"Gak ada bunga ya, um? Kasihan teh Cassie."
Adel yang menemani umminya pagi ini ke pemakaman. Gara-gara pemberitaan beberapa hari yang lalu soal kedekatan Adrian dengan beberapa gadis yang entah siapa saja. Ya pasti selalu dikaitkan dengan rencana pernikahan Adrian yang gagal hampir dua tahun lalu. Hal yang selalu membuat si ummi sedih. Padahal butuh waktu lama juga bagi Cassie untuk menunggu hingga Adrian benar-benar siap dan mau menikahinya. Namun yang terjadi malah begini.
"Kenapa sih, a'ak gak pernah mau ke sini?"
Adel sedih karena Adrian bahkan tak pernah ke sini satu kali pun. Hari pemakaman? Ia menghilang hingga semua orang mencarinya. Namun tentu saja tak ketemu. Ia baru ditemukan esok harinya. Ditemukan di rumah sakit. Entah apa yang terjadi waktu itu. Umminya pun sedemikian khawatirnya.
"Bahkan waktu dimakamin aja gak mau ke sini."
"A'akmu pasti syok."
Umminya ini tentu ingat sekali bagaimana Adrian terus memanggil Cassie di rumah sakit. Cowok itu terluka parah karena kehilangan perempuan yang ia cintai. Ya baru menyadari kehilangan dan rasa cinta yang ternyata begitu besar untuknya. Untuk Anneliese? Yang ia rasakan dihari kehilangan itu ya begitu. Terpukul dan penyesalan.
Dan yang dibicarakan tentu saja sibuk dengan urusan kantor. Delisa, sekretarisnya baru saja masuk. Sejujurnya, ia paling sungkan. Tahu benar tipikal bosnya seperti apa. Terlebih dengan suasana hati yang tak pernah cerah lagi sejak hampir dua tahun yang lalu. Heum, bagaimana ia harus mengatakannya ya?
"Ada apa?"
Karena tahu kalau Delisa tak akan membuka mulutnya.
"Eung....ada pertemuan yang harus dihadiri pekan depan di Jerman, bos."
"Kamu baru mengecek?"
Ia meringis. Akhir-akhir ini memang kinerjanya kacau.
"Urus semua perjalanan."
"Eung untuk tiket dan yang lain sudah, bos. Tapi visanya diharuskan ke sana lagi. Tadi saya sudah urus. Namun mereka melakukan pemanggilan hanya untuk wawancara ulang."
"Ya jadwal kan saja."
"Eung--"
"Apalagi?"
Adrian akhirnya mendongak. Raut wajahnya jelas tak bersahabat sama sekali. Hal yang membuat perempuan itu meringis dalam hati. Andai masih ada nona Cassie di sini, pikirnya, ia akan terselamatkan.
"Semua jadwal bos sudah penuh hing--"
"Pilih saja jadwal yang menurutmu masih bisa ditunda setelah pulang dari Jerman. Paham?"
Ia mengangguk cepat. Lantas buru-buru keluar dari pada diomeli bosnya ini. Masih syukur dipertahankan walau kinerjanya yah jangan ditanya sih. Tapi setidaknya, sekretaris Adrian bukan hanya Delisa.
Satu jam kemudian, ia keluar dari ruangan untuk menghadiri rapat dengan para petinggi. Sudah lebih dari 5 tahun, ia memimpin perusahaan ini tanpa pantauan dari abinya. Begitu dianggap layak ya langsung memikul beban itu. Tentu makin sibuk. Tapi sesibuk apapun, ia tentunya selalu bisa melihat Cassie bukan?
Setidaknya sampai dua tahun sebelumnya. Karena setelah itu tentu saja, ia tak menemukan lagi di mana perempuan itu. Usai solat zuhur, ia makan sendirian di ruangannya. Ya rutinitas baru yang terjadi selama setahun setengah terakhir. Karena beberapa bulan setelah Cassie pergi, ia masih lupa. Ia masih merasa kalau gadis itu masih ada di sekitarnya. Masih hidup. Tak heran kalau ia sering reflek ke gedung seberang. Kini?
Ia menatap gedung seberang dengan tatapan kosong. Berdiri sambil termangu menjadi hobi barunya. Ia berharap bisa ke sana lagi dan menemukan sosok Cassie yang selalu melambaikan tangan dengan ceria tiap melihatnya. Ia menyadari banyak hal setelah kehilangan di mana ia melewatkan banyak hal tentang Cassie. Termasuk kata-kata cinta yang baru terucap saat hendak melamarnya.
"I love you!"
Sebuah kalimat yang tak mudah keluar dari mulutnya. Padahal selama sepuluh tahun lebih, ia bersama perempuan itu.
"Bos!"
Delisa menegurnya. Tahu-tahu pintu ruangannya sudah terbuka.
"A-anu....."
Ia sebenarnya takut bicara. Tapi mata Adrian yang melotot tajam itu seakan menagih jawaban.
"Ada artis yang akhir-akhir ini di--"
"Suruh keluar."
Ia tak menerima tamu siapa pun. Sejak kejadian itu, ya mungkin hanya beberapa bukan setelahnya. Mendadak banyak perempuan yang berusaha mendekatinya dengan berbagai cara. Ada yang minta dikenalkan ketika ia menghadiri acara lewat orangtua mereka. Ya beberapa orangtua sangat blak-blakan. Ada juga yang begitu agresif mendekatinya hingga berani datang ke kantornya dan hanya berselang satu jam setelah cewek itu pergi, sudah ada gosip tentangnya. Gosip di mana ada rekaman video cewek itu keluar dari kantornya. Seakan-akan mereka benar-benar punya hubungan. Padahal semua itu hanya rumor. Para perempuan itu juga tak berani jujur kalau mereka selalu ditolak. Bahkan ada yang pernah mengaku sebagai pacarnya. Yang tentu langsung dibantah Adrian dengan memposting foto Cassie. Apa artinya?
Artinya, ia belum bisa melupakan Cassie. Itu memang ada benarnya. Tak salah.
Esok siangnya, rekan-rekan satu ruangan Cassie di kantor tentu heboh. Ya heboh tiap ada makanan tanpa pengirim.
"Itu bukannya gak ada yang ngirim. Dari Adrian!"
"Beneran, mas?"
Si mas Yodhi mengangguk. "Gue udah nanya satpam tadi. Kan beliau yang bawa makanannya ke atas. Satpam juga kebagian."
"Wah gila sih si Adrian. Bikin kita merasa bersalah tau gak?!"
Karena Cassie sudah tak ada di sini. Sementara mereka terus menerima kebaikan Adrian. Kan jadi gak enak hati ya.
"Doain Cassie aja sebagai gantinya."
Yang lain setuju. Alhasil ya mereka doa bersama dulu untuk Cassie. Bukan kah tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan?
Dan bukan hanya untuk orang kantor. Yang di kos juga kecipratan makanan. Si penjaga kos jadi tak enak. Mana pak Raden datang pula. Ia tampak menghela nafas melihat banyaknya makanan yang datang.
"Adrian lagi?"
Si penjaga kos mengangguk. Ia tak enak hati menolak kebaikannya. Tapi mau sampai kapan?
"Kalau begini caranya, gimana dia bisa lupain Cassie?"
"Itu lah, pak. Saya jadi khawatir."
"Saya apalagi. Kamar itu bahkan tak bisa saya sewakan pada orang lain. Kemarin, dia bayar sampai satu tahun ke depan. Pusing kepala saya!"
Si penjaga kos tertawa. Mereka tentu tahu kalau Adrian pasti sulit melupakan Cassie. Namun mereka juga khawatir. Adrian harus melanjutkan hidup bukan? Bukannya terus terperangkap khayalan tentang Cassie. Ya kan?
Walau sepertinya memang masih jauh dari angan itu. Sore ini saja, ia mampir ke mall. Kemudian berjalan menuju butik yang sering didatangi Cassie. Bahkan para sales di sana sudah hapal wajahnya.
"O-oh, pak Adrian mencari yang keluaran terbaru?"
Ia hanya mengangguk. Entah sejak kapan Adrian jadi sering memantau akun media sosial butik ini. Ia sampai tahu kalau mereka merilis baju-baju baru. Hal yang dulu mustahil ia lakukan.
"Ukurannya yang seperti biasa ya, pak?"
Ia mengangguk. Tak banyak pilih karena mereka tahu kok apa yang ia mau. Ia hanya perlu membayar. Beberapa baju itu berwarna hampir sama. Karena emreka tahu selera Cassie seperti apa. Begitu dibayar juga harganya hanya sekitar 2 juta rupiah untuk 8 baju. Bukan baju yang mahal-mahal amat. Cassie memang begitu.
Ia membawa baju-baju itu. Kepergiannya membuat para sales itu menghela nafas lega.
"Gue takut dia jadi gila. Kan sayang banget ganteng begitu jadi gila karena ditinggal mati ceweknya."
"Justeu bagus tauk! Itu namanya cinta!"
"Makan tuh cinta!"
Mulutnya disumpal. Yang lain tertawa. Walau memang ada kekaguman akan kesetiaan Adrian hingga sekarang. Karena masih bertahan. Meski entah ini harus diapresiasi atau tidak. Lantas ke mana Adrian?
Ke kos Cassie tentunya. Ia masuk begitu saja untuk menaruh baju-baju itu ke dalam lemari. Ia hapal susunannya karena Cassie suka menata sesuatu dengan sangat rapi. Usai menaruh baju, ia menatap sekeliling kamar ini. Tak ada yang berubah. Tak ada yang boleh mengubah isi dalamnya. Kamar ini harus dibiarkan seperti ini. Kenapa?
Ia masih berharap Cassie akan muncul di hadapannya seperti dulu lagi. Ia berharap itu akan terjadi. Walau ia tahu itu terasa sangat mustahil.
Ik hou van je!
Ada tulisan Cassie di foto di mana Adrian melamarnya. Ia terpaku melihat itu tergantung dengan tali. Natanya sudah kembali berkaca-kaca.
"Ik hou van je, Cassie...."
Itu yang ia katakan sebelum pergi meninggalkan kamar itu. Sekitar satu minggu berikutnya, ia melaju ke bandara. Ya harus berangkat ke Jerman bukan?
Yang menemaninya tentu bukan Delisa. Gadis itu tak pernah menemaninya setiap melakukan perjalanan dinas. Ia tak mau Cassie cemburu. Bahkan sampai sekarang pun, ia melakukan hal yang sama.
Selama perjalanan menuju bandara itu, ia hanya sibuk membuka ponsel lamanya yang berisikan begitu banyak fotonya dan Cassie. Sudah banyak tempat yang mereka datangi bersama. Bahkan negara yang akan ia kunjungi ini juga penuh kenangan dengan Cassie.
"Aku akan ke sana, lieve."
@@@
Catatan:
Ik hou van je : aku mencintaimu
Lieve : sayang