bc

Blackhole

book_age18+
94
IKUTI
1K
BACA
spy/agent
killer
dark
manipulative
tragedy
mystery
evil
magical world
supernature earth
tricky
like
intro-logo
Uraian

Pembunhan tetaplah pembunuhan. Akan tetapi, apa jadinya jika pembunuhan yang dilakukan adalah untuk kebaikan?

Blackhole, sebuah organisasi yang meluncurkan aksi pembunuhan untuk ketidakadilan. Anggotanya memiliki kemampuan unik yang membantu mewujudkan mimpi indah sebuah kota yang damai tanpa kelicikan. Akan tetapi, akankah semua berhasil? Padahal ... pembunuhan tetaplah hal yang keji.

Dexa, Levo, Zack, Mea, Nezi, dan Sena, mereka manusia istimewa yang penuh dengan strategi dan insting untuk membunuh. Merekalah, para anggota Blackhole yang mampu membuat pelaku ketidakadilan kalang kabut ketakutan.

chap-preview
Pratinjau gratis
1
Ditemukan jasad dengan kain hitam di dalam sebuah lubang pada pagi hari ini. Pihak kepolisian semakin pusing dan frustasi dengan banyaknya mayat yang ditemukan dengan keadaan yang sama. Mereka semua mati lemas karena gas beracun bernama Sarin. Sepertinya pembunuhan yang terjadi adalah pembunuhan yang dilakukan oleh satu orang. Atau mungkin, berkelompok dengan motif tertentu. Hanya saja, pihak kepolisian masih belum mengetahui apa motif di balik pembunuhan yang terjadi. Berita tentang organisasi misterius itu sudah menyebar. Kepolisian mengungkap bahwa mereka sempat menemukan pembunuh itu meninggalkan jejak. Hal itu sepertinya disengaja untuk menunjukkan identitas bahwa mereka adalah satu kelompok pembunuh yang memiliki sebuah organisasi. Hanya saja, pihak kepolisian belum berhasil menemukan anggota dari organisasi tersebut. "Blackhole?" gumam seseorang yang tengah asyik menonton TV di sebuah toko elektronik. Dia selalu melakukannya karena tak ada hiburan di kontrakan yang membosankan. "Ah, aku tak peduli tentang Blackhole atau apapun itu. Kurasa mereka melakukan hal yang benar. Para korban-korban itu memang pantas untuk dilenyapkan. Karena mereka—para tikus berdasi—menyebalkan." ▪️▪️▪️▪️▪️ "Sudah kutemukan. Dia berada di toko elektronik dekat dengan restoran ayam yang baru saja diresmikan kemarin. Tempatnya dekat dengan kantor perusahaan dimana kau bekerja." Dari ujung panggilan, seseorang tertawa puas. Sebab, akhirnya dia menemukan orang yang sudah lama dia incar. "Tunggu aku di markas. Kita susun strategi untuk menangkapnya." "Baiklah." PIP Panggilan keduanya pun akhirnya terputus. Sosok lelaki dengan rambut hitam kecokelatan dan manik mata kebiruan itu menatap seorang gadis yang sedang meracik obat-obat herbal. "Levo mengatakan jika dia akan segera ke sini. Huft, kenapa dia sangat terobsesi dengan orang itu?" gersahnya sembari merebahkan diri di sofa. Seorang gadis lain muncul bersama dengan sebuah plastik putih yang berisi minuman soda. Lalu menata minuman yang baru saja ia beli di atas meja. "Bagaimana? Levo pasti sangat senang mendengar kabar jika kau berhasil menemukan sinyal orang itu." "Ya, kudengar dia tertawa sangat bahagia. Kupikir dia sudah tak normal karena tergila-gila dengan seorang laki-laki." Nezi—sosok lelaki bermata kebiruan—menggersah lalu menutup wajahnya dengan bantal. "Kurasa dia menyukai Mea," sahut Sena—gadis yang tengah meracik obat-obatan herbal. Dia memasukkan racikan obatnya ke dalam sebuah erlenmeyer untuk direaksinya dengan bahan kimia. Sontak ucapan itu membuat Nezi menatapnya tajam. Seolah tak rela jika hal itu benar terjadi. "Diam kau, Sen." Sena terkikik pelan melihat reaksi yang memang ingin dia lihat. Lalu melirik Mea—gadis yang membawa minuman—yang hanya fokus meneguk minumnya. "Di mana Zack?" tanya Nezi mengalihkan pembicaraan. Untung saja gadis yang menjadi tokoh utama pembicaraannya dengan Sena tidak mendengar–atau mungkin pura-pura tidak mendengar—percakapan mereka. Sena hanya mengedikkan bahunya sekilas. Lalu memakai kacamata safety-nya sebelum menuang cairan kimia di dalam erlenmeyer yang sudah berisi bubuk dari bahan herbalnya. "Me, kau membayar minuman ini, kan?" tanya Nezi setelah mengambil sekaleng minuman yang tadi dibawa oleh Mea. Mea hampir tersedak karena pertanyaan itu. Manik mata hitam legamnya menatap tajam ke arah Nezi. Namun, yang ditatap tak menyadari itu dan terus meneguk sekaleng minumannya. "Aku sudah meninggalkan kebiasaan itu. Ya, meskipun kadang masih ingin melakukannya." Nezi terkekeh. "Baiklah. Aku percaya." ▪️▪️▪️▪️▪️ "Pencuri!" Tiga Dua Satu Ya! Jiwanya telah kembali. Dexa Azitro, seorang lelaki yang sedang berdiri menatap lelaki lain digebuki oleh massa. Dia tersenyum simpul. Kemudian, merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Akhirnya bisa makan enak hari ini." Perutnya kembali berbunyi. Ia mengintip jam dinding yang ada di dalam toko. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Waktunya makan siang untuk para manusia. Namun, bagi Dexa, makan siang itu hanyalah mitos. Dia bisa makan sehari sekali saja sudah bersyukur. Apalagi bisa makan tiga kali sehari. Mungkin dia takkan melakukan hal licik itu lagi. "Maafkan aku, ya. Kau jadi bonyok dan masuk penjara untuk hal yang bukan salahmu," gumamnya saat melihat sosok lelaki yang dibawa ke kantor polisi terdekat oleh beberapa warga. Terlahir dengan kemampuan unik terkadang membuat Dexa merasa hilang akal. Kemampuan unikya yang mampu merasuki tubuh orang lain itu memang merugikan sebagian masyarakat. Sebab, dengan kondisi Dexa yang pengangguran sekaligus sebatang kara, membuatnya harus menggunakan kemampuan unik itu untuk mencari uang. Uang yang ia dapatkan pun hanya untuk membeli sesuap nasi. Akan tetapi, ia merasa sangat bersalah karena orang-orang yang menjadi 'boneka'nya harus menanggung hukuman atas apa yang tidak mereka lakukan. "Di dunia ini nggak ada keadilan. Jika ada keadilan, manusia mungkin akan mati." Begitulah prinsip yang dipegang oleh Dexa. Baginya, jika ia terlalu mempedulikan orang lain, maka dirinya yang akan mati. Sebab, ia sudah merasakan betapa egoisnya orang lain yang tak mempedulikan kondisinya. "Kalau mereka peduli, aku akan melakukan hal yang sama. Tapi, jika mereka abai, aku juga akan melakukan hal yang sama. Setidaknya, begitulah keadilan yang kupahami." Dexa melangkah meninggalkan tempatnya bersembunyi. Setiap jiwanya merasuki tubuh orang lain, tubuhnya akan mendadak tertidur di tempat. Jadi, dia harus menaruh raganya di tempat yang aman agar orang lain tak mencurigainya. Derap langkahnya tertuju ke sebuah restoran ayam yang baru saja diresmikan kemarin. Terlihat ada pengumuman jika hari ini akan ada diskon tujuh puluh persen untuk dua puluh pembeli pertama. Namun, saat ia mengambil nomor antrian ternyata ia mendapat antrian urutan lima puluh tiga. "Sial. Terpaksa aku harus melakukannya lagi." Saat dirinya akan beranjak dari tempat untuk menemukan persembunyian yang cocok, seseorang menepuk bahunya. Alhasil, pergerakannya pun terjeda. Dexa menoleh ke sosok yang sudah menghambatnya itu. "Siapa kau?" tanyanya dengan sedikit kesal. "Akhirnya aku menemukanmu." ▪️▪️▪️▪️▪️ "Makanlah yang banyak. Aku tahu kau pasti kelaparan." Dexa tak mempedulikan apapun arti pandangan orang. Ia hanya terus melahap makanan yang tersaji di depannya. Sosok yang duduk di depannya pun hanya memaku sebuah senyuman dan menopang kepalanya dengan tangan kedua tangan. "Berapa hari kau tidak makan?" tanya sosok itu. Dexa hanya mengacungkan jarinya berjumlah dua. Dengan mulut yang masih terus mengunyah makanan tanpa henti, Dexa menatap sosok itu dan mulai mengatakan sesuatu. Namun, tidak mampu terdengar jelas untuk sosok itu. "Makanlah dulu. Baru berbicara." Makanan yang tengah ia kunyah pun akhirnya tertelan. Setelah mengatur napas, ia mulai berbicara. "Dari tadi aku bertanya tentang namamu tapi aku belum dapat jawaban. Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanyanya mengulang pertanyaan saat pertama mereka bertemu. "Habiskan dulu makananmu. Lalu kita bicara di tempat lain." Dexa menggeleng. "Tidak. Aku tidak percaya denganmu." Sosok itu terkekeh pelan. Matanya memandang ke arah tiga piring yang sudah terlahap hampir habis. Lalu beralih ke sosok yang mengatakan bahwa dirinya tak percaya. "Kau sudah hampir melahap habis makanan dariku. Tapi ... kau masih belum percaya padaku?" sindirnya. Dexa brdeham pelan. "Jangan alihkan pembicaraan." "Baiklah. Jika kau sudah selesai, ikuti aku. Kita bicara di suatu tempat." "Tidak. Aku menolak." Dexa bangkit dari duduknya kemudian meninggalkan sosok itu yang masih terdiam di tempat. Ia terus menggerutu hingga keluar dari restoran. Sesekali menengok ke belakang dan merasa aman karena sosok itu tak mengikutinya. Hingga ia pun masuk ke sebuah gang sempit yang mengantarnya menuju ke kontrakan. Akan tetapi, saat ia sibuk bersiul untuk meramaikan suasana yang sepi, tiba-tiba ada sosok yang muncul di hadapannya. Muncul secara mendadak seperti hantu tak diundang. Jelas saja Dexa terkejut bukan main. Sosok yang tadi mentraktirnya makan, tiba-tiba saja ada di hadapannya sekarang. Padahal ia sudah sangat yakin jika sosok itu tak mengikutinya. Lagipula tak ada jalan lain di gang itu selain jalan masuk dan keluar. "Ke—kenapa kau tiba-tiba—" "Akan kujelaskan nanti. Tapi, karena kau sudah mengetahui rahasiaku, kau harus ikut denganku." Sosok itu menyentuh pundaknya dan tiba-tiba ... mereka menghilang. ▪️▪️▪️▪️▪️ Setelah beberapa menit ia kehilangan kesadaran, Dexa pun kembali terbangun. Ia mengerjapkan mata beberapa kalinuntuk memperjelas pandangannya. Saat kedua matanya terbuka, pandangannya sudah kembali jelas, ia melihat ada lima orang berada di ruangan itu. Salah seorang yang ia kenali, duduk di sebuah kursi seperti kursi kebesaran. Dua orang gadis duduk di sofa bersama dengan seorang lelaki lain. Kemudian, salah seorang lelaki lain berdiri menyandarkan punggungnya dan melempar tatapan datar. "Awh!" desisnya karena merasa kepalanya pening saat ia berusaha untuk bangun. "Bagaimana?" tanya sosok yang sejak tadi menguntitnya tanpa alasan—mungkin hanya dia yang tak tahu apa alasan sosok itu melakukannya. "Di mana aku?" tanyanya heran. Karena dia tak pernah mengetahui tempat itu sebelumnya. Ruangannya tampak cukup lebar. Dengan dua rak buku setinggi dua meter dan banyak buku tebal tersusun rapi di sana. Lalu, tak ada jendela di ruangan itu. Hanya ada penyejuk ruangan dua buah yang menjadi ventilasi ruangan. Lalu ada sofa letter L kemudian ada TV yang menggantung di dinding. Selainnya hanya sekadar meja dan alat-alat gelas kimia. "Siapa namamu?" tanya sosok yang duduk di kursi kebesaran. Pada akhirnya sosok itu bangkit dan mendekati Dexa yang masih berada di sebuah bed kecil. Ah, ya. Ada satu bed kecil yang diduduki oleh Dexa dan di meja ada sebuah miniatur bendera hitam dengan lingkaran putih di tengahnya. "Dexa." Ia menjawab seadanya. "Lalu, siapa kau? Dan siapa mereka?" Kali ini ia memaksa harus mendapatkan identitas sosok yang bisa dibilang telah menculiknya. Meski kepalanya masih agak pening, ia mencoba untuk menahan dan menatap kedua mata sosok yang kini berdiri di depannya. "Aku, Levo." Akhirnya sosok itu memperkenalkan diri. Menghilangkan rasa penasaran yang menghantui Dexa sejak tadi. "Dia ...," Levo—sosok itu—menunjuk seorang lelaki yang bersandar di tembok dekat dengan rak buku. "... Nezi." Lalu jemarinya beralih menunjuk dua gadis dan seorang lelaki yang berada di sofa. "Sena, Mea, dan Zack." Levo memperkenalkan ketiga orang itu secara berurutan. "Lalu? Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya heran. Sebab, ia tak memiliki harta benda untuk dirampas. Bahkan keluarga pun tak punya. Ia hanya sebatang kara tanpa harta benda dan bisa disebut sebagai gelandangan. Jika kelima orang itu berniat untuk meminta tebusan sejumlah uang, maka mereka sudah melakukan kesalahan karena telah menculik seorang Dexa. "Aku tak butuh harta bendamu." "Lalu?" Dexa mengernyitkan keningnya heran. "Kalian ingin nyawaku?" "Lebih tepatnya ... kami ingin dirimu." Dexa terdiam. Tak lama kemudian, Dexa tertawa hambar. Dan beberapa saat sebelum itu, ia kembali terdiam dan menatap Levo dengan datar. "Kalian gila. Aku tak punya apapun untuk kalian miliki. Apa yang istimewa dariku, eum?" "Kami mengetahui kemampuan unikmu. Merasuki tubuh orang lain? Itu sangat menarik, Dex." Levo tersenyum penuh arti. "A—aku tak punya kemampuan semacam itu. Konyol!" bantah Dexa. Levo terkekeh pelan. "Aku, bisa berpindah tempat." Setelah mengatakan itu, Levo tiba-tiba saja berpindah tempat dalam sekejap. Dari awal dia berada di depan Dexa, sekarang ia telah berada di kursi kebesarannya lagi. Tanpa melangkahkan kaki sedikitpun. Hal itu membuat Dexa mengusap kedua matanya untuk memastikan bahwa hal itu benar. "Ka—kau berteleportasi?" Levo mengangguk. Dia menopang kepalanya dengan kedua tangan dan melanjutkan penjelasannya. "Nezi ... bisa melihat keberadaan sebuah tempat atau sinyal seseorang dari jarak yang cukup jauh. Aku bisa menemukanmu juga karena bantuan Nezi." Dexa menatap Nezi yang membuang muka darinya. Kemudian kembali menatap Levo. "Sena, adalah ahli obat—ah—dia seorang farmasis. Lalu, Mea ...," ucap Levo terhenti saat Dexa terkejut melihat gadis yang duduk di sebelah Sena tiba-tiba menghilang. "... Mea bisa menghilang." "Itu menakjubkan. Lalu, bagaimana dengan dia?" Dexa tampak sedikit tertarik dengan pemandangan yang ada di depannya. Ia merasa memiliki teman yang berkemampuan aneh seperti dirinya. Kedua netranya pun beraluh menatap Zack. Namun, belum sampai Levo menerangkan, ujung baju milik Dexa sudah terbakar dengan api kecil. Hal itu sempat membuat Dexa panik dan kalang kabut. Sebelum Dexa menyiramkan segelas air ke bajunya, api itu sudah menghilang tak berbekas. Hanya menyisakan bau gosong dan baju yang sudah terkikis karena api. Dexa menatap Zack yang sudah menertawainya. Ia langsung melotot kesal karena itu. Akan tetapi, satu hal yang membuatnya tertarik adalah ... mereka adalah satu kekuatan yang sempurna. "Bagaimana? Menyenangkan, bukan? Memiliki rekan seperti kami akan memberimu hidup yang nyaman." Levo kembali merayu Dexa. "Kenapa kau sangat menginginkan aku?" tanya Dexa lagi. "Bukankah sudah jelas jika aku menginginkan kemampuan unikmu? Kami akan sangat sempurna jika kau bergabung dengan organisasi kami." Dexa mengerutkan dahi saat mendengar kata organisasi. "Organisasi? Organisasi apa?" "Organisasi pemberantas ketidakadilan. Sangat menarik, kan?" sahut Zack dengan bangga. Levo terkekeh mendengarnya. "Memangnya ada yang seperti itu?" tanya Dexa lagi. Dia masih sangat penasaran siapa mereka sebenarnya. "Kau pasti melihat berita pagi ini. Saat kau melihat berita itu, apa yang kau pikirkan?" Levo berbalik melempar pertanyaan. "Berita tentang pembunuhan itu?" "Yap." "Cukup membuat penasaran. Karena si pembunuh sangat misterius dan menurutku dia sangat pandai menyembunyikan identitas. Kurasa si Blackhole atau siapalah itu adalah orang yang hebat." Levo dan keempat orang lainnya langsung saling menatap dan menahan senyuman. "Tunggu." Dexa menatap kelima orang di depannya. "Jangan bilang, jika kalian adalah ... Blackhole?" ▪️▪️▪️▪️▪️

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
148.4K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
10.5K
bc

Romantic Ghost

read
164.3K
bc

Time Travel Wedding

read
6.6K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
7.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
91.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook