Moza menganggap ucapan Nezi adalah sebuah janji. Meski Nezi tak mengatakan jika ia berjanji akan mengabulkan harapan Moza. Meski begitu, Moza tetap menaruh harapan besar pada Nezi. Harapan jika kedua orang tuanya menganggapnya ada dan menyayanginya lagi seperti kasih sayang yang didapatkan oleh Nezi.
Setelah hari itu, Moza menjadi lebih sedikit tenang. Kedua orang tua mereka masih sering membawa Nezi ke psikiater meski Nezi tak terluka. Sebab, Moza memang sudah sangat jarang mengamuk tanpa sebab dan membuat Nezi terluka. Akan tetapi, kesempatan Nezi semakin besar untuk menyembuhkan gangguan mental Nezi dengan berkonsultasi ke psikiater. Hingga Nezi mendapatkan obat yang akan diberikan pada Moza tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Lambat laun, Moza menjadi sosok yang lebih tenang. Ia juga tak terlalu tersulut emosi ketika mendengar ucapan kedua orang tua maupun teman-teman yang membuatnya terguncang. Hanya satu harapannya, Nezi mampu membuat kedua orang tua mencintainya sama seperti mereka mencintai Nezi. Meski Moza tak tahu kapan, Nezi akan mengabulkan harapan itu.
"Ini obatnya, Kak. Maaf terlambat. Tadi ibu dan ayah masih bersamaku." Nezi memberikan sepiring kecil berisi obat yang beraneka ragam.
Moza mengangguk. Ia menerima obat itu dengan sedikit lelah. Siapa yang tak lelah jika setiap hari harus menelan pahitnya obat. Meski kesembuhan akan menjadi buah yang manis.
"Terima kasih."
Nezi terdiam. Ia melihat kakaknya meminum obat-obatan itu dengan sigap. Setelah itu Moza duduk di sampingnya lagi. Terdengar suara helaan napas dari Moza. Seolah ada yang ingin Moza katakan tapi belum terucap.
"Ada apa, Kak?" tanggap Nezi. Ia juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh Moza.
"Kapan?"
Nezi mengernyit. "Kapan?" ulangnya.
"Ya."
"Kapan apanya, Kak?" Dengan bodohnya, Nezi melontarkan pertanyaan yang salah.
Moza pun langsung menatap Nezi. "Kau lupa?"
Nezi sebenarnya masih tak mengerti apa yang dimaksud oleh Moza. Ia terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Moza kembali terdengar menghela napas kembali. Sedikit berat.
"Kapan kau akan menepati janjimu?"
Mendengar kata janji, Nezi teringat dengan satu hal. Pasti yang dimaksud kakaknya adalah janji Nezi untuk membuat kedua orang tuanya mencintai Moza seperti mencintainya.
Hal itu cukup sulit. Tak membutuhkan waktu singkat. Bahkan akan butuh waktu yang cukup panjang dan strategi agar kebaikan Moza terlihat di mata kedua orang tua mereka.
"Kak, ini bukan hal yang mudah. Aku terus berusaha membuat ibu dan ayah melihatmu. Jadi, kumohon bersabarlah."
"Sampai kapan?"
Nezi terdiam kembali.
"Hei, sampai kapan?" tanya Moza dengan suara sedikit meninggi. Membuat Nezi bergidik takut.
"A—aku akan usahakan dengan cepat, Kak."
Melihat Nezi menunduk takut, Moza kembali melunak. "Maaf, bukan aku ingin menakutimu. Aku hanya tak sabar mendapatkan kasih sayang kedua orang tuaku sendiri. Aku hanya rindu saat aku masih kecil dan polos, mereka menyayangiku, mencintaiku, dan merawatku."
Ya, Nezi paham. Betapa sulit jalan yang dilalui sang kakak. Tapi jika terburu-buru, rencananya justru akan gagal.
"Maaf, Kak. Aku akan berusaha agar lebih cepat."
"Tak usah terus menerus meminta maaf. Kau tak salah. Aku yang salah karena sudah menyulitkanmu hingga sekarang."
"Tak apa. Kita kan saudara."
Senyuman yang mengembang di bibir Nezi memberi efek luar biasa di hati Moza. Sosok itu menjadi tenang dan tentram. Bahkan bibir yang sempat lupa cara tersenyum akhirnya bisa mengembangkan sebuah senyuman indah. Meski tipis. Senyuman itu terlihat bagi Nezi.
Perjuangan Nezi tak tampak bertele-tele. Tapi juga tak tampak sangat mengejar. Meski tak ada tanggapan lebih dari kedua orang tua Nezu, Nezi tetap berusaha memberikan sebuah cerita pada kedua orang tuanya tentang Moza. Seolah hati mereka sudah tertutup. Tak mampu menerima keberadaan anak sulung mereka sendiri. Nezi tak kuasa. Ia dianggap sebagai anak semata wayang. Lalu apa Moza bagi mereka. Bagi mereka, Moza hanyalah wayang yang sudah tak berguna. Mungkin. Itu hanya persepsi Nezi.
Sampai pada titik di mana Nezi tak sabar. Kedua orang tua yang tak mengerti keinginan Nezi hanya satu. Nezi hanya ingin mereka berlaku adil pada kedua anak mereka sendiri. Nezi pun mencetuskan sebuah kalimat yang masih tetap dianggap angin lalu.
"Ayah, ibu, Nezi boleh minta satu hal dari kalian?"
"Apa? Jangan aneh-aneh. Kami sibuk." "Tidak. Hanya keinginan kecil." Nezi mencoba menyakinkan kedua orang tuanya.
"Apa itu?" tanya sang ibu penasaran.
Sebelum mengatakan keinginannya, Nazi menelan ludah dengan susah payah. "Aku hanya ingin kalian menganggap Kak Moza ada di dunia ini."
Kalimat itu tak digubris sama sekali. Nezi hanya seorang anak kecil yang hidupnya tak perlu diurusi.
Bertahun-tahun lamanya, Nezi terus berusaha membuat kedua orang tuanya mengakui keberadaan Moza.
Hingga akhirnya, Nezi dan Moza beranjak dewasa. Nezi masih sering pergi ke psikiater untuk meminta obatnya lagi dan lagi. Karena dengan obat itu, Moza bisa lebih tenang setiap hari. Mendengar sindiran, ucapan kotor, hingga hujatan dari orang tuanya sendiri membuat Moza terkadang lepas kendali. Tapi karena obat yang diberikan Nezi, Moza sedikit lebih tenang.
"Mau sampai kapan kau akan terus begini, Nezi?" tanya sang psikiater yang sudah bersamanya sebelas tahun.
Nezi yang sekarang menginjak usia dua puluh dua tahun hanya mampu diam di rumah. Meski ia bercita-cita ingin menjadi dosen. Ia harus mengubur mimpi itu karena tak ingin melihat kakak tersayangnya kembali merasa hina. Setidaknya, ia harus mengerti keadaan jika dirinya tak bisa kuliah dan menggapai cita-citanya.
"Sampai orang tuaku mencintai kakakku."
Psikiater itu hanya menghela napas. Ia sudah bosan menasehati orang jenius yang keras kepala seperti Nezi. Jadi, ia hanya menuruti apa kemauan Nezi. Memberi resep yang terbagus untuk kakaknya.
"Lambat laun, apa yang kau sembunyikan akan terbongkar. Sebelum ayah dan ibumu murka, lebih baik katakan mulai sekarang. Agar mereka tak terlalu kaget saat tau jika selama ini Moza lah yang terkena sakit mental. Lagipula, mungkin jika mereka tau Moza yang sakit, mereka akan bisa lunak. Melunakkan perasaan mereka untuk memberi kasih sayang lebih pada Moza."
"Kau tidak tahu apa-apa, Dok. Mereka itu sangat benci kelemahan. Kakakku orang yang lemah. Lemah fisik, hati, pikiran, hingga materi. Kakakku tak mengerti apapun. Jika orang tuaku tau Kak Moza sakit mental, aku yakin mereka akan membuang Kak Moza hingga tak ada orang yang tau jika Kak Moza adalah anak kandung mereka." Nezi begitu keras melawan apa yang dikatakan sang psikiater. Ia tahu bagaimana seluk beluk keluarganya. Jadi, ide yang disarankan Graham hanya akan menimbulkan petaka baru.
"Baiklah. Aku hanya memberimu saran. Jika kau tak mau, tak apa."
Nezi hanya terdiam. Setelah mendapatkan resep, Nezi pun bergegas membeli obat dan pulang. Selama lima tahun terakhir, Nezi dibiarkan berobat sendiri karena orang tuanya sibuk dengan pekerjaan.
Setelah mendapatkan obat, Nezi kembali ke rumah. Ia melihat Moza sedang duduk termenung di depan TV. Meski TV mengoceh kesana kemari, Moza hanya menatap TV itu dengan kosong. Bukan pemandangan baru bagi Nezi. Moza selalu saja bersikap seperti itu.
"Kak, aku membawakanmu obat. Minumlah."
"Aku bosan."
Nezi terdiam. Ia hanya meracik obat itu dan memberikannya pada Moza.
"Kak, ini. Minum lah."
"Aku tidak mau."
Moza masih mengelak dengan tenang. Sedangkan Nezi tak bisa membiarkan Moza telat minum obat sehari saja. Ia terus mencoba merayu Moza dengan lembut.
"Jika kau minum obat, kau tidak akan merasa sedih lagi. Percayalah padaku."
Moza terdiam.
"Sekarang kau minum obat ini, ya." Nezi kembali menyodorkan sepiring kecil obat itu dan segelas air.
Prang~
Moza menepis kasar obat yang diberikan Nezi. Tak bisa dipungkiri, Nezi terkejut bukan main. Ia melihat Moza menatapnya dengan mata nyalang.
"Kau pembohong! Kenapa kau membohongiku, Nezi? Kau bilang ibu dan ayah akan segera mencintaiku. Tapi apa? Sebelas tahun! Sebelah tahun aku menunggu. Kau memintaku sabar, sabar, dan sabar! Kau pembohong! Pembohong!" Moxa kembalu murka. Ia mulai membanting semua peralatan yang ada di sisinya. Hingga tam sadar, Moza mencakar wajahnya sendiri. Mata nyalang. Merah penuh amarah itu terus menatap Nezi. Seolah darah yang mengucur di pipi Moza akibat cakarannya sendiri tak terasa menyakitkan.
Nezi panik. Ia terus mundur hingga terpojok. Ia tak bisa keluar. Jika ia keluar,. Maka seisi komplek akan tau jika kakaknya gila.
Moza semakin mendekat, mendekat, dan mendekat. Tangannya mengepal. Ingatan sebelas tahun lalu kembali membayangi Nezi. Rasa takut itu semakin menjalar. Ia menangis tanpa sadar.
"Kak, kumohon. Sadarlah."
Brak!
Suara pintu terdobrak paksa terdengar melengking. Nezi dan Moza mengalihkan pandangan mereka. Terlihat ayah dan ibu Nezi terkejut bukan main. Ia melihat rumah begitu berantakan. Bahkan melihat darah yang terus mengalir di wajah Moza.
"Moza! Ternyata selama ini kau yang gila, hah?"
Umpatan yang begitu menohok terlontar dadi mulut sang ayah. Ibunya menyelamatkan Nezi dari tangkapan Moza.
"Jangan sakiti putra emasku, Dasar Kotor!"
Nezi tak bisa membiarkan semua ucapan kotor dan keji itu membuat Moza semakin depresi.
"Cukup, ibu, Ayah!" Nezi mencoba untuk merangkul Moza dan membuat sang kakak lebih tenang.
Tapi hal itu dicegah oleh sang ibu. Jelas hal itu membuat Moza semakin tak kuasa menahan sakit. Selama dua puluh lima tahun ia hidup, Moza hanya menanggung pedih dan sakit hati.
"Aaargghhh!" Moza membanting sebuah vas bunga yang berukuran cukup besar. Depresinya menjadi-jadi. Hal itu hanya disaksikan oleh ibu dan ayahnya. Sedangkan Nezi yang berusaha menenangkan terus dicegah oleh ibunya.
"Ibu, lepaskan aku!" Nezi terus memberontak. Namun, tak bisa. Ibunya yang sudah renta lebih kuat karena mantan atlet karate. Ayahnya hanya menatap datar anak sulungnya yang histeris tak karuan. Terus membenturkan kepalanya ke dinding. Seolah tak ingin melarikan emosinya ke tiga orang yang ia sayang. Namun, hanya satu dari tiga orang tersebut yang menyayanginya.
"Bunuh dia." Ibunya memerintah pada sang suami.
Nezi terbelalak. "Tidak!"
"Haruskah sekarang? Bukankah kau akan rugi banyak untuk biaya pemakamannya nanti?"
"Biar pemerintah yang menanggung."
Nezi semakin geram. "CUKUP!"
"Diam kau! Kau ini hanya b***k yang harus menurut pada kami!" sentak Lee—ayahnya. Matanya memerah. Tanda amarahnya memuncak. Sontak Nezi melihat Lee mangambil sebuah pecahan vas bunga yang cukup panjang dan tajam. Nezi berusaha menahan, tapi tak mampu.
Baru saja Lee akan menusukkan pecahan vas itu, Moza menghantamkan kepalanya ke tembok dengan keras. "Aarrgghhh!"
Prak~
"Ugh!"
Semua terdiam. Nezi melemas seketika. Pecahan vas yang ada di genggaman Lee langsung terbuang tak berguna. Senyuman lega tercipta di bibir Lee dan sang istri. Mereka puas, melihat kematian anaknya sendiri dan Nezi ... melihat ada pembunuh mental di hadapan mereka.
"Apa dia mati?"
"Sepertinya."
"Tidak ... kakak ... " Nezi merangkak. Mendekati sang kakak yang sudah tergeletak penuh darah mengucur dari kepalanya.
Air mata yang terus mengalir tak disadari oleh Nezi. Ia hanya berharap keajaiban datang. Nadi yang telah berhenti, berdenyut lagi. Napas yang telah terhenti, terhembus kembali. Tapi semua itu mustahil. Moza telah pergi.
Kematian Moza tak membuat semuanya berakhir baik. Tidak menguntungkan untuk siapapun. Terutama untuk Nezi.
Di meja hijau, Nezi diadili. Nezi dianggap tersangka. Tersangka pembunuhan Moza. Polisi mengungkap bahwa Moza adalah korban pembunuhan. Terlebih lagi, Nezi adalah yang terakhir kali menyentuh Moza. Hingga yang paling menyakitkan, kedua orang tua Nezi berpura-pura histeris atas kepergian Moza dan melebih-lebihkan keadaan. Mereka mengatakan jika Nezi pura-pura depresi dan selalu menyakiti Moza. Hingga akhirnya Moza meninggal karena Nezi benturkan ke dinding. Orang tua biadab itu menganggap semua yang terjadi adalah kesalahan seorang anak jenius yang berhasil menipu dunia.
Nezi hanya diam. Ia tak mampu mengatakan apapun. Kematian orang yang sangat ia sayangi, di depan matanya sendiri, membuat hatinya hancur. Ia berpikir, tak ada gunanya lagi ia hidup. Lebih baik ia memang dihukum mati. Daripada ia harus hidup bersama dua orang tak berhati nurani. Bahkan, di hari Nezi sah mendapat hukuman mati, kedua orang tuanya menghilang. Melarikan diri entah ke mana.
Ketidakadilan yang ia terima, tak lagi membuatnya bersemangat menjalani hidup. Cukup sekian. Nezi pasrah dan hanya diam menerima keputusan hakim atas hukuman yang akan ia terima. Hukuman mati.
Flashback off ...
***
Dexa tak mampu menahan derai air mata lagi. Ia cukup lelah menahan sesak dalam d**a saat mendengar cerita masa lalu Nezi. Menyakitkan. Di lain sisi, Dexa takjub. Sosok yang ada di sisinya termasuk sosok ajaib yang sangat tangguh. Jika ia yang ada di posisi Nezi, mungkin ia sudah bunuh diri.
Akan tetapi, sosok yang tengah usai menceritakan masa kelamnya itu tampak lebih tegar. Meski ia merasa bersalah karena sudah membuat Nezi teringat dengan masa lalunya lagi. Pasti sosok itu kembali merasa perih.
Kini mereka tengah duduk di taman yang sepi. Hanya ada mereka berdua. Hingga semua cerita takkan didengar oleh siapapun. Dexa sudah memastikannya.
Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Dexa. Kembali penasaran. Jika Nezi saat itu dituduh sebagai pembunuh Moza, bagaimana cara Nezi melarikan diri?
"Tapi, kenapa kau bisa selamat dari hukuman itu?" Akhirnya Dexa menanyakannya.
"Di hari hukuman matiku, ada seseorang yang datang entah dari mana. Membawaku pergi dengan sekejap mata dan membuatku menjadi buronan hingga sekarang."
Dexa terdiam. Ia menebak-nebak sosok yang dimaksud oleh Nezi.
"Siapa yang kau maksud?"
Nezi tersenyum membayangkan sosok yang menjadi penyelamat hidupnya. Tak perlu Nezi sebut namanya, Dexa sudah mengetahui sosok itu.
***
"Levo!"
Levo terkekeh melihat Sena dan Zack terkejut. Terlebih lagi mereka berdua sedang bereksperimen. Baru saja Sena mau menyuntikkan cairan ke dalam tubuh Zack, Levo datang dan merangkul keduanya.
"Kau sudah mendapat informasi?"
Levo tersenyum. "Tentu sudah. Kita tunggu mereka kembali."
***