Selepas dari pertemuannya dengan Ramon. Levo bergegas pergi ke tempat channel nya yang lain. Meski ia sudah mengutus Mea, Nezi, dan Dexa, tapi ia juga tak bisa tinggal diam. Lagipula, dengan teleportasi nya, ia tak merasa keberatan berpindah tempat mana pun. Tinggal menjetikkan jari, sampailah ia di tempat yang ia tuju. Levo termasuk cerdas, karena selalu berhasil muncul tanpa seorangpun tau jika dirinya adalah seorang pengguna teleportasi.
Bukan ke perusahaan atau ke markas, Levo sekarang berpindah tempat di salah satu pusat perbelanjaan kota. Dengan setelan kemeja dan jas rapi, Levo menjadi pusat perhatian para wanita yang asyik menikmati suasana mall yang sepi. Sebab, masih di jam dan hari kerja yang membuat para masyarakat lain memilih untuk mencari uang daripada membuang uang.
Levo melirik jam yang melingkar di tangannya. Sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Dari sebuah lorong ruko yang terkenal sepi, Levo mendarat di sana kemudian bergegas menuju sebuah gerai.
Dengan gaya berjalan santai yang terlihat tegas dan berwibawa, tak heran jika banyak mata yang terpesona. Terlebih pakaiannya juga menunjang Levo untuk menarik perhatian. Levo terbiasa dengan hal itu. Ya, memang dia sedikit narsis kadang-kadang.
Setelah melewati beberapa gerai, Levo akhirnya sampai di sebuah gerai baju branded yang sepi pelanggan. Terlihat seorang karyawan yang sedang sibuk merapikan baju-baju yang mungkin sempat dicoba pelanggan.
"Lama tak jumpa."
Mendengar suara itu, sosok yang tengah fokus merapikan baju sempat terjingkat kaget.
"Ah, Tuan Levo." Sosok itu langsung membungkuk memberi hormat saat melihat Levo yang datang. Tapi dengan cepat Levo menahan aksi itu karena ia tak suka.
"Sudah kubilang, jangan lakukan itu. Aku bukan Tuanmu."
Sosok lelaki yang bertubuh lebih pendek dari Levo itu hanya menunduk. "Maaf, Tuan."
"Sshh, jangan panggil Tuan. Kau bisa membuat orang-orang curiga."
Sontak wajah yang menunduk itu langsung terangkat menatap Levo sedikit takut.
"Tapi aku masih belum bisa memanggilmu hanya dengan nama. Itu sedikit terdengar kurang ajar pada orang yang sudah menyelamatkan hidupku dan anak-anakku."
Levo terkikik. Ia melihat seisi gerak yang sepi. Sepertinya juga tak ada bos pemilik gerai di sana. "Santai saja. Panggil saja aku Levo atau kau bisa menambahkan embel-embel 'Kak' saat memanggilku."
"Ah, benar. Kak Levo." Sosok itu tersenyum lebar. Padahal sudah tiga tahun bersama Levo, hanya dia yang terlihat masih sangat kaku berinteraksi dengan Levo. Tapi dengan anggota lain, Levo tak tau.
"Aku ke sini bukan tanpa alasan, Gery."
"Ada apa? Kau butuh bantuan?"
Levo mengangguk. "Apa di sini aman?"
Gery menoleh ke kanan dan ke kiri. Gerai baju branded itu memang sepi. Tapi gerai baju wanita di sebelah cukup ramai. Meski bosnya tak ada di tempat, tapi hal itu tetap membuat keadaan kurang aman.
"Bagaimana kalau aku menunggumu di tempat biasa?" Levo menawarkan ide.
"Ya, bisa. Tapi aku harus menutup gerai ini dulu. Jika tidak, bosku akan marah besar, Kak."
Sedikit geli saat Levo mendengar sebutan Kak pada namanya. Apalagi yang memanggil adalah lelaki yang lebih tua darinya. Tapi daripada dia dipanggil dengan kata Tuan, lebih baik ia geli dipanggil Kak oleh Gery.
"Apa boleh?"
"Tentu. Ini juga sudah jam istirahat. Kau pergi terlebih dulu saja. Agar tak ada yang curiga jika kita bersama."
Levo mengangguk dan tersenyum. "Emh, tapi sebelum aku pergi. Pilihan beberapa baju lelaki yang seukuran dengan Nezi. Kau tau ukuran Nezi kan?"
"Ya, aku tau. Baju itu untuk Nezi?"
"Untuk semua anak-anak. Kecuali Sena dan Mea. Ah, ada anak baru. Aku ingin membelikannya baju baru. Tapi aku juga ingin membelikan anak-anak lain."
Gery tersenyum. Ia tahu bagaimana tulus seorang Levo. Sosok Levo selalu saja memikirkan banyak orang. Padahal, Satu-satllllunya anak buah sekaligus mata-mata Blackhole, Gery adalah satu-satunya anggota yang tau tentang masa kelam seorang Levo. Maka dari itu, ia sangat menghormati sosok Levo.
"Kau tidak berubah, Kak. Kau tetap yang terbaik." Gery memuji dengan tulus.
Levo terkekeh. "Kau berlebihan, Ger. Cepatlah. Pilihkan baju-baju dan kemeja yang bagus."
"Siap!"
Dengan cepat, Gery pun memilihkan beberapa kemeja dan baju dengan kualitas bagus meski harga selangit. Tapi bukan maksud Gery ingin membuat Levo rugi banyak dengan harga selangit itu, tapi Gery ingin memberikan kualitas terbaik untuk Levo. Masalah harga, ia juga tak memaksa Levo untuk mau membelinya. Levo sendiri, dengan kekayaan tujuh turunan yang takkan habis juga sanggup membayarnya.
Setelah mendapatkan beberapa baju dan kemeja yang dikehendaki Levo, Levo pun langsung membayar semua total biaya itu dan melebihkannya untuk Gery. Sesudah membayar, Levo bergegas menuju ke tempat biasa bertemu dengan Gery tanpa ada orang yang curiga. Sedangkan Gery langsung menutup Gerai dengan alasan sudah memasuki jam istirahat.
Tak menunggu lama, Levo bertemu dengan Gery di kantin yang tergolong sepi. Hanya ada orang yang sibuk melahap makanan dengan cepat lalu pergi. Gery dan Levo juga memilih tempat paling pojok dengan makanan banyak di meja. Sehingga selama apapun mereka mengobrol, takkan ada yang curiga.
Baru saja mereka menghabiskan sepiring makanan, Gery langsung bertanya pada Levo dengan kode-kode tertentu.
"Ada 'pesanan'?" Maksudnya adalah, adakah hal yang harus dilakukan oleh Gery untuk mencari informasi.
"Ada 'pesanan' untuk kamu. Tolong nanti carikan informasi tentang 'ikan asin' yang 'hits' lalu saya akan 'beli'. Jangan lupa nanti kabari kalau sudah dapat informasi 'ikan asin' nya ya."
Gery mengangguk paham. Istilah pesanan yang dimaksud adalah amanah untuknya. Ikan asin yang dimaksud Levo adalah seseorang yang bertindak tidak baik alias orang yang menjadi target korban Blackhole selanjutnya. Sedangkan kata hits adalah merujuk pada korban yang terkenal. Untuk kata beli, mengartikan bahwa Gery akan mendapatkan jatah besar jika berhasil mendapatkan informasi tentang sosok itu.
"Kira-kira 'ikan asin'nya yang seperti apa?"
"Kira-kira 'ikan asin'nya itu 'high quality' dan penuh dengan sisik 'keemasan'."
Mendengar penuturan Levo, Gery langsung paham. Ia mengangguk dan memberi isyarat sanggup dengan tangannya.
"Aku tunggu secepatnya ya."
"Siap, Kak. Nanti langsung kucarikan informasi 'ikan asin' itu."
"Ah, ya. Nanti akan kubawakan makanan untuk Glenn dan Gru. Jadi, makanan yang ada di meja ini, makanlah dengan kenyang. Jangan sisakan untuk anak-anakmu." Melihat Gery yang hanya memakan sedikit-sedikit seperti kebiasaannya, Levo langsung saja mencetuskan hal yang ingin ia lakukan itu.
"Kau selalu tau apa yang kupikirkan, Kak. Aku jadi malu."
"Tidak usah malu. Santai saja. Anggap aku adikmu."
"Tidak, tidak. Kau adalah kakakku."
Levo terkekeh. "Apa aku tampak tua?"
"Tidak begitu maksudku."
"Iya, iya, aku hanya bercanda."
Gery menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Terima kasih, Kak."
***
Beberapa kali Nezi berdeham melihat kelakuan Dexa yang jahil. Bukan hanya sekali dua kali, Dexa merasuki tubuh orang-orang dan berbuat jahil. Ia sudah mengingatkan akan melaporkan kelakuan Dexa pada Levo. Tapi Dexa menjadi bandel dan semakin tak tahu malu.
Sekarang Nezi sedang duduk di bangku taman. Mereka beristirahat sejenak sebelum pergi ke sebuah tempat yang cukup memakan waktu. Sembari melihat kelakuan Dexa yang semena-mena menggunakan kemampuannya, Nezi hanya diam dan mengawasi. Akan ia pastikan, Levo mengetahui kejahilan anak baru itu.
Setelah puas, Dexa kembali ke sisi Nezi. Ia tertawa bahagia. Seolah bukan Dexa yang awal pertama kali bertemu dengannya. Muram, lesu, dan tak bersemangat menjalani hidup. Mungkin karena faktor paksaan juga mengapa Dexa bersikap seperti itu sejak pertama bertemu Blackhole. Bahkan saat Nezi pertama kali bertemu dengan Levo dan Sena, yang merupakan anggota pertama Blackhole, jiwanya langsung tertarik untuk tunduk dan takut. Karena Label mereka adalah pembunuh bertangan dingin. Tapi Nezi sadar setelah berkumpul dengan Levo dan Sena dalam beberapa waktu. Setelah mengetahui tujuan pribadi mereka, Nezi paham dan semangat menjalankan visi misi Blackhole.
"Haaahhh," hela Dexa.
Nezi menoleh. Mengamati sosok Dexa yang duduk bersandar.
"Lelah?"
"Ya, tapi seru."
"Puas bermain-main?"
Dexa melirik Nezi dengan senyuman kikuknya. "Ayolah, jangan marah. Daripada kita pusing memikirkan data An—"
Belum sampai Dexa menyebut nama sosok Andrew, Nezi sudah menutup mulut Dexa dengan telapak tangannya.
Nezi melotot. "Jangan sebut nama target di luar tempat kita."
"Ah, ya, ya. Maaf."
"Hari sudah siang. Ayo, kita lanjut pencarian data lagi. Aku melihat di kantor kependudukan masih aman. Levo punya channel di sana."
"Kalau Levo punya channel, kenapa harus kita yang ke sana?"
"Levo itu hanya mau mengujimu. Serius atau tidak. Kau layak dan paham apa visi misi kita atau tidak."
"Aku serius."
Nezi mengangkat satu alisnya. "Tapi kenapa kau tanya lagi? Kita ini satu kesatuan. Tak mungkin kita serahkan semua pada Levo. Tapi Levo menyuruhmu hanya untuk mengetesmu saja."
"Oke. Tapi sebelum kita berangkat, kau tidak mau makan dulu?"
Dexa menyuguhkan dua bungkus ayam dan dua cup minuman pada Nezi. Entah sejak kapan Dexa mendapatkan itu.
"Sejak kapan kau mendapatkannya?"
"Saat kau sibuk berceramah."
Tak bisa dipungkiri, Nezi juga menahan lapar sejak tadi. Ia sampai tak sadar jika Dexa sempat hilang sadar untuk mengambil makanan orang lain. Bukan contoh yang baik memang.
"Hei, sudah Levo katakan jika kau tidak boleh lagi mengusik orang-orang. Kau tau, ini namanya mencuri. Kau salah, Dex. Jika Levo tau, dia pasti akan marah besar padamu. Kau sudah menjahili mereka, lalu mencuri barang mereka. Itu tidak benar."
Dexa menghela napas.
"Mau tidak?"
Nezi tetap menggeleng. "Tidak."
Krrr
Itulah definisi perut lapar tapi mulut gengsi. Dexa terkekeh. "Makanlah dulu. Baru kita kembali mencari informasi tantang dia."
Nezi menyerah. Ia langsung mengambil satu bungkus ayam dan melahapnya tanpa malu-malu lagi.
Dexa terkekeh melihat Nezi dengan semangat menghabiskan makanannya. Ia pun sama. Perut lapar sudah tak bisa dikondisikan. Sebenarnya Nezi kesal karena Dexa mengambil makanan orang lain. Tapi ia sendiri tak punya uang untuk membeli. Sedangkan Dexa juga masih tak mau mengambil uang yang diberi Levo sebelum misi berhasil.
Selang beberapa menit, acara makan siang mereka telah selesai. Nezi pun langsung mengajak Dexa bergegas kembali. Sebelum malam mulai larut dan matanya pegal memakai softlens.
Di perjalanan, Dexa selalu berpikir ingin mengenal Nezi lebih dalam. Akan tetapi, ia takut jika Nezi menolak dan hanya akan melukai hatinya karena penolakan.
Di antara lima anggota Blackhole, Nezi terlihat sangat diam. Meski begitu, aura yang dipancarkan oleh Nezi juga sangat kelam. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang Nezi sembunyikan. Akan tetapi, butuh kekuatan mental untuk melontarkan pertanyaannya.
Langkah demi langkah mereka lalui dengan santai. Mereka tak terburu waktu. Hanya saja, Levo meminta untuk bergerak cepat sebelum semua terlambat.
Banyak berita yang mengeluh pada pemerintah. Jalanan berlubang dan menewaskan banyak orang pengendara. Jembatan roboh dan juga banyak memakan korban. Hingga banyak sekali fakir miskin yang tak mendapatkan haknya hingga mati kelaparan. Pajak yang dibayarkan, uang negara untuk perbaikan jalan, semuanya entah menghilang ke mana seolah lenyap tertelan kerak bumi.
Memikirkan hal itu, Dexa menganggap bahwa sekarang dirinya akan beraksi sebagai pahlawan. Mungkin saja sosok yang sedang diincar oleh Blackhole adalah pentolan dari semua masalah itu.
Tapi lagi-lagi, pikirannya tentang Nezi masih sangat kuat. Hingga ia terus berdeham dan melirik ke arah Nezi yang berjalan dengan memasukkan kedua tangan dalam saku jaket.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Nezi tiba-tiba. Dexa menoleh.
"Ya, tapi aku tak yakin kau mau menjawabnya."
"Tanyakan saja."
"Kau akan menjawabnya?" Dexa sangat antusias.
"Tergantung apa pertanyaanmu." Nezi mengedikkan bahu.
Meski ragu, Dexa pun melontarkan satu pertanyaan dari ribuan pertanyaan dalam benaknya. "Kau sebatang kara?"
Seolah merasa mereka sama-sama sebatang kara, Nezi mengangguk. Tak ada lagi yang perlu dirahasiakan.
"Ke mana orang tuamu?" tanya Dexa lagi.
Kini Nezi terdiam cukup lama. Seolah ragu untuk menjawab pertanyaan Dexa.
Dexa juga terdiam. Tak berniat untuk mendesak Nezi berbicara. Mungkin pertanyaannya terlalu privasy. Hingga Nezi tampak ragu menjawabnya.
Beberapa saat, akhirnya Nezi berdeham.
"Melarikan diri. Tapi kurasa mereka sudah mati."
Dexa tak menyangka dengan jawaban Nezi. Ia merasakan aura yang menyedihkan tersirat dari tatapan Nezi saat menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, Dexa semakin penasaran dengan alasan dari jawaban Nezi.
"Kau mau bertanya mengapa mereka melarikan diri?" Tiba-tiba Nezi seolah tau apa yang dipikirkan oleh Dexa. Dexa mengangguk antusias.
"Ya."
Nezi terdiam kembali begitu lama hingga langkah mereka mulai melamban. Sesampainya di zebra cross, mereka terhenti untuk menunggu lampu menjadi merah. Tanda bahwa pejalan kaki boleh menyeberang.
Tak ada respon dari Nezi, membuat Dexa tak berani bertanya lagi. Ia juga hanya terus menatap lampu yang masih berwarna hijau. Mempersilakan para pengendara untuk melaju.
Pada akhirnya, penantian para pejalan kaki telah usai. Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi merah dengan tanda pejalan kaki dipersilakan menyeberang.
Dexa yang hampir melangkah pun tertahan oleh Nezi. Dexa terheran. "Kau buta warna? Sudah warna merah. Kita harus menyeberang kan?"
Nezi terdiam. Tatapannya sendu. "Kau mau tau mengapa mereka melarikan diri kan?"
Dexa hanya diam. Sesaat kemudian, Dexa menghela napas. "Tak perlu bercerita jika kau tak kau menceritakannya. Aku tidak memaksamu."
"Mereka telah membunuh seseorang."
Dexa masih diam tak bergeming.
Kini tatapan Nezi tersorot pada Dexa yang menatapnya kosong. Seolah sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Nezi. Tak percaya. Padahal, apa yang ia katakan adalah apa yang ia alami sebenarnya. Dunia kelam yang ia jalani selama ini.
"Mereka ... menghabisi kakakku di depan mataku sendiri."
Dexa terkesiap. Apa yang ia dengar, terdengar begitu kelam.
"A—apa karena itu .... kau ... "
Nezi mengangguk. "Karena aku diam. Aku yang dilabeli sebagai buronan."
***