Kecanggungan semakin Juna rasakan bersama Jihan saat ini. Di mana mereka sedang duduk berdampingan di kursi yang berada dibawah pohon samping rumah panti. Sekitar lima belas menit waktu yang telah mereka lewati dengan keheningan yang menyelimuti.
Helaan napas panjang Juna hembuskan. Sambil mengusap tengkuknya, Juna curi-curi pandang ke arah Jihan yang sedang memainkan handphone nya. Jika boleh jujur, Juna sangat tidak nyaman berada di situasi saat ini. Terkesan aneh karena biasanya mulut gadis disampingnya ini tidak berhenti berbicara. Dan sekarang, gadis itu mampu membungkam mulutnya dari beberapa jam yang lalu.
"Sumpah ini cewek bikin gue kesel. Kenapa diem aja coba? Ngomong kek. Biasanya juga gak berhenti ngoceh itu mulut," batin Juna.
Jika saja penyakit gengsi akut nya itu bisa terobati, mungkin Juna sudah mengeluarkan suara untuk bertanya 'ada apa?' pada istri kecilnya ini.
"Ekhmm...."
Mendengar suara dehaman dari Juna, Jihan hanya menghentikan gerak jarinya yang tengah menggulir layar handphone. Seolah gadis itu sedang menunggu apa yang akan akan Juna katakan, atau mungkin hanya sekedar dehaman biasa.
"Gue kebelet. Pengin pipis," ucap Juna. Detik berikutnya, Juna mengumpati diri sendiri yang terlihat bodoh karena mengatakan itu tadi pada Jihan. Tolonglah, Juna bukan anak kecil lagi yang selalu membutuhkan bantuan pada orang dewasa untuk melakukan hal kecil.
"Argh, f**k! Jihan pasti ngeledekin gue dalam hatinya," batin Juna menggerutu kesal.
Bola mata Jihan bergerak melirik wajah kaku Juna. Wajahnya terlihat datar. Sangat berbeda dari yang biasanya. Memang tidak salah Juna mengartikan kalau Jihan ini gadis yang penuh kejutan.
Juna mendorong pipi Jihan. "Biasa aja kali lihatin nya. Nanti naksir lagi."
Jihan menghembuskan napas panjang. "Masuk aja."
"Ha?" Juna melongo mendengar ucapan Jihan.
"Kamar mandinya ada di dalam, Mas. Masuk aja. Nanti bisa tanya Bunda atau pengurus panti yang lain di dalam," balas Jihan menjawab, tanpa menatap Juna.
Juna berdecak kesal. Bukan ini jawaban yang Juna harapkan dari Jihan. Setidaknya, Jihan menunjukkan nya langsung dimana letak kamar mandi.
Sambil menahan kekesalan, Juna beranjak dari tempatnya. Tanpa Juna ketahui, Jihan menatap punggung lebar itu yang masuk ke dalam rumah. Setelah Juna sudah benar-benar tak terlihat, ekspresi wajah Jihan langsung berubah seratus delapan puluh derajat dari yang tadi.
Jihan mengerucutkan bibirnya sambil menghentakkan kaki beberapa kali. "Nyebelin banget sih. Gak ada banget kesadarannya sedikit pun."
Jihan memijat pelipisnya. Bayangan saat beberapa jam yang lalu terekam jelas di memori ingatnya. Di mana Jihan melihat dengan mata kepalanya langsung saat seorang perempuan mengecup pipi Juna.
"Apa mungkin, perempuan tadi itu adalah perempuan yang ditemui Mas Juna semalam?" Jihan menduga-duga pada kemungkinan yang terjadi.
"Mas Juna gak bilang dia mau kemana bahkan memberi tahu siapa yang menghubunginya aja enggak," gumam Jihan. "Eh! Mas Juna sempat bilang kalo dia nerima telpon dari selingkuhannya. Tapi kan...."
Jihan terlihat frustasi. "Ya Allah, gimana kalo Mas Juna sama perempuan tadi itu emang ada hubungan spesial?"
Meski sejak awal Jihan sudah mengatakan kalau ia tidak akan tumbang bahkan menyerah dengan membiarkan Juna bermain seenaknya bersama perempuan lain di belakang Jihan, tapi yang namanya perempuan mentalnya mudah goyah dan terkadang rasa percaya diri yang semula begitu kuat bisa tiba-tiba hilang.
Jihan mengigit bibir bawahnya. Membayangkan rupa perempuan tadi sangat jauh berbeda dengannya. Perempuan itu memiliki body yang membuat laki-laki manapun akan terpesona padanya. Sedangkan Jihan? Argh, Jihan sendiri tidak percaya diri jika body nya harus dibandingkan dengan perempuan itu.
"Aku mah apa atuh. Udah kayak papan triplek. Depan belakang rata," cicit Jihan mengenaskan diri sendiri.
Melihat kedatangan Juna, segera Jihan kembali memasang ekspresi datar.
Juna mendudukan tubuhnya. Menatap dalam wajah Jihan yang membuat si empunya salah tingkah namun tetap berusaha bertahan seolah tidak peduli.
"Tadi Mama WA gue. Kita di minta ke rumah buat makan siang bareng di sana," ucap Juna tanpa mengalihkan tatapannya dari Jihan.
Jihan mengangguk. Memasukkan handphone nya ke dalam tas, lalu bangun dari posisi duduknya. Lantas ia berjalan lebih dulu meninggalkan Juna yang masih duduk di tempat.
"Ini nih yang bikin gue males terikat status. Bukan cuma ribet, tapi cewek juga susah dimengerti."
•••••
"KEAN-JING!!!"
Teriakan melengking Kiandra mengejutkan Santi yang sedang menonton acara televisi.
"Astagfirullah, anak-anak itu." Santi menggelengkan kepala pasrah dengan keributan yang terjadi diantara kedua anak kembarnya itu.
"BALIKIN HAPE GUE!!!"
Kiandra yang baru pulang dari apartemen Akbar langsung menjadi korban ketengilan saudara kembarnya.
"AYO AMBIL KALO BISA!" Keandra melempar tampang meledeknya, yang membuat Kiandra semakin geram.
"RESE BANGET SIH LO! GUE SUMPAHIN JOMBLO SEUMUR HIDUP LO, KEAN-JING!"
"Halah, sumpah dari anak durhaka kayak lo gak bakal diijabah!" balas Keandra.
"IH, MAMA!!" jerit Kiandra sambil menghentakkan kakinya kesal..
Keandra tergelak melihat kembarannya kalah telak darinya.
Santi mematikan televisi, lalu bangun dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri kedua anaknya.
"Kalian tuh kenapa sih? Gak bisa apa, sehari aja gak ribut gitu? Pusing Mama jadinya."
"Kean tuh yang mulai duluan," ucap Kiandra yang tentunya tidak bisa diterima begitu saja oleh Keandra.
"Si yang paling gak mau tersalahkan," balas Keandra.
"Emang bener kok. Lo yang mulai keributan ini duluan!"
"Kayak lo gak pernah aja!"
"Tap---,"
"Ass---,"
"STOPP!!!" Santi berteriak kencang sambil menutup kedua telinganya. Memotong ucapan Kiandra dan juga Jihan yang baru saja melangkah masuk bersama Juna.
Keandra yang melihat kedatangan Juna dan Jihan langsung tersenyum lebar menyambut. "Halo, Kakak Ipar!"
Sontak saja Santi dan Kiandra menoleh ke arah pintu. Dan ternyata benar, ada Juna dan Jihan yang sedang melangkah menghampiri.
"Assalamualaikum, Ma." Jihan menyalami Santi.
"Wa'alaikumussalam, Sayang. Kalian udah sampai ternyata. Maaf ya, sambutannya gak enak banget di denger," ucap Santi membuat Jihan tersenyum mengerti.
"Ada keributan apa sih, Ma? Kedengaran sampai luar lho," ucap Juna.
Santi berdecak kesal sambil menatap Keandra dan Kiandra secara bergantian. "Biasalah. Itu adik-adik kamu, gak bisa banget akur sehari aja."
Alih-alih merasa bersalah, justru si anak kembar itu malah cengar-cengir yang membuat Juna menggelengkan kepala.
Santi tersenyum menatap Jihan seraya merangkul menantunya itu. "Ayo, Sayang. Kita duduk."
Jihan tersenyum sopan sambil mengangguk. "Iya, Ma."
Santi membawa Jihan pergi duduk di ruang televisi. Bersamaan dengan itu, Juna memilih untuk pergi ke kamarnya di lantai atas. Sedangkan Keandra dan Kiandra sedang beradu tatapan sengit.
"Balikin hape gue!"
Tanpa aba-aba, Keandra melempar handphone tersebut ke arah Kiandra. Beruntung gadis itu dapat menangkapnya dengan cepat dan tepat.
"Sialan lo! Dasar Kean-jing! Si jomblo akut!" ledek Kiandra, memaki kembarannya.
"Bacot lo, gadis bukan perawan," balas Keandra sembari melangkah menghampiri Santi dan Jihan.
Kiandra membulatkan matanya dengan mulut menganga. "Heh, gue masih suci ya!"
•••••
Saat ini, Jihan sedang membantu Santi menyiapkan makan siang untuk keluarganya.
"Nah, udah siap semua."
"Kalo gitu Jihan panggil Mas Juna dulu ya, Ma." Jihan berucap.
"Iya, Sayang. Kamarnya di lantai dua. Tepat di samping tangga."
Jihan tersenyum mengangguk. "Iya, Ma."
Baru saja Jihan hendak melangkah, tapi Santi menahannya. "Tunggu sebentar, Han."
Jihan memutar tubuh. Menatap ibu mertuanya bingung. "Iya, Ma. Kenapa?"
Santi meraih tangan Jihan. Membuat gadis itu mengerut tak mengerti. "Salah satu harapan Mama setelah kamu dan Juna menikah adalah runtuhnya sifat dingin, kaku, dan gengsinya Juna. Mama tahu, kamu pasti sudah menyadari nya kan selama beberapa waktu terakhir ini?"
Jihan mengangguk. Tidak bisa dipungkiri jika memang ia telah menyadari sifat-sifat itu dari dalam diri Juna. Terlebih lagi gengsi yang dimiliki Juna.
"Merubah sifat dan kebiasaan seseorang memang gak mudah. Butuh usaha serta kesabaran yang besar. Dan Mama harap, kamu bisa bersabar dan terus berusaha mengubah sifat dan kebiasaan Juna yang bisa dibilang jauh dari kata baik itu."
Tanpa sepengetahuan Jihan dan Santi, ada Juna yang baru saja menghentikan langkahnya dan memilih bersembunyi di balik tembok untuk mendengar apa yang dibicarakan mereka.
Jihan mengerutkan kening. "Maksudnya kebiasaan apa, Ma?"
Santi mengulas senyum. Melepas genggamannya di tangan Jihan lalu beralih menepuk-nepuk pundak Jihan.
"Kamu akan tahu dengan sendirinya. Mungkin kamu akan kecewa bahkan sakit hati. Tapi Mama minta, apapun yang terjadi nanti kamu akan selalu ada di samping Juna."
Jihan semakin tak mengerti dengan ucapan Santi. Kebiasaan apa yang dimaksud wanita itu? Jihan pikir, yang kurang baik dari Juna hanya sifat-sifat nya saja.
Dari balik tembok, Juna tersenyum miring. Begitu besar harapan Santi yang diberikan pada Jihan. Bagaimana kalau gadis itu benar-benar tahu kebiasaan 'buruk' Juna? Di mulai dugem sampai bermain dengan banyak jalang-jalang one night stand.