Pelatihan 2

1878 Kata
Dalila mengikat rambutnya tinggi-tinggi, dengan kening yang mengernyit dalam. Sepertinya Dalila tidak menyadari jika Max yang ada di dekatnya tengah mengamati ekspresi pada wajah cantinya itu. “Kenapa kau mengernyitkan keningmu seperti itu?” tanya Max pada akhirnya. Dalila pun menatap Max dan balik bertanya, “Memangnya apa masalahnya untukmu?” Max yang mendengar hal itu mendengkus. “Sepertinya kurang beraktifitas membuatmu bertingkah menyebalkan, Dalila. Untung saja para tetua setuju dengan keputusanku,” ucap Max lalu bangkit dan melangkah dengan diikuti oleh Dalila. Saat ini Dalila sudah berganti pakaian. Tidak lagi menggunakan gaun rumahan yang manis, kini Dalila mengenakan pakaian yang nyaman untuk digunakan beraktivitas di luar ruangan. Hal tersebut memang berkaitan dengan apa yang sebelumnya Max katakan. Max dan para tetua kaum immortal sudah berdiskusi mengenai kekuatan yang dimiliki oleh Dalila. Mereka memang belum secara langsung melihat sebera besar kekuatan Dalila, tetapi Max sudah pernah melihat kekuatan Dalila yang meledak. Dalila memang benar memiliki kekuatan yang sedemikian besar. Hanya saja, Dalila tidak bisa mengendalikan dan mempergunakannya dengna tepat. Jika hal ini terus terjadi, sudah dipastikan jika itu adalah hal yang berbahaya. Bukan hanya berbahaya bagi diri Dalila, tetapi juga berbahaya bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Tentu saja mereka semua harus mencegah hal buruk tersebut terjadi. Jadi, semua orang sekapat bahwa Dalila harus mendapatkan pelatihan untuk menggunakan kekuatan yang ia miliki. Dalila sudah mendengar penjelasan ini dari Max. Namun, Dalila masih tidak mengerti. Ia merasa jika dirinya memang masih perlu melatih kekuatan fisiknya, tetapi ia rasa tidak ada cara untuk melatih kekuatan sihirnya. Karena pada dasarnya, menurut Dalila dirinya tidak memiliki kekuatan sihir sedikit pun. “Kita hanya perlu berlatih fisik, aku sama sekali tidak ingin melakukan pelatihan sihir. Itu hanya akan membuang waktu karena aku sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal ajaib seperti itu,” ucap Dalila saat berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Max. Dalila pikir jika dirinya berhasil mengejar langkah Max yang memang lebar dan cepat itu, tetapi sebenanya Max yang menyesuaikan langkahnya dengan Dalila. Max melirik Dalila dan berkata, “Memangnya kau pikir, kau bisa sembuh dalam beberapa hari setelah mendapatkan luka adalah hal yang normal? Itu adalah bukti dari energi sihir dalam tubuhmu, Dalila. Manusia normal tidak akan memiliki kemampuan penyembuhan secepat itu.” Mendengar hal itu, Dalila terdiam. Sejak awal, Dalila memang merasa aneh dengan kemampuan yang ia miliki itu. Kemampuan penyembuhan tubuhnya sangatlah cepat, Dalila tidak pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan yang sama seperti dirinya. Ternyata itu memang bukanlah hal yang normal. Dalila seakan-akan mendapatkan pencerahan. “Sebagai makhluk immortal, kita semua dibekali dengan sebuah kekuatan atau kemampuan yang jelas tidak dimiliki oleh mereka kaum manusia. Hal yang membedakan adalah seberapa banyak kekuataan bawaan kami, dan bagaimana kita mengolah kekuatan yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta,” tambah Max sebelum berbeluk kea rah yang belum pernah Dalila lewati. Dalila dikejutkan dengan sebuah halaman luas yang sepertinya difungsikan sebagai area berlatih luar ruangan. Banyak orang yang tampak masih sibuk berlatih di sana. Mereka yang menyadari kehdiran Dalila dan Max segera menghentikan kegiatan mereka dan memberi hormat dengan cara yang mengejutkan bagi Dalila. Max sendiri masih terihat tenang. Ia berkata, “Kalian bisa memindahkan latihan kalian ke dalam ruangan. Kali ini, aku dan istriku akan menggunakan area berlatih ini.” Tentu saja tidak ada satu pun yang membantah. Dante selaku Beta dari Max, segera memimpin pasukan untuk berpindah area berlatih ke dalam ruangan. Tentu saja mereka semua berusaha untuk mengendalikan mata mereka agar tidak menatap sang Luna lebih dari tiga detik. Karena itu bisa saja menyinggung Max dan membuat sang Alpha yang memiliki kekuatan luar biasa itu berpikir bahwa mereka menginginkan istrinya. Setelah semua orang pergi, barulah Max berkata, “Sekarang lakukan stetching.” Dalila tanpa banyak kata segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Max. Tentu saja pengalaman Dalila sebagai seorang pengawal elit memberikan keuntungan besar dalam hal tersebut. Ia sudah terbiasa melakukan pemanasan sebelum dirinya melakukan kegiatan fisik utamanya. Saat itulah Max berkata, “Katakan apa yang kau ingin tanyakan.” Dalila berdeham karena apa yang dikatakan oleh Max sangatlah tepat. Saat ini dirinya memang memikirkan sebuah pertanyaan. “Apa kau yang akan menjadi pelatihku?” tanya Dalila. Rasanya ini sangat mengganggu Dalila, hingga dirinya perlu mendapatkan jawaban sebelum bisa fokus untuk berlatih. “Memangnya siapa yang mau melatihmu dengan kemampuanmu yang seperti ini? Di mata kami, sekarang kau tak lebih seperti anak kecil yang baru saja bisa berjalan. Jadi, kau perlu seorang ahli yang bisa meluangkah waktu dan kesabaran untum melatihmu. Perhatikan setiap gerakan pemanasan yang tengah kau lakukan,” jawab Max. Masih dengan dirinya yang tengah melakukan pemanasan, Dalila pun bertanya, “Apakah benar jika kalian ini memiliki keabadian?” “Keabadian hanya milik Sang Pencipta. Kami memang disebut sebagai makhluk yang abadi, tetapi itu tidak sepenuhnya abadi seperti yang kita ketahui. Kami masih memiliki masa hidup, di mana suatu saat kami pun pada akhirnya akan mati. Hanya saja, kami semua memiliki masa hidup yang begitu panjang. Hingga ribuan tahun lamanya. Ada beberapa dari kami yang memang menikmati masa hidup yang bgeitu panjang itu, ada pula yang memutuskan berkah kehidupan yang panjang itu dan mati di usia yang sudah mereka tentukan,” jelas Max sembari mengamati wajah Dalila. Saat ini, Dalila terlihat seperti seorang anak yang tengah mendengarkan penjelasan gurunya. Terlihat penoh konsentrasi dan perhatian. Agak gemas rasanya Max melihat Dalila berekspresi seperti ini. Namun, Max berdeham menahan diri untuk tidak menunjukan rasa gemasnya itu. Rasanya pasti akan sangat memalukan jika sampai Max kehilangan kontrol di hadapan gadis satu ini. Setelah melihat Dalila selesai melakukan penasan, Max pun menepuk tangannya dan berkata, “Sekarang, lari seratus putaran mengeliingi area berlatih ini.” Mendengar hal itu Dalila terkejut. “Kau gila?” tanya Dalila sembari melotot. Rasanya Dalila ingin menghajar pria di hadapannya ini. Namun, Dalila masih berusaha untuk mengendalikan emosinya. “Tidak, aku tidak gila. Ini latihan pertama yang harus kau lakukan untuk membangun kekuatan fisikmu,” jawab Max seolah-olah apa yang diperintahkannya sebenarnya bukanlah hal yang terlalu berat. Hal yang tentu saja membuat Dalila semakin dibuat tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu. Dalila memejamkan matanya. Sebelum membukanya lagi dan menunjuk area berlatih yang disebut oleh Max sebelumnya. “Area berlatih yang kau maksud bahkan lebih besar dari sebuah lapangan sepak bola. Aku rasa tidak berlebihan menyebutmu sebagai orang gila, jika kau memerintahkan aku untuk berlali mengelilingi lapangan ini sebanyak seratus kali,” ucap Dalila jengkel. “Jika kau sudah memulainya, ini tidak akan terasa terlalu berat. Lebih baik, mari kita mulai,” ucap Max mengajak istrinya untuk memulai acara berlatih mereka. Max sebelumnya memang sudah melakukan perenggangan hingga tidak perlu melakukannya lagi. Ia bisa segera memulai acara berlatihnya tanpa perlu mencemaskan cidera atau apa pun. Toh, sekalli pun dirinya cidera, ia bisa melakukan penyembuhan dalam waktu singkat. Mengingat jika dirinya sudah benar-benar menguasai semua ilmu yang diturunkan oleh keluarganya, dan ia memiliki kekuatan yang begitu besar sebagai seorang pemimpin kaum manusia serigala. Dengan kening mengernyit Dalila bertanya, “Kita?” Max mengangguk. “Ya, kita. Aku akan menemanimu berlari. Aku tentu saja harus memastikan jika kau tidak melewatkan sekali pun hitungannya. Jika kau sampai curang, maka aku akan menambah latihanmu,” ucap Max lalu menghela Dalila agar segera berlari. Meskipun Dalila adalah mantan dari pengawal elit dan disebut sebagai seseorang yang memiliki kemampuan fisik yang seimbang dengan makhluk immortal, tetapi Dalila tetap saja merasa sangat lelah dengan kegiatan yang disebut sebagai awal pelatihan tersebut. Entah mengapa, hari ini Dalila merasa tubuhnya terasa begitu berat. Tidak seperti biasanya. Akibatnya, baru beberapa kali berlari mengelilingi area berlatih tersebut sudah membuat Dalila merasa kelelahan. Dalila juga agak meringis saat merasakan bagian sensitifnya yang masih terasa begitu ngilu. Secara alami, Dalila tentu saja mengaitkan hal tersebut dengan kejadian yang terjadi tadi malam. Diam-diam, Dalila mengutuk Max yang seakan-akan tidak memahami apa yang terjadi dan memaksanya untuk melakukan latihan seperti ini.   “Tidak perlu mengutuku seperti itu, aku sudah memastikan jika kondisi tubuhmu sekarang tidak akan bermasalah jika aku ajak untuk berlatih. Kondisi tubuhmu baik-baik saja, dan sudah kembali normal. Dampak malam pertama kita sudah tidak terlalu terasa, jadi untuk saat ini usahakan untuk tidak bersikap manja,” ucap Max. Dalila yang mendengar hal itu pun menghentikan larinya dan tentu saja hal tersebut secara alami diikuti oleh Max. Pria itu lalu menatap Dalila yang terlihat memasang ekspresi tidak sedap. “Kenapa?” tanya Max seolah-olah dirinya tidak mengerti letak kesalahan yang membuat Dalila memasang ekspresi sedemikian rupa. “Apa yang kau katakan barusan? Beraninya kau menyebut diriku manja. Jangan bertingkah seolah-olah kau mengerti apa yang tengah aku pikirkan!” seru Dalila. “Tapi iitu memang benar adanya. Aku tau apa yang kau pikirkan, karena itulah aku berkata seperti itu. Ah, kau mungkin tidak percaya, tetapi aku bisa mendengar apa yang kau pikirkan. Hal wajar ketika sepasang mate sudah memiliki tanda pasangan seperti kita,” ucap Max. Dalila pun segera melakukan sesuatu, seakan-akan ingin menutupi apa yang ia pikirkan. Apa yang dikatakan oleh Max memang terdengar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya bisa mendengar apa yang katakan. Namun, Dalila sudah terlalu banyak melihat hal yang tidak mungkin, hingga merasa jika apa yang dikatakan oleh Max saat ini adalah hal yang terasa masuk akal baginya. “Tidak adil! Kenapa hanya kau yang bisa melakukannya?” tanya Dalila dengan kening yang mengernyit. Seakan-akan Dalila tengah berusaha untuk menunjukan bahwa saat ini dirinya benar-benar tidak senang. “Bukan seperti itu. Kau juga sebenarnya bisa melakukannya, karena memang pada dasarnya kau adalah pasanganku dan sudah memiliki tanda kepemilikan. Hanya saja, saat ini kau masih belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuatanmu, hingga belum bisa beradaptasi dengan perubahan pada tubuhmu sendiri.” Max mengamati ekspresi Dalila dalam diam. Rasanya, setelah mengenal Dalila, Max belajar untuk mengamati dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Lebih tepatnya, apa yang dirasakan oleh Dalila. Sebab bagi Max, tidak ada orang lain yang rasanya memiliki daya tarik sebesar Dalila untuk ia amati seperti saat ini. “Untuk bisa mendengar suaraku, kau hanya perlu berlatih di bawah bimbinganku. Saat kau bisa mengendalikan kekuatanmu, maka kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan,” ucap Max menjelaskan ketika Dalila masih belum memberikan reaksi atas apa pun yang sudah ia dengar. Dalila masih mengernyitkan keningnya sebelum beranya, “Apa kau benar bisa mendengarkan apa yang aku pikirkan?” Max mengangguk. “Secara garis besar seperti itu,” ucap Dalila. Dalila pun menatap Max tepat pada netra keemasannya yang memukau. Rambutnya yang sekelam langit malam tanpa bulan, terlihat melambai dengan lembut saat angina berembus pelan. Dalila tidak mengatakan apa pun, tetapi ekspresi Max mulai menggelap. Seakan-akan dirinya tidak senang akan suatu hal. Ekspresi tidak senang Max tersebut terjadi karena Dalila berkata dalam benaknya, “Dasar bajing*n! Jika aku sudah memiliki kemampuan, aku akan membuatmu membayar semua hal yang sudah kau perbuat padaku!” Ekspresi gelap Max berubah, saat Max menyeringai dan berkata, “Maka aku akan menunggumu hingga kau memiliki kemampuan yang kau maksud.” Max mengulurkan tangannya untuk meraih helaian rambut Dalila yang ke luar dari ikatannya. Max lalu mendekatkan helaian rambut cokelat yang indah pada bibirnya. Seakan-akan tersihir, Dalila sama sekali tidak melakukan apa pun, selain mengamati Max yang kini mencium helaian rambut lembut Dalila sembari berkata, “Karena jujur saja, aku penasaran tentang hal seperti apa yang akan kau lakukan padaku. Aku menantikannya, istriku.”   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN