Awalan
Bising suara dentuman musik DJ mendominasi sebuah klub malam yang cukup terkenal di daerah itu. Tidak sedikit orang yang menari begitu lihay di bawah pengaruh minuman beralkohol mengiringi musik DJ.
Entah sudah berapa gelas Juna meneguk habis minuman terlarang itu. Rasa pening mulai terasa, membuat laki-laki itu sesekali memejamkan mata dengan tangan memijat pelipis.
Seorang perempuan berpakaian minim, melangkah menghampiri Juna sambil tersenyum menggoda. Di dudukannya p****t sintal di atas paha Juna. Tangannya terangkat merangkul bahu laki-laki itu.
“Hello, Baby. Kamu terlihat sangat tampan dan seksi, Sayang.”
Perempuan yang bekerja di klub sebagai perempuan penggoda laki-laki yang memerlukan pemuas nafsu itu, mulai membelai lembut pipi Juna sambil tersenyum sensual menggoda.
Juna yang sudah dalam pengaruh minuman alkohol, semakin tergoda dengan perempuan yang duduk di atas pahanya itu. Tanpa membuang waktu, Juna menarik tengkuk perempuan itu dan langsung melumat ganas bibir ranum nya. Mendapatkan balasan yang tidak kalah bruntal, semakin membuat Juna hilang akal. Tangan nya sudah menjelajah kemana-mana, menyentuh setiap lekuk tubuh perempuan di atasnya.
Juna melepas ciumannya, memberi waktu untuk mereka mengambil napas. Kemudian dua bola mata Juna terpejam kala merasakan cumbuan perempuan itu pada lehernya. Ditenggaknya kepala, agar perempuan itu bisa lebih leluasa menjelajahi lehernya.
“Kita ke kamar?” bisik perempuan bernama Shila itu di telinga Juna. Lalu kecupnya daun telinga Juna yang semakin membuat laki-laki itu terangsang.
Juna menarik tengkuk Shila dan kembali mencumbu bibir ranumnya. Tanpa membuang waktu, Juna membawa Shila ke dalam gendongan tanpa melepas ciuman mereka dan melangkah ke arah lorong menuju kamar yang sudah di siapkan untuk mereka yang membutuhkan pelepasan.
Selanjutnya, terjadi sesuatu yang lebih intim lagi, menemani malam yang semakin larut.
♡♡♡
Perlahan kedua bola mata Juna mengerjap. Diliriknya Shila yang masih terlelap sambil memeluk tubuhnya tanpa sehelai benang yang tertutup oleh selimut.
Di kecupnya kening Shila cukup lama. Lalu memandang perempuan itu yang masih di alam bawah sadar.
“Terima kasih untuk permainan yang begitu hebat semalam,” ucapnya pelan.
Juna meraih ponselnya dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam pagi kurang sepuluh menit. Kemudian Juna menyingkirkan tangan Shila yang melingkari pinggangnya dan menjauhkan tubuh Shila. Diraihnya pakaian yang berserakan di atas lantai lalu mulai memakainya.
Sebelum pergi, Juna menyimpan cek yang sudah tertera jumlah nominal sebagai bayaran atas permainan Shila semalam. Segera ia melangkah keluar dari kamar yang telah menjadi saksi penyatuan terlarang antara Juna dan Shila.
Juna tidak pernah memakai perempuan yang sama di setiap permainan panasnya. Dan ia selalu bermain aman guna mencegah terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Juna mengendarai mobil dengan kecepatan rata-rata. Terdengar suara panggilan yang masuk, tanpa menghentikan laju mobil Juna mengangkat panggilan tersebut yang ternyata dari sekretarisnya di kantor.
“Selamat pagi, Pak.”
“Ada apa?”
“Sebelumnya saya minta maaf karena telah menganggu di waktu pagi Bapak. Tapi saya hanya mengingatkan Bapak kalau ada agenda penting di jam tujuh pagi dengan Pak Reinaldi dari perusahaan Dirgantara Grup.”
Juna membelokkan mobil ke arah menuju rumah nya. “Baik.”
Tanpa mendengar jawaban lagi dari sekretarisnya, lebih dulu Juna memutus sambungan telepon dan kembali fokus mengemudi. Ia sampai lupa kalau pagi ini ada meeting penting dengan rekan kerjanya.
Tidak ingin terlambat datang ke kantor, Juna semakin menambah kecepatan mobil. Butuh waktu lima belas menit untuk Juna bisa sampai di rumah yang menjadi tempat tinggal nya selama dua puluh enam tahun ini.
Kedatangan Juna langsung di sambut tatapan tajam dari Erwin – Papa Juna. Pria dari dua anak itu berdiri sambil bersidekap menatap putra pertamanya.
“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang ke rumah,” sinis Erwin bertanya.
Juna menghela napas berat sebelum menjawab. “Ada urusan.” Juna menjawab malas.
“Urusan ranjang, hm? Urusan dengan para perempuan penggoda di luar sana, iya?” Dagu Erwin terangkat dengan kilap api kemarahan.
Juna memutar bola mata jengah. “Juna mau mandi dan siap-siap ke kantor,” balasnya hendak kembali melangkah.
“Papa belum selesai bicara!” sentak Erwin, membuat langkah Juna terhenti.
“Apa yang mau Papa tanyakan lagi? Juna yakin, semua pertanyaan Papa juga sudah tahu jawabannya kan? Jadi untuk apa lagi Juna menjawab.”
Plak!
Satu tamparan mendarat mulus di pipi sebelah kanan Juna. Pemuda itu memejamkan mata merasakan panas bekas tamparan papanya.
“Kurang ajar kamu! Seolah-olah apa yang kamu lakukan selama ini adalah hal yang sepele. Sadar Juna! Kelakuan kamu yang minus seperti itu, bisa menjerumuskan diri kamu sendiri!” bentak Erwin dengan emosi menggebu.
Dari arah dapur, Santi – Mama Juna berlari menghampiri suami dan anaknya. Bersamaan dengan itu, kedua adik kembar Juna - Keandra dan Kiandraikut datang menghampiri.
“Ada apa ini? Kenapa pagi-pagi sudah ribut?” Santi menatap Juna dan Erwin secara bergantian.
“Tanyakan saja sama anak kesayangan kamu itu, Ma.” Itu menjadi senjata pamungkas Erwin sebelum melangkah pergi, dari pada emosinya semakin menggebu menghadapi putranya.
Santi menghela napas berat, lalu menggelengakan kepala menatap Juna.
“Mau sampai kapan kamu ribut terus sama Papa, Nak? Kasihan, Papa kamu itu sudah tua. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kesehatannya bagaimana?” Santi menatap sendu Juna.
“Maaf, Ma. Juna nggak bermaksud.”
Santi mengusap pundak Juna. “Ya sudah, sekarang bersih-bersih lalu kita sarapan bersama.”
Juna menganggukan kepala, lantas melanjutkan langkah menuju kamar nya di lantai dua.
Tidak butuh waktu lama untuk Juna bersiap pergi ke kantor. Setelan jas yang sudah lengkap dengan dasi biru, membuatnya terlihat berwibawa dan berkarisma.
Santi tersenyum begitu mendapati kehadiran putranya. “Ayo, Sayang, duduk dan sarapan.”
“Juna langsung berangkat ke kantor aja, Ma. Ada meeting pagi ini.”
Santi menghela napas menatap Juna. “Sebentar aja. Jangan biarkan perut kamu kosong, Nak.”
Juna tersenyum tipis. “Gak apa-apa, Ma. Kalau begitu Juna berangkat.”
“Tunggu.”
Suara Erwin terdengar. Juna yang hendak pergi pun, ia tahan untuk mendengarkan apa yang akan Erwin katakan.
Erwin menatap putranya dengan wajah datar, pun dengan Juna yang membalas nya lebih dingin. Membuat suasana menjadi mencekam.
“Duduk,” perintah Erwin.
“Juna udah bilang kan tadi, ada meeting di kantor dan harus segera berangkat.” Juna menjawab tanpa ekspresi.
Kemudian, laki-laki itu memutar tubuh dan mulai mengayunkan langkah. Namun, lagi-lagi suara Erwin berhasil membuat Juna menghentikan langkah.
“Kamu akan segera menikah.”
Sontak saja Juna memutar tubuh dan menatap Erwin dengan kening sedikit berkerut, namun mulutnya masih bungkam menunggu perkataan selanjutnya.
“Papa sudah mempunyai calon istri untuk kamu. Dan kurang dalam satu minggu kalian akan menikah.”
Juna tersenyum miring, lalu menggelengkan kepala.
“Juna nggak mau.”
Erwin mengangguk. “Kalau begitu kamu siap-siap saja untuk kehilangan posisi jabatan sebagai wakil presdir. Dan akan menjadi karyawan biasa di perusahaan sendiri,” ucapnya dengan santai lalu menyuap nasi ke dalam mulut.
“Pa! Gak bisa gitu dong! Selama ini Juna selalu bekerja dengan baik dan terbukti perusahaan semakin maju!”
Juna merasa kalau ini tidak adil. Bagaimana bisa, Erwin menurunkan jabatan nya tanpa ada kesalahan yang ia perbuat.
Erwin mengangkat bahu acuh. Tidak peduli dengan penolakan putra nya. Membuat Juna semakin geram.
“Sayang, ini semua untuk kebaikan kamu, Nak. Mungkin dengan hadirnya seorang istri dalam hidup kamu, bisa mengubah diri kamu menjadi jauh lebih baik.” Santi membuka suara.
Juna mendengus pelan. “Tapi, Ma. Ini nggak adil buat Juna.”
“Terserah. Keputusan ada di tangan kamu. Menikah atau kehilangan jabatan? Jawabannya ada pada kamu sendiri.” Erwin berucap.
Emosi Juna meledak-ledak dalam hati. Ini sama sekali tidak adil. Dua pilihan yang sama sekali tidak menarik di mata Juna. Tapi, untuk kehilangan jabatan sebagai wakil presdir juga bukan pilihan yang tepat. Juna begitu mencintai posisi nya itu.
“Siapa perempuan itu?”
*****
“Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Shopia binti Oji Renaldi dengan mas kawin tersebut di bayar tunai.”
Dalam satu tarikan napas, Juna dapat menjawabnya dengan lantang dan mantap.
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah.”
Jihan Shopia tidak pernah berpikir akan menikah di usia yang relatif muda, yaitu 20 tahun. Terlebih lagi, Jihan masih berstatus sebagai mahasiswi. Dan menikah dengan laki-laki ini tidak pernah ada dalam daftar masa depannya.
Di tatapnya wajah melalui pantulan cermin. Statusnya kini sudah berubah, bukan lagi seorang perempuan lajang, tapi sudah menjadi seorang istri.
Satu tetes cairan bening lolos dari pelupuk mata. Hatinya turut bergetar. Setelah ini, bagaimana kehidupannya sebagai seorang istri? Apakah dia sudah siap lahir dan batin?
Pintu ruangan terbuka, Yuna datang menjemput Jihan. Gadis itu menangis di pelukan sang Ibu, membuat Yuna ikut menangis.
“Bunda, Jihan udah menjadi seorang istri sekarang.”
“Iya, Sayang. Selamat ya, Bunda turut bahagia atas pernikahan kamu.” Kemudian Yuna mengusap air mata Jihan. “Sekarang ayo temui suami kamu.”
Jihan mengangguk. Yuna menuntun Jihan menuju tempat ijab qobul. Jihan tersipu malu saat merasa semua mata tertuju padanya. Aura kecantikan gadis berdarah Thailand itu seolah keluar semua.
Jantung Jihan berdegup kencang saat disandingngkan dengan laki-laki yang baru saja meminangnya. Jihan tak kuasa mengangkat kepala, apalagi saat merasakan tatapan dari laki-laki disebelahnya.
Dengan arahan Master of Ceremony, Jihan meraih tangan suaminya. Hatinya terenyuh tatkala ia mencium tangan laki-laki yang baru saja mengucap ijab qobul dengan lantang dalam satu tarikan napas di hadapan keluarga, penghulu, kedua saksi, dan para tamu undangan yang hadir.
Selanjutnya, Jihan merasakan kecupan di dahi sebagai balasan dari laki-laki itu.
Jihan memberanikan diri menatap sang suami dengan tatapan dalam dan menelisik. Jihan baru menyadari bahwa lelaki itu memang tampan seperti yang dikatakan banyak orang. Lelaki itu berperawakan tinggi tegap dengan wajah dingin dan garis rahang yang tegas.
Arjuna Aldrige, sosok lelaki yang begitu didamba-dambakan oleh kebanyakan wanita. Wakil presdir di perusahaan besar bahkan diusianya yang baru menginjak dua puluh enam tahun.
Pernikahan terjadi tanpa adanya cinta. Tidak ada pilihan untuk Juna menolak permintaan orang tuanya untuk menikahi Jihan. Ancaman kehilangan posisi sebagai wakil presdir cukup membuat Juna bungkam.
Juna tahu, orang tuanya tidak akan mungkin sembarang memilihkan calon istri untuknya. Dan Jihan, gadis muda yang selama ini tinggal di panti asuhan bersama Yuna, cukup membuatnya yakin menerima perjodohan tersebut.