"Sekarang kau sudah siap?" tanya Dexa pada Nezi yang sedari tadi menatap pintu keluar yang masih tertutup. Bagaimanapun juga, menjadi buronan karena sialan adalah hal yang menyebalkan. Ia tak pernah melakukan kesalahan tapi ia yang menjadi buronan. Ia hanya diam menutupi kesalahan, tapi sekarang ia harus bernaung dalam ketidakadilan.
"Sebentar. Rasanya sedikit aneh."
"Apanya?"
Nezi menyentuh d**a kirinya. Jantungnya terasa bergetar dengan hebat. Membuat seluruh tubuhnya linu karena aliran darah yang luar biasa deras. Tak bisa dipungkiri, ia sangat takut. Bukan takut akan tertangkap karena ia seorang buronan. Melainkan takut akan melihat dunia kembali. Dunia yang begitu jahat dengan asumsi mereka. Berita palsu yang terus mencuat tanpa tau perasaan yang dikabarkan. Ya, ia takut dengan manusia di luar sana.
Tiba-tiba Dexa menepuk punggungnya. Nezi menoleh dan mendapati Dexa tersenyum lebar. Melihat senyuman itu, Nezi menjadi sedikit risih.
"Apa yang kau lakukan?" Nezi terheran dengan sikap Dexa yang berubah tiba-tiba.
"Aku tau kau takut dengan mereka kan? Tenang saja. Ada aku yang menjagamu."
"Cih, bisa apa kau?" Nezi berdecih. Awalnya ia memang memandang rendah seorang Dexa. Tapi setelah melihat apa yang dilakukan Dexa semalam tentang dua preman itu, Nezi tak lagi merendahkan seorang Dexa. Apalagi Nezi tau, setelah Dexa disuntikkan polsera, kumpulan serum anggota Blackhole, antibody yang terbentuk di tubuh Dexa sangat kuat.
"Jangan meragukan aku. Kalau nanti kau dalam masalah, aku yakin, kau akan meminta pertolonganku, Nezi." Dengan sedikit nada sombong yang belum pernah diucapkan Dexa, Nezi terkekeh pelan.
"Kau terlalu percaya diri."
"Harus. Kalau kita tidak percaya pada diri sendiri, kau akan terluka."
"Aku tidak percaya."
"Padahal sudah terbukti kalau kau sekarang terluka karena kau tidak percaya diri." Dexa menatap remeh ke arah Nezi.
Nezi mendengkus.
"Lihatlah. Kau saja takut bertemu dengan orang lain di luar sana. Kau tidak percaya bahwa dirimu layak berada di antara mereka. Seharusnya kau tidak takut dan percaya bahwa dirimu itu layak berada di manapun. Buronan? Oh ayolah, bukankah itu hanya kesalahpahaman?"
Nezi terdiam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Dexa. Saat para anggota Blackhole berusaha untuk terus membuatnya terpupuk rasa takut untuk memunculkan diri karena ada label buronan melekat dalam namanya, tapi Dexa justru berusaha membuatnya kembali percaya diri jika ia tidak salah dan pantas berada di manapun ia inginkan.
"Hei, Nezi?" Melihat Nezi hanya diam mematung, Dexa berusaha menyadarkan kembali sosok yang sedang memperbaiki rasa percaya dirinya.
Nezi masih terdiam dan tak menjawab apapun panggilan dan ucapan Dexa. Alhasil, Dexa pun menggoyangkan tubuh Nezi.
"Hoi!"
"Hah? Apa?"
Akhirnya Nezi tersadar. Ia langsung melihat ke arah Dexa yang menatapnya datar. "Apa yang kau pikirkan? Jangan melamun. Kau membuang waktu kita. Mau sampai kapan kita diam dan tak kunjung melangkah mencari informasi, eum?"
"Baiklah. Sekarang kita berangkat."
"Kau benar-benar siap?"
"Ya, aku siap. Dengan kumis palsu dan softlens ini. Semoga tak ada yang mengenaliku."
"Ya, setidaknya hatimu siap berada di lingkungan ramai lagi. Lambat laun, kebenaran akan terungkap. Yakinlah."
Nezi mengangguk. Setidaknya apa yang dikatakan Dexa ada benarnya. Sekarang ia hanya harus menikmati masa-masa penyamaran dan bisa berjalan-jalan di lingkungan kota lagi. Sudah dua tahun, Nezi hampir lupa rasanya menghirup udara kota penuh polusi.
Dexa membuka pintu kontrakannya. Memberikan akses Nezi untuk keluar dari lingkup sebuah kontrakan kecil yang singup. Terik mentari yang mulai tinggi menyerobot masuk hingga menyilaukan pandangan Nezi.
Satu langkah berhasil terangkat. Dunia luar, Nezi kembali.
***
Mea menelungkupkan wajahnya ke meja. Menjadi mahasiswa abadi di sebuah universitas swasta membuat Mea tak punya malu. Satu tahun lagi jika Mea tak kunjung menyelesaikan tugas akhirnya, Mea akan di drop out dari kampus. Sebenarnya ia tak ada minat untuk kuliah. Biar saja di drop out. Begitulah pikir Mea selama ini.
Tapi hari demi hari terus terasa berat. Seolah menunggu di drop out itu menunggu waktu yang sangat lama. Jika ada yang bertanya mengapa ia tidak langsung keluar, jawabannya adalah ia tak boleh mengajukan keluar dari kuliah oleh orang tuanya.
Padahal Mea sudah bilang jika dirinya sudah punya pekerjaan tetap yang menghasilkan. Sebut saja pekerjaan itu adalah membunuh ketidakadilan. Akan tetapi, Mea memang merahasiakan apa pekerjaannya. Maka dari itu, orang tua Mea hanya menganggap Mea menghamburkan uang dan berfoya-foya. Mea tidak mau kuliah karena sudah terlanjur jatuh ke dunia mewah yang membuatnya malas. Orang tua Mea selalu berpikir kolot dan negatif. Itulah mengapa Mea memilih menerima tawaran menjadi pembunuh ketidakadilan. Agar suatu saat nanti juga bisa memutus tali ketidakadilan yang di eratkan oleh kedua orang tuanya. Asumsi jika setiap anak harus pandai semua hal dan menguasai semua materi, bagaikan paksaan dan ketidakadilan bagi Mea.
Kini Mea duduk seorang diri di kelas yang kosong. Ia menunggu kelas itu terisi penuh oleh mahasiswa lain yang akan mengikuti mata kuliah yang sama dengannya. Padahal ia sama sekali tak ada niat untuk pergi kuliah. Cita-citanya adalah menjadi model cantik yang terkenal.
Impian itu larut dalam harapan. Kedua orang tuanya tak membolehkannya menjadi seseorang yang tersohor. Entah mengapa, Mea tak tau apa alasannya. Beberapa kali Mea diterima dan lolos menjadi miss ambasador sebuah perusahaan kosmetik. Namun, seringkali orang tuanya menggagalkan itu. Koneksi kedua orang tuanya sangat luas. Begitulah, Mea harus menerika kenyataan jika takkan mungkin keinginannya jadi nyata.
"Kau yang bernama Mea?"
Mea tetap menelungkupkan wajahnya ke meja tanpa peduli siapa yang mengajaknya bicara.
"Aku pernah melihatmu bersama lelaki. Tapi aku heran, kau bisa menghilang tanpa jejak bersamanya."
Tak langsung ambil pusing, Mea berusaha tenang dan tak mencurigakan. Ia tetap pada posisinya. Sepertinya laki-laki yang sekarang membuatnya penasaran itu berhasil. Sedikit demi sedikit, Mea mengintip ke samping dan melihat siapa yang mengatakannya.
"Astaga! Zack!"
Zack terbahak. "Kau tidak mengenali suaraku?"
"Kau menyebalkan."
"Kau yang aneh. Kenapa kau tidak mengenali suaraku?"
"Aku sulit membedakan suara seseorang. Kecuali Levo."
Zack hanya membulatkan mulutnya.
"Ah, kau sedang apa di sini?" tanya Mea heran. Wajar saja, Mea dan Zack kuliah di universitas yang berbeda. Tapi kali ini Mea melihat Zack ada di sisinya dan membuatnya keheranan.
Tapi yang ia legakan hanya satu. Di dalam kelas masih sepi. Ia hanya takut jika ada yang mendengar ucapan Zack tadi tentang pergi menghilang secara tiba-tiba bersama seorang lelaki. Ah, Levo yang dimaksud.
"Kau tau dari mana jika aku bertemu Levo kemarin?" tanya Mea heran. Padahal ia tidak melihat ada Zack di sana.
"Ah, aku hanya mengarang."
Mea mendelik. "Kau jadi pengarang sekarang?"
"Emh, aku mau tanya sesuatu tentang Nezi dan Dexa."
"Apa?"
"Mereka sedang menjalankan misi sekarang?"
Mea mengangguk. "Ya, tadi Nezi sudah menyamar."
"Menyamar?"
"Dia pakai softlens warna hijau kebiruan dan kumis palsu."
Zack terbahak. "Dia mau?"
"Terpaksa. Levo yang menyiapkan semuanya. Kau tahu sendiri, kan. Dia paling tak bisa membantah Levo. Jadi, tadi pagi aku juga diajak Levo untuk memasangkan softlens. Tapi kali ini ide Levo cukup menantang."
"Hm, kupikir ada baiknya Nezi keluar untuk menjalankan misi. Dia pasti juga rindu masa-masa berkerumun dengan warga kota. Kau pasti bosan jika berada di posisi Nezi. Dia hanya bisa diam di markas, tidur, main game, dan keluar menghirup udara segar hanya di pulau terpencil bersama Levo."
Mea mengangguk setuju. Terkadang mereka ingin membawa Nezi keluar jalan-jalan tapi mereka takut jika Nezi tak nyaman dengan dunia luar.
"Ah, bagaimana kalau kita cari mereka?"
Mea melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.
"Ternyata aku tidur sudah terlalu lama."
Zack hanya menatap Mea yang bermonolog.
"Zack, aku tak bisa pergi bersamamu. Aku harus mencari informasi tentang Andrew. Sebaiknya kau juga pergi. Carilah informasi tentang Andrew sebagaimana yang bisa kau lakukan."
Tanpa menunggu jawaban Zack, Mea bangkit dari duduk dan langsung keluar dari kelas.
"Apa aku harus bertemu dengan Fany lagi? Tapi dia pasti mengusirku karena bosan. Sama seperti dulu."
Zack mengacak rambutnya frustasi. Ia rindu pada Mea tapi harus tertahan. Sebab, Mea sudah mengatakan padanya, jika tiga hari berturut-turut Zack menemuinya, maka ia akan mengusir Zack di hari ketiga. Bosan adalah alasan Fany melakukan itu. Memang sedikit aneh, tapi Zack tetap tak bisa menahan rasa rindu itu.
"Aku akan menemuinya hari ini dan berjanji besok tak menemuinya. Lalu, lusa aku akan menemuinya lagi."
Dengan percaya diri, Zack berjalan pergi. Ia bergegas menuju kedai kecil milik Fany.
"Fany, i'm coming."
***
"Lev, sejak kapan kau di sini?"
Levo tersenyum sembari menyomot roti basah yang ada di meja jaga.
Sekarang Levo berada di sebuah pos security. Tak ada seorangpun di sana. Karena setiap shift hanya satu orang yang berjaga. Dan Levo sengaja datang di saat anak buahnya yang berjaga. Ramon. Salah satu mata-mata dan anak buah Blackhole yang sedang menyamar sebagai security sebuah perumahan orang-orang bermartabat.
"Ah, aku baru saja sampai di sini."
"Kau mengejutkanku, Lev."
"Padahal sudah tiga tahun kita bersama. Kau masih saja kaget dengan kehadiranku."
"Hei, kita jarang bertemu. Wajar jika aku kaget."
Levo terkekeh. Ia menyeruput kopi milik Ramon yang mulai mendingin.
"Ada perlu apa? Kau butuh informasi tentang Andrew?" tanya Ramon tanpa basa-basi.
"Ya, kau sudah tau kan?"
"Aku belum melihat Andrew kembali selama seminggu ini. Aku hanya melihat beberapa bodyguard nya bolak-balik dengan memakai mobil pribadi Andrew."
"Kau tidak melihat Andrew di dalamnya?"
Ramon menggeleng. "Tidak."
"Apa dia punya rumah kedua?" Levo menebak.
"Kemungkinan begitu. Ah, atau mungkin dia juga beristirahat di apartemen miliknya. Setahuku, dia punya apartemen."
"Kau tau dari mana?"
"Aku security. Banyak channel di perumahan ini." Ramon tersenyum dengan alis naik turun.
Levo terkekeh. "Oke, bagus. Laporan diterima."
"Kau begitu percaya padaku?"
Levo mengangguk. "Untuk apa aku meragukanmu?"
"Ya, aku manusia. Bisa saja aku berbohong."
"Tapi aku percaya."
Ramon tersenyum. "Kau terbaik, Lev. Tak sia-sia aku mengabdi padamu."
Levo tersenyum. "Tetap jaga dirimu. Kalau ada apa-apa, hubungi aku."
"Siap!"
***
Di saat Dexa dan Nezi sibuk mencari informasi tentang Andrew di kota, Mea juga sibuk mencari informasi tentang rumah kedua Andrew, Zack yang sedang dalam perjalanan menemui sang pujaan hati, begitupun dengan Levo yang asyik berpindah tempat satu ke tempat lain untuk mencari informasi lewat anak buah Blackhole, Sena justru asyik tiduran di markas sambil memakan cemilan yang ada di kulkas.
Ia melihat ke arah meja penelitian yang masih berantakan. Sepertinya penelitiannya kali ini harus mengulang dua kali agar berhasil. Lagipula, Sena juga harus mendapatkan objek penelitian yang pas untuk menguji apakah penelitiannya berhasil atau tidak.
Objek penelitiannya bukan kelinci, marmut, atau mencit. Tapi ia mencari manusia sehat yang bisa diajak bernegosiasi. Penelitiannya kali ini adalah mengatur unsur dalam tubuh manusia. Beberapa racikannya, ia perkirakan mampu memicu seseorang untuk bertindak di luar kendali tubuhnya. Karena di dalam cairan tersebut ada serum miliknya, maka tubuh seseorang yang akan menerima racikan ramuan itu akan bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Meski otak si objek akan menginginkan sesuatu yang berbeda dengan keinginan Sena, maka dalam beberapa waktu ke depan keinginan itu akan kalah dengan keinginan Sena.
"Senaaa!"
Sena terkejut dengan kehadiran Zack secara tiba-tiba. Ia bahkan hampir tersedak karena melamunkan siapa yang pantas menjadi objek penelitiannya kali ini. Jika Levo sudah menjadi objek penelitiannya saat ramuan kejujuran, sekarang mungkin ...
"Zack!" Sena langsung melebarkan matanya. Ia mendapatkan sebuah ide bagus.
Zack yang baru saja datang dengan tergesa pun bingung. "Apa?"
"Kau mau membantuku?" tanya Sena tanpa basa-basi.
"Aku ingin kau membantuku terlebih dulu." Dengan napas terburu, Zack menjawab pertanyaan Sena.
"Tidak, kau harus membantuku terlebih dulu." Sena menolak dengan tegas.
"Sena..."
"Apa?"
"Kumohon."
Melihat wajah Zack yang memelas, Sena pun memutar bola matanya. "Tapi janji, setelah aku membantumu, kau harus mau menjadi objek penelitianku."
"Hei, aku bukan objek penelitian." Zack tak terima. "Kau bisa gunakan anak baru itu. Dexa. Atau Nezi si penurut. Bahkan Levo atau Mea. Mereka lebih sehat dan bugar daripada aku yang sukanya minum minuman beralkohol. Kau tau itu, kan?"
"Tak apa. Itu takkan mengganggu penelitianku." Alis Sena tampak naik turun. Ia masih berusaha untuk membujuk Zack. "Oke, aku akan membantumu terlebih dulu jika kau mau membantuku. Hanya sebentar. Takkan lama. Kau masih bisa bertemu dengan Fany."
"Gunakan saja Nezi atau yang lain."
"Kau buta? Hanya kau yang ada di markas. Levo belum kembali sampai sekarang. Mea juga entah ke mana. Nezi dan Dexa juga pergi menjalankan misi, kan?"
"Tentang apa penelitianmu?" Zack melirik ke arah meja kerja Sena. Ada ramuan di dalam erlenmeyer berwarna bening tapi ada fluoresensi kehijauan.
"Itu rahasia. Kau akan tau saat menjadi objekku nanti. Jadi, bagaimana? Kau mau?"
"Kau memberiku uang?"
"Hei, bukankan kita barter tenaga? Aku membantumu setelah kau membantuku."
"Kau curang. Seharusnya kau membantuku terlebih dulu. Baru aku membantumu."
"Yang pertama kali bertanya itu aku, Zack. Jadi aku yang berhak meminta bantuanmu terlebih dulu. Baru bayarannya, aku akan membantumu."
Zack menggeleng. "Aku tetap tidak mau."
Sena mendelik. "Baiklah. Aku juga tidak mau membantumu."
"Ah, ayolah, Sen."
"Aku tidak peduli." Sena kembali memakan cemilannya dengan santai.
Zack terdiam begitu lama. Ia melirik ke arah Sena yang santai dan terlihat tak berminat membantunya.
"Aku harus jadi objek penelitian apa?"
Sena tersenyum tipis mendengar itu.
***