Informasi yang Fany berikan memang benar atas apa yang sudah ia dengar dari kekasihnya. Ia tak membohongi Zack sama sekali. Hanya saja, ia sempat bingung membedakan antara nama istri Andrew yang sebenernya.
Sejujurnya ia sedikit tak percaya jika nama istri Andrew yang asli adalah Luna. Ia sepakat dengan Zack jika istri Andrew bernama Grizell. Awalnya begitu. Akan tetapi, melihat status kekasihnya adalah bodyguard terdekat Andrew, ia lebih percaya pada kekasihnya itu daripada dengan terkaannya sendiri yang belum tentu benar. Sebab, semua identitas keluarga para dewan lebih banyak dirahasiakan daripada diumbar ke publik.
Fany sebenarnya juga tau tentang kematian Samantha, anak kandung Andrew sekaligus anak semata wayang bendahara negara itu. Akan tetapi, ia merasa bahwa hal itu bukanlah hal penting. Sebab, satu kota sudah tau jika ada keganjilan pada kematian Samantha.
Karena penasaran, Fany pun mencoba untuk mencari tahu lebih dalam. Awalnya ia hanya mencari tahu tentang Andrew karena permintaan Zack. Tapi lama-lama ia juga penasaran apa yang membuat Zack sangat terpikat mencari tau tentang Andrew. Sebab, pasti ada sesuatu masalah yang membuat Zack menyeretnya untuk mencari informasi tentang sosok itu.
"Jam lima, kedai di tutup saja. Aku ada urusan mendadak."
"Atau bisa buka sampai jam seperti biasa juga tak apa. Kami yang akan menjaga kedai ini. Kau beristirahat saja." Salah satu rekannya menyambar.
Fany tersenyum sendu. Wajahnya tampak pucat pasi. Sepertinya hari itu memang hari yang melelahkan bagi gadis berusia sembilan belas tahun. Tapi Fany tetap masih mampu tersenyum dan menyemangati kawan-kawannya yang lain.
"Baiklah. Terserah kalian saja. Toh kalian juga masih ada campur tangan di bisnis ini. Jd ini kedai kita."
"Ah, kami hanya ingin menyibukkan diri, Fan. Kedai ini tetap utuh milikmu."
Fany menggeleng. "Tidak. Aku serius. Kalau nanti aku sudah tak ada, kalian harus mengurusnya dengan baik. Anggap saja kedai ini milik kita."
"Kau mengatakan hal yang seolah-olah kau akan pergi dan tak kembali, Fany. Itu menakutkan." Temannya tampak merinding mendengar ucapan itu.
Tanpa sadar, Fany mengatakan hal yang menunjukkan dirinya dalam bahaya. Akan tetapi, Fany tak peduli itu. Jika ada yang membahayakannya, kekasihnya akan selalu siap sedia. Meskipun Zack orang berbahaya itu.
Setelah bergurau sejenak dengan para rekannya di kedai, Fany langsung menuju rumah. Ia hanya ingin menggunakan komputernya untuk mencari informasi tentang Andrew.
Akan tetapi, baru saja sampai di rumah, seseorang sudah menunggu di depan rumahnya.
Fany tercenung sesaat. Ia tak bisa berkata apapun karena terkejut bukan main melihat sosok itu tersenyum ke arahnya.
***
Melihat Levo langsung menghilang dengan lorong waktu, Dexa mengernyit. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Mendengar nama Fany, Dexa langsung menatap ke arah Zack yang masih dalam pengaruh cairan Sena.
Nezi tampak diam membisu. Namun, sorot matanya tak mampu berbohong jika dirinya juga sedang berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Sena masih berkutik di meja praktek dan terus bergulat dengan cairannya. Sepertinya gadis itu sedang berusaha membuat sebuah gas dari benda cair. Sedangkan Mea ikut diam. Gadis itu menggigit bibirnya. Matanya kosong. Tapi Dexa yakin, Mea juga memikirkan hal yang dengannya.
Apa yang akan terjadi?
"Apa tak sebaiknya kita ikuti Levo?" tanya Dexa memecah keheningan antara mereka.
"Memangnya kau tau ke mana Levo akan pergi?" sahut Sena tanpa melirik ke arah Dexa. Begitupun dengan Zack, Mea, dan Nezi yang tak bergeming sedikit pun.
"Ke rumah gadis bernama Fany?"
"Tidak. Kurasa Levo ke tempat lain." Zack menyambar. Sosok itu masih terdiam duduk di tempat. Hanya mampu menolehkan kepala dan berbicara. Anggota geraknya masih di bawah kontrol Sena.
"Lalu, sekarang kita harus bagaimana? Levo bilang, dia memiliki firasat buruk kan?"
"Hei, anak baru. Tenanglah. Kau membuat pikiran kami kacau!" Mea mendelik kesal. Sedari tadi ia memang diam, tapi pikirannya bermain dan tak membiarkan Levi bekerja sendiri. Hanya saja, mereka harus bergerak aman agar tidak menjadi beban untuk Levo.
"Aku membuat pikiranmu kacau?" Dexa tak terima. Ia hanya khawatir dengan apa yang akan terjadi. Itu bukan hal yang salah.
"Dexa, diamlah." Dua kata yang terlontar dari mulut Nezi berhasil membuat Dexa menghela napas pelan. Nezi tau jika Dexa memikirkan keadaan Levo. Tapi Dexa lupa, ia masih di bawah tekanan dari sikap teman-teman Blackhole yang kurang menyukainya. Terlebih lagi, kekhawatiran nya pada Levo sebenarnya tak berguna. Levo adalah seseorang yang tak suka dikhawatirkan. Sosok itu memang suka bertindak sendiri.
"Kalau kau tidak bisa tenang, aku akan membakar mulutmu tanpa ampun." Zack mengancam di saat dirinya saja menggaruk hidung tidak bisa. Dalam keadaan seperti itu, Zack tak mampu menggunakan kekuatannya. Itu yang lebih menyebalkan.
"Nezi, aku pergi. Kau jaga Dexa. Jangan sampai dia menjadi beban." Mea menatap Dexa penuh ancaman meski tak terucap lewat mulut. Tiba-tiba gadis itu menghilang dan sepertinya sudah pergi.
Dexa hanya diam. Ia duduk di sofa sembari menghela napas kasar. Matanya tertutup dan mencoba untuk abai. Hanya satu keyakinannya, takkan ada lagi hal-hal meresahkan. Seperti terbunuhnya seseorang.
"Kau mengkhawatirkan Levo atau Fany?" tanya Nezi yang ikut duduk di sebelah Dexa. Sosok itu seolah tau apa yang dipikirkan Dexa. Sontak Zack menatap Dexa dengan penuh rasa penasaran.
"Aku hanya takut gadis tak bersalah, terseret dalam masalah, dan menjadi target sasaran yang salah." Dexa mengatakan yang sejujurnya. Sebenarnya sejak awal ia tau jika Zack menggunakan Fany untuk mencari informasi. Ia pikir itu bukan ide baik. Karena Fany hanya manusia biasa yang tak ada keterikatan dengan Blackhole. Jika ada yang menyangkanya berbuat aneh, pasti akan langsung dihabisi tanpa ampun.
"Tenang saja, Fany itu punya kekasih bodyguard. Pasti Fany dilindungi mati-matian." Dengan berat, Zack mengatakan hal itu.
"Kau salah. Bodyguard yang menjadi kekasih Fany adalah bodyguard setia dari Andrew kan? Hanya saja, posisinya tergeser. Meski begitu, kaki tangan Andrew tetap berada di bawah pantauan Andrew. Kau tau apa yang akan terjadi jika kaki tangan Andrew berkhianat?"
Zack melirik ke arah Sena. "Apa?"
Sena mengalihkan pandangan pada Zack dengan sedikit seringai. "Kau masih tak tahu apa maksudku?"
"Ah, kau mengerikan, Sen. Aku ingin pergi menyelamatkan Fany." Zack berusaha menggerakkan tubuhnya. Namun, tetap gagal.
Cairan milik Sena memang luar biasa. Hal itu pasti sangat berguna nanti. Tapi kali ini justru menyulitkan Zack untuk bertindak.
"Percuma saja, Zack. Jangan buang-buang tenagamu."
"Kita sungguh akan diam saja?" celetuk Dexa tak sabar.
"Diam kau, dasar anak baru!" bantah Zack.
Dexa mencibir. Sedangkan Nezi tetap diam mengamati dia orang yang tampak seperti air dan minyak. Sulit menyatu.
"Sena, bisakah kau lepas pengaruh cairan ini?"
Sena menggeleng. "Sepertinya kurang lima belas menit lagi. Aku masih melihat venamu membiru. Itu tanda cairan ku masih mengalir di sana."
Zack baru tersadar, venanya membiru. Ia tak merasa sakit atau apapun. Tapi cairan itu menyulitkannya untuk menolong Fany. Benar kata Levo, Fany dalam bahaya. Sebab, jika kaki tangan berkhianat, ia akan mencari kambing hitam untuk dikorbankan.
***
Kling
Dengan santai tanpa mencurigakan sedikitpun, Levo memasuki sebuah kedai yang sepi dengan pelanggan. Sepertinya para karyawan juga sedang beristirahat di sore hari. Mereka menggunakan 'tak ada pelanggan' untuk bersantai di ruangan Fany.
Meski ada suara bel masuk dari pintu masuk kedai, tapi tak ada sambutan apapun dari para karyawan. Hal itu membuat Levo sedikit heran. Ia pun melihat ke sekitar. Lalu menuju ke tempat pemesanan.
Tak menyuarakan apapun, Levo mendekati ruangan pribadi yang ia rasa milik Fany selaku owner kedai. Ia mendengar suara tawa perempuan secara samar. Beberapa. Sekitar ada tiga atau empat orang karena suara mereka beradu begitu cepat.
Levo mengernyit. Ada beberapa kalimat yang sedikit aneh.
"Biarlah. Jika dia mati, kedai ini milik kita." Suara seorang gadis dengan nada serak basah itu membuat Levo makin memicingkan pendengaran.
"Kau benar. Aku juga turut berkontribusi. Apalagi, kita tidak diberi upah dengan layak." Salah seorang lain menyambar.
"Kau tidak diberi ubah dengan layak? Aku bahkan tidak diberi upah sepeser pun." Kali ini ada suara kecil yang terdengar ringan.
"Hei, itu karena kau setuju dengan kata membantu. Hari itu aku sedikit terlihat ragu, jadi dia membujukku dengan upah. Ya, meskipun upah yang dia beri tidak sesuai dengan pekerjaan kita." Suara serak basah itu kembali menggema.
"Tapi kurasa pekerjaan ini tak cukup berat. Lagipula, dia masih berusaha meningkatkan pendapatankan?" Sepertinya ada empat gadis. Gadis yang tengah berbicara kali ini terdengar lembut.
"Kau membelanya?" Si suara serak basah terdengar tak terima.
"Aku hanya bicara apa adanya."
"Kau memang terlalu bodoh."
"Sudah cukup. Kita seharusnya menyingkirkan dia. Bukan saling menyingkirkan empat dari kita." Terdengar si suara kecil nyaring itu berusaha menyusun rencana.
Levo tau, tidak ada Fany di sana. Otomatis, sosok yang sedang mereka bicarakan adalah pemilik kedai tersebut.
Tapi jika Fany tak ada di saat kedainya masih buka, di mana gadis itu? Levo berpikir sembari membuka portal teleportasi.
"Aku harus ke rumahnya."
Levo pun masuk ke portal teleportasi. Ia bergegas menuju rumah Fany untuk memastikan jika dugaannya salah.
Keempat gadis itu ada yang bekerja sama dengan orang dari Andrew. Membocorkan apa yang sedang dilakukan oleh Fany. Hingga akhirnya, saat Fany dan Zack bertemu, salah satu atau bahkan keempat gadis tadi melapor.
Tibalah Levo di rumah Fany. Tampak sepi dan sunyi. Setahunya dari Zack, Fany bukan anak tunggal. Gadis itu memiliki dua adik. Bahkan kedua orang tua juga masih lengkap. Tapi rumah itu terlampau sepi.
Mobil keluarga ada di garasi. Gerbang tertutup rapi tapi tak terkunci. Tak ada suara anak-anak dan kemungkinan ada yang tak beres di sana.
Levo segera bergegas masuk ke dalam dengan teleportasinya. Ia ingin memastikan jika apa yang ia pikirkan tak benar. Ia mendarat tepat di sebuah kamar mandi. Tentu saja tak ada yang melihatnya tiba-tiba hadir.
Tidak langsung ambil tindakan. Levo terdiam sesaat mendengarkan suasana di luar. Sangat sunyi. Perasaan yang was-was kembali hadir. Levo tak sanggup lagi menahan diri. Ia pun membuka pintu kamar mandi secara perlahan.
Sedikit demi sedikit, pintu terbuka dengan lebar. Levo hanya mematung di tempat. Tak ada seorang pun di sana. Akan tetapi, ada bau yang sangat ia kenali.
Levo melangkah keluar, ia melihat ke sekitar. Sangat sepi. Padahal televisi menyala tapi volumenya tak terdengar. Mungkin televisi itu sengaja diputar tanpa suara untuk memberi kesan ada manusia di dalam rumah.
Satu demi satu ruangan dipantau oleh Levo. Tetap tak ada siapapun di dalam sana. Baru dua kamar. Kamar yang terlihat sebagai kamar milik Fany dan salah satu adiknya.
Masih ada kamar di lantai dua. Levo pun bergegas ke sana. Perlahan namun pasti, Levo menaik anak tangga. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Hal yang membuat ganjil, pintu rumah tak terkunci jika mereka berkumpul untuk acara keluarga di lantai atas. Hanya saja, televisi di bawah yang menyala tanpa suara juga membuat keganjilan di hati Levo.
Di lantai atas hanya ada dua kamar. Kamar adik kedua Fany dan tentunya kamar orang tua Fany. Kamar satu tetlihat terbuka sedikit. Levo bisa mengintip dari kejauhan. Tampak sepi. Kemudian, Levo pun berjalan ke ruangan terakhir. Kamar kedua orang tua Fany.
Jantungnya berdetak semakin tak karuan. Ia makin mencium sesuatu yang tak asing. Langkahnya makin berat. Ia seolah tak ingin memastikan. Namun, perasaannya terus meminta agar tetap memastikan keadaan karena dirinya pun sudah terlanjur basah masuk ke rumah orang tanpa ijin.
Dengan perasaan yang masih terasa menyakitkan, Levo mendorong pintu yang terbuka sedikit. Pintu itu terbuka perlahan hingga tak menimbulkan suara. Pada akhirnya, tampaklah sebuah keadaan yang sangat berantakan.
Sudah ratusan kali ia melihat kematian, tapi dadanya sesak melihat apa yang sekarang ada di depan matanya.
Darah membanjiri lantai. Bau anyir semerbak menyeruak ke dalam hidung. Darah ini berbeda. Bukan darah para manusia biadab yang memang tak seharusnya ada di dunia. Mereka tak bersalah. Para manusia tanpa hati telah merenggut nyawa yang tak berdosa.
Levo mengeratkan genggaman. Merapatkan rahang dan menahan sesak dalam d**a yang terasa menyakitkan. "Sialan. Aku terlambat."
Pembunuhan berantai? Ya, ini pembunuhan berantai yang terencana. Tapi, Levo tercemung sesaat.
Satu
Dua
Tiga
Empat
Ayah Fany tergeletak tepat di pinggir pintu. Sepertinya dia berusaha mengejar pembunuh hingga akhir hembusan napasnya. Tapi tak sampai dan pada akhirnya harus kehabisan darah.
Ibu Fany tampak melindungi anak bungsunya yang terkapar di lantai. Kepala mereka tertusuk dengan tragis secara bersamaan. Terlihat dari luka mereka yang simetris.
Sedangkan adik Fany yang lainnya tampak tertidur di ranjang meski sebenarnya mati terbunuh tergores di leher.
Sesuai dengan analisa Levo, mereka sengaja digiring menuju kamar atas agar teriakan mereka tak terlalu terdengar dari luar. Itu trik yang cukup pasaran. Sepertinya pembunuh tidak sehandal uang Levo pikir. Banyak jejak pembunuhan yang terlihat. Namun, sebenarnya sang pembunuh berusaha meminimalisir bukti pembunuh sebenarnya.
Sedikit aneh. Hanya ada empat orang di sana. Levo menahan diri untuk tidak menyentuh apapun di tubuh korban. Namun, secara sekilas mata, Levo tak melihat ada satu gadis yang ia cari.
Hanya satu yang Levo pikirkan saat ini, di dimana Fany?
***