Pengkhianatan Pertama?

1645 Kata
Helaan napas panjang Jihan hembuskan. Sesekali ia melirik jam yang menggantung di dinding. Hari sudah gelap dan Juna belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah ke mana laki-laki itu pergi, sungguh Jihan sangat khawatir padanya. "Mas, kamu ke mana sih? Kenapa belum pulang juga?" Jihan bergumam lirih. Pandangannya terus menatap keluar jendela berharap mobil Juna segera masuk ke pekarangan rumah. Dari arah belakang, Santi menatap tak tega melihat menantunya cemas seperti ini. Langkahnya terayun menghampiri Jihan yang sedang berdiri di dekat jendela. "Jihan," panggil Santi. Jihan menoleh. Tersenyum tipis kala mendapati ibu mertuanya. Santi melirik sekilas ke luar jendela, lalu ia mengusap bahu Jihan. "Sudah, jangan khawatirkan suami kamu. Sebentar lagi pasti Juna akan pulang. Lebih baik sekarang kamu ikut Mama. Kita nonton acara televisi," ajaknya sembari menarik pelan legan Jihan. Jihan mengangguk. Melangkah bersama dengan Santi ke ruang televisi. "Juna belum kembali juga?" Erwin bersuara sembari menutup pintu kamar yang memang jaraknya dekat dengan ruang televisi. "Belum, Pa. Padahal perginya dari siang, tapi sampai sekarang belum juga kembali ke rumah." Santi menjawab seraya mendudukkan tubuhnya di atas sofa. "Ya ampun, anak itu benar-benar keterlaluan. Dia lupa apa, kalau sekarang dia sudah mempunyai istri?" gerutu Erwin seraya mengeluarkan ponsel dari dalam satu celananya. "Biar Papa telepon anak itu dulu," ucapnya seraya menekan nomor ponsel Juna. Tut.... Tut.... Tut.... Erwin mendengus kesal. "Nomornya gak aktif. Pasti disengaja ini," pikirnya seraya menyimpan benda pipih canggih itu ke atas meja. Jihan menghembuskan napas pelan. Ia menundukkan kepala. Jadi merasa bersalah pada diri sendiri. Karena Santi membela Jihan tadi siang, mengenai Juna yang tidak bisa menghargai Jihan sebagai istrinya, karena masih menggunakan sebutan 'lo-gue' yang tidak pantas diberikan untuk istri sendiri. "Pa, Ma, apa mungkin Mas Juna sebenarnya langsung pulang ke rumah kami?" pikir Jihan. "Bisa jadi," ucap Santi sambil mengangguk. "Sebentar, biar Mama hubungi pakai telepon rumah." Jihan harap, ada kabar baik yang akan disampaikan oleh Bi Inem mengenai Juna. "Halo, Bi. Ini saya Santi, Mamanya Juna." "...." "Iya, Bi. Saya mau tanya, apa Juna sudah ada di rumah saat ini?" "...." "Ah, begitu ya, Bi. Ya sudah terima kasih." Dari jawaban Santi, sudah dapat Jihan tebak kalau suaminya tidak ada di rumah mereka. Lalu, Juna berada di mana saat ini? "Gak ada ya, Ma?" Erwin bertanya memastikan dan Santi langsung menganggukinya. "Jihan sayang, atas nama Juna, Mama minta maaf ya. Juna memang keterlaluan, nanti setelah dia pulang Mama akan kasih dia pelajaran," ujar Santi yang kesal sendiri pada putra pertamanya itu. "Malam ini, lebih baik kamu gak usah pulang ke rumah kalian. Kamu bisa tidur di kamar Juna ya, Sayang?" bujuk Santi yang diangguki oleh Erwin. Jihan mengulas senyum. Ia benar-benar bersyukur memiliki mertua seperti Erwin dan Santi. Mereka begitu menyayangi dan peduli pada Jihan. Ya, meskipun anak mereka memang suka tidak tahu di untung. Sudah memiliki istri sebaik dan sesempurna Jihan, kelakuannya masih kayak iblis. "Pa, Ma, terima kasih banyak. Tapi sebaiknya Jihan menunggu Mas Juna di rumah kami saja. Jihan juga belum menyiapkan keperluan buat besok kuliah," ujarnya disertai senyuman. Santi menghela napas panjang sembari mengusap-usap lengan Jihan. "Padahal Mama maunya kamu menginap saja di sini. Tapi kalau memang kamu ingin pulang ke rumah kalian, Mama izinkan. Sekali lagi, atas nama Juna Mama minta maaf ya, Sayang." "Enggak, Ma. Bukan salah Mama kok. Jihan hanya perlu beradaptasi dengan sikap dan kebiasaan Mas Juna. Karena pada dasarnya, ulat butuh waktu agar bisa seindah kupu-kupu," balas Jihan. Santi mengecup kening Jihan, lalu ia berucap, "memang gak salah Papa sama Mama memilih kamu untuk menjadi istrinya Juna." "Benar, Ma. Juna sangat beruntung memiliki istri seperti Jihan," timpal Erwin, menyetujui ucapan istrinya. Membuat Jihan tersenyum malu sekaligus tak enak hati terlalu dibanggakan oleh mereka. Karena Jihan tahu, dirinya tidak akan bisa sesempurna apa yang Erwin dan Santi katakan. Jihan juga manusia biasa yang tentunya juga memiliki sisi yang kurang baik. "Iya, tapi jadinya malah Jihan yang sial punya suami kayak Bang Juna." Keandra menyahut dari arah dapur sembari menikmati buah apel. "Kamu mau ke mana, Kean?" Santi bertanya, saat melihat penampilan Keandra, Yang mana laki-laki itu mengenakan kaos putih berlengan pendek, celana jeans panjang namun terdapat robekan-robekan di beberapa bagian. Juga jaket yang tersampir di bahu sebelah kanannya. Dia sudah seperti anak urakan. Ah, lebih tepatnya dia memang anak urakan. "Biasalah anak muda, nongki-nongki di jalan. Sekalian cuci mata lihat cabe-cabean bermuka siang leher malam," jawab Kean disertai cengiran lebar. Santi menghela napas sambil menggelengkan kepala pelan. "Punya anak gak ada yang bener," gumamnya yang masih dapat di dengar oleh ketiga orang di sana. "Kan bibitnya Papa. Salahin aja Papa. Mudanya bandel sih, kan jadi nurun ke anak-anaknya," balas Keandra dengan entengnya. Membuat Erwin melotot tajam. Walaupun memang benar, masa mudanya dulu tak beda jauh dengan anak-anaknya yang sekarang. Tapi ya, setidaknya ada satu yang mengikuti jejak Santi. Tidak anak laki-laki tidak anak perempuan, semuanya sesat. "Udah ah, Kean mau berangkat sekarang." Keandra pun mulai mengayunkan langkahnya pergi. Bersamaan dengan itu, Jihan ikut pamit pulang pada Erwin dan Santi. "Kalo gitu, Jihan juga pamit pulang ya, Pa, Ma." "Oh, kalo gitu sekalian sama Kean aja," jawab Erwin. Keandra yang mendengarnya pun menghentikan langkah, lalu memutar tubuh menatap Jihan. "Mau sekalian aja? Ayo deh! Biar aman dikawal sama titisan Superman." "Gak apa-apa?" tanya Jihan memastikan. "Ya gak apa-apalah. Santai aja kali. Sekarang kan kita iparan, gak usah sungkan." "Sudah sana berangkat. Nanti keburu malam," ucap Santi saat Jihan menatapnya. "Padahal sekarang juga udah malam," cibir Keandra pelan. Khawatir sang ibu negara mendengar ucapannya tadi, bisa langsung dipotong uang jajannya yang tidak seberapa itu. Jihan segera menyalami Erwin dan Santi satu persatu. "Jihan pamit pulang ya, Pa, Ma. Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan ya," pesan Santi. Kemudian matanya menyorot tajam menatap Keandra. "Jangan ngebut-ngebut bawa motornya. Awas sampai terjadi sesuatu sama menantu Mama. Habis masa depan kamu Mama potong," ancamnya membuat Keandra bergidik ngeri, menutupi sesuatu yang berada di antara selangkangannya. "Emak-emak tukang ngancem emang, Untung gue sayang," gumam Keandra membuat Jihan terkekeh pelan karena gadis itu kini sudah berada di dekat Keandra, "Ayo," ajak Jihan. Keandra mengangguk. Lantas keduanya melangkah bersama keluar dari dalam rumah besar bernuansa putih itu. *** Selama di perjalanan, Keandra benar-benar menjalankan perintah dari Santi. Laki-laki berusia dua puluh tahun itu menjalankan motornya dengan kecepatan rata-rata. "Jihan," panggil Keandra. "Iya, kenapa?" "Lo kenapa sih, mau nikah sama Bang Juna yang modelan jirilinggo gitu? Kenapa gak sama gue aja? Hehe...." Jihan ikut tertawa mendengarnya. "Terus apa bedanya sama kamu? Kalian kan sama," balasnya membuat Keandra semakin mengencangkan suara tawanya. "Beda dong. Kalo gue jadi suami elo, predikat playboy yang melekat dalam jiwa dan raga gue, bakal langsung gue delete sampai gak tersisa satu persen pun. Gak cuma itu, gue juga bakal adain acara syukuran tujuh hari tujuh malam!" Jihan tertawa sambil menggelengkan kepala. Sifat humoris Keandra jauh berbeda dengan Juna yang kaku juga gengsian. Mungkin jika mereka di satukan dalam sebuah ruangan, bisa langsung adu mekanik. "Lo terlalu sempurna buat bersanding sama Bang Juna. Tapi gue harap, ketulusan lo dalam menghadapi sikap Bang Juna bisa menghadirkan buah hati yang ucul-ucul," ucap Keandra saat sudah tidak ada tawa di antara mereka. Ucapan Keandra sukses membuat kedua bola mata Jihan hampir keluar dari tempatnya. Keandra yang melihat ekspresi terkejut Jihan dari pantulan kaca spion pun, seketika menyemburkan tawanya. Membuat Jihan malu dan refleks melayangkan pukulan pada bahu Kean. "Sorry-sorry, maksud gue itu ketulusan lo sama Bang Juna bisa membuahkan hasil yang baik buat Bang Juna ke depannya," ucap Kean meralat ucapannya tadi. Meski yang pertama itu memang sengaja ia pelesetkan agar tidak terlalu serius. Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, Keandra menghentikan laju motornya tepat di depan pagar hitam yang menjulang. Jihan segera turun dari atas motor seraya melepas helm di kepalanya. "Makasih ya, udah anterin aku." Jihan berucap sambil memberikan helm tersebut pada Kean. "Hmm, kalo gitu gue langsung cabut ya." Jihan tersenyum mengangguk. Sementara Keandra langsung melajukan kendaraan beroda dua itu ke jalanan. Jihan menghela napas sebelum akhirnya berjalan melewati gerbang. Saat pandangannya terangkat, kening Jihan mengerut kala mendapati dua mobil berbeda warna terparkir di halaman rumah. "Mas Juna udah pulang?" pikir Jihan, menatap mobil milik suaminya yang masih panas. Sepertinya Juna memang baru sampai di rumah. Pandangannya kemudian beralih menatap mobil merah tepat di belakang mobil Juna. "Terus yang merah ini punya siapa?" Entah dorongan dari mana, kaki Jihan terayun begitu cepat masuk ke dalam rumah. Kalian tahu, apa yang menjadi objek pandang pertama Jihan begitu membuka pintu? Perempuan yang sama saat Jihan lihat siang tadi di jalan. Dia adalah Shila. Dan tahu apa yang sedang terjadi antara Juna dan Shila? Sebuah ciuman panas yang membuat air mata Jihan menetes tanpa permisi. Jihan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kepalanya menggeleng pelan seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Juna semakin menekan tengkuk Shila, membuat ciuman mereka semakin dalam. Pandangan Jihan turun, menatap tangan nakal Shila yang dengan lancangnya menyentuh inti kelamin Juna. Cukup sudah! Jihan tidak tahan melihat pemandangan yang tidak seharusnya terjadi ini. Juna adalah milik Jihan. Bukan Shila. Jadi yang berhak menyentuh Juna, hanyalah Jihan. Istri sahnya! "HE IS MINE! DON'T TOUCH HIM!!!" Dalam satu tarikan kuat dari Jihan, tubuh Shila yang semula berada di pangkuan Juna seketika jatuh tersungkur di atas lantai. "AAAHH! SAKIT!" jerit Shila. Kedatangan sekaligus aksi Jihan tentu membuat Juna terkejut. Tapi, sebisa mungkin laki-laki itu mengontrol ekspresinya agar terlihat biasa saja. Dengan derai air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Jihan menatap Juna yang bahkan raut wajahnya saja dia tidak menunjukkan rasa bersalah. "Tega kamu, Mas!" Segera Jihan berlari menaiki undakan tangga sambil menahan sakit yang luar biasa dalam hatinya. Tidak usah tanyakan, sudah ada cinta atau belum dalam hati Jihan untuk Juna. Tapi ini mengenai harga diri sebagai seorang istri. Jihan sangat kecewa terhadap laki-laki yang ia harapkan bisa menjadi imam yang baik untuknya. Salahnya Jihan, ia terlalu berharap sama Juna. Padahal sudah jelas, racun yang paling berbahaya itu adalah berharap pada manusia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN