11

2055 Kata
Diam, adalah sebuah kata yang misterius. Orang bilang, diam itu emas. Tapi apa yang Nezi rasakan sangat jauh dari kata orang. Diam itu petaka. Kelam. Penuh penyesalan. Andai waktu itu ia tak diam, ia angkat bicara, ia berani mengatakan pada dunia, mungkin hidupnya takkan menyesal seperti sekarang. Hidup dengan bayang-bayang rasa penyesalan adalah hidup yang mengkhawatirkan. Tak tenang. Rasanya sangat ingin angkat tangan dan mengatakan jika semua itu tak benar. Tapi percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi hanya mampu jadi kenangan. Tapi kebencian para mata yang memandang takkan pernah luruh dari ingatan. "Kau menyesal karena kau diam?" Nezi terdiam sesaat. Tak bisa ia pungkiri lagi. Ia memang menyesal. Sangat menyesal. "Ya. Aku sangat menyesal." Dexa hanya mampu menatap sendu ke arah Nezi. Sosok itu terselimuti awan kelam yang menyesakkan bernama penyesalan. Tak bisa berbuat apa-apa, Dexa hanya menepuk bahu Nezi dengan penuh rasa ingin menyemangati. Flashback on ... Dianggap cerdas oleh orang sekitar memang sangat membanggakan. Sebagai anak bungsu dari pasangan suami istri konglomerat, sekaligus menjajaki pendidikan dengan program akselerasi membuat kedua orang tuanya sangat bangga. Kebanggaan itu terus melekat. Orang tuanya yang merupakan anggota dewan menjadi jaya terus menerus. Dianggap berhasil mendidik anak yang padahal anak sendiri itu yang berusaha keras. Kecerdasan alami yang dimiliki sang anak menjadi sebuah alat untuk meningkatkan popularitas kedua orang tuanya. Tak ada salahnya, salahnya adalah kedua orang tua yang semakin lama menjadi semakin tak tau diri. Awalnya hidup keluarga itu aman sejahtera. Bahkan bahagia jika di mata orang lain. Tanpa ada orang tau, diam-diam anak bungsunya memiliki keunikan dalam diri. Bisa melihat tempat atau seseorang dari jarak tertentu. Ia tak keberatan sering kali dimintai polisi atau orang yang membutuhkan untuk mencari sosok hilang atau tempat yang berada diluar kendali pemerintah. Ia dibayar cukup banyak. Hal itu ia lakukan secara diam-diam. Nezi, anak umur sebelas tahun yang cerdas dan menjadi kebanggaan kedua orang tuanya. Selain karena penurut, Nezi sangat disayangi kedua orang tua karena berhasil mendongkrak popularitas keduanya sebagai anggota dewan. Mereka akan dipromosikan menjadi anggota menteri. Setingkat lebih tinggi namun mendapatkan dampak yang luar biasa. Bagi keuangan terutama. Sedangkan Nezi merasa kasih sayang kedua orang tuanya yang kurang tulus adalah sebuah hal yang menyebalkan. Sebab, ia harus dimaki setiap hari oleh kakaknya. Menjadi bahan bullyan dan samsak berjalan oleh sang kakak. Wajah bonyok dan bengapnya selalu ia sembunyikan dengan berpura-pura depresi dan menganiaya diri. Kedua orang tuanya juga sering mengajaknya ke psikiater. Mereka tak mau kehilangan anak emas mereka. Apalagi masyarakat tau jika anak emasnya itu mengalami depresi. Sebagai orang tua, mereka pasti akan malu. Tentu saja mereka juga tak mau penyakit mental Nezi akan membuat reputasi mereka menjadi jelek. "Hari ini kau harus berobat lagi ke psikiater, Nezi. Jangan sampai orang tau jika kau memiliki penyakit mental." Tanpa sadar, ibunya mengatakan jika dirinya malu memiliki anak yang punya kelainan mental. Meski Nezi hanya berpura-pura sakit, tapi hatinya ikut ngilu mendengarkan. Sedangkan ia tahu, sang kakak miliki depresi karena dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Moza, kakak laki-laki yang hanya berbeda tiga tahun darinya. Berbeda dengan Nezi, Moza adalah anak yang kurang pandai menangkap materi. Ia selalu tinggal kelas dan selalu berpindah sekolah agar tidak malu digunjing oleh teman-teman satu sekolahnya. Akan tetapi, saat menduduki bangku SMP, Moza tak lagi dipedulikan oleh orang tuanya. Sebab, kecerdasan Nezi membuat perhatian orang tuanya teralih. Hal itu membuat Moza dikucilkan oleh keluarganya sendiri bahkan teman-teman nya. Sikap Moza memang terlihat biasa di hadapan orang banyak bahkan di depan kedua orang tuanya. Akan tetapi, Nezi adalah satu-satunya orang yang tau kelakuan Moza setiap hari sebab mereka tinggal satu rumah dan orang tua mereka tinggal di apartemen yang dekat dengan istana negara. Karena itu dia rela pura-pura depresi untuk menyelamatkan mental kakaknya agar tidak semakin dijauhi keluarganya sendiri. "Ayo, Nezi. Kita berangkat." Kedua orang tuanya sudah melihatnya siap dengan pakaian rapi. Nezi yang masih menatap datar ke arah Moza itu langsung digandeng oleh ibunya. "Jangan perhatikan kakakmu yang tidak berguna itu. Kau harus fokus dengan penyembuhan depresimu, Nezi!" Sedangkan Moza hanya berdiri mematung melihat Nezi yang sudah beberapa kali diseret kedua orang tuanya untuk pergi ke psikiater. Padahal Nezi anak normal yang sehat jiwa raga. Akhirnya Nezi bersama kedua orang tuanya menuju psikiater. Sepanjang jalan, Nezi hanya diam. Di samping ibunya, Nezi melihat tempat yang akan ia tuju. Di sana ada seorang pasien juga. Tapi Nezi tak mampu melihat wajah itu karena Nezi tak mengenalnya. Ia tak peduli. Yang ia pedulikan sekarang, mau sampai kapan ia terus ber pura-pura melukai diri sendiri. Sedangkan kakaknya adalah tersangka dari semua luka yang ia dapatkan. Nezi juga tak tahu, sampai kapan kakaknya akan seperti itu. Ia hanya takut, Lama-lama Moza juga melukai dirinya sendiri dan lambat laun kedua orang tuanya akan tau jika Moza memiliki depresi kejiwaan. Mobil mereka pun terhenti di sebuah tempat. Tempat yang bisa disebut dengan rumah sakit jiwa. Di sana ada seorang psikiater kepercayaan keluarga Lee. Nezi pun digandeng turun oleh sang ibu. Mereka menemui seorang psikiater yang biasa Nezi temui. Untuk kesekian kali, Nezi berbohong jika dirinya selalu gelisah dan ingin melukai dirinya sendiri. Ia juga selalu bertanya obat apa yang manjur. Akan tetapi, selama ini semua obat itu ia berikan pada Moza. Secara diam-diam tentunya. Nezi melarutkan semua obat itu dan menyuntikkan ke mulut Moza saat Moza memukulinya. Selama itupun Nezi tau, jika obat itu hanya obat penenang. Karena setiap kali Nezi menyuntikkan obat itu ke kulut Moza saat Moza kumat, Moza hanya akan melemas dan menahan semua pukulannya lagi. Saat ini Nezi sedang sibuk mencari bantuan lain. Akan tetapi, niatnya itu justru mengundang rasa curiga dari psikiater. "Kau sedang mencari tahu sesuatu?" "Ah, tidak." "Nezi, sebenarnya aku sudah curiga sejak lama padamu." Karena hanya berdua, mereka bisa bebas mengobrol apa saja. "Curiga?" "Kau sehat jiwa dan raga kan?" Nezi menggeleng. "Tidak. Kau lihat luka-luka ini kan? Ini karena aku hilang kendali." Psikiater itu terkekeh pelan. "Nezi, aku juga seorang dokter. Aku tau luka yang diakibatkan pukulan sendiri atau pukulan orang lain." Nezi menegang. Sontak anak berumur sebelas tahun itu berdiri. "Tidak. Kau tidak tahu!" "Aku tahu." "Kau tidak tahu!" Nezi menekankan kalimatnya. "Jujurlah. Apa kau punya saudara?" "Tidak. Aku anak semata wayang." Nezi sudah mempelajari semua mimik wajah dan ekspresi tubuh saat berbohong yang bisa dibaca oleh para psikiater. Jadi, ia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Matanya pun lurus menatap ke arah psikiater. Padahal sudah terlihat jelas kebohongan di sana. "Baiklah jika kau tak mau mengatakannya. Aku akan bertanya pada kedua orang tuamu." Baru saja psikiater itu bangkit dari duduk, Nezi langsung melunak. "Jangan." "Kenapa?" "Aku akan bercerita. Tapi janji, jangan katakan pada kedua orang tuaku." "Baiklah. Ceritakan semua." Nezi menarik napas pelan. Ia menceritakan semua kelakuan Moza dan selama ini ia hanya berpura-pura depresi agar kedua orang tuanya tidak semakin membenci Moza. Mendengar semua cerita Nezi, psikiater itu mengangguk paham. Ia sudah menebak sejak awal. Nezi sempat mencuatkan ekspresi kebohongan yang sangat kentara. "Tenang saja. Bawa kakakmu padaku. Aku akan mengobatinya." Nezi terkejut. "Tapi ... " "Orang tuamu juga harus tau, Nezi. Mereka adalah wali. Yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada anaknya." "Orang tuaku membenci kakakku!" "Tidak, Nezi. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya." "Orang tuaku ... membenci ... Kakakku!" Nezi menekankan ucapannya dan berusaha membuat psikiater itu menahan keinginannya untuk memberitahu kedua orang tuanya. Melihat Nezi yang melotot kesal, akhirnya psikiater itu mengalah. Ia berusaha menenangkan Nezi dan mengembalikan Nezi ke sang ibu. Pada akhirnya, Nezi membongkar salah satu rahasia terbesarnya. Tentang keadaan Moza. Tapi ia percaya, psikiater itu bisa membantunya menyembuhkan Moza. Hanya satu yang Nezi inginkan. Moza sembuh dan bisa diterima di keluarga Lee dengan baik. Seperti dirinya. "Nezi, apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya ibunya. Nezi mengangguk. "Sudah." "Maaf, Nyonya Lee." Langkah mereka terhenti. Ibunya menoleh pada orang yang memanggilnya. "Emh, ada yang ingin saya katakan pada Anda." Nezi membulatkan matanya mendengar psikiater itu ingin mengajak ngobrol ibunya. Ia segera memutar otak agar membuat ibunya menolak hal itu. "Ibu, kau berjanji akan membelikanku mainan kan?" Perhatian ibunya kembali teralih padanya. "Belikan aku sekarang atau aku akan melukai diriku di sini." Tak ingin Nezi terlihat gila di depan orang banyak, ibunya pun mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan lukai dirimu sendiri." Kemudian pandangannya teralih ke sang psikiater. "Maaf, kita bicara lain waktu." "Tapi, Nyonya. Ini menyangkut—" "Maaf, Dokter Graham. Saya tidak punya waktu." Ibu Nezi pun bergegas menarik Nezi sebelum Nezi menyakiti dirinya. Padahal Nezi hanya mengancam agar mereka tidak jadi berbicara berdua. Akhirnya, mereka pun membeli mainan yang diinginkan Nezi dan langsung bergegas kembali ke rumah. "Minum obatmu. Jangan telat makan. Kau ini harta terbaik ibu dan ayah. Kau paham?" "Iya, Bu." "Jaga mainanmu. Jangan kau pinjamkan pada kakakmu." Nezi mengangguk. Ia melirik Moza yang menatap mereka dari ambang pintu kamarnya. Setelah itu, ibunya pergi. Tanpa melirik sedikitpun ke arah Moza. Tentu saja hal itu membuat Moza sangat sakit hati. Moza langsung menutup pintu kamarnya dengan kencang. Membuat Nezi maupun ibunya terkejut bukan main. "Dasar anak tidak tahu sopan santun!" geram ibunya sebelum benar-benar pergi. Sederet kalimat itu, jelas akan membuat Nezi menjadi samsak lagi oleh Moza. Sebelum itu, Nezi meracik obat dari psikiater untuk mengantisipasi Moza datang dan mengahajarnya tanpa ampun. Saat sedang meracik obat, ada sebuah ketukan dari luar kamarnya. Siapa lagi kalau bukan Moza. Tapi tak seperti biasa. Biasanya Moza akan langsung mendobrak pintu Nezi lalu menghantam wajah Nezi beberapa kali. Tapi ketukan? Apa itu benar-benar Moza? Nezi pun membukakan pintu dengan sedikit takut. Tak bisa ia pungkiri, semenjak menjadi samsak Moza, kekerasan adalah hal yang paling ia takutkan. Tapi apa yang dilakukan Moza padanya adalah bentuk balasan dari ketidakadilan yang dia dapatkan. "Kakak?" "Aku ingin bicara denganmu." Nezi yang tampak takut pun hanya mengangguk dan mempersilakan Moza masuk ke kamarnya. "Silakan masuk, Kak." "Tak perlu takut. Kau selalu memberiku obat penenang kan? Itu membuatku lebih bisa mengontrol perasaanku yang menggebu." Nezi yang mendengarnya langsung merasa lega. Meski Nezi masih duduk sedikit jauh dengan Moza. "Kau tau apa alasanku melampiaskan nya padamu, kan? Aku yakin kau tau. Karena kau anak cerdas." Nezi hanya diam. "Nezi, aku tidak membencimu. Tapi aku membenci diriku. Mengapa aku tak bisa sepertimu. Semua hinaan, gunjingan, bahkan bullyan dari teman-teman, sekitar, hingga orang tuaku sendiri adalah luka yang amat dalam. Luka itu awalnya hanya setitik, tapi lambat laun menjadi lebar. Perih. Menyakitkan. Aku tak pernah sanggup bisa menahan tangis. Tapi aku juga tak bisa menangis. Semua berkumpul di dadaku. Perih. Sesak rasanya. Aku hanya bisa meluapkan emosiku dengan pukulan, hantaman, hingga tendangan. Semua itu ku lampiaskan padamu. Kau ... orang yang sempurna. Orang yang membuat orang-orang sepertiku tampak hina." Moza menarik napasnya dalam. Terasa begitu berat dan sesak. "Aku sadar kau selalu menyebut dirimu gila saat ayah dan ibu menanyakan darimana semua lukamu. Kau tau, hal itu semakin membuatku benci pada dirimu sendiri. Aku terus merasa hina. Aku bodoh. Aku jahat. Aku melukai orang seputih dirimu. Kau seharusnya membalasku. Kau seharusnya membunuhku. Aku kakak yang tidak berguna. Selalu membuatmu merasa akan mati di genggamanku. Aku ... aku hanya parasit dalam keluarga ini." Entah mengapa, Nezi semakin sulit menahan air mata yang mengambang di pelupuk sejak tadi. Air mata itu lolos. Terus menerus. Membasahi pipi hingga membentuk aliran sungai kecil. Dadanya perih. Ia ingin meraih dan memeluk sang kakak. Tapi ketakutan nya lebih besar. "Kakak." Suaranya parau. Nezi mengusap air mata yang sebenarnya percuma untuk diusap. Karena terus mengalir meski mati-matian Nezi sudah menahannya agar tak keluar. Moza hanya terdiam. Menunduk penuh penyesalan. Meski rasa takut masih melekat di d**a Nezi, tapi hanya pelukan yang bisa menenangkan Moza saat ini. Pada akhirnya, Nezi berhasil mengalahkan rasa takut pada orang yang sangat ia sayangi. Ia mendekap kakaknya dengan erat. Membiarkan kakaknya menangis sesenggukan di bahu kecil seorang Nezi. Melupakan rasa sakit yang biasa di lampiaskan dengan kekerasan. "Nezi ... " Suara Moza terdengar serak. Sudah pasti sosok itu menangis tersedu-sedu hingga dadanya terasa kehabisan napas. Wajar saja, Moza sangat sulit menangis. Hal itulah yang membuat semua lukanya tak mampu terkontrol hingga ia pun menyakiti orang lain atau bahkan dirinya sendiri. "Nezi ... aku ... " Nezi tak menjawab. Ia fokus menepuk punggung kakaknya. Memberi ketenangan. "Aku ... Aku mohon. Sangat memohon padamu, Zi. Buatlah ayah dan ibu mencintaiku. Seperti mereka mencintaimu." Meski hal itu sangat sulit, tapi Nezi mengangguk. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Jika ia menolak, sudah pasti kepedihan di hati Moza akan semakin melebar. "Aku akan berusaha membuat mereka mencintaimu, Kak." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN