Berpapasan

1172 Kata
Maaf, aku masih ada banyak urusan. Ia membalas dengan pesan itu. Kemudian menutup ponselnya. Ia memilih sibuk dengan pekerjaannya. Belum lama ia kembali ke negara ini setelah cukup lama di Eropa. Tentu saja untuk menyelesaikan kuliah S2 dan mengurus bisnis keluarga. Sebetulnya, ia punya kesempatan untuk pulang. Tentu ada banyak kesempatan. Namun sengaja tak ia gunakan. Kalau sekarang? Ia pulang karena ayahnya. Tak ada lagi anaknya yang bisa diandalkan. Kakak perempuan yang sudah lama meninggal. Kakak laki-laki yang menghilang entah ke mana sekitar sepuluh tahun lalu. Adik tirinya yang tersisa, tapi tak tertarik terjun ke dalam dunia bisnis dan malah sibuk main bola di Eropa. Tentu banyak yang terjadi termasuk tragedi sepuluh tahun lalu di mana ia hampir mati. "Bos!" Asistennya muncul disaat pikirannya mulai melayang lagi ke satu nama. Satu nama yang tentu saja tak akan pernah ia lupakan. Sulit untuk dilupakan. "Ada apa?" "Bos besar bilang kalau ada makan siang dengan calon mertua bos siang ini." Ia menghela nafas. Walau ya mau tak mau mengangguk. Memangnya ada pilihan lain? Ia sudah cukup lama menunda setelah pertunangan yang berlangsung sepuluh tahun lalu. Sungguh pesta pertunangan yang tidak pernah ia inginkan. Wajahnya begitu dingin. Ia bahkan tak mengundang satu teman pun. Bahkan memang tak berniat mengundang mereka. Malam pesta itu, ia tak pernah tersenyum sedikit pun. Ia juga masih ingat bagaimana ayahnya marah begitu besar usai pesta itu. Karena semua orang menggunjingkannya dan tunangannya. Banyak yang bilang kalau ia tampaknya terpaksa bertunangan. Lantas apa ia harus membantah? Bukan kah itu kenyataan? Karena ia juga tak punya pilihan lain. Jika dihadapkan pada dua pilihan, pertama ayahnya dan kedua adalah perempuan lain, mana mungkin ia memilih perempuan lain di atas ayahnya? Itu sungguh bukan pilihan bukan? Dan mau seberapa kali pun ia berusaha menahan diri untuk tak mencari tahu tentangnya, ia yakin akan percuma. Karena saat ia baru tiba di Indonesia dua minggu lalu, ia melihat papan iklan yang begitu besar dan memunculkan wajah gadis itu. Bukan sebagai bintang iklan, tapi promosi rumah sakit. Yeah bintang iklan rumah sakit. Karena memang wajahnya dikenal di mana-mana. Beberapa kali juga diundang pihak televisi untuk berbicara mengenai beberapa penyakit yang berhubungan dengan jantung. Dan itu jelas sudah membuat lelaki ini bagai ditusuk dadanya. Padahal hanya dengan satu papan iklan. Belum bertemu orangnya kan? Dan ia berharap untuk tidak dipertemukan saja. Karena ia tahu, itu hanya akan menggoyahkan keputusannya dalam.... "Jadi kapan om bisa melihat kamu dan Sofiya menikah, Rei? Alan aja sudah punya dua anak loh, Rei." Ayahnya berdeham. Ia juga tentu sadar tujuan makan siang bersama ini memang tidak lain dan tidak bukan untuk menanyakan kepastian. Karena ayahnya juga tak berani memberikan jawaban. Ia tahu kalau Reifan begitu senitif atas permasalahan ini. "Beberapa bulan lagi lah, om. Sofiya juga baru memulai residennya. Dia pasti perlu adaptasi. Reifan juga sama. Perusahaan yang ada di sini kan selama ini dipegang oleh ayah. Dan lagi, ada banyak hal yang belum Reifan selesaikan jadi Reifan perlu fokus ke sana." Intinya, ia hanya ingin menunda sampai batas waktu yang tak bisa ia tentukan. Ia belum siap menikah dengan perempuan itu. Bagaimana ia bisa menikah dengan perempuan yang tak ia cintai? "Apa susahnya mencintai Sofiya, Rei? Sudah sepuluh tahun kalian bersama." Dan tentu saja, ayahnya tak pernah puas dengan hasil pertemuan tadi. Apalagi ketika mengajaknya pulang ke kantor bersama. Ia tentu sudah tahu apa yang hendak dibahas oleh ayahnya. Ya tak jauh dari rencana pernikahan yang harusnya sudah bisa dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Ia tak bersuara. Ia tak membalas. Karena ia tahu akan percuma. "Kamu tidak mungkin masih ingat perempuan itu kan?" Ia makin terdiam kalau begini. Posisinya benar-benar terpojok. Tak berkutik. Maka ia harus mencari alasan lain bukan? Untuk mengelabui ayahnya walau ayahnya bisa saja tak tertipu. "Ini sudah sepuluh tahun, pa." Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama. Ia hanya ingin mengatakan secara tak langsung kalau ayahnya salah telah berpikir begitu. "Bagus kalau begitu. Tapi jangan jadikan kesibukanmu untuk melupakan pernikahan. Sofiya pasti juga sudah sangat ingin menikah denganmu. Bahkan ia sudah mempersiapkan semuanya sejak sepuluh tahun lalu." Perempuan yang rela bertunangan dengannya diusia 17 tahun. Bahkan dipamerkan di hadalan teman-teman sekolahnya. Sementara ia justru mati-matian menyembunyikan fakta pertunangan itu. Ia tak berbicara lagi. Karena ayahnya pun sudah berhenti. Ia diselamatkan dengan panggilan telepon dari ibu tiri yang yeah butuh waktu bertahun-tahun untuk menerima kehadirannya. Ya, sepuluh tahun belakangan memang banyak sekali hal yang berubah darinya. Ia tahu itu. Dan tak lama, mobil ini sudah tiba di depan rumah ayahnya. Oho mereka tak satu rumah. Ia memilih untuk tinggal di apartemen karena sungkan dengan ibu tirinya itu. "Jangan lupa pertemuan minggu depan!" Ia hanya mengangguk. Papanya keluar sementara ia masih melanjutkan perjalanan kembali ke kantor. Tentu saja ia sibuk dan banyak pekerjaan yang harus ia lakukan bukan? Dikala ia perlu fokus dengan setir mobilnya, ponselnya berdering. Nama yang tak asing tentu saja menghiasi layarnya. "Hooi! Adik ipar!" Ia hanya terkekeh mendengar sapaan itu. "Kurang ajar banget ya lo! Udah lama di Indo, tapi gak mampir ke rumah!" Ia hanya terkekeh lagi. Lelaki ini tentu tahu alasannya sungkan datang ke sana bukan? "Ayolah. Lo harus lohat anak kedua gue yang super gendut meski baru 3 bulan. Kebetulan besok, bini gue bakal keluar. Biasa lah. Me time. Dia udah habis-habisan ngurusin nih bocah selama 3 bulan belakangan." "Ya. Nanti gue datang. Kirim lokasi lo." "Beres, boos! Widih bos makin sukses aja nih. Ada yang bakalan jadi direktur sebentar lagi!" Ia diledek. Tapi hanya terkekeh kecil saja. Karena tentu masih harus fokus dengan setirnya. "Ya udah deh. Gue tutup ya, bos! Bini gue udah selesai mandi." Ia hanya berdeham mengiyakan. Ya senyuman yang sempat tertahan itu akhirnya surut dalam beberapa detik saja. Kenapa? "Lo beruntung, Lan...." Ia berbicara sendiri. Harusnya ia bicara langsung pada Alan. Tapi nyatanya, hanya ia simpan dalam-dalam. Ia iri saja karena lelaki itu mendapatkan apa yang ia mau. Sementara ia? Ia menarik nafas dalam. Matanya mulai berkaca-kaca dan ini sedikit membuatnya sulit melihat jelas. Ia mengusap matanya dengan tujuan biar air matanya jatuh sekalian, tapi sialnya! SHIIIIIIIIIITTTTTTT!!! Itu bukan makian, tapi suara ban mobilnya yang berdecit karena ia mengerem mendadak. Begitu ia membuka matanya, ia melihat perempuan berambut panjang tampak menutupi wajahnya. Mungkin kaget? Dan melihat postur tubuh itu membuatnya.... TIIN! TIIN! TIIN! "Shiiit!" Ia benar-benar memaki kali ini. Kaget karena disueuh untuk segera melaju. Untung saja kendaraan lain melaju dengan jarka yang terjaga dari mobilnya sehingga tak ada tragedi kecelakaan beruntun. Tapi ia perlu turun untuk melihat gadis itu, apakah gadis yang sama dengan sepuluh tahun lalu? Butuh beberapa menit baginya untuk akhirnya menepikan mobil. Kemudian berlarian ke arah yang berkebalikan sengan laju kendaraan. Ia bahkan sampai menyebrangi jalan untuk mencari sosok perempuan tadi. "Mbak!" Bukan ia yang memanggil, tapi orang lain. Perempuan berambut panjang dan hampir ia tabrak itu membalik badan. Yang seketika membuatnya kecewa. Karena bukan orang yang ia cari. Ya lah! Wong orang yang ia cari justru baru saja lewat persis di sampingnya, sedang berada di dalam mobil sambil menyetir. Berlalu begitu saja. Takdir itu lucu bukan? Jarak mereka begitu dekat bahkan bisa dibilang...berpapasan! @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN