19

2670 Kata
"Fany?" Zack menyentuh pundak gadis itu. Namun, Fany masih tak bergeming. Kelima rekan Zack yang ada di sana juga sibuk menatap gadis yang masih bersimpuh di pusara sang ayah. Sangat amat terlihat menyedihkan. Sena menyenggol lengan Mea. Gadis itu menoleh dan mengangkat alisnya. "Mau sampai kapan? Hampir jam delapan. Kita harus melanjutkan rencana kita kan?" bisik Sena pada Mea sambil memberi lihat jam tangan yang melingkar di pergelangan nya. Mea mengangguk. Ia pun menepuk bahu Levo dan memberi aba-aba. Levo yang mengerti pun langsung mengangguk. Ia memberi arahan untuk Sena dan Mea agar pergi terlebih dulu. Kemudian menoleh pada Dexa dan Nezi yang masih terdiam menatap Zack. Sosok itu masih berusaha membujuk Fany untuk bangkit. Tapi Fany masih tetap diam. Gadis itu seperti tak punya semangat hidup. Seolah gadis itu kesal karena sudah di selamatkan. Sedangkan kedua orang tua dan kedua adiknya meninggal begitu tragis. Pihak kepolisian masih sangat ramai di tempat pemakaman. Mereka mencoba untuk mencari saksi atas pembunuhan yang terjadi. Sebab, mereka kesulitan mencari sang pembunuh. Tentu saja, pembunuhnya telah mati di tangan pembunuh. Kemungkinan jasadnya akan terdeteksi setelah Blackhole memberi tanda. Tanda itu akan Blackhole ungkap setelah berhasil menangkap Andrew dan menyatukan Andrew dengan para anak buah yang telah tertangkap dan terbunuh. "Fany, aku memiliki tempat yang cocok untukmu. Mungkin, tempat ini akan membuatmu bisa meluapkan rasa bersalah yang bersemayam di hatimu." Ucapan Levo tak hanya membuat Fany menoleh. Tapi juga Zack begitupun Nezi dan Dexa. Mata gadis itu tampak merah dan berair. Meski Fany tampak diam, gadis itu menangis tanpa terhenti sedikitpun. Menangis tanpa suara. "Levo, apa maksudmu?" tanya Zack heran. "Aku akan membawanya ke tempat ibu Leo." Mendengar nama Leo, Fany tak bergeming. Gadis itu tidak marah atau murka. Seolah apa yang sudah Leo rebut darinya bukanlah hal besar yang harus dianggap sebagai hutang. "Kau gila?" Zack mendorong bahu Levo karena kesal. Ia tak pernah setuju membiarkan Fany hidup lebih menderita karena mengurus ibu dari orang yang telah merenggut masa depannya. Terlebih lagi, ibu Leo itu lumpuh. Sudah pasti Fany akan kesulitan keuangan untuk mengurus ibu Leo. "Ini yang terbaik." "Tidak!" "Lalu, mau kau kemanakan Fany?" tanya Levo dengan wajah datarnya. Sifat kekanakan Zack terkadang membuatnya kesal. "Lalu apa alasanmu membawa Fany tinggal bersama ibu laki-laki b*****t itu?" Levo melihat ke sekeliling. Banyak polisi di sana. Sudah pasti banyak telinga yang mendengar. Levo tak mau membuat mereka semakin penasaran dan justru mengejar dirinya dan juga Zack untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Akan sangat merepotkan. "Lebih baik kau pulang ke tempat kita. Aku akan menjelaskannya nanti." Zack mengerti. Meski ia sangat menggebu untuk ingin mendengar alasan Levo, tapi ia juga masih patuh pada ketua Organisasi mereka itu. Fany masih tak ku jung bergerak. Gadis itu masih diam membisu di tempat dengan tatapan penuh tanya. Tapi mulutnya seolah terkunci untuk tak bicara. "Kau ikut aku." Levo menarik lengan Fany agar berdiri. Gadis itu terlalu kurus untuk diangkat Levo dengan dua tangan. Alhasil, Levo hanya menariknya dengan satu tangan dan Fany berdiri dengan lesu. "Mau kau bawa ke mana gadis ini? Bukankah gadis ini anak pertama dari keluarga ini?" tanya salah seorang polisi yang menyadari bahwa Levo akan mengajak Fany pergi. "Lepaskan dia. Karena kami ingin meminta penjelasan lebih lanjut tentang kasus ini." "Tidak ada gunanya, Pak Polisi yang Terhormat. Kau lihat gadis ini? Dia seperti mayat hidup. Tak punya tenaga untuk bicara." "Anda siapa?" tanya polisi tersebut. "Saya tunangannya. Jadi, saya lebih berhak memutuskan gadis saya boleh diinterogasi atau tidak oleh pihak kepolisian." Fany menyeka tangan Levo dari lengannya. Kemudian menatap sang polisi dan membuka suara. Hal itu membuat Levo harus memutar otak agar Fany tidak menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Jika gadis itu menceritakan tentang alasan keluarganya terbunuh dan pembunuhnya siapa, sudah pasti rencana Blackhole akan gagal total sebelum di mulai. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberi keterangan apapun. Karena saat kejadian, saya tidak ada di rumah." Levo langsung menatap Fany seketika. Gadis itu memihak pada Blackhole meski gadis itu belum tau jika dirinya adalah anggota Blackhole. "Kau yakin, Nona?" tanya sang polisi lagi. Fany mengangguk. "Ya, saya sedang ada di perpustakaan daerah waktu itu." Tanpa menunggu lama lagi, Levo kembali menggandeng Fany. "Maaf, kamu tidak ada waktu lagi. Fany harus banyak beristirahat. Tubuh dan hatinya sedang lemah. Mohon pengertiannya." Lagi-lagi Fany menyeka tangan Levo dan menatap sang polisi. "Saya minta, kasus ini ditutup. Saya tidak mau memperpanjang kasus kematian kedua orang tua dan adik saya." Mendengar ucapan Fany, jelas para pihak Kepolisian kebingungan. Sebab, biasanya para korban akan meminta keadilan untuk pembunuhan yang terjadi. Terlebih lagi, keluarga Fany dibantai. Tapi gadis itu jelas-jelas meminta agar penyelidikan akan kasus pembunuhan itu di hentikan. Sudah pasti akan menuai kecurigaan. "Dengan alasan apa Anda meminta penyelidikan ini dihentikan?" "Tidak perlu alasan mengapa saya ingin penyelidikan tentang kadus pembunuhan keluarga saya untuk dihentikan. Sebab, ini hak saya meminta keadilan atau tidak. Saya hanya yakin, keadilan dari Tuhan lebih adik dari pada keadilan di negeri ini." Setelah itu Fany angkat kaki. Meninggalkan Levo yang terpaku di tempat. Tersihir dengan ucapan gadis berusia sembilan belas tahun yang sedang rapuh. Ia pikir, Fany akan mengatakan hal yang dapat membuat rencana Blackhole berantakan. Tapi sepertinya Fany akan menjadi rekan untuk Blackhole yang kompeten. "Wah, kekasihku memang hebat. Dia begitu tegar. Dia percaya ... keadilan Tuhan lebih adil. Apa tanggapan kalian sebagai oknum negara?" Setelah mengatakan hal yang sedikit provokatif pada para polisi negara, Levo bergegas pergi menyusul Fany yang mulai melangkah menjauh. Setelah berhasil menyamakan langkah dengan Fany, Levo berdeham. "Kau benar-benar akan menutup kasus ini?" "Ya." Jawaban singkat dari Fany menuai pertanyaan lagi pada Levo. "Kenapa?" Tiba-tiba langkah gadis itu berhenti. Kedua manik mata indah milik Fany langsung tersorot pada Levo. "Siapa kalian?" Levo tersenyum tipis. Sudah pasti pertanyaannya akan dijawab dengan pertanyaan. Gadis itu pasti menyadari apa yang sudah ia lakukan. Berpindah tempat dengan tiba-tiba? Sudah pasti bukan manusia biasa. Zack yang mampu mengeluarkan dan menjinakkan api? Sudah pasti mereka kumpulan manusia aneh yang memiliki tujuan tertentu. "Siapa ... kalian?" pertanyaan itu tak dijawab oleh Levo. Hanya senyuman yang tertarik indah. Sedangkan Fany masih terus menatap Levi dengan penuh tanya. Gadis itu ingin kejelasan tentang identitas mereka berenam. "Ikut aku. Dan aku akan menjelaskan semuanya padamu." Levo kembali menarik tangan Fany untuk tetap melangkah. Mereka berjalan menuju mobil milik Levo. Levo sengaja membawa mobil agar tidak kerepotan mencari tempat sepi yang jauh dari jangkauan tatapan para polisi. Apalagi mereka sedang ada di tempat pemakaman yang terbuka. Akan sangat sulit dan berbahaya jika Levo berpindah tempat dengan teleportasi. Perjalanan yang cukup panjang. Levo menyetir mobilnya dengan tenang. Tujuannya bukan markas Blackhole. Melainkan ke sebuah tempat yang lumayan jauh. Ia menuju ke sebuah rumah yang ada di sebuah perumahan kecil. Rumah Leo. Di sana ada seorang wanita paruh baya yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat pasi. Kulit keriput dan mata melingkar hitam. Tatapannya kosong dan tak menyadari akan kehadiran Levo dengan Fany. "Siapa wanita itu?" bisik Fany iba. Sedangkan Levo dan Fany bisa masuk karena ada salah seorang tetangga yang memberi tahu cara masuk ke rumah itu. Soalnya Leo selalu berpesan pada tetangga samping rumah untuk mengawasi siapapun yang masuk dan jika yang bertamu itu tampak orang baik, Leo menyuruh untuk memberitahu jika kuncinya ada di bawah pot bunga Kaktus. Pesan Leo yang telah tiada masih teringat. Meski para tetangga dan ibu kandung Leo sendiri belum tau jika Leo telah tiada. "Permisi." "Leo?" Baru saja mendengar suara Levo, wanita paruh baya itu menoleh dan mengira bahwa yang datang adalah Leo, anaknya. Matanya tersorot sendu saat menyadari jika bukan Leo yang datang. Melainkan dua orang asing dengan pakaian serba hitam mengerikan. "Siapa kalian?" "Saya Levi dan ini adalah Fany." "Lalu?" tanya wanita itu dengan suara gemetar. Ia tak. Bisa bergerak. Kakinya lumpuh. Hanya tangan yang mampu menarik tubuhnya untuk bergerak. Tapi karena sudah terlalu tua dan renta, tangannya juga bergetar saat berusaha membuat tubuhnya berubah posisi. "Kami datang membawa kabar." Levo memberi sebuah tas hitam. Tas itu berisi uang. Fany sontak menatapnya heran. Ia tak sadar jika Levo datang membawa tas tersebut. "Apa ini?" tanya wanita itu. "Ini uang dari hasil kerja keras anakmu, Leo. Sekarang Leo sedang dikirim ke luar negeri untuk waktu yang lama. Mungkin ia akan selamanya berada di sana. Tapi akan selalu mengirimkan uang untuk Ibu. Jadi, jangan memikirkan keadaan dia. Dia akan baik-baik saja dan mendapatkan hidup enak." Levo tau, hanya itu yang ingin didengar seorang ibu. Meski ibu akan kesulitan bertemu dengan anaknya tapi jika mendengar anaknya hidup tenang dan enak, itu sudah lebih dari cukup untuk seorang ibu. Terlihat sekarang, reaksi sang ibu tampak tenang. Terdengar suara helaan napas dan senyuman. "Terima kasih sudah memberitahu tentang keadaan anakku. Tapi, kau ini siapa? Bukankah Leo bekerja untuk Tuan Andrew?" "Aku rekan kerja Leo. Jadi, aku tau apa yang terjadi pada Leo sebenarnya." "Ah begitu. Lalu siapa gadis itu?" tanya wanita itu mengarah pada Fany yang hanya mampu diam. "Dia ... kekasih Leo." Sang ibu langsung menutup mulutnya terkejut. "Astaga, anakku sudah punya kekasih? Wah, dia pasti populer. Kekasihnya begitu cantik. Sini lah, Nak. Kau akan menjadi anak ibu juga." Fany hanya diam. Lagi-lagi gadis itu hanya diam. Pikirannya terlalu rumit. "Hei, kenapa kau melamun?" Wanita itu tampak sangat hangat menyambut Fany. Membuat Fany ingin menitikkan air mata karena teringat dengan sang ibu. Hatinya sakit. Ia sangat sakit hati karena Leo telah membunuh keluarganya. Tapi, ia tahu. Sangat tahu. Leo terpaksa melakukan itu. Semua itu Leo lakukan demi wanita yang sekarang ada di depannya. Hatinya hancur. Tapi pasti Leo juga sangat hancur. Akhirnya, Fany menangis. Ia berlutut dan meraung dengan tangisan pecah yang membuat wanita itu terheran kaget. "A—ada apa?" tanya wanita itu dengan panik. "Keluarganya dibantai. Sekarang ia sebatang kara." Mungkin hanya itu kejujuran yang Levo katakan. "Astaga, Ya Tuhan. Malangnya nasibmu, Nak. Sudahlah, Nak. Tak apa. Masih ada ibu dan Leo. Kami akan menyayangimu dengan hangat." Wanita itu berusaha meraih pundak Fany, namun tak berhasil karena terbatas pergerakan. Fany semakin meraung. Sudah pasti hatinya kacau balau. Tapi ia tetap tak mampu membenci siapapun. Semua karena kebodohannya sendiri. Ia terlalu egois untuk hal yang tak penting. "Hei, jangan menangis, Nak. Kau membuat ibu sedih." Levo hanya mampu menepuk bahu Fany untuk lebih kuat. Gadis itu pun mendongak. Ia menatap wanita itu dan bangkit. Lalu mendekat. "Ibu, maafkan aku." Fany hanya mampu meminta maaf. Karenanya, Leo harus berada dalam bahaya bahkan pergi tanpa pamit. "Jangan meminta maaf. Kau tak bersalah. Anggap aku ini ibumu. Kita akan bahagia." Fany yang terus menangis pun akhirnya memeluk sosok wanita lumpuh penuh kelembutan itu. Setidaknya, Levo membawanya ke tempat yang benar. "Kalau begitu, saya pamit." Baru saja Levo ingin pergi meninggalkan keduanya, Fany sudah menahan. "Tunggu. Kau belum menceritakan tentang yang kutanya kan tadi padamu." Mendengar ucapan Fany, wanita itu terheran. "Ada apa?" "Kita bicara di luar." Fany mengangguk. Gadis itu menatap sang ibu angkatnya dengan mata sembab. "Aku akan berbicara berdua dengannya. Setelah itu, aku akan kembali." Wanita itu mengangguk dengan senyuman. Setidaknya ia mendapatkan teman hidup selama Leo pergi. Begitulah pikirnya. Setelah mereka ke luar rumah. Levo memantau jika memang tak ada yang mengikuti mereka atau mendengar percakapan mereka. "Kau ingin tahu siapa aku?" tanya Levo. "Bukan hanya kau. Tapi kalian." "Kalian?" "Kau, Zack, dua gadis, dan dua lelaki pendiam itu." Ah, Levo paham yang dimaksud meski tak disebutkan namanya. "Kau pernah menonton televisi?" Pertanyaan Levo seolah menyinggung perasaan Fany. "Kau pikir aku buta? Tentu saja pernah!" Levo terkekeh. "Kami sering ada di TV." "Aku tidak pernah melihat kalian ada di acara film atau sinetron." "Aku tidak mengatakan kami ada di serial film atau drama." Fany mengernyit. "Lalu?" "Acara berita kriminal." "Sudah kuduga. Kalian pembu—" Levo langsung berpindah tempat dengan cepat dan membungkam mulut Fany dari belakang. "Ssstt, jangan sebut kami dengan sebutan itu. Kami ini ... Blackhole." Fany menepis tangan Levo dari mulutnya. Gadis itu langsung menjauh dari Levo. Tatapan nya gelisah. Tak disangka, Fany masih merasa takut. "Kau takut?" Fany menggeleng. "Tenang saja. Kami mengakhiri mereka yang berbuat tak adil. Untuk Leo dan keluargamu, aku dan teman-teman akan menuntaskan ketidakadilan." "Tapi Leo juga korban. Kenapa kau mengakhirinya?" "Sudah cukup banyak orang berjatuhan. Bukan hanya keluargamu. Tapi putri semata wayang bosnya juga melayang di tangan Leo. Meski semua itu perintah ayah kandung Samantha sendiri. Tapi melakukan ketidakadilan tetaplah oknum yang tidak adil." Hanya diam yang bisa Fany lakukan. Ia tak bisa berkutik apapun lagi. "Kalau kau diam, kami akan membiarkanmu. Tapi kalau kau angkat bicara, kamu juga akan angkat kaki mengejarmu." "Aku ada di pihak kalian." Tanpa ragu, Fany mengatakannya dengan tatapan yang tajam. "Kau yakin?" Pada akhirnya Fany mendekati Levo kembali. "Aku berterima kasih karena telah memberi keadilan untuk keluargaku. Kematian Leo, sudah lebih dari cukup. Meski tak bisa dipungkiri, aku akan menjaga ibu dari pembunuh keluargaku sendiri dengan kasih sayang." "Kau benar akan baik-baik saja?" "Tentu. Aku tenang. Ada kalian di sisiku. Andrew takkan berani mendekati kami kan?" "Sebelum Andrew mendekati kalian, dia sudah mendekati ajalnya sendiri." Levo menyeringai. "Aku pamit. Hiduplah dengan tenang. Jangan khawatir, uang yang ada di tas itu, cukup untuk kebutuhanmu beberapa tahun ke depan. Kalau kurang, aku akan datang. Kalian ... menjadi tanggungjawab ku sekarang." "Terima kasih, Levo." "Ah, jangan kembali ke kedai." Baru saja Levo ingin melangkah pergi, ia teringat dengan betapa beracunnya ucapan para teman-teman Fany. "Kenapa?" "Mereka akan membunuhmu jika kau kembali." Fany menghela napas. "Aku sudah tau itu. Terima kasih sudah mengingatkan. Semoga ... semua ini lekas berlalu." "Baiklah. Aku pergi. Jaga diri kalian." *** Hari yang tepat? Mungkin. Rencana mereka hari ini adalah menculik Andrew tanpa membuat masalah. Meski Zack sedang dalam masa pemulihan untuk hatinya yang terluka, dia tetap profesional melakukan tugasnya sebagai anggota Blackhole. Kini mereka tengah menunggu kedatangan Levo. Sosok itu masih tak kunjung datang. Sedangkan sedari tadi Nezi juga belum melihat adanya sinyal dari Levo. Mungkin sosok itu masih berada di tempat yang terlalu jauh dadi jangkauan Nezi. "Zack, kau tau ke mana Levo pergi?" tanya Mea yang begitu bosan. Mereka tak bisa bergerak jika tak ada Levo. Sebab, semua rencana harus dimulai dari Levo. "Haaahhh," hela napas Zack yang begitu panjang membuat Nezi melirik. "Dia membawa Fany ke tempat ibu Leo?" tebak Nezi yang sangat akurat. Zack hanya mengangguk. Sedangkan Mea dan Dexa melotot kaget. Berbeda dengan Sena yang menanggapi dengan santai. "Ide bagus." "Apanya yang bagus? Itu petaka!" Mea tak setuju dengan Sena. "Petaka?" tanya Sena heran. "Iya. Bagaimana jika ibu Leo tau jika Leo mati di tangan kita? Pasti Fany menceritakannya." "Fany takkan mungkin menceritakan hal itu. Jika dia menceritakannya, ibu Leo juga hanya membencinya karena Fany lah penyebab Leo bisa mati di tangan kita. Jika Fany tidak bertindak lebih dari bertanya ke Leo tentang Andrew, Leo takkan diancam oleh Andrew dan Leo takkan membunuh keluarga Fany hingga membuat kita membunuhnya." Penjelasan Sena yang terlalu rumit seperti biasa sudah bisa dianggap paham oleh para pendengar. "Intinya, Leo mati karena Fany. Fany takkan menceritakan kematian Leo karena sudah pasti Fany akan lebih merasa bersalah jika ibu Leo mengetahuinya." Nezi menjelaskan dengan singkat. "Benar." Sena mengangguk. "Kenapa kau begitu rumit?" Mea menggeleng tak paham sembari menatap Sena. "Kalian salah." Zack menengahi. Semua mata tertuju pada Zack. "Aku adalah penyebab semua ini terjadi. Fany penasaran tentang Andrew karena aku. Akar permasalahan semua ini adalah aku." Tak seperti biasa, Zack tampak sangat lesu. Seolah bara api itu tersiram tsunami dan membuat bara semakin menciut. "Jangan salahkan siapapun sekarang. Kau hanya perlu menyalahkan Andrew. Karena dia, banyak orang tak bersalah yang menderita." Alhasil, Dexa angkat bicara. Dan apa yang ia ucapkan mendapatkan sebuah tepukan tangan. "Levo?!" Sosok yang baru saja datang itu tersenyum ke arah para teman yang menunggu. "Dari mana kau?" tanya Mea dengan kesal. "Membuat Fany bahagia." Jawaban Levo jelas membuat Zack langsung melirik tajam. "Kau apakan Fany-ku?" Levo terbahak. "Fany mu?" Zack mendengkus. "Kau meningkungku?" "Tidak. Tenang saja. Dia juga menitipkan salam untuk Zack. Dia ingin kau juga bahagia dengan melupakannya. Karena perasaanmu akan tetap ditolak meski ratusan tahun berlalu atau meski kalian terlahir kembali ke dunia." "Kejam." Mea terkekeh diikuti dengan Sena. "Levo, kita akan bergerak kapan?" Levo tersenyum miring mendengar pertanyaan Nezi. "Kalian siap? Kita bergerak sekarang." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN