berakhir pada Mea. Sesama perempuan, Mea merasakan kepedihan yang luar biasa. Fany pasti amat rapuh. Hasrat ingin mengakhiri diri sendiri terlihat jelas dari raut wajah Fany sekarang. Akan tetapi, Sena terus bercemarah untuk mengusir rasa putus asa dari Fany. Di lain sisi, Nezi dan Dexa hanya mampu terdiam. Mereka takut salah bicara dan membuat keadaan semakin keruh. Sedangkan Levo tengah mengajak Zack ke sebuah tempat. Di mana ada lubang dan akan menjadi liang lahat kematian seorang pembunuh bertangan dingin. Leo. Kekasih Fany. Sosok yang telah merenggut nyawa empat keluarga Fany. Ayah, ibu, dua adik. Bahkan bukan hanya merenggut nyawa keluarga Fany. Tapi juga merenggut kegadisan dan masa depan Fany. Terlalu b***t untuk dibiarkan hidup. Zack terus melayangkan hantaman demi hantaman. Bahkan sesekali ia memberikan api ke wajah tampan sosok itu. Ia terus menggali siapa yang mendalangi. Tapi lagi, terlalu setia akan membunuh mereka. "Kau hanya perlu mengatakan siapa yang membuatmu harus membunuh mereka." Leo hanya tersenyum miring. Mengejek. Di ujung maut, Leo seolah tak peduli jika harus mati. Wajah itu menunjukkan kalimat, "aku sudah menikmati semuanya. Aku siap mati sekarang" Tak peduli apapun yang dilakukan Zack, Levo hanya mengamati dengan wajah datar. Sosok yang sedang mereka sidang bukan hanya sosok biasa. Dia adalah mantan bodyguard setia dari Andrew. Sudah pasti, Leo hanya akan siap mati daripada membocorkan tentang Andrew. "Percuma kita siksa dia, Zack. Dia takkan mengatakan apapun tentang Andrew. Kita siksa saja ibunya." Levo tersenyum penuh arti. Mata nyalanh Leo tertuju pada Levo seketika. Meski tangan dan kakinya terikat, Leo berusaha untuk mendekati Levo. Hingga ia pun terjatuh dan terseok. "JANGAN SENTUH IBUKU!" "Kau merusak anak gadis dan membunuh semua keluarganya. Tapi kau tak ingin ibumu kami sentuh sedikit saja?" Levo kembali menggertak. Zack hanya terdiam. "Kalian! Siapa kalian, hah?" Leo menatap Zack dan Levo bergantian. Levo langsung mendekat. Ia berjongkok dan menarik dagu Leo dengan senyuman dingin menyertai. Tangannya menarik dagu Leo melihat ke sebuah lubang. Ada kain hitam di sisinya. Lubang yang tak jauh dari tempatnya berada membuat Leo membelalakkan mata. "Kalian ... Blackhole?" Suaranya mulai bergetar. Getar ketakutan. Tak heran jika suara alam yang terdengar semakin redup. Hari mulai malam dan Leo berada di ujung kematian. Ia seorang pembunuh. Tapi sekarang berada di tangan pembunuh. "Karena kau sekarang ada di genggaman kami, kubiarkan saja kau tau siapa kami." Levo menarik sudut bibir kirinya. "Jadi, kau harus tau, Leo. Hidupmu akan berakhir. Tapi tak berarti hanya kau yang berakhir. Ibu tersayang mu akan menyusulmu jika kau tak mau mengatakan apa yang ingin kita tau." Leo terdiam. "Kau boleh memikirkannya. Sebelum kami menguburmu hidup-hidup bersama dengan gas Sarin seperti para lintah darat yang dikabarkan menghilang itu." "Kalian membunuh mereka?!" Leo kembali menatap nyalang. Seolah lupa jika berhadapan dengan pembunuh bertangan dingin. "Waw, kau mencari keberadaan mereka ya? Sayang sekali, uang yang kalian timbun dengan cara yang salah telah kami bumi hanguskan bersama dengan tubuh anak buah kalian." "Blackhole sialan!" Levo tersenyum miring. Sedangkan Zack mengeraskan bogemannya dan siap dilayangkan ke wajah Leo kembali. Buagh! "Seharusnya kau mencaci dirimu sendiri. Seharusnya kau menyadari bahwa kau lebih menjijikkan dari kami." Zack kembali mendekat. Leo yang terikat itu diangkat paksa oleh Zack dengan mencengkeram baju Leo. Zack penuh dengan dendam. Tangannya keluar sebilah api. "Aku bisa membakar musuh hidup-hidup. Kau telah menyakiti Fany dan merenggut masa depannya. Tapi mati terbakar tak cukup menyakitkan. Kau harus terbakar sambil menghirup gas Sarin di sana." Zack menyeret tubuh kekar Leo dengan susah payah. Meski tak terasa menyusahkan yang seharusnya karena Zack menariknya dengan hati gegabah dan penuh amarah. Leo terbuang ke lubang. Mereka tak butuh lagi informasi dari Leo. Karena percuma, sosok itu takkan menceritakan apapun. "Tunggu!" teriak Leo dari dalam saat Zack akan menutup lubang dengan kain hitam. "Jangan sakiti ibuku!" Levo menepuk bahu Zack. Membuat sosok itu mundur dan Levo melihat ke bawah. "Jadi, kau mau mengatakan apapun yang kamu minta?" Leo terdiam. "Karena kau diam, aku anggap kau menyerahkan ibumu pada kami." Lagi-lagi Leo hanya terdiam. Levo menghela napas sejenak. "Jangan jadi bodoh karena kau mengabdi dengan orang yang salah." "Jangan sakiti ibuku. Ambil saja nyawaku." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN