Objek pandang pertama yang Jihan lihat begitu membuka mata adalah wajah tampan suaminya. Bahkan, saking dekatnya jarak wajah mereka, Jihan sampai menahan napas sesaat.
Jihan mengerjap beberapa kali sambil menatap langit-langit kamar. Teringat pada kejadian malam tadi, setelah Juna pergi meninggalkan lalu Jihan duduk di sofa sambil menunggu Juna pulang. Hingga akhirnya, kantuk yang sudah tak tertahan lagi membuat Jihan terlelap di sofa.
"Oh iya, kenapa aku bisa tidur di sini?" gumamnya, bertanya.
"Dipindahin setan."
Jihan tersentak kaget dan sontak menoleh ke arah Juna yang masih memejamkan matanya. "Mas...."
Juna membuka sebelah matanya. Menatap Jihan sesaat lalu kembali memejamkan mata.
Jihan mengulas senyum. "Mas Juna ya, yang udah pindahin Jihan dari sofa ke tempat tidur?"
"Menurut lo?" ketus Juna, tanpa membuka mata.
"Makasih ya, Mas. Ternyata Mas Juna perhatian juga ya sama Jihan," ucap gadis itu sambil mengulum senyum.
Mendengar ucapan Jihan, sontak Juna membuka kedua matanya. "Gue? Perhatian sama lo?"
Jihan mengangguk antusias.
Juna meraih bantal lalu menutup wajah Jihan menggunakan bantal tersebut. "Gak usah ge-er! Mana ada gue perhatian sama elo," elak Juna.
Jihan tertawa pelan seraya menurunkan bantal yang menutupi wajahnya. Melihat Juna yang terduduk, Jihan ikut mengambil posisi duduk juga. "Oh ya? Terus kenapa Mas Juna harus repot-repot pindahin Jihan ke tempat tidur? Pasti Mas Juna khawatir. Iya kan?"
Juna memicingkan kedua matanya menatap Jihan. Juna yang memiliki tingkat gengsi stadium akhir, tidak akan luluh hanya dengan godaan dari istri kecilnya ini.
Membayangkan sesuatu saat bagaimana cara Juna memindahkan Jihan ke tempat tidur, membuat gadis berusia dua puluh tahun itu memekik pelan seraya menutup mulutnya mengunakan telapak tangan.
"OMO! OMO! OMO!"
"Apa sih? Gila lo ya?" tanya Juna, asal.
Jihan mencondongkan tubuhnya, membuat Juna refleks memundurkan wajahnya dengan jari telunjuk menahan kening Jihan agar tidak semakin menangkis jarak wajah mereka.
"Lo kenapa sih? Kerasukan reog, ha?"
Jihan mengulum senyum. "Mas!"
"Hmm."
"Apa itu artinya Mas Juna gendong Jihan dari sofa ke tempat tidur?" tanyanya, antusias.
Juna menaikkan sebelah alisnya. Menatap Jihan tersenyum merekah sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Jika boleh jujur, Juna sempat terhipnotis pada kecantikan natural gadis di depannya ini. Akan tetapi, kebengisannya yang sudah akut membuat Juna dengan mudah menepis keterpesonaan nya terhadap Jihan.
"Gak! Gak ada yang gendong lo," jawab Juna sembari mendorong kening Jihan, lantas turun dari atas tempat tidur.
"Bohong! Terus gimana cara mindahinnya kalo gak di gendong?" Jihan bertanya, menatap Juna yang sedang melangkah menuju kamar mandi.
Langkah kaki Juna terhenti kala mendapatkan pertanyaan seperti itu. Lalu ia memutar tubuh menatap Jihan yang duduk bersila di atas ranjang. "Mau tahu, cara apa yang gue pakai buat mindahin badan gendut lo itu?"
Jihan menjatuhkan rahangnya sambil melempar tatapan tak terima. "Mas Juna bilang kalo Jihan gendut?"
Juna segera menganggukkan kepalanya. Padahal, jelas sekali kalau ia berbohong. Mengangkat tubuh Jihan bagi Juna seperti mengangkat sekarung kapas. Sangat ringan!
"Mas Juna, ih! Body shaming sama istri sendiri."
Juna tersenyum smirk. Dagunya terangkat dengan tatapan meremehkan. "Emang kenapa kalo sama istri sendiri? Dari pada body shaming sama istri tetangga. Nanti gue dituntut penjara, terus lo jadi janda dadakan."
"MAS JUNA!"
•••••
Jihan menatap Juna yang kini sedang berkutik dengan laptopnya melalui pantulan cermin datar. Helaan napas panjang Jihan hembuskan. Sebelum akhirnya, ia memutar posisi duduk menatap Juna.
"Mas...." Jihan memanggil.
Juna bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
"Besok kan kita udah ulai kembali ke aktivitas seperti biasa. Mas Juna ke kantor dan Jihan pergi kuliah," ucapnya.
Merasa kalau ucapan Jihan ini mengarah ke arah yang serius, Juna mengangkat pandangan seraya memindahkan laptop dari atas paha ke kasur.
"Iya. Terus?"
"Jadi, boleh gak kalo hari ini Jihan izin pergi ke panti?" Jihan bertanya ragu. Takut-takut Juna tidak akan memberinya izin pergi ke tempat yang menemani tumbuh kembangnya itu.
Alis Juna menaut. "Panti?"
"Hm. Mas Juna gak lupa kan, kalo Jihan dari panti asuhan?"
Juna mengangguk.
"Jadi gimana? Boleh gak, Mas? Boleh ya? Please.... Jihan kangen banget sama Bunda Yuna dan juga anak-anak panti."
Alih-alih menjawab permintaan izin istrinya, justru Juna malah beranjak menuju lemari pakaian. Jihan diam sambil mengikuti gerak-gerik suaminya. Juna mengambil celana jeans serta kemeja hitam dari dalam sana, lalu mengenakannya.
"Ayo!"
"Ha? Ayo kemana?"
Juna berdecak pelan. "Tadi katanya mau ke panti? Jadi gak?"
Jihan bangun dari posisi duduknya. Menatap Juna bingung. "Lho, kan Jihan cuma minta izin sama Mas, boleh gak kalo Jihan ke panti."
"Ya udah ayo."
Jihan menautkan kedua alisnya. "Maksudnya, Mas Juna juga ikut ke sana?" tanyanya, memastikan.
Juna memutar bola mata malas. "Menurut lo?" Lalu ia mengambil kunci mobil yang berada di atas nakas. Dan berlalu keluar dari dalam kamar.
Perlahan kedua sudut bibir Jihan tertarik ke atas. Rasanya tidak percaya kalau Juna mau ikut menemaninya ke panti asuhan. Secara, Juna itu termasuk anak yang urakan. Jabatan sebagai wakil Presdir tak membuat laki-laki itu berhenti meninggal kebiasaan-kebiasaan buruknya yang sejak dari remaja.
Tidak ingin membuat Juna menunggu lama dan khawatir laki-laki itu akan marah hingga memutuskan untuk membatalkan niatnya pergi ke panti asuhan, segera Jihan mengambil tas selempang dan memasukkan handphone nya ke dalam tas. Lantas, melangkah keluar dari kamar.
Di tengah perjalanan menuju panti asuhan, terlebih dahulu mereka membeli buah tangan untuk keluarga panti.
"Sebentar ya, Mas. Jihan beli makanan dulu."
Juna mengangguk. Membiarkan Jihan keluar dari dalam mobil untuk membeli makanan. Sementara menunggu Jihan selesai membeli makanan, Juna memainkan handphone hingga tak sadar ada Shila yang berjalan menghampiri mobilnya.
Tok! Tok! Tok!
Mendengar kaca mobil nya di ketuk oleh seseorang, membuat Juna sontak menoleh dan langsung dibuat terkejut atas keberadaan Shila.
"Aish, ini jalang mau ngapain lagi."
Shila tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
Juna berdecak malas. Lalu menurunkan kaca mobil. "Mau ngapain sih lo?"
"Ya ampun, santai aja kali, Beb. Gak usah ngegas gitu," kekeh Shila yang semakin membuat Juna ilfil. "Aku gak sengaja lihat mobil kamu. Makanya aku ke sini. Cuma pengen nyapa aja kok. Kecuali kalo kamu pengen yang lebih," lanjutnya berucap diakhiri dengan mengedipkan sebelah matanya.
Juna mendengus kasar. "Kita gak saling kenal. Jadi gak usah sok akrab."
"Lho, Sayang. Kita kan pernah---,"
"Pernah menghabiskan malam bersama?"
Shila tersenyum sambil mencolek dagu Juna. "Nah, itu kamu ingat."
"Kejadian itu terjadi karena elo jalang dan gue orang yang butuh pelepasan. Lagian lo udah gue bayar kan? Jadi anggap itu udah selesai. Gak usah ganggu-ganggu gue," ucapnya menohok.
Shila mengerucutkan bibir. "Ya ampun, Sayang. Omongan kamu pedes banget sih. Ya walaupun emang bener sih."
Juna memalingkan pandangannya. Bersamaan dengan itu, Jihan berjalan keluar dari dalam toko kue.
"Ya udah deh, kalo gitu aku pergi. Bye, Sayang!"
Cup!
"b*****t!" geram Juna. Menatap tajam Shila yang berlalu meninggalkannya.
Bagaimana dengan Jihan? Tentu gadis itu dapat melihat jelas apa yang terjadi tadi. Sambil menahan rasa sesak, Jihan mencoba tetap tegar dan biasa saja saat masuk ke dalam mobil.
Juna berdeham. "Udah?"
Jihan mengangguk tanpa menatap mata Juna.
"Okay. Kita lanjut sekarang ya?"
•••••
Sesampainya di sana, kedatangan pasangan suami istri baru itu langsung disambut oleh anak-anak panti. Ah, lebih tempatnya mereka menyambut kedatangan Jihan.
"Kak Jihan!"
"Hai! Kalian apa kabar?" Jihan merentangkan kedua tangannya, memeluk anak-anak itu yang sudah Jihan anggap seperti adiknya sendiri.
"Kabar kita baik, Kak. Kak Jihan sendiri gimana?" Salah satu dari mereka bersuara.
"Alhamdulillah, kabar Kak Jihan juga baik, Sayang."
"Kak Jihan, kita banget banget sama Kakak," ucap anak perempuan berusia enam tahun.
Jihan tersenyum sambil mengusap puncak kepala anak perempuan tersebut. "Sama, Sayang. Kak Jihan juga kangen banget sama kalian."
"Oh iya, nih lihat Kak Jihan bawa makanan buat kalian. Ayo di makan!"
"Yeay! Makasih, Kak!"
Untuk kesekian kalinya, Juna dibuat takjub atas Jihan. Gadis itu benar-benar penuh kejutan. Dan Juna terjebak dalam wajah polosnya. Dugaan-dugaan Juna terhadap Jihan selama ini, sangat melenceng dengan kenyatannya.
Saat pertama kali melihat Jihan, Juna langsung menyimpulkan kalau gadis itu mempunyai kepribadian yang monoton. Dan tentunya akan membuat Juna bosan dan tak yakin kalau ia akan bertahan dengan gadis monoton seperti Jihan. Akan tetapi, dugaannya langsung terpatahkan sejak hari pertama gadis itu menyandang status sebagai istrinya.
"Jihan! Juna!"
Yuna berjalan menghampiri pasangan pengantin baru itu.
"Bunda!" Jihan menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Yuna. Wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. "Jihan kangen banget sama Bunda."
Yuna terkekeh pelan. "Bunda juga kangen, Sayang."
Saat tatapan Juna dan Yuna beradu, segera laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Bu...."
Yuna tersenyum menerima uluran tangan Juna. "Panggil Bunda aja. Kan sekarang kamu udah jadi suaminya Jihan."
Juna tersenyum sambil mengangguk sopan. "Iya, Bunda."
"Kalau begitu, ayo masuk. Kita ngobrol-ngobrol di dalam," ajak Yuna.
"Ayo, Bun!"
Jihan memeluk pinggang Yuna. Berjalan di depan dengan Juna yang mengikuti dari belakang. Melihat Jihan yang sejak tadi bertemu dengan Shila, tidak sekalipun gadis itu mengeluarkan suaranya untuk mengajak Juna bicara. Bahkan menatap matanya saja tidak Jihan lalukan, membuat Juna berpikir kalau Jihan marah padanya.
"Apa mungkin, Jihan marah sama gue?" batin Juna, bertanya-tanya.