13

2050 Kata
"Bye the way, kalian sedang apa?" Sedari tadi Levo heran karena melihat Sena sibuk meneliti tubuh Zack dengan baik. Sepertinya sosok itu mencari tempat yang tepat untuk mendaratkan suntikan.  "Levo, lebih baik kau diam, jangan ganggu konsentrasiku." Sena memerintah Levo untuk diam. Hal itu membuat Zack terkekmeh pelan. "Kau juga diam, Zack!" Zack pun menahan tawanya dan mengangguk. Akhirnya, Sena meraih lengan kanan Zack dan melihat ke arah lekukan siku. Ia memasang sesuatu di atas siku Zack. Kurang lebih berjarak lima centi. Lalu Sena menekan sesuatu yang menonjol berwarna kebiruan dari permukaan kulit. Pembuluh darah vena. Ia akan melakukan suntik IV atau Intravena. Hal itu membuat cairan yang ia uji masuk melalui pembuluh darah vena.  Sontak Sena langsung membuka penutup spuit yang berisi cairan. Mengarahkan jarum ke pembuluh darah dan bersiap menyuntik.  "Ah! Sebentar!" Zack menarik tangannya.  Sena melirik kesal. "Apalagi, Bodoh?" "Hei! Aku menbantumu dan kau mengataiku bodoh?" Zack mulai kesal.  Sena menghela napas pelan. "Ada apa?" Sena mulai melunak.  "Aku ... takut." Levo terkekeh. "Kau yakin takut dengan jarum suntik?" "Bukan dengan jarumnya." Sena melirik kembali. "Kau takut dengan ramuanku?" Tanpa ragu, Zack mengangguk. "Tenang saja. Jika gagal, kau takkan mati begitu saja, Zack." "Lalu aku akan mati perlahan?" "Tidak. Kau hanya akan pingsan selama kurang lebih dua belas jam." Zack melotot kaget. Sontak ia melepas torniquet—benda yang melekat di lengannya, benda yang menjadi pembendung. "Aku tidak mau." "Kenapa? Aku yakin ramuanku kali ini berhasil, Zack!" Sena kembali memohon dengan keras.  "Cari saja orang lain yang menganggur, Sen. Aku tidak mau." "Kumohon! Aku sudah berjanji akan membantumu. Ah, sekarang kau katakan saja apa yang kau mau. Jadi, saat kau hilang sadar karena ramuanku gagal, aku akan membantumu." Zack mendelik. "Kau pikir aku bodoh?" "Kau memang bodoh." "Sena..." "Ah, aku hanya bercanda, Zack. Ayolah!" Zack menggeleng. "Kalau begitu, aku harus pergi dulu. Aku ingin memastikan sesuatu kemudian aku akan membantumu. Jadi, jika aku akan pingsan dua belas jam, aku tidak ketinggalan satu informasi apapun." Levo menepuk bahu Sena. Memberi gadis itu ketenangan dan memikirkan kepentingan masing-masing. Tak bersikap egois, Sena meletakkan kembali spuit ramuannya. "Pergilah. Aku akan menyuntikmu jika kau kembali." Zack menghela napas lega. "Terima kasih, Levo!" Zack pun langsung berlari pergi.  "Hei! Aku yang membiarkanmu pergi. Tapi kau tidak berterima kasih padaku. Zack bodoh! Kau sialan!" Begitulah Sena, dia diam bukan berarti jauh dari kata umpatan. Bahkan jika ada perang mengumpat, dia akan menang dan membuat musuh kalah telak.  Levo terbahak membayangkan itu. Tapi akan sangat berbahaya jika Sena marah. Apalagi yang lebih mengerikan dari tentara gila yang mengamuk? Itulah ilmuan hebat yang menggila. Bisa saja, ilmuan itu menciptakan virus hingga membuat semua manusia menjadi zombie dan memakan satu sama lain.  *** Mendengarkan cerita Nezi yang berfokus pada kakaknya, Moza, membuat Dexa tak lupa bahwa Nezi adalah seorang pelukis terkenal. Lukisan penuh arti yang tertempel di dinding markas Blackhole.  Baru saja Nezi mengajaknya berdiri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kantor catatan sipil, Dexa menahannya. Hingga Nezi terduduk kembali. Mereka hingga lupa jika waktu terus berjalan dan teman-teman Blackhole yang sudah menunggu informasi dari mereka.  "Apalagi yang ingin kau tanyakan? Aku akan menceritakannya nanti. Setelah kita selesai dari kantor catatan kependudukan." Nezi menciba untuk mempercepat waktu. Ia tak segan menceritakan semua tentang dirinya pada anggota Blackhole. Sebab, mereka pasti bisa menjaga rahasia. Jika tidak, Nezi juga tak peduli. Lagipula dengan menceritakan tentang Nezi ke orang lain selain anggota Blackhole sama dengan menjerumuskan dirinya sendiri ke lubang penuh singa lapar.  "Ah, tapi aku penasaran satu hal."  Nezi kembali bangkit. Mau tak mau Dexa mengikuti langkah Nezi. Mereka berjalan beriringan. Pertanyaan Dexa sempat terabaikan. Melihat Nezi yang berjalan lurus tanpa meliriknya membuat Dexa berhenti bertanya.  "Aku hanya menceritakan tentang Moza padamu. Kau tau mengapa aku bertahan hingga dua puluh dua tahun bersama orang tua yang b***t?" "Karena kakakmu?" tebak Dexa.  "Salah satunya benar itu. Tapi ada hal lain, aku ingin melihat dunia mengakuiku." Dexa terdiam. Ia menerka-terka jika Nezi bukan orang yang gila akan pengakuan dunia tanpa sebab.  "Apa semua itu untuk kakakmu juga?" Nezi mengangguk. Tebakannya selalu benar.  "Ya, itu untuk kakakku juga." Nezi menghela napas berat. "Jika aku terkenal sebagai pelukis, aku akan terus melukis di kanvas putih bersih. Aku. akan mencurahkan perasaan hancur ku ke sana. Kemudian, orang akan tau jika aku adalah pelukis yang penuh dengan dunia kelamnya. Setelah itu, aku akan mengatakan pada dunia, hidupku yang kelam bisa bertahan dengan baik karena dukungan seseorang. Yaitu kakakku. Dari situ, kakakku akan diakui, dicintai, dan dipuja-puji oleh seluruh orang yang mencintai karyaku." Nezi begitu jauh. Dia melakukan segala cara untuk membuat kakaknya dicintai oleh masyarakat. Tapi keinginan dan harapan Nezi tak tergapai. Impiannya redup. Terlihat dari sorot mata yang juga sangat lesu. Seolah sudah tak ada lagi harapan yang tersisa.  Lukisan yang ia harap bisa membuat semua orang mencintai kakaknya kini telah dibakar habis. Tersisa dua lukisan yang berhasil ia selamatkan saat dirinya diselamatkan oleh Levo dari hukuman mati. Setelah bergabung dengan Blackhole, nama Nezi telah menjadi buronan. Akan tetapi, Nezi bersyukur. Levo adalah teman pertama Nezi yang tak melihat Nezi sebagai tersangka pembunuhan yang keji. Levo percaya pada Nezi yang tidak melakukan hal itu sama sekali.  Bahkan Sena yang merupakan anggota sebelum Nezi juga menyambut Nezi dengan tangan terbuka. Sosok gadis lugu namun memiliki kecerdasan tinggi itu memang tampak cuek. Tapi Sena sangat tidak pernah menyinggung masa lalu Nezi. Hal itu jelas membuat Nezi merasa nyaman berada di dekat Levo dan Sena.  "Wah, kau hebat, Nezi. Jika aku menjadi kakakmu, aku akan bersyukur memiliki adik sepertimu. Kakakmu pasti bahagia melihatmu selamat dari tuduhan ketidakadilan itu." Nezi tersenyum pahit. "Bahagia katamu? Kakakku justru menyesal karena aku dilahirkan. Dia jadi tersingkir dan tersiksa." "Tidak. Kakakmu hanya membenci kedua orang tuamu yang tidak bisa bersikap adil. Pikir saja. Dia akan membunuhmu dengan mudah jika dia membencimu. Tapi nyatanya, dia menyelamatkanmu hingga akhir." "Dia tidak menyelamatkanku hingga akhir." "Dia menyelamatkanmu. Saat dia mengamum, ada keinginan untuk membunuh semua orang di sana. Tapi dia menahan dan membunuh dirinya sendiri." "Justru kematiannya membuatku terluka." "Tapi dia tidak berusaha melukaimu di detik terakhirnya. Karena apa? Karena dia berharap kau bisa hidup bahagia setelah apa yang dia lakukan padamu." Nezi terdiam. Ia tersenyum kecut. "Ternyata kakakku memang bodoh." Terdengar Dexa menghela napas berat. "Dia bodoh karena terlalu menyayangimu." *** Zack lega. Ia berhasil melarikan diri dari markas karena Sena sedang menggila untuk menjadikan manusia sebagai objek penelitian. Meskipun ia percaya jika semua ramuan Sena jarang gagal, tapi ia masih harus memastikan sesuatu agar tidak terlambat.  Sekarang ia sedang menuju ke sebuah kedai kecil. Siapa lagi kalau bukan kedai milik Fany. Sosok gadis yang ia cintai tapi mencintai sosok lain membuatnya tak mampu menyerah. Sebelum terlambat, ia masih akan terus mengejar Fany. Sebelum Fany terikat pada pria lain, Fany akan menjadi favorite girl baginya.  Zack terus berlari. Sebentar lagi ia akan sampai. Tak lama kemudian, Zack sampai. Tapi sebelum masuk ke resto, terlihat Fany sedang bergurau dengan kekasihnya. Tampak sebagai pemandangan yang menyakitkan. Hingga Zack menahan diri hingga sosok itu pergi dari Fany.  Cukup lama Zack menunggu. Ia duduk di depan kedai yang cukup jauh tapi masih mampu mengamati jika sosok itu masih ada di dalam kedai. Sudah beberapa kali ia mengode Fany yang sadar dengan kehadirannya. Tapi Fany tak peduli.  "Kalau sampai kau berkhianat, kedaimu akan hangus." Mimik mulut Zack sepertinya terbaca oleh Fany. Gadis itu pun bangkit dari duduk. Mengambil sesuatu untuk sang kekasih kemudian terlihat jika sosok berbadan kekar itu pergi dengan membawa sebungkus oleh-oleh pemberian Fany.  Setelah melihat kekasih Fany pergi, Zack tersenyum. Ia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju kedai.  Kling Suara pintu terbuka. Fany hanya melengos kesal melihat kehadiran Zack. Gadis itu tetap pura-pura sibuk di bagian kasir. Melayani para pelanggan yang sudah selesai dengan makanan mereka.  Cukup lama diabaikan, akhirnya Zack berdeham lalu angkat tangan. Memanggil salah seorang pekerja bagian catatan pesanan.  "Apa yang mau dipesan?" "Pesan buat Fany, tolong ke sini menemui saya." Meski pencatat itu sedikit bingung, tapi ia tetap melanjutkan pesanan Zack ke Fany.  "Kak, ada yang ingin bertemu dengannmu." Fany sudah tau. Ia memang sengaja mengabaikan Zack. Tapi karena sudah ditegur, daripada kedainya hangus, lebih baik ia menuruti saja.  Gadis itu pun bergegas menuju kw arah Zack. Di mana Zack sudah mengira jika ia akan berhasil membawa Fany berjalan padanya. Menghampirinya. Meski dengan wajah kesal tertekuk.  "Apa lagi?" ketus Fany setelah duduk di depan Zack.  Zack memajukan dirinya. Menghapus jarak antara dirinya dan Fany meski terhalang meja.  "Kau lupa? Kau harus memberiku informasi, Sayang." "Cih! Jangan panggil aku seperti itu, Zack! Menjijikkan." Zack terkekeh melihat Fany merinding.  "Ayo ke ruangan ku saja. Kau tidak mau informasi ini di dengar orang lain kan?" Zack tersenyum dan menga ggum. Ia pun langsung mengikuti Fany yang sudah masuk ke dalam ruangan. Sepertinya ruangan memang sepi. Tak ada jebakan atau orang lain di sana. Setidaknya Fany tidak mencoba membunuhnya karena ia sudah memberi ancaman.  "Kau pikir aku mencoba untuk menjebak dan membunuhmu? Kenapa tatapanmu begitu? Kau mencurigaiku? Hah? Setelah kau—" "Sshh!" Zack menempelkan telunjuk ke bibir Fany. "Tidak. Tidak. Jangan perjelas kecurigaan ku lagi. Sekarang kau. Ceritakan saja apa yang sudah kau tau." Fany melengos. Menyeka jari Zack dengan sedikit kasar.  "Duduklah." Fany menyuruh Zack untuk duduk. Sedangkan dirinya duduk di sofa yang berbeda.  "Kau terlihat sangat nyaman berbicara dengan kekasihmu." "Tentu saja. Dia yang kucintai." "Kau melukai hatimu, Fan." Zack berdrama dengan menyentuh dadanya dengan wajah sedih.  "Aku tak peduli." "Kau tau, dia tak lebih baik dariku." Fany terbahak. "Kau pecundang. Dia tidak." "Pecundang?" Zack tak Terima.  "Ya, pecundang." Fany menjulurkan lidahnya.  "Ah, lupakan. Sekarang kau berikan informasi yang kau dapat. Sedetail mungkin. Jangan sampai ada yang terlewat. Dan ingat, jika kau berbohong, aku tak segan membakar kedaimu ini."  Fany mendelik. "Lihat, kau pecundang. Kau hanya menggunakan kekuatanmu untuk memeras rakyat biasa sepertiku kan?" "Tidak. Kau bukan rakyat biasa bagiku. Kau yang terbaik." "Cuih." Fany pura-pura meludah jijik mendengar ucapan Zack.  "Cepatlah katakan. Aku tak bisa menunggu lama lagi." Fany menarik napas sebelum mengatakan apa yang akan ia sampaikan.  "Aku hanya bisa memberi informasi tentangmu akan satu hal." "Apa itu?" Zack mengangkat alisnya.  Fany terdiam sesaat. "Aku mencoba untuk mencari informasi tentang Andrew dari kekasihku. Dia adalah ajudan pribadi Andrew sebelum Andrew memilih ajudan lain untuk dijadikan ajudan pribadi satu-satunya. Dia bilang, Andrew jarang pulang ke rumahnya yang ada di komplek para dewan." "Apa dia benar-benar punya dua rumah? Lalu, kau juga bertanya di mana alamat rumah keduanya? Ah, atau mungkin kau tau informasi lainnya?" tanya Zack memastikan.  "Jangan banyak tanya, aku bingung. Tentang dua rumah, aku tak tahu pasti. Akan tetapi, itu kemungkinan besar iya. Hanya saja aku heran, kekasihku bilang, Andrew dan istrinya, Luna, sering menginap di hotel tapi tidak pulang ke rumah." Zack mengernyit. "Tunggu. Siapa? Luna?" Fany mengangguk. "Ya, Luna. Istrinya Andrew." Dengan percaya diri, Fany mengatakannya.  Zack terdiam. Ia mengingat nama istri Andrew yang terdengar asing itu. "Bukankah nama istri Andrew bukan Luna? Tapi Grizell? Apa kau lupa dengan ketua pergerakan wanita?" Fany menaikkan satu alisnya heran. "Entahlah. Aku juga tak yakin. Karena aku tak mengenal Andrew begitu dalam. Lagipula, setahuku Ketua Pergerakan Wanita bukan Grizell. Tapi Kayla." Daripada mendebatkan tentang istri Andrew, Zack menanyakan hal lainnya. "Ah, lalu apa lagi yang kau dapatkan?" "Hanya itu." Zack mengernyit. "Hanya itu?" "Ya, hanya itu. Kata kekasihku, aku terlalu mencurigakan jika terus bertanya tentang Andrew. Jadi, aku tak berani lagi untuk bertanya lebih jauh." "Ah, kau kurang pandai dalam bidang penyelidikan." "Hei! Sudah kubantu tapi kau masih saja mengejekku." Wajah Fany memerah. Membuat Zack terkekeh pelan.  "Oke, oke. Terima kasih infonya m, Fany Angeline." "Sebenarnya, untuk apa kau mencari tau tentang Andrew?" Dengan penasaran, Fany bertanya hingga menyipitkan kedua mata.  Zack terkekeh. "Rahasia." "Pelit." "Sudah kubilang. Kau tak pantas menjadi Agen FBI. Baiklah. Aku akan pergi." "Kau pergi? Biasanya kau takkan pergi meski aku mengusirmu." Fany terheran. Zack begitu cepat ingin pergi meninggalkan kedai setelah mengetahui apa yang ia sampaikan.  "Aku ada urusan mendadak. Jadi, Terima kasih informasinya dan sampai jumpa." Zack pun bangkit dan pergi berlalu. Ia harus menyampaikan informasi yang ia dapatkan ke markas. Levo harus tau, jika Andrew memiliki dua istri. Kemungkinan, Andrew menyembunyikan sesuatu yang lain juga.  "Aku harap, Fany tak membohongiku. Aku takkan sanggup untuk membakar usahanya seperti apa yang kukatakan." Zack terus berlari. Meninggalkan kedai yang terus ramai dengan pelanggan. Sedangkan Fany hanya terdiam setelah mengerahkan semua informasi yang ia dapatkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN