Keringat seakan-akan diperas dari seluruh tubuh Dalila. Perempuan satu itu kini tengah menjalankan kegiatan yang memang setiap hari dilakukan oleh Dalila semenjak dirinya berstatus sebagai istri dari Max. Rasanya hidup Dalila memang benar-benar berbeda daripada kesehariannya sebelumnya, setelah ia bertemu dengan Max. Dalila memang tidak bekerja, dan tidak merasa lelah karena pekerjaannya sebagai pengawal elit, tetapi rasanya setiap hari merasa begitu lelah.
Bahkan terasa lebih lelah daripada saat dirinya masih bekerja sebagai seorang pengawal. Memang, sekarang Dalila hidup lebih nyaman daripada sebelumnya. Ia tidak perlu membersihkan rumah, mencuci baju, atau bahkan memasak. Semua keperluannya sudah dipersiapkan, sekali pun Dalila ingin dimandikan, rasanya para pelayan pasti tidak akan keberatan untuk memandikannya. Namun, Dalila merasa lelah, selain tekanan batin, ia juga lelah karena latihan yang ia terima dari Max.
Ternyata Max tidak main-main dengan memimpin pelatihan Dalila. Max sama sekali tidak melunak dan memperlakukan Dalila berbeda walaupun perempuan itu jelas-jelas adalah istrinya. Hingga saat ini, Max masih menekankan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan fisik Dalila. Mereka belum melangkah masuk ke dalam pelatihan penggunaan sihir, karena menurut Max Dalila masih belum siap untuk masuk ke dalam tahap latihan tersebut.
Selama seminggu ini, Dalila terus diperintahkan untuk berlari mengelilingi area berlatih, tetapi rasanya dari hari ke hari, latihan ini semakin terasa berat. Dalila bukan orang yang bodoh, ia tahu jika Max sudah melakukan sesuatu yang membuat daya gravitasi di area tersebut menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi Dalila yang tidak bisa berlari lebih leluasa karena beban yang ia miliki semakin besar. Merasa jika dirinya sudah benar-bena rmuak, Dalila menghentikan langkah kakinya dan menatap Max dengan tatapan tajam.
“Apa kau akan terus memerintahkan diriku berlari seperti ini?” tanya Dalila.
Max yang memang selalu menemani Dalila berlatih, dan berlari menemani istrinya itu, kini menatap Dalila dengan netra keemasannya yang memukau. “Tentu saja,” jawab Max ringan, seakan-akan apa yang ia katakan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.
“Sampai kapan kau akan membuatku seperti ini? Apa kau tidak berpikir jika semua ini terasa menjengkelkan bagiku? Jika kau masih saja ingin membuatku berlatih seperti ini, lebih baik pulangkan aku ke dunia manusia! Lebih baik aku bekerja sebagai pengawal, meskipun lelah, aku mendapatkan uang dan tidak akan mati kebosanan seperti ini!” seru Dalila.
Namun, Max terlihat tidak mau merespons keluhan istrinya itu. Max malah berkata, “Sekarang ayo lari lagi. Kau hanya perlu berlari dua puluh putaran lagi.”
Dalila yang mendengar hal itu menjerit kesal, membuat beberapa gama yang sebelumnya tengah mencuri dengar permbincangan antara Alpha dan Luna mereka, berjengit tekejut. Mereka pun berhamburan, sadar jika aka nada pertengkaran antara suami istri. Sementara Max agak mengernyit, karena merasakan telinganya berdenging sebab teriakan Dalila yang melengking. “Aku membencimu! Aku benar-benar membenci kenyataan bahwa kau adalah suamiku!” teriak Dalila lalu menjatuhkan diri untuk berbaring di tengah area berlatih.
Melihat hal itu, Max pun mengernyitkan keningnya. “Bangun dari sana, Dalila,” ucap Max. Namun, Dalila sama sekali tidak mau mendengarkannya dan malah memejamkan matanya.
Dalila terlalu lelah untuk mematuhi perintah Max. Selain itu, Dalila melakukan hal ini sebagai protes bagi Max. Rasanya, Dalila terlalu lelah jika harus terus mematuhi perintah Max, sementar Max sendiri tidak mau mendengarkan apa yang ia minta. Dalila hanya ingin setidaknya masih terhubung dengan kehidupan lamanya, dan melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya menghilangkan sedikit stress yang ia rasakan. Namun, Max tidak mendengarkan hal itu.
Menurut Max, Dalila harus fokus dengan pelatihannya. Kini, Dalila tidak boleh membuang waktu sedikit pun, karena bencana yang terjadi karena ulah kaum pembelot bisa terjadi kapan saja. Dalila juga harus memutuskan hubungannya dengan orang-orang yang ia kenal di dunia manusia, karena Max sudah membuat mereka berpikir jika Dalila yang mereka kenal sudah pergi ke luar negeri dan menikah dengan seorang pria kaya raya. Hingga tidak perlu lagi menjadi seorang pengawal dan bekerja. Dalila hanya perlu menjadi nyonya rumah dan ongkang-ongkang kaki di dalam kediaman mewah mereka.
Tentu saja Dalila merasa jengkel dengan pengaturan Max tersebut. Seakan-akan Dalila harus kehilangan seluruh hidupnya, dan memulai kehidupan baru yang sesuai dengan keinginan Max. Rasanya Dalila ingin meluapkan kemarahannya begitu saja, tetapi Dalila sadar jika itu bukan hal yang bijak. Pada akhirnya, Dalila berada di situasi seperti ini.
Max pun menghela napas. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya menghadapi Dalila. Istrinya ini mungkin adalah anak campuran dan seorang perempuan berhati tangguh. Namun, sebelum itu, Dalila adalah seorang perempuan yang berhati lembut. Ia sudah melalui berbagai macam kesulitan dan hal yang mengejutkan seorang diri. Kemungkinan besar, saat ini Dalila tengah menghadapi krisis yang sulit dalam dirinya, dan Max sebagai seorang suamu harus mencoba untuk memahaminya.
Max pun melompat dan berubah menjadi sosok serigala berbulu hitam dan memiliki netra keemasan yang memukau. Tentu saja, ukuran tuuh Max tiga kali lebih besar daripada tubuh Dalila yang masih terbaring di atas tanah. Max pun berkata, “Kita hentikan latihan hari ini. Sekarang naiklah ke atas punggungku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu.”
Dalila memang mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Max yang sudah merendahkan tubuhnya, agar Dalila bisa naik ke atas punggungnya dengan mudah. Namun, Dalila tidak segera beranjak dan malah bertanya, “Kau akan membawaku ke mana? Aku tidak mau pergi jika kau malah membuatku merasa semakin kesal saja.”
Max menatap Dalila merasa jengkel karena istrinya ini tidak percaya dengan apa yang akan ia lakukan. “Aku yakin, kau akan menyukai tempat ini. Sekarang cepatlah naik. Atau kau memilih untuk melanjutkan acara latihan kita saja?” tanya Max, sukses membuat Dalila menggeleng dengan tegas.
Dalila memang tidak tahu akan ke mana Max membawanya. Namun, setidaknya itu akan terasa lebih baik, daripada Dalila harus tertekan dengan acara latihan yang membuatnya hampir mati kebosanan. Dalila pun bangkit dan susah payah naik ke atas punggung Max dengan bantuan suaminya itu. Setelah memastikan jika istrinya sudah duduk dengan benar, Max pun berkata, “Berperganganlah dengan benar. Kita akan pergi dengan kecepatan penuh.”
**
“Waw,” ucap Dalila terlihat sangat terpukau dengan air terjun yang terlihat begitu indah. Lalu danau dengan air jernih ada tepat di bawah air terjun tersebut.
Karena danau tersebut cukup luas, ada bebera level ke dalaman, tetapi bagian terdalam pun sepertinya tidak akan lebih dari dua meter. Tidak terlalu dalam, hingga Dalila bisa melihat dasarnya yang dipenuhi bebatuan kecil dan beberapa ikan warna warni yang berenang dengan eloknya di sana. Rasanya, saat ini juga Dalila ingin berlari dan melompat ke dalam danau jernih itu. Pastinya tubh Dalila yang terasa lengket dan lelah karena latihan sebelumnya, akan kembali terasa segar.
Namun, tentu saja Dalila tidak bisa melakukan hal itu, mengingat saat ini dirinya tidak sendirian. Ada Max yang berada di sisinya. Karena Max sendilah yang membawa Dalila ke tempat ini. Benar, inilah tempat yang sebelumnya dikatakan oleh Max pada Dalila. Jujur saja, Dalila sendiri tidak menyangka jika Max akan membawanya ke tempat yang sedikian indah seperti ini.
“Kau ingin berenang? Jika iya, maka pergilah. Tidak perlu cemas, tidak akan ada orang yang mengunjungi tempat ini. Selain ini adalah wilayah kekuasaanku, aku juga sudah memasang pembatas yang membuat orang-orang yang memang berniat untuk mengunjungi tempat ini, tidak akan pernah menemukan jalan,” ucap Max.
Meskipun terdengar sangat tidak masuk akal, Dalila yakin jika itu memang kenyataannya. Hanya saja, Dalila tentu saja enggan mandi di tengah hutan seperti ini, apalagi di hadapan Max. Meskipun mereka memang sudah berstastus sebagai suami istri, tetapi Dalila dan Max tidak pernah melakukan hubungan suami istri lagi setelah malam pertama mereka. Seakan-akan Dalila dan Max memang menghindari hal itu, dan malam pertama yang mereka lakukan tidak lebih dari sekadar sebuah kewajiban yang perlu mereka lakukan.
“Kau pikir aku gila? Bagaimana mungkin aku mandi di tempat terbuka seperti ini? Terlebih di hadapan pria m***m sepertimu. Maaf, aku tidak segila itu mengumpankan diriku sendiri pada predator sepertimu,” ucap Dalila tajam.
Max mengendikan bahunya tidak berniat untuk merespons apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Max pun memilih untuk membuka semua pakaiannya menyisakan celana dalam yang ia kenakan. Daat itulah Dalila sama sekali tidak bisa menghentikan makiannya, “Dasa pria gila.”
Benar, makian itu ditujukan pada Max. Selain karena dirinya yang serta merta membuka pakaiannya dan melompat ke dalam danau, Dalila juga mengumpat karena penampilan pria itu yang terlihat sangat luar biasa. Kulitnya yang hampir memiliki warna perunggu yang berkilau, tampak sangat sempurna. Berkilau karena keringat dan sinar matahari yang menerpa tubuhnya yang dihiasi otot-otot yang memang terbentuk dengan sempuran akibat latihan fisik yang ia lakukan setiap hari.
Dengan tubuh memukau, wajah memesona, rambut yang berkilau, serta netra yang jernih, siapa pun pasti akan menilai penampilan Max sangat sempurna. Jika mengenyampingkan sifat menyebalkannya, Dalila rasa jika Max bisa masuk ke dalam daftar calon suami idaman dengan penampilannya itu. Hanya saja, Dalila sudah hafal betul, menjurus ke muak atas sikap pria itu.
Max seakan-akan ingin menggoda Dalila, ia menunjukan betapa segarnya air danau tersebut. Tentu saja Dalila sadar jika pria itu senagaja, agar dirinya segera bergabung di sana. Dalila berusaha untuk mengabaikannya. Ia tidak boleh tergoda, dan membuat pria itu menang. Sayangnya, Dalila memang sudah terlalu lelah. Ia ingin merasakan kesegaran air yang membasuh tubuhnya ini.
“Ah, terserahlah!” seru Dalila sebelum melepaskan blus yang ia kenakan sebagai pakaian berlatih dan menyisakan sport bra dan celana pendek yang ia gunakan sebagai rangkap pakaian dalamnya.
Dalila tidak membuang waktu untuk melompat ke dalam danau tersebut. Benar apa yang Dalila bayangkan, air danau tersebut benar-benar terasa sangat segar. Rasanya Dalila tidak menyesal sudah kalah dari Max. Dalila menyelam untuk beberapa saat, berenang dengan begitu anggun. Menyatu dengan kedalaman air, seakan-akan Dalila tidak takut dengan air tersebut. Lalu Dalila pun kembali ke permukaan air dengan senyuman lebar yang menghiasi wajah cantiknya.
Namun, begitu Dalila berada di permukaan, Dalila tidak melihat Max di mana pun. Tentu saja Dalila mulai merasa panik. Bagaimana jika Max meninggalkannya di sana, karena sifat menyebalkannya, Dalila rasa jika itu mungkin saja terjadi. “Max, kau di mana?” tanya Dalila dengan sedikit keras. Sayangnya, tidak ada satu pun suara yang terdengar menyahuti pertanyaan Dalila tersebut.
Jika benar Max meninggalkannya, maka Max benar-benar pria brings*ek. Ia meninggalkan Dalila di tengah hutan, terlebih waktu sudah memasuki sore hari. Dalila baru saja akan meninggalkan air, sebelum sebuah tangan sudah memeluk pinggangnya dengan erat. Tentu saja Dalila menegang merasakan kontak fisik yang sangat tiba-tiba tersebut. “Tenanglah, Dalila. Aku masi di sini,” bisik Max tepat di samping telingat Dalila.
Dalila merasakan jantungnya menggila saat merasakan embusan napas hangat Max yang menerpa kulit telinga dan pipinya. Sungguh, Dalila sadar jika ini adalah situasi yang berbahaya. Apalagi, saat Dalila merasakan jika kulit punggungnya menempel dengan erat pada d**a bidang pria yang berstatus sebagai suaminya itu. “Me, Menjauh!” seru Dalila lalu berusaha untuk melepaskan diri adari Max. Sayangnya, hal itu terlalu mustahil, karena Max jelas memegang kuasa di sana.
Max malah mengeratkan pelukannya dan mengecup bahu Dalila yang terlihat bak sebuah porselen yang basah. “Bagaimana bisa aku menjauh darimu, Dalila? Kau istriku,” bisik Max penuh penekanan saat menyebut Dalila sebagai istrinya.
Penekanan itu membuat jantung Dalila semakin menggila dari waktu ke waktu. Sungguh, rasanya jantung Dalila bisa meledak kapan saja, jika situasi ini terus berlanjut. Tak lama, Dalila pun merasakan sesuatu tepat pada bokongnya. Dalila yang sadar apa itu, berubah menjadi kaku. Max yang menyadari perubahan pada tubuh Dalila jelas menyeringai. Ia pun berbisik, “Bagaimana bisa aku melepaskanmu, jika aku hanya bisa bereaksi seperti ini karena dirimu, Dalila. My Luna.”