Suara jam yang berdetik menemani kebisuan dalam sebuah kamar di mana hanya ada Jihan seorang. Setelah Juna pergi meninggalkannya entah kemana, Jihan yang sebelumnya telah siap mengenakan lingerie seperti apa yang di minta Juna, pun segera menggantinya dengan piyama tidur yang jauh lebih sopan.
Bola mata Jihan bergerak melirik jam yang menggantung di dinding. "Mas Juna pergi kemana sih? Ada urusan apa coba malam-malam begini?" gumamnya bertanya-tanya.
Helaan napas panjang Jihan hembuskan. Kemudian gadis itu meraih handphone nya seraya melangkah ke jendela kamar. Menyikap tirai hingga bisa melihat langit malam bertabur bintang.
"Mau nelpon tapi aku belum punya nomor Mas Juna. Jadi gimana?"
Jihan berdecak pelan. Ia harus segera bertukar nomor dengan suaminya, kalau sudah begini jadi bingung sendiri kan?
"Hoaamm...." Jihan menutup mulutnya dengan telapak tangan saat menguap. Kantuknya sudah tiba. Jihan menutup tirai jendela, lantas berjalan ke arah sofa dan mendudukkan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna abu-abu itu.
"Aku gak boleh tidur. Aku harus tunggu Mas Juna sampai pulang dan melihatnya dalam keadaan baik-baik saja," gumamnya dengan mata yang sudah berat untuk diajak terbuka.
Tidak butuh waktu lama, kedua matanya sudah terpejam masuk ke alam bawah sadar.
Sementara itu, di tempat yang berbeda Juna memarkirkan mobilnya di sebuah gedung apartemen. Juna melangkah memasuki lift menuju kamar apartemen milik sahabatnya - Akbar, yang merupakan kekasih dari adiknya.
Menjadi anak pertama tentu Juna memiliki tanggung jawab dalam menjaga adik-adiknya. Keandra dan Kiandra, mereka terlahir kembar. Ketiga bersaudara itu mewarisi sifat sang ayah sewaktu muda. Di mana mereka suka dugem, terlibat pergaulan bebas.
Sesampainya di depan pintu apartemen Akbar, Juna langsung mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan Akbar yang berdiri hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut tanpa baju yang menutupi tubuh bagian atasnya.
"Woy, b*****t! Lo apain adek gue?" tanya Juna to the poin. Seraya mendorong bahu Akbar yang menghalangi jalannya.
"Halah, belum gue apa-apain juga udah tepar tuh adek lo," balas Akbar mengikuti langkah Juna dari belakang.
Melihat Kiandra yang terbaring di atas tempat tidur, Juna duduk di sofa yang berada di sana. Menyandarkan punggungnya di penyangga sofa dengan tangan terlentang dan mata terpejam.
Akbar melempar bantal ke arah Juna hingga mengenai wajah laki-laki itu. Membuat Juna mengumpat kesal.
"Ngapain sih ke sini? Pengantin baru kok kelayapan," ucap Akbar seraya mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.
"Putus lo sama Kian?" Juna bertanya, mengalihkan pembicaraan.
Akbar berdecak kesal. "Salah paham doang elah. Besok juga lengket lagi sama gue."
Juna berdecih. "Muka kayak kanebo kering aja songongnya minta ampun."
Akbar tertawa. "Tapi adek lo tetep kesengsem sama pesona ketampanan si kanebo kering ini, Bro."
"Oh iya, lo ke sini berarti Bini lo ditinggal dong, Ngab?" Akbar bertanya.
Juna berdeham sebagai jawaban. Membuat Akbar kesal mendebatnya.
"Wah, parah lo. Balik sana. Sadar dong, itu cewek yang ada di kamar lo itu Bini lo, Juna. Bukan jalang one night stand yang bisa lo tinggal sesuka hati."
Ucapan Akbar membuat Juna sontak membuka matanya. Melempar tatapan tak suka pada Akbar.
"Kenapa? Omongan gue bener kan? Lo udah jadi suami. Lo pegang tanggung jawab besar atas Jihan. Sekarang gue tanya, lo pergi ke sini Jihan tahu gak?"
Meskipun Akbar terlihat menyebalkan, tapi yang dikatakan oleh laki-laki itu ada benarnya juga. Juna yang biasa suka keluar pergi rumah seenaknya, sekarang sudah tidak bisa lagi.
Juna menghembuskan napas panjang. Ia bangun dari posisi duduknya. "Jagain Kian. Macam-macam sama dia, gue tendang aset lo."
"Uyyy, mengerikan."
Meskipun kebrengsekan Akbar tidak ada bedanya dengan Juna, tapi Juna percaya kalau Akbar tidak akan berani merusak perempuan yang dicintainya.
Sambil memutar-mutar kunci mobil menggunakan jari telunjuknya, Juna keluar dari gedung apartemen. Langkahnya terayun menuju mobilnya yang terparkir. Baru saja tangannya hendak membuka pintu mobil, seseorang terdengar memanggilnya dari arah belakang.
"JUNA!"
Seorang perempuan berpakaian minim dengan bibir merah merona, setengah berlari menghampiri Juna.
Shila - perempuan one night stand yang dipakai Juna sebelum menikah.
"Hai!" Shila tersenyum merekah menyapa Juna.
Juna hanya mengangkat dagunya sebagai respon untuk Shila.
"Kamu masih ingat aku kan? Aku Shila. Kita ketemu di klub hari itu," ucap Shila tanpa memudarkan senyumnya.
"Hmm."
Satu tangan Shila terulur membelai d**a bidang Juna. Perempuan itu mengigit bibirnya sensual. Tahu bagaimana respon Juna? Laki-laki diam menatap datar Shila tanpa melakukan penolakan.
"Aku tinggal di gedung apartemen ini. Bagaimana kalau kita mengulang kembali malam panas hari itu?"
Juna memegang tangan Shila yang berada di atas d**a bidangnya. Membuat Shila tersenyum kesenangan, berpikir kalau Juna akan bersedia bermain kembali dengannya.
"Sorry. Gue gak suka pakai jalang yang sama." Juna menghentakkan tangan Shila, membuat perempuan itu melongo tak percaya.
"Kamu mau kemana?"
Juna tak menggubris pertanyaan Shila. Laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Lantas melajukan kendaraan beroda empatnya ke jalanan.
Shila menggeleng tak percaya, menatap mobil Juna yang berlalu meninggalkannya. "What? Dia nolak gue? Berani banget sih. Baru kali ini, ada cowok yang nolak gue."
•••••
Dengan jaket tersampir di sebelah bahunya, Juna berjalan menaiki anak tangga menuju kamar. Begitu pintu ia buka, objek pertama yang ia lihat adalah Jihan yang tertidur di atas sofa dalam posisi duduk.
Juna mengayunkan langkah mendekati Jihan. Ia menelisik wajah cantik alami Jihan tanpa polesan make up sedikitpun.
"Kenapa lo tidur di sini? Lo nungguin gue, hm?" Juna bergumam sambil menyelipkan helaian rambut Jihan ke belakang telinganya.
Juna menyimpan jaketnya, lalu ia membawa tubuh Jihan ke dalam gendongan ala bridal style. Dengan hati-hati, ia meletakkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur.
"Lo ringan banget sih. Kayak kapas tahu gak?"
Kedua bola mata Juna menatap setiap inci wajah yang sedang terlelap itu. Mulai dari mata, lalu ke hidung mancungnya, hingga tatapan Juna terhenti tepat pada bibir merah alami Jihan.
Juna mengulurkan satu tangannya. Menyentuh dan memberikan usapan pelan di atas bibir itu. Bibir ia cicipi satu jam yang lalu. Juna meneguk salivanya. Membayangkan bibirnya kembali menyatu dengan bibir itu. Dengan lidah yang masuk ke dalam rongga mulut Jihan, mengabsen setiap gigi di dalamnya.
"Damn! Punya otak gak pernah disapu ya begini nih. Ngeres terus bawaannya." Juna mendengus pelan. Mengusap wajahnya beberapa kali, lantas merangkak naik ke atas tempat tidur.
Sebelum membaringkan tubuhnya. Juna meloloskan bajunya terlebih dahulu serta melepas celana jeans yang di kenakalannya dan menyisakan boxer hitam di atas lutut.
Juna menghembuskan napas panjang. Tidur hanya dengan boxer yang membalut tubuhnya, sudah menjadi kebiasaan Juna sejak remaja. Jika kemarin ia tahan tidur dengan pakaian lengkap, tapi tidak dengan sekarang. Benar apa yang dikatakan Akbar, ia sudah menikah dan Jihan adalah gadis yang telah menyandang sebagai istrinya. Bukan perempuan one night stand yang biasa ia pakai sekali. Malam ini dan seterusnya, Jihan akan selalu ada di sini. Terlelap di sampingnya dan akan selalu menjadi objek pandangnya setiap bangun tidur.
"Mungkin gue bukan sosok suamiable yang lo harapkan selama ini. Tapi, sebisa mungkin gue akan menjadi sosok suami yang bertanggung jawab buat lo.... Jihan Shopia."