“Jika Zean lebih tua dari CEO, kenapa justru CEO yang menjadi putra mahkota, bahkan sebentar lagi akan naik tahta menjadi raja?”
Episode 9 : Keputusan Besar
“Kenapa kamu begitu mudah jatuh cinta? Kenapa kamu begitu mudah mencintaiku bahkan kita saja baru bertemu?” Shelena menelan ludah, harap-harap cemas menyertai tatapannya pada CEO yang masih berdiri di hadapannya.
Semilir angin yang berembus semakin menambah keasrian lingkungan kerajaan Safron. Di antara beberapa sudut yang dihiasi kuncup ungu bunga Safron, selain beberapa pohon menjulang yang juga hijau dan subur mengingat tanah di sana terbilang basah dengan udara yang sejuk layaknya wilayah puncak, Shelena ingin menyadarkan CEO.
“Kamu tahu, di duniaku, aku akan menikah. Pria bernama Dharen itu,”
Lanjutan Shelena yang mengabarkan statusnya saja sudah membuat CEO resah, apalagi ketika gadis itu kembali menyebut nama Dharen. CEO bahkan sampai menggunakan jemari tangan kanannya untuk menekap bibir Shelena.
Shelena bergeming melirik jemari CEO yang mengunci bibirnya.
“Jangan bahas nama itu lagi. Firasatku selalu menjadi buruk jika nama itu disebut,” pinta CEO penuh penegasan.
Tatapan CEO begitu memelas. Tatapan penuh luka sekaligus cinta, meski tak lama setelah itu, Shelena dikejutkan dengan ciuman lembut yang CEO layangkan di bibirnya.
CEO benar-benar tidak mau melepaskan bibir Shelena andai saja gadis itu tidak mendorongnya dengan kuar menggunakan kedua tangan.
Shelena refleks mundur kemudian menekap bibirnya sambil menatap sebal CEO. “Kenapa kamu menciumku sembarangan?!” omelnya dengan mata berkaca-kaca. “Ya ampun, ciuman pertamaku!” batinnya.
“Karena kamu milikku dan tidak ada seorang pun yang boleh memilikimu kecuali aku!” CEO menatap santai Shelena, kemudian dengan tatapan penuh rasa kagum, ia membelai rambut Shelena yang berterbangan karena embusan angin dari belakang gadis itu.
Shelena tidak berkomentar. Tapi jika harus memilih, tentu ia lebih baik bersama CEO yang jelas-jelas mencintainya, ketimbang Dharen yang bahkan belum ia ketahui seluk-beluknya langsung, meski menurut Ratri, bersama Dharen apalagi sampai dilamar pria itu merupakan sebuah keberuntungan.
“Tapi bagaimana tanggapan CEO, jika dia tahu rupanya sangat mirip dengan Dharen?” pikir Shelena.
Shelena hampir menanyakan hal tersebut. Bibir mungilnya nyaris berucap, tetapi selain jemari tangan CEO yang kembali meraba bibir Shelena, dari belakang ada seseorang yang berseru dan sukses mengalihkan kebersamaan mereka.
“Putra Mahkota ...?”
Suara seorang pria. Pria bertubuh kekar berkulit kuning langsat yang juga berambut keemasan. Pria itu mengenakan jubah layaknya CEO. Hanya saja, warnanya biru muda.
Dan bukannya melanjutkan tujuannya, pria yang kiranya seusia CEO justru terpana menatap Shelena. Sampai-sampai, CEO yang mendapatinya menjadi geram dan melampiaskannya sambil berdeham keras.
Shelena yang sempat menatap bingung pria tersebut memilih bersembunyi di balik punggung CEO. “Apakah semua penghuni kerajaan Safron memang berambut emas ya. Wajib cat rambut, atau sudah bawaan lahir?” pikir Shelena
Ketika Shelena menyisir suasana sekitar, ia mendapati beberapa orang mengenakan jubah berwarna cokelat baik pria maupun wanita yang sedang berjaga sekaligus bekerja membersihkan istana, juga berambut keemasan. Hanya saja, ketika semua pria berambut pendek, wanita-wanita yang hampir semuanya berkulit sawo matang, menyanggul rambut mereka dalam sanggul moderen.
“Suasana di sini sangat indah. Seperti negeri dongeng kerajaan yang selama ini aku tonton di video pemberian kak Shean,” batin Shelena yang masih sibuk berbicara di dalam hatinya.
Shelena tersenyum mengamati semua itu. Beberapa pelayan yang kompak mengenakan pakaian warna cokelat tampak sibuk bersih-bersih termasuk memunguti dedaunan berikut bunga yang rontok. Tidak ada yang disapu kecuali lantai ruangan yang terbuat dari kayu.
“Zean?” panggil CEO pada pria pengena jubah biru muda di hadapannya. Jarak mereka ada sekitar 7 meter.
“Oh, jadi namanya Zean?” gumam Shelena menyimak, menjadi penyimak baik, tepatnya.
Zean menggeragap. Terlebih ketika ia mengalihkan tatapannya dari Shelena dan justru mendapati CEO menatapnya dengan tajam. “Maaf.”
CEO mengangguk. “Katakanlah. Apa maksud dan tujuanmu datang ke mari,” ucapnya jauh lebih santai.
Zean mengangguk. “Yang Mulia Raja memanggilmu,” balasnya sopan.
Menurut pengamatan Shelena, ketika CEO memiliki jiwa tegas bahkan bijak sana, pria bernama Zean tadi lebih santai bahkan lemah lembut.
CEO tak lantas mengomentari. Tapi melihat Zean masih mengamati Shelena, ia langsung berkata, “dia Shelena. Dialah yang akan menjadi ratuku dan mendampingiku memimpin kerajaan ini.”
Shelena mengernyit kemudian merengut. “CEO ini benar-benar serius ingin menikahi dan menjadikanku ratunya?” pikirnya.
“Shelena, dia Zean. Dia anak dari Selir Zealing. Meski wajahnya terlihat lebih muda, tetapi dia kakakku.”
Shelena dibuat terkejut dengan pengakuan CEO. Jika Zean lebih tua dari CEO, kenapa justru CEO yang menjadi putra mahkota bahkan sebentar lagi akan naik tahta menjadi raja?
Keterkejutan juga menyelimuti wajah Zean yang refleks mengamati sosok Shelena. “Sangat cantik dan anggun! Pantas saja CEO sampai mengambil keputusan besar! CEO nekat menjadikan bangsa berambut hitam untuk menjafi ratunya dan itu menentang peraturan kerajaan!” batinnya.
Tak lama setelah itu, Zean yang sampai mengamati setiap lekuk wajah Shelena, segera mengangguk sambil mengulas senyum. “Aku sudah mendengar keputusan besar yang kamu ambil, Putra Mahkota,”
Meski Zean terlihat berusaha keras bersikap sopan pada CEO, tetapi di mata Shelena, setelah ia mengetahui status keduanya, Zean terkesan terpaksa, sedangkan CEO yang menjadi terlihat makin serius, justru terkesan kejam.
Shelena makin penasaran, rahasia apa yang membuat keduanya terlihat sangat tidak nyaman? Apakah mengenai status berikut kedudukan, menjadi alasan hubungan keduanya terlihat berjarak? Lantas, keputusan besar apa yang dimaksud Zean dan telah diambil CEO, sampai raja Safron memanggil CEO?
***
Ketika Shelena diantar kembali ke kamar tempatnya berasal yaitu kamar CEO oleh dua pelayan wanita yang diutus CEO untuk melayani Shelena, seorang gadis seumuran Shelena, datang menghampiri. Gadis berambut emas panjang dan tergerai indah dengan mahkota bunga putih yang menghiasi kepalanya. Gadis itu mengenakan pakaian sejenis gaun menyerupai jubah berwarna emas.
Meski menyambut Shelena dengan seulas senyum, tetapi gadis yang juga dikawal oleh dua orang pelayan wanita dan dua orang pria itu menjadi menatap serius bunga safron yang terselip di sebelah telinga Shelena.
Menyadari hal tersebut, Shelena langsung meraba bunga berwarna ungu di telinganya. “Aku harus jujur agar orang-orang di sini tidak sangka. CEO bilang, bunga safron sangat berharga dan hanya orang-orang sepesial yang bisa mendapatkannya!” pikirnya
Selain itu, Shelena juga berpikir untuk menjaga sikapnya kepada CEO ketika mereka ada di depan umum, terlebih CEO merupakan putra mahkota kerajaan Safron. “Aku harus berhati-hati. Jangan sampai salah ucap, karena menurut cerita-cerita yang aku tonton, kehidupan di kerajaan, jauh lebih kejam dari kehidupan rakyat biasa!” batin Shelena yang sampai menjadi waswas.
Sambil tertunduk dan mengulas senyum, Shelena berkata, “Putra Mahkota memberikan ini kepada saya.”
Salah satu dari dua pelayan wanita yang mengawal Shelena berbisik pada tuan mereka.
“Tuan Putri ... yang ada di hadapan Tuan Putri adalah Putri Hazel. Beliau satu-satunya adik perempuan Putra Mahkota, dan sangat dekat dengan Putra Mahkota.”
Mendengar itu, Shelena langsung mendapatkan pencerahan mengenai apa yang harus dia lakukan. “Salam kenal, Tuan Putri Hazel. Senang bertemu dengan Anda,” ucapnya sembari membungkuk dengan kedua tangan tersimpan sopan di depan perut.
Putri Hazel berikut pelayan di sana dibuat terkejut atas ulah Shelen yang sampai memberi hormat.
“Tuan Putri, Anda tidak diizinkan memberi hormat kepada yang lebih muda dan memiliki kedudukan lebih rendah dari Anda. Terlebih dalam waktu dekat, Anda akan menikah dengan Putra Mahkota dan menjadi ratu di kerajaan ini,” bisik pelayan yang satunya dan dibenarkan oleh pelayang yang sempat memberi tahu Shelena, perihal status Putri Hazel.
Meski sempat kebingungan, Shelena yang masih membungkuk di hadapan Putri Hazel, hanya tersenyum masam. “Kenapa ada peraturan aneh semacam itu? Astaga, di kehidupan ini benar-benar mengedepankan kasta! Terus, apakah aku akan dihukum karena telah salah memberi hormat?” batinnya.
Shelena ketar-ketir dan segera menuntaskan hormatnya sembari menatap Putri Hazel dengan seulas senyum yang tak putus-putus.
Meski awalnya menunjukkan reaksi dingin, tetapi Putri Hazel juga langsung menyambut senyum Shelena dengan senyum hangat.
Putri Hazel membungkuk memberi hormat. “Sungguh sebuah keberuntungan bisa bertemu wanita secantik Tuan Putri Shelena,” pujinya.
Shelena yang bingung harus menjawab apa, kembali mengulas senyum. Senyum yang tentunya hanya senyum masam, mengingat bertemu dan harus berkomunikasi dengan orang kerajaan Safron, membuatnya dicekam ketegangan. Shelena takut membuat kesalahan.
“Terima kasih atas pujiannya, Tuan Putri Hazel. Tuan Putri juga sangat cantik.” Senyum di wajah Shelena kian hidup, tidak semasam sebelumnya.
Putri Hazel yang menoleh ke belalang Shelena selaku pintu kamar CEO, kembali menatap Shelena dengan senyum.
“Apakah Putra Mahkota ada di dalam?” tanya Putri Hazel.
Shelena yang sempat terdiam lantaran ragu dengan apa yang harus ia katakan sebagai balasannya, segera menggeleng. “Putra Mahkota dipanggil dan sedang menghadap Yang Mulia Raja, Tuan Putri Hazel.”
Putri Hazel mengernyit. “Lantas, kenapa Putri Shelena memasuki kamar Putra Mahkota sedangkan pemiliknya sedang tidak ada di dalam? Bukankah itu tindakan yang kurang sopan?” ucapnya dengan nada kurang suka.
Shelena terdiam bingung.
“Jadi benar, keputusan besar yang santer terdengar?” tambah Putri Hazel yang terdengar menuding berikut tatapan sengitnya terhadap Shelena.
Shelena menggeragap. Jangankan mengenai keputusan besar yang dimaksud, seluk-beluk kerajaan Safron berikut penghuninya saja, Shelena tidak tahu. Lantas, apa yang harus ia katakan, sedangkan gadis cantik di hadapannya semakin menatapnya tajam?
****