Gadis berusia dua puluh tahun itu kini terduduk di bawah guyuran air shower yang membasahi tubuhnya. Sungguh, Jihan ingin berhenti menangis, tapi ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghentikan air mata yang terus keluar dari pelupuk matanya. Jihan benci dengan situasi ini. Sekarang ia terlihat seperti perempuan paling lemah di dunia.
“Gak, Jihan. Kamu gak boleh seperti ini terus. Kamu gak boleh lemah. Kamu kuat, Jihan. Kamu kuat,” cicitnya menyemangati diri. Walau tidak dapat dipungkiri, hati gadis itu sangat sakit melihat pengkhianatan suaminya di depan mata kepala sendiri.
“Mas Juna, kenapa kamu tega banget sih, Mas?” Jihan menggelengkan kepala pelan, mengingat momen ijab kobul pernikahannya bersama Juna. Laki-laki itu dapat menjawabnya dengan lantang bahkan hanya dalam satu tarikan napas. Seolah Juna benar-benar siap menjalani bahtera rumah tangga bersama Jihan.
Sementara itu, Juna menarik kasar lengan Shila keluar dari dalam rumahnya. Lalu Juna melepas cekalan nya begitu mereka sudah berada di luar rumah.
“Aww! Tangan aku sakit, Sayang. Kamu kasar banget sih?” Shila melempar protesan sambil memegang pergelangan tangannya yang semula Juna cekal.
"Sekarang gue minta lo pergi dari sini dan stop ganggu gue.” Juna berucap dengan nada dingin serta tegas. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dengan pandangan lurus ke depan.
Shila menatap Juna sambil tersenyum miring. “Kenapa aku harus mau menuruti perintah dari kamu, hm?” tanyanya menantang.
Juna menoleh menatap Shila dengan sorot mata tajam. “Apa maksud lo ngomong kayak gitu?”
Shila menghela napas panjang, lalu ia menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. Gerak-geriknya tak lepas dari kedua mata Juna. Shila melangkah lebih dekat dengan laki-laki berwajah dingin itu. “Juna, Juna, udah lah kamu gak usah munafik. Aku tahu, kamu menikmati sentuhan dari ku. Bahkan hanya dengan sedikit belaian aja, kamu langsung terangsang,” ucapnya menatap Juna dengan tatapan mengejek. Shila membelai rahang Juna, namun tidak sampai tiga detik Juna sudah menepis kasar tangan jalang itu darinya.
“Berapa uang yang lo mau?”
Shila tertawa pelan mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Juna. “Orang kaya memang selalu menggunakan uang dalam mengatasi segala permasalahannya.”
Juna mendengus kasar. Bertemu dengan Shila adalah penyesalan paling besar baginya. Juna membuka pintu mobilnya, lalu mengambil cek dan menuliskan sejumlah nominal yang cukup besar, kemudian memberikan cek tersebut pada Shila.
“Ambil ini dan mulai sekarang dan seterusnya jangan pernah ganggu hidup gue lagi, ngerti?”
Shila mengulum senyum kemenangan. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Shila segera mengambil alih cek tersebut dari tangan Juna. “Dasar bego! Mau aja gue porotin,” batinnya bersorak.
“Sekarang apa lagi? Pergi!” sentak Juna sambil mendorong lengan Shila agar segera pergi dari kediaman rumahnya.
“Okay-okay, aku akan pergi dan gak akan ganggu kamu lagi. Tapi gak usah kasar dong. Kamu gak punya hati banget sih,” ucap Shila membuat Juna mendengus.
Sebelum Shila benar-benar pergi, perempuan jalang itu membisikkan sesuatu yang membuat kemarahan Juna semakin naik pitam, “kamu mungkin bisa menghentikan ku dengan uang. Tapi, apa kamu juga bisa menyembuhkan luka di hati istri kamu dengan uang?”
Kedua tangan Juna sudah terkepal kuat. Sial! Ucapan jalang sialan itu berhasil menohok Juna.
“Oh iya, thanks buat uangnya. Aku doa kan, semoga rumah tangga kalian cepat hancur.” Shila mengedipkan sebelah matanya sambil menampilkan senyum yang membuat kejengkelan Juna semakin bertambah.
“JALANG SIALAN! PERGI LO ANJING!!”
***
Suara jam yang berdetik menemani keheningan di dalam sebuah kamar luas bernuansa putih. Pintu kamar mandi terbuka, Jihan melangkah keluar dengan mata sembab serta hidung merah setelah menangis beberapa menit di bawah guyuran shower.
Jihan mengayunkan kakinya menuju meja yang telah di siapkan untuk belajar. Besok ia akan kembali memulai aktivitas sebagai mahasiswi.
Pintu kamar terbuka, Juna terdiam sesaat melihat Jihan yang sedang menyiapkan keperluan untuk kuliah nya besok. Kedatangan Juna seolah hanya angin lalu bagi Jihan. Gadis itu tampak tidak peduli dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan. Hatinya masih sakit mengingat kelakuan Juna bersama jalangnya tadi.
Juna merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kepalanya miring menatap Jihan yang masih sibuk dengan aktivitasnya. Juna menghela napas panjang, lalu ia menatap langit-langit kamar dan mulai terpejam, tapi ia tidak tidur hanya memejamkan mata saja. Juna bisa memaklumi perubahan sikap Jihan padanya. Gadis itu sudah pasti marah, sedih, juga kecewa padanya.
Diam-diam Jihan menoleh melihat suaminya yang berada di atas tempat tidur. Sikap Juna yang diam saja, tak memberikan penjelasan apa pun padanya semakin membuat hati Jihan sakit. Ah, Jihan lupa, apa juga yang mau Juna jelaskan padanya? Semuanya sudah jelas.
Jihan mengusap kasar air mata yang menetes tanpa permisi membasahi pipinya. “Bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan,” batin nya menahan sesak.
Suara perut yang berbunyi membuat Juna seketika membuka kedua matanya. Ia mendengus pelan karena perutnya lapar minta di isi makanan.
Sadar akan status dan posisi, Jihan menghentikan aktivitasnya lalu menoleh menatap Juna. Melihat mata dan hidung Jihan yang merah, hati Juna tersentil. Rasa bersalah pun seolah menyelimuti diri. Jihan menangis karenanya.
“Mas Juna mandi aja dulu, biar Jihan siapkan makanan di bawah.” Jihan berucap sambil menampilkan seulas senyum, seolah gadis itu memperlihatkan kalau dirinya baik-baik saja.
Juna yang masih terdiam di atas tempat tidur, menatap kepergian Jihan yang keluar dari dalam kamar. “Kenapa lo gak marah sama gue, Jihan? Kenapa lo masih bisa senyum setelah gue buat lo nangis?” Juna bergumam setelah pintu kamar tertutup.
“Ini semua gara-gara jalang sialan itu! Kenapa dia harus ngikutin gue sih? Argh! Kacau semuanya! Gue udah buat Jihan nangis bahkan di usia pernikahan kami yang baru beberapa hari.” Juna menggeram kesal. Lalu ia meloloskan bajunya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Juna berdiri di bawah air shower yang mengguyur tubuhnya. Ia terpejam kala mengingat pada kejadian beberapa jam yang lalu.
Flashback On
Klub malam menjadi tempat pilihan Juna untuk melepas stress nya. Laki-laki berambut hitam legam itu duduk di sebuah sofa dengan beberapa jalang yang mengelilinginya.
“Woy, Jun!” Akbar datang menghampiri Juna. “Eh, lo semua minggir sana. Cari mangsa baru yang menjanjikan uang buat kalian,” ucapnya mengusir jalang-jalang itu dari sekitaran Juna. Meski kesal karena Akbar mengusir mereka, tapi apa yang di katakan oleh laki-laki berengsek itu ada benarnya juga.
Akbar menepuk bahu Juna. “Heh, anjing. Kenapa muka lo kusut gitu, ha? Bini lo gak jago ngasih service? Ha! Ha! Ha!”
Juna melempar pelototan tajam pada Akbar. “c***l sialan! Otak cetek lo gak pernah bisa lepas dari urusan ranjang. Nyesel gue ngizinin lo deketin Adek gue.”
Akbar menyengir lebar, lalu ia menuangkan vodka ke dalam gelas. “Santai aja, Brodi. Hidup gak usah dibawa pusing,” ucapnya lalu menyerahkan gelas yang sudah terisi vodka itu pada Juna. “Nih, minum. Kesel gue liat muka lo yang kayak Monyet Albino gini.”
“b******n!” umpat Juna, namun tak urung ia menerima gelas tersebut dari Akbar lalu meneguknya hingga abis.
“Bar,” panggil Juna setelah beberapa menit mereka saling diam.
“Hm….”
“Apa yang terlintas dipikiran lo soal Jihan?”
Kening Akbar mengerut mendengar pertanyaan dari sahabatnya ini. “Jihan bini lo?”
“Iya lah anjing. Siapa lagi?” dengus Juna.
Akbar meneguk vodka nya terlebih dahulu, lalu ia menyandar kan punggungnya pada penyangga sofa. Berlagak seperti orang yang sedang sedang berpikir keras. “Kesan pertama gue waktu lihat bini lo, dia perempuan yang cantik bahkan lebih cantik dari Kiandra.”
Juna menonjok pahu Akbar. “Kian Adek gue kalo lo lupa,” peringat nya.
“Iya, dia juga cewek gue,” balas Akbar sambil terkekeh pelan.
“Lanjut,” titah Juna.
“Tapi poin utama yang ada dalam diri Jihan itu bukan kecantikannya. Perempuan di dunia ini banyak yang lebih cantik dari Jihan. Tapi dia memiliki aura tersendiri. Dan yang paling penting, dia perempuan baik-baik. Gue yakin, semua orang bisa langsung menyimpulkan kalo Jihan perempuan yang sempurna. Bukan cuma dari fisik tapi juga hatinya. Laki-laki mana pun yang mendapatkan Jihan, dia adalah laki-laki yang paling beruntung.” Akbar menghentikan ucapannya, melempar tampang datar pada Juna. “Tapi sayang, keberuntungan itu gak berpihak sama Jihan karena punya suami b******n kayak lo.”
Juna tidak protes atau marah pada Akbar yang terang-terangan mengatakannya b******n, karena Juna sendiri tahu jika dirinya b******n. “Itu artinya, Jihan gak pantes bersanding sama seorang b******n?”
“Ya iyalah b*****t!” jawab Akbar segera. “Tapi gue cukup lega, b******n kayak lo dapat berlian kayak Jihan.”
Juna mengerutkan kening. “Gak punya pendirian banget sih lo? Tadi bilang nya gak pantes gue bersanding sama Jihan, terus kenapa sekarang lo bilang cukup lega gue bisa dapetin Jihan?”
Akbar merangkul pundak Juna “Gini loh, Ngab. Gue tahu, ini gak adil buat Jihan. Tapi modelan b*****t kayak lo, emang perlu pendamping yang baik. Mana tahu kan, kebangsatan lo ini bisa hilang seiring dengan kebersamaan lo sama Jihan? Api bisa padam karena air. Begitu juga dengan keburuk kan dalam diri lo yang bisa hilang karena kebaik kan dalam diri Jihan.”
Ini yang membuat persahabatan mereka terjalin erat. Meski sama-sama b***t, tapi ada saat di mana mereka serius dalam menghadapi sebuah permasalahan.
Juna bangun dari posisi duduknya, membuat Akbar sontak mendongak. “Mau ke mana lo?”
“Balik,” jawab Juna.
“Inget ya, Bro. Jangan sampai lo kehilangan berlian berharga itu,” pesan Akbar menatap serius Juna.
Juna tidak memberikan respon apa pun atas pesan dari Akbar. Namun kata-kata itu tetap terekam dalam otaknya. “Gue cabut,” balasnya lantas mengayunkan langkah keluar dari dalam klub.
Akbar tersenyum miring menatap kepergian Juna, lalu ia menyisir rambutnya ke belakang. “Anjir, keren banget gue bisa sebijak itu.”
Di parkiran, Juna masuk ke dalam mobilnya. Segera menjalankan kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan klub. Dari belakang, sebuah mobil lain mengikuti kepergian Juna tanpa laki-laki itu sadari.
“Oh iya, Jihan udah pulang atau masih di rumah BoNyok nya?” pikir Juna, lalu ia mengeluarkan ponsel nya untuk menanyakan keberadaan Jihan pada Bi Wanti. Namun sebelum itu, Juna melihat ada beberapa panggilan dari Erwin dan Santi.
Juna mendengus pelan. “Mending gue langsung balik ke rumah deh, dari pada nanti di ceramahin ini itu yang bikin kepala gue makin pusing. Bodo amat Jihan masih di sana juga. Dia kan menantu kesayangan BoNyok, gak bakal terjadi apa-apa sama dia,” pikirnya segera menambah kecepatan menuju rumahnya. Sementara itu, di belakang Shila dan mobilnya masih mengekori ke mana perginya Juna.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, Juna menghentikan mobilnya di depan rumah. Sambil memutar-mutar kunci mobil menggunakan jari telunjuk nya, Juna masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, baru beberapa langkah ia masuk, Juna di kejutkan dengan kedatangan seseorang yang langsung menariknya agar duduk di atas sofa.
“Anjir!” Juna menatap tajam pada Shila yang sudah duduk di atas pangkuannya. “Minggir lo, Jalang!”
“Shuuttt…. Aku tahu, istri lugu kamu gak akan bisa memuaskan kamu seperti yang aku lakukan,” bisik Shila dengan sensual.
Juna hendak melayangkan protesan saat Shila membelai rahang nya, akan tetapi perempuan itu jauh lebih cepat membungkam mulut Juna dengan bibirnya. Memberikan sentuhan-sentuhan yang membuat Juna, sebagai laki-laki normal akan mudah terangsang. Shila tersenyum kemenangan saat tubuh Juna menerima setiap sentuhan nya.
“Touch me, Baby.” Shila berbisik lalu menjilat telinga Juna.
Flashback Off
Juna mendudukkan tubuhnya di meja makan. Sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur ceplok yang telah Jihan siapkan.
“Di makan, Mas.”
Juna benci melihat senyuman Jihan yang membuatnya semakin merasa bersalah.
Jihan hendak mengayunkan langkah pergi, refleks Juna menahan tangan gadis itu. Membuat Jihan menoleh menatap suaminya. “Kenapa, Mas? Gak suka ya, sama makanannya?”
“Lo gak makan?” Juna bertanya, mengalihkan pembicaraan.
Jihan mengulas senyum sembari melepaskan tangan Juna yang menahannya. “Udah. Tadi di rumah Mama,” jawabnya. “Jihan ke kamar duluan ya, Mas. Masih ada keperluan yang belum Jihan siapkan untuk besok.”
Lantas, Jihan mengayunkan langkahnya. Tepat di langkah ke lima, suara Juna terdengar dan mampu menghentikan pergerakan kaki Jihan.
“Mau lo tuh apa sih? Berhenti bersikap seolah semuanya baik-baik aja!”
Jihan memutar tubuhnya menatap Juna yang sudah berdiri dengan wajah kesal. Lagi, Jihan menampilkan senyumnya. “Maaf, maksud Mas Juna apa ya?”
“Berhenti bersikap bodoh, Jihan! Lo udah buat gue seolah menjadi suami paling berengsek!”
Jihan melangkah lebih dekat pada Juna. “Memang dari sebelumnya Mas Juna udah berengsek kan?”
Rahang Juna terlihat mengeras. Ucapan Jihan mampu membuatnya bungkam dalam sesaat. “Iya! Dan lo udah bikin gue makin kelihatan berengsek!”
Sambil mengulas senyum, Jihan mengangguk beberapa kali. “Okay, maaf. Maaf Jihan udah bikin Mas Juna semakin kelihatan berengsek. Jihan yang salah. Salah karena datang di waktu yang gak tepat, sehingga membuat kegiatan kalian terganggu. Salah, karena udah merasa sok paling berkuasa atas Mas Juna, padahal keberadaan Jihan pun gak pernah di anggap. Jihan minta maaf, Mas.”
Juna menggeram kesal. Apa lagi ini?
“Lo nyindir gue, ha?”
Jihan menaikkan sebelah alisnya. “Nyindir? Siapa yang nyindir Mas Juna?”
“Lo, Jihan! Gue tahu gue emang salah, tapi lo juga gak bisa menyimpulkan seenak hati. Apa yang lo lihat gak sesuai sama kenyataannya. Lo gak tahu apa-apa, Jihan.”
Gak sesuai dengan kenyataan? Bolehkah Jihan tertawa? Lucu sekali suaminya ini.
Jihan tertunduk sejenak. “Sebenarnya pernikahan di mata Mas Juna itu seperti apa?” tanya nya, menatap dalam kedua mata Juna. “Permainan? Iya?”
“Berhenti ngomong kalo lo cuma mau ceramahin gue.” Juna berucap dingin, menatap Jihan datar.
Jihan mengulas senyum sambil mengangguk. “Enggak. Gak ada yang mau ceramahin Mas Juna. Jihan cuma pengen tahu, seperti apa pernikahan di mata Mas Juna? Karena jujur, bayangan kehidupan rumah tangga yang selama ini ada dalam bayangan Jihan, sangat melenceng jauh dari apa yang kita jalani saat ini.”
Air mata yang sudah Jihan tahan sejak tadi, sekarang sudah tidak bisa ia bendung lagi. Juna terpaku melihat Jihan menangis karena perbuatannya. “Ini bukan pernikahan impian Jihan, Mas. Bukan….” cicit nya sambil menggelengkan kepala yang tertunduk.