18

2037 Kata
"Kau yakin ingin mati?" Levo tersenyum miring. Seolah memprovokasi pikiran Leo agar mau mengatakan rahasianya yang masih terpendam. "Ya, tapi biarkan ibuku hidup dengan tenang." Levo tertawa hambar. "Kau lupa sedang berhadapan dengan siapa? Kami ini pembunuh bukan penagih hutang yang bisa kau tawar setelah kau bayar kami dengan nyawamu." Leo terdiam. Sudah ada di dalam lubang tanah yang cukup pengap membuat Leo sedikit kesulitan bernapas. Apalagi sekarang ia akan segera ditidurkan oleh gas Sarin dengan begitu menyakitkan. Memikirkannya saja membuat Leo menelan ludahnya dengan susah payah. "Kau lihat? Saat kau di ujung kematian, ibumu tak mengetahuinya. Kau bisa nerada di sini karena kau terlalu setia pada Tuanmu yang bahkan tak mempedulikanmu. Dia hanya menjadikanmu boneka. Kau digerakkan seperti marionet. Kemudian, saat salah satu benang putus dan kau kehilangan cara untuk bergerak, dia hanya akan membuangmu. Kau sudah tak berguna. Meski kau akan hidup bebas dari belenggu tangannya, tapi kau akan tetap terbunuh karena kau mengetahui rahasianya. Jadi, akan lebih baik kau mengutarakan apa yang kau rahasiakan. Kami akan mengantar mereka bersamamu. Kau tidak akan memenuhi neraka sendirian. Kami akan memberimu teman yang kau inginkan." "Kalian juga akan ikut bersamamu ke Neraka, bodoh!" "Aku tak pernah mengatakan jika aku pemilik surga." Levo tersenyum miring. "Tenang saja. Apa yang kami lakukan pasti akan kami tuai juga hasilnya. Setidaknya banyak manusia yang merasakan nyamannya dan adiknya hidup sebelum mereka mati dalam ketidakadilan dan kesengsaraan." Leo mendengkus. Ia menjerit kesal. Hatinya dipenuhi dilema akibat ucapan Levo. Semua yang Levo katakan benar. Sial bagi Leo. Ia harus terjebak di antara kematian dan kejujuran. Meski ia jujur, ia juga akan mati. Akan tetapi, mati membawa rahasia dari orang yang telah membuat hidupnya penuh tekanan juga sangat tak adil. Kesetiaannya teruji. Lidahnya kelu. Pikirannya berkecamuk. Air mata sang ibu membuatnya ikut menangis. Hingga akhir, ia tetap tak mampu membahagiakan sang ibu tercinta. "Aku akan mengatakan semuanya, tapi aku minta satu hal dari kalian." "Karena kamu masih punya hati nurani, kami akan dengarkan apa permintaanmu." Leo terdengar menarik napas dalam. Pasti napasnya sudah sesak berada di dalam lubang tanah yang cukup dalam itu. "Jaga ibuku dari Andrew." Suara parau dengan nada lesu putus asa itu membuat Zack menendang kerikil dari atas hingga jatuh menimpa Leo. "Kau pikir setelah kau membunuh keluarga tak bersalah, menyakiti Fany dengan segitu parah, kami akan mengabulkan permintaan bodoh itu hah?" "IBUKU LUMPUH, b******k!" Leo histeris. Terdengar tangisan yang memilukan. Tangis seorang anak yang tak tega membuat ibunya bersedih bahkan terluka. "Ibuku tak bisa bergerak sekalipun. Dia ... dia hanya mengandalkan aku. Tapi ... aku sudah tak bisa lagi ada di sisinya. Hanya itu yang kuminta. Ibuku tak ada sangkut pautnya dengan semua dosaku. Kalian boleh membunuhku. Tapi kumohon, jaga ibuku." Levo menepuk bahu Zack. Menatapnya dalam. Sorot mata Levo mengatakan jika Zack harus menahan emosinya. Levo tau, emosi Zack sebatas benci karena Leo telah melukai hidup Fany begitu dalam. "Aku mengajakmu ke sini bukan untuk mengacau, Zack. Karena aku ingin dia berakhir di tanganmu. Jadi, kau bisa lebih tenang setelah membalas rasa sakit gadis yang kau sayangi. Tapi jangan mengacau." Zack terdiam. Kemudian ia pun mundur. Berganti Levo yang melihat ke bawah dan menatap sosok yang menunduk begitu dalam. Leo terduduk. Memeluk lutut. Pasrah apapun yang akan terjadi. "Aku akan mengabulkan permintaanmu. Jadi, kau harus mengatakan apa yang kau rahasiakan. Jika aku tahu kau berbohong, ibumu akan bertemu denganmu ... segera." "Andrew menggelapkan uang negara." Leo membuka ucapannya kembali. Meski terdengar pelan, Levo masih mampu mendengarnya dari atas. "Aku saksinya. Aku ingin membeberkan semua yang Andrew lakukan. Karena dari itu aku ditendang sebagai bodyguard setianya. Aku diancam akan dihukum mati jika aku mengatakan semua keburukan Andrew. Ibuku juga akan terseret. Itulah mengapa aku diam. Aku tau jika Fany mencari informasi tentang Andrew lebih dalam. Aku tak mau Fany mencari tau tentang Andrew lagi. Dia melawan. Bahkan dia mengatakan akan melaporkanku karena aku tau tentang kesalahan yang Andrew lakukan. Salah satu bodyguard Andrew tau jika Fany kekasihku dan Fany tau tentang rahasia Andrew. Aku dipaksa membunuh keluarga Fany agar ibuku selamat." "Tapi kenapa kau memperkosa Fany! Dasar b*****t! Kau lebih menjijikkan dari iblis sekalipun!" Zack mencecar begitu kesal. Levo hanya mampu diam. Ia memandang Zack dengan datar. Berusaha menenangkan lewat isyarat tangan yang ia kibaskan. "Karena aku mencintainya. Aku tau aku akan mati. Aku ingin memilikinya sebelum aku membunuhnya dan mati." "Biadab!" Zack menyambar sebuah bola seperti bom. Ia menarik tuas yang tertempel. Kemudian, Zack melemparnya ke bawah. Dengan cepat, Zack menutup permukaan dengan papan dan kain hitam. Levo yang tersingkirkan dengan paksa hanya menggeleng pelan. Zack selalu tak sabaran. Seperti bara api yang menggebu. Siap melahap apapun yang menyentuhnya. Api kecil yang menjadi sahabat akhirnya berubah menjadi api besar yang melahap. Pada akhirnya, Leo akan mati lemas. Rahasia yang telah diungkap hanya secuil dari semua rahasia yang masih tersimpan. Levo tak bisa menyalahkan Zack. Ia tau jika Zack pasti sangat terpukul karena Fany begitu hancur sekarang. Levo pun menyentuh pundak Zack yang masih menghembuskan napas begitu cepat. Tampak sangat frustasi. Seperti api yang harus padam secara langsung. Banyak asap yang mencuat. Memenuhi permukaan hingga menyesakkan d**a. Tatapan Zack masih tertuju pada lubang hitam yang berisi Leo. Pasti sekarang Leo merasakan maut datang penuh menyakitkan. Lehernya tercekik. Paru-parunya terperas. Aliran oksigen akan terhenti berganti dengan gas Sarin yang menyesakkan. Perlahan namun pasti, Leo akan menghembuskan napas terakhir sebelum pergi terbakar api neraka. "Kita pulang." *** Kematian kedua orang tua sekaligus kedua adik membuat Fany banyak diam. Gadis itu tak menuntut apapun. Tatapan matanya kosong. Empat gundukan tanah yang masih basah membuat hatinya terasa pilu. Sudah lima kali, ia mencoba bunuh diri. Ia pikir, hidup tak ada gunanya lagi. Ia sudah tak punya siapa-siapa. Hidupnya hancur tak berbekas. Semua itu karena rasa penasaran dan keras kepalanya sendiri. Flashback on ... Fany terpaku. Melihat sosok yang berdiri di depan rumahnya. Sosok dengan wajah menyeringai namun kedua netra yang tersorot sendu. Hari yang mulai petang membuat keadaan komplek rumahnya sepi. Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak ada yang peduli apapun yang terjadi di luar. Meski hujan, badai, p****g beliung, mereka akan tetap berada di dalam mengamankan diri. "L—Leo? Ada apa? Kenapa kau ke rumahku?" Meski Leo adalah kekasihnya, tatapan Leo dengan membawa sebilah pisau di tangan membuat Fany tergugup takut. Ia tau di dalam ada orang tua dan dua adiknya. Mereka mungkin belum tau jika ada Leo di luar rumah. "Aku mencarimu, Sayang." "Tapi ... mengapa kau membawa pisau? Itu menakutkan, Leo." Fany mencoba mendekat. Ia ingin masuk ke dalam rumah tanpa mempersilakan Leo masuk dengan pisaunya. "Ah, maaf. Aku lupa menaruhnya di saku lagi. Tadi aku sedang mencari buah dan membawa pisau ini." Alasan yang tak masuk akal. Tapi Fany mencoba percaya. Terlebih lagi Leo adalah kekasihnya. Ter-mind set jika Leo takkan mungkin menyakitinya. "Kau ingin masuk?" tawar Fany. "Tentu. Aku ingin mengenal keluargamu." Melihat Leo sudah memasukkan pisau ke tempatnya dan menaruhnya di saku jaket Leo yang cukup besar, Fany pun mengajak Leo untuk masuk. Terlihat sapaan orang rumah yang hangat. Menyapa Fany dan sosok asing bagi mereka. Namun, dengan senyuman hangat itu Leo ikut bersikap ramah. Hingga Leo pun dipersilakan duduk dengan tawaran minuman teh hangat atau kopi. Tapi Leo menolak dan meminta untuk diberi waktu berdua dengan Fany. Sebab, Leo ingin mengatakan hal penting dengan Fany di mana tak ada seorangpun yang boleh mendengarnya. Kedua orang tua Fany memahami keinginan Leo. Mereka pun menggiring kedua anaknya yang lain untuk naik ke lantai atas. Meninggalkan Fany bersama dengan Leo di lantai bawah tepatnya di ruang tamu. "Ada apa, Leo?" tanya Fany yang sudah memastikan bahwa keluarganya tak mendengarkan percakapan mereka. "Dari mana kau?" tanya Leo dengan tatapan penasaran. "Dari perpustakaan daerah." Fany tak berbohong. Ia memang dari perpustakaan daerah untuk mencari informasi tentang Andrew. Tentang segala macam kasus Andrew yang tertelan berita lainnya. Seperti sengaja diabaikan oleh awak media dan menimbun nya dengan berita lain. "Untuk?" tanya Leo lagi. "Kau tak perlu tau, Leo." Fany mencoba mengelak. Ia tahu jika Leo adalah anggota setia dari Andrew. Ia tak mungkin mengatakan pada Leo jika dirinya sangat penasaran dengan kasus kriminal seorang Andrew. "Aku akan menceritakan semua jika kau mau." Fany terdiam. "Apa maksudmu?" "Aku tau kau mencari informasi tentang Andrew kan? Di mana kasus kematian Samantha tertutup dan meninggalkan misteri. Lalu, kau juga penasaran tentang semua rahasia Andrew kan?" Fany terdiam. Ia menelan ludahnya susah payah. "Siapa yang menyuruhmu?" tanya Leo. "Tak ada." "Lelaki ingusan yang sering ku lihat di kedaimu itu?" tanya Leo yang mengarah pada Zack. Namun, dengan cepat Fany menggeleng. "Tidak, Leo! Tidak siapapun." Leo mengangguk paham. Wajahnya tersenyum miring dengan seringai penuh arti. "Fany, kuharap kau tidak melanjutkan rasa penasaranmu itu lebih jauh lagi." "Kenapa?" "Jika tidak, aku akan membunuh keluargamu yang mendengar semua percakapan kita." Tatapan Leo tertuju pada seorang anak kecil. Anak kecil yang ternyata sedari tadi mengintip di tangga. Meski Leo duduk membelakangi, Leo tau jika adik bungsu Fany mendengar semua percakapan mereka. Bahkan Fany tak menyadari itu. Leo bangkit. Tangannya menyelinap ke dalam saku jaket di mana ada pisah di sana. Sontak Fany ikut bangkit dan menahan tangan Leo. "Jangan sakiti keluargaku!" "Maaf." Dengan mata sayu dan lesu, Leo. Langsung memukul jidat Fany hingga gadis itu terpental jatuh pingsan. Leo bergegas ke atas. Melihat anak kec itu berlari ke sebuah ruangan. Kamar. Anak itu memasuki sebuah kamar dengan terburu. "Mama!" teriak anak itu. Membuat mama dan papa yang sedang bercakap di ranjang terkejut dan makin terkejut melihat kehadiran Leo dengan sebilah pisau di tangannya. "Apa yang kau lakukan?!" gertak sang papa. Namun, Leo menepis kasar tubuh lelaki paruh baya itu hingga terjatuh. Tujuannya adalah anak kecil yang sekarang berusaha dilindungi oleh seorang wanita paruh baya. "Dia mengancam Kak Fany, Ma!" teriak anak itu dalam pelukan sang mama. Leo terus maju tanpa mempedulikan permintaan maaf dari si wanita paruh baya. Setelah gemetaran dan jatuh ke lantai, Leo mengangkat pisau itu dan mengarahkan ke sang anak. Sraatt! Tajamnya pisau langsung berhasil menembua dua tengkorak. Sontak darah mengucur deras membasahi lantai. Tatapan Leo berpindah pada sang anak yang tertidur di ranjang. Kemungkinan anak itu hanya pura-pura tidur. Begitulah pikiran Leo. Tak segan, ia menggorok leher anak itu dan menatap pada lelaki paruh baya yang berusaha bangkit setelah kakinya terluka. Wajahnya memarah karena marah dan luka. Melihat keluarganya di bantai dengan sebilah pisau oleh orang yang mereka sambut hangat. "Kaaauuuu! Siapa kau?!" Lelaki paruh baya itu mengambil vas bunga dan hendak ia hantamkan ke kepala Leo. Namun, dengan cepat Leo menepisnya. Menghantamkan kepala sang lelaki itu ke tembok berulang kali. Setelah ia rasa cukup, Leo menjatuhkan tubuh itu ke lantai. Leo bergegas pergi. Ia ingin membawa Fany ke tempat lain. Akan tetapi, saat dirinya akan keluar dari kamar, kakinya tertahan. Lelaki paruh baya dengan jidat bercucuran darah itu masih tak putus asa. Hingga akhirnya Leo terpaksa harus menusuk lelaki itu berulang kali agar mereka benar-benar mati. Entah apa yang merasuki Leo. Ia hanya diutus untuk membunuh keluarga Fany yang sudah mengetahui tentang semua rahasia Andrew. Hatinya hancur saat harus melakukannya. Karena ia harus menyelamatkan sang ibu agar tetap selamat dari ancaman. Jika ia tak mau membunuh keluarga gadis yang ia cinta, ibunya akan terbunuh saat itu juga. Pada akhirnya, Leo menghabisi keluarga Fany dalam sekejap mata. Sosok itu langsung menggendong Fany keluar dari rumah. Ia membawa sebuah mobil pribadi dan menuju ke apartemen. Ia sengaja membawa Fany ke sana. Ada sebuah hal yang ingin ia lakukan sebelum hidupnya berakhir. Ya, setelah membunuh keluarha Fany, Leo akan dibunuh oleh anak buah Andrew untuk membayar kebocoran informasi tentang Andrew darinya akibat Fany. Hal b***t pun ia lakukan pada Fany. Memaksa gadis itu merelakan keperawanannya untuk pembunuh ibu dan ayahnya. Begitu kejam. Fany menangis dan meraung. Meski Leo pun sakit melihat Fany menderita, tapi hatinya tak ikhlas berpisah dengan Fany sebelum memiliki Fany. Kematian ada di depan mata. Leo harus menikmati indahnya dunia dengan memiliki gadis yang ia cinta. Begitu pikiran yang buruk dan tak beradab. Leo sadar dengan hal itu. Hingga akhirnya, alarm kebakaran berbunyi. Leo langsung bergegas keluar meninggalkan Fany. Dengan harapan, Fany akan terbakar di apartemen menyusul dirinya yang juga akan mati di tangan Andrew. Tapi ternyata salah, Leo berakhir di tangan Blackhole dengan cara yang lebih keji. Tapi setidaknya Leo bersyukur, Blackhole akan menjaga ibunya setelah ia mati. Flashback off ... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN