Semua anggota keluarga telah berkumpul di meja makan untuk menikmati makan siang bersama. Hanya saja Erwin tidak bisa pulang dan ikut makan siang bersama di rumah.
"Segini nasinya cukup gak, Mas?" Jihan bertanya sambil menunjukkan piring yang telah ia isi nasi pada Juna.
"Hm."
"Lauknya Mas Juna mau apa?" Jihan kembali bertanya.
"Terserah."
Santi menghela napas mendengar jawaban yang diberikan oleh Juna. "Kasih semua aja, Han."
Jihan mengangguk. "Iya, Ma." Segera mengambil beberapa lauk yang tersedia di atas meja. Akan tetapi, gerakan tangan Jihan terhenti saat ia hendak mengambil acar.
"Gue gak suka acar." Suara dingin dan berat Juna terdengar.
"Ah iya, Mas."
"Enak ya, udah punya istri segala dilayani. Sampai mau makan aja diambilkan sama istrinya," ucap Keandra. Melihat Jihan sedang memberikan piring yang sudah terisi nasi serta lauk pauknya pada Juna.
"Dih, perempuan mana yang mau jadi istri elo, Kean-jing? Bukannya dianggap bak putri kerajaan, yang ada itu perempuan malah lo jadiin babu." Kiandra menyahuti ucapan kembarannya.
"Apa lo bilang?!" balas Keandra, tidak santai.
"Hey, sudah-sudah. Ini Mama mau makan aja gak bisa banget tenang. Lama-lama Mama kirim juga kalian ke Pluto," sahut Santi, melerai keributan kedua anaknya.
"Maaf, Ma...."
"Juna," panggil Santi.
"Hm?"
"Kalo dipanggil itu noleh," tegur Santi yang merasa kesal karena Juna asik dengan kegiatan makannya.
Tanpa membuang waktu lagi, Juna menuruti perintah Santi. Menatap wanita yang sangat ia cintai itu. Menunggu apa yang akan Santi katakan padanya.
"Kamu tadi bilang apa sama Jihan?"
Kening Juna sedikit mengerut. Tidak tahu yang mana Santi maksudkan.
Santi menghela napas panjang. Menatap Jihan sekilas yang juga sedang menunggu ucapan Santi selanjutnya. "Kalian ini sudah menjadi suami istri. Gak sepantasnya kamu menggunakan panggilan 'lo-gue' sama Jihan," nasihat Santi.
"Ma, gak apa-apa kok," timpal Jihan yang langsung dibalas gelengan oleh Santi.
"Enggak, Sayang. Juna harus mengubah panggilan itu." Lalu Santi menatap tajam pada Juna yang terlihat kesal. "Mama minta, mulai sekarang kamu ubah panggilan itu, Juna. Gak ada lagi sebutan 'lo-gue' di antara kalian," tegasnya.
"Juna gak biasa, Ma. Lagi pula Jihan juga gak mempersalahkan nya kok."
"Ya harus dibiasakan dong. Kamu ini gimana sih?"
Juna menyimpan sendok dengan kasar. Nafsu makannya hilang seketika. "Mama yang kenapa? Jihan juga gak mempersalahkan itu kok."
"Juna," geram Santi. "Kamu bukan lagi ABG labil. Usia kamu sudah dewasa. Jihan ini istri kamu. Bukan teman satu tongkrongan kamu, yang bebas kamu panggil dia seperti apa."
Juna mendengus kasar, memalingkan wajah ke arah lain. Bagi Juna, sebutan 'lo-gue' bukan masalah besar. Toh, hanya panggilan saja. Lagi pula, banyak di luar sana pasangan suami istri yang menggunakan 'lo-gue'. Terlebih, ia dan Jihan juga masih dalam tahap pengenalan. Memang apa salahnya? Nanti juga dengan seiring berjalannya waktu, saat ia telah merasakan nyaman atau mungkin cinta pada Jihan, sebutan itu akan tergantikan dengan sendirinya.
"Heh, mau ke mana kamu?" Santi bertanya tidak santai. Saat melihat Juna bangun dari posisi duduknya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Santi, justru Juna melangkah begitu saja meninggalkan meja makan.
"Mas!" Jihan memanggil.
"Jihan, Nak. Sudah, biarkan saja." Santi menghentikan gerakan tubuh Jihan yang hendak mengejar langkah suaminya.
"Tapi, Ma. Jih---,"
"Gue mau sendiri." Juna berucap, tanpa membalikkan tubuh lantas mengambil langkah lebar keluar dari dalam rumah.
Jihan tertunduk sedih.
"Jihan...." Santi memanggil, membuat Jihan menoleh menatap ibu mertuanya. "Ayo makan lagi. Jangan pedulikan suami kamu. Biarkan dia merenungkan kesalahannya."
Jihan mengangguk pelan. Bersamaan dengan Jihan yang hendak duduk, terdengar suara derum mesin mobil di luar sana. Entah ke mana Juna akan pergi, tapi Jihan harap laki-laki selalu dalam keadaan baik.
Dalam beberapa menit ke depan, tidak ada suara lagi yang terdengar selain dentingan sendok yang beradu dengan piring. Sampai akhirnya, Santi kembali membuka mulut untuk bicara.
"Jihan," panggil Santi membuat si empunya menoleh. "Kapan kamu mulai masuk kuliah lagi, Sayang?"
"Insyaallah besok, Ma." Jihan menjawab seadanya.
"Kuliah di mana sih?" Kiandra bertanya.
"Aku kuliah di kampus A," jawab Jihan. Membuat Keandra dan Kiandra saling beradu tatapan.
"Lho, itukan kampus tempat gue sama Kean kuliah juga. Jadi, selama ini kita satu kampus dong?"
Jihan mengulas senyum sambil mengangguk. "Iya. Kita satu kampus. Dan sebenarnya, kita pernah papasan beberapa kali."
Keandra yang mendengar jawaban Jihan, langsung menoyor kepala kembarannya. "Ngartis banget sih lo. Sok-sokan kaget denger Jihan satu kampus sama kita."
"Apaan sih lo?! Gue emang gak tahu kalo Jihan juga kuliah di sana. Emangnya kampus kita segede sekolah TK apa?!" protes Kiandra menatap kesal pada Keandra.
"Hey, sudah-sudah. Kenapa jadi ribut lagi sih?" lerai Santi, menatap satu persatu kedua anaknya. "Kalo kalian memang satu kampus, ya bagus dong."
"Tahu nih, Ma. Si Kean emang lebay banget anaknya," ucap Kiandra membuat Keandra lagi-lagi terpancing emosi.
"Gue lagi!"
Kian menjulurkan lidahnya meledek Kean. Sebelum dibalas oleh Kean, lebih dulu terdengar suara gebrakan meja yang membuat ketiga orang di sana tersentak kaget.
BRAK!
"DIAM!!!"
•••••
Sepasang mata elang menyorot tajam menatap jalanan di depannya. Kecepatan mobil semakin Juna tambah, melewati pohon-pohon yang tumbuh menjulang di sepanjang jalan.
"ARGH! SIAL! SIAL!"
Napas Juna terdengar memburu. Ia merasa hidupnya semakin penuh dengan aturan. Dan Juna, sejak dulu tidak pernah suka diatur. Apalagi pada hal-hal yang menurutnya sangat sepele.
Kendaraan beroda empat tersebut Juna hentikan. Laki-laki itu keluar dari dalam mobil. Saat ini, ia berada di tengah jalan yang sepi dengan suasana khas hutan. Juna bersandar di depan mobil, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Terpejam sejenak menghirup udara segar tanpa polusi.
"Hidup gue bener-bener berubah. Gue gak suka ada diposisi yang sekarang. Tapi gue juga gak bisa nolak perintah dari Bokap. Bisa miskin dadakan yang ada."
Juna menghela napas panjang. "Sekarang gue sadar, kenapa banyak rumah tangga yang hancur. Karena menjalani komitmen bukan hal yang mudah. Apalagi yang menjalaninya modelan kayak gue."
Kedua mata Juna terpejam. Pikirannya melayang, mengingat kejadian pada beberapa waktu ke belakang. Di mana Juna bertekad dalam hati, kalau ia akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab sebagai mestinya.
"Mungkin gue bukan sosok suamiable yang lo harapkan selama ini. Tapi, sebisa mungkin gue akan menjadi sosok suami yang bertanggung jawab buat lo.... Jihan Shopia."
Bersamaan dengan itu, Juna juga mengingat obrolan Santi dengan Jihan saat tadi menyiapkan makan siang. Selain memiliki sikap yang dingin, kaku, ketus, gengsi, Juna sangat jauh dari kata baik. Jika dibandingkan dengan Jihan, tentu sangat berbeda jauh. Bagai langit dan bumi. Kebiasaan Juna begitu jauh dari kata baik. Suka dugem, mabuk-mabukan, gonta-ganti teman tidur. Sedangkan Jihan? Gadis itu masih sangat suci.
Juna tersenyum miring. "Kenapa lo gak nolak pernikahan kita? Kenapa lo harus mau? Lo gak pantas dapat suami b******k kayak gue, Jihan. Lo terlalu sempurna buat gue."
Juna menggelengkan kepala beberapa kali. "Gak, Jihan. Lo gak boleh bersanding sama cowok b******k ini. Yang bahkan buat menghargai lo aja gak bisa."
Bukankah yang baik berhak mendapatkan yang terbaik? Lantas, kenapa Jihan harus mendapatkan laki-laki b******k seperti Juna?