Yang Telah Pergi
"Kedekatan CEO muda dari keluarga konglomerat Adhiyaksa dengan artis muda kita, Seraphina, akhir-akhir ini menarik perhatian publik........"
Adeeva yang sedang duduk di depan televisi itu terbatuk-batukmendengar pemberitaan itu.
"Cewek mana lagi itu, um?"
Umminya tentu saja tertawa. Terlalu banyak perempuan di sekeliling Adrian. Hal yang mengingatkan akan salah satu keponakannya yang juga digilai banyak perempuan. Yeah si Farrel. Hanya saja, Adrian tak sungkan menolak. Namun masalahnya, para perempuan itu terus maju tanpa takut patah hati. Lihat saja betapa banyak paket hadian yang selalu datang ke rumah. Itu entah siapa pula yang digosipkan. Selagi anaknya belum membawa perempuan lagi ke rumah ini, tandanya belum ada yang diseriusi.
"Sejak kabar gagal menikah--"
Tuuuut.
Adeeva buru-buru mematikan siaran televisi itu. Kenapa?
"Heran. Masih aja ungkit-ungkit!"
Ia sebal. Karena pemberitaan itu akan membuat umminya bersedih. Ia juga sedih. Tapi masih bisa menahannya.
"A'ak ke mana, um?"
Karena rumah ini di dalamnya sepi. Tapi di samping, tepatnya di kolam renang ya banyak bocah-bocah. Ada anaknya dan anak Adel yang tentu saja sedang diasuh suaminya. Hahahahaha. Sejak positif hamil tiga minggu lalu, ia mulai bertingkah sebagai ratu. Huahahaha! Kapan lagi bisa bermanja ria karena semua orang akan memakluminya heh?
"Dari pagi keluar gak pamit," tukas umminya. Diam-diam baru saja menghapus air matanya. Adeeva benar soal perkara ia masih sedih. Apalagi kejadian itu rasanya seperti belum lama berlalu. Setahun? Ah hampir dua tahun kah?
Ia menarik nafas dalam. Kemudian memastikan semua makanan sudah tersaji di atas meja. Setelahnya memanggil anggota keluarga yang lain untuk makan siang. Sekarang hampir jam satu siang. Rumah ramai kalau hari libur begini. Karena kedatangan para cucu. Kalau dua anaknya yang belum menikah ya jangan ditanya. Yang satu sudah pasti bekerja satu lagi gak jelas ke mana. Ke mana?
Ada seseorang yang duduk di atas motor. Motor yang baru berani ia kendarai lagi mungkin sejak 10 tahun lalu? Ketika ia masih ditemani seseorang yang ia rasakan sangat berharga. Ia duduk di atas motor itu yang diparkirkan tepat di seberang jalan dan di depanya terdapat sebuah rumah yang besar. Karena itu bukan sekedar rumah. Itu kos putih. Dinamakan demikian karena warnanya putih bahkan hingga sekarang pun masih putih. Biasanya akan selalu ada orang yang keluar dari sana tiap ia datang ke sini. Sayangnya, tak pernah ada lagi.
"Den Adrian!"
Bahkan penjaga kosnya pun sangat mengenal sosoknya. Sudah kenal sedari 10 tahun lalu? Ketika ia mengantar seorang perempuan untuk tinggal di sini?
"Apa kabar, den?"
Ia mengangguk dengan senyuman pahit. Ya berusaha untuk berdamai pada kenyataan yang tak lagi sama.
"A-anu pak Raden kemarin datang nanyain kamarnya--"
"Biarin aja, pak. Saya kan tetap bayar. Biar semuanya tetap di sana."
"Ta-tapi, begini, den. Pak Raden gak enak sekalipun dibayar. Apalagi kamarnya gak dihuni kan--"
"Biarin aja, pak. Saya mohon...."
Ia sampai memohon. Matanya berkaca-kaca. Si penjaga tua itu sampai tak tega.
"Y-ya sudah. Nanti saya bicarain ke pak Raden."
Walau ia merasa serba salah. Adrian mengangguk. "Saya boleh ke dalam?"
"Oh boleh-boleh."
Tak ada larangan. Dan ini entah ke berapa kalinya ia datang tanpa ada yang menyambut kedatangannya lagi. Kakinya bergetar ketika ia memutuskan untuk menyebrangi jalan. Membiarkan si penjaga tua itu berdiri menatap punggungnya. Mungkin iba? Karena ia bahkan tak pernah absen datang ke sini?
"Masih belum lupa dia, pak?"
Bahkan seluruh penjaga warung di seberang rumah kos putih ini juga mengenal sosoknya. Ya bayangkan, sepuluh tahun ia selalu terlihat di sini loh. Terlebih kisahnya viral selama dua tahun belakangan. Hal yang juga sulit dilupakan oleh orang-orang yang mengenal mereka.
Tiba di depan kamar, Adrian merogoh kantong. Mencari kunci yang selalu ia bawa ke mana pun. Ia buka pintu kamarnya dengan pelan. Butuh waktu beberapa menit hingga ia siap untuk membuka pintu kamar itu. Begitu pintu terbuka, ia sudah disamput dengan gantungan yang bertuliskan C A S S I E. Yang melengkung setengah lingkaran dengan dihiasi gantungan-gantungan yang mengeluarkan suara gemerincing. Bahkan sekarang seakan muncul sosok itu dari balik gantungan itu sambil tersenyum ceria dengan membawa kue ulang tahun.
"HAPPY BIRTHDAAAAAAY, ADRIAAAAAAAAN!"
Ia seakan bisa mendengar suaranya juga. Ya seakan sosoknya benar-benar hadir. Hal yang membuat tangisnya merebak seketika. Ketika mencoba memeluk sosok itu, sayangnya sosok itu menghilang begitu saja dalam pelukannya.
Tak berhenti di situ. Ia seakan melihatnya lagi sedang berdiri di atas beberapa tangga dan tampak sibuk memaku dinding untuk menggantung bingkai foto mereka. Yang digantung foto apa?
Dua bingkai foto. Satu foto Adrian dan sayu lagi foto perempuan bernama Cassie itu. Foto formal dengan latae belakang biru. Yeah foto yang biasanya digunakan untuk menikah itu.
"Ngapain kamu pajang hah?"
Kala itu, Adrian menertawainya. Itu foto seharusnya ada di buku nikah. Harusnya kan? Tapi di dinding itu ukurannya besar. Ya sengaja diperbesar dan dibuat pajangan.
"Ini tuh kenang-kenangan tauk! Nanti kalo kamu udah tua sama aku, bentukannya udah berubah!"
Itu suaranya mengoceh. Masih ingat jelas walau ingatan itu terjadi hampir 2 tahun lalu. Ketika ia mencoba meraihnya lagi, tiba-tiba sosok itu hilang lagi. Kini berganti hari di mana ia pernah melihat perempuan itu menangis usai melihat ponselnya. Adrian ingat persis kejadian itu. Perempuan itu berdiri dan menatapnya dengan penuh air mata.
"Kamu masih mencintai Anneliese?"
Nama yang bahkan hampir ia lupakan. Ia mencoba lupakan. Toh sudah berlalu belasan tahun lalu hingga perempuan ini yang datang dan menemaninya sejak usia 20 tahun. Sejak ia memutuskan untuk menyelamatkannya. Padahal ia selalu berusaha mati-matian menghindarinya.
Cassie memang terlalu mirip dengan Anneliese. Makin bersamanya, ia makin berasa hidup dengan Anneliese juga. Mereka tampak terlalu mirip, setidaknya baginya. Dan kini keduanya sama-sama pergi dari hidupnya. Tak tahan karena akan terus menangis di sini, ia memilih beranjak. Ia menutup pintu kamar itu dan berjalan terburu-buru. Kemudian pergi dengan motor besar itu menuju tempat lain. Kali ini ke mana?
"Si Adrian tuh...."
Mereka bisik-bisik tiap melihat cowok itu muncul di lobi gedung kantor mereka. Yeah gedung kantor Adrian berada tepat di seberangnya. Meski hari libur, banyak pegawai lemburan juga di gedung ini.
"Oi, Dri!"
Ada yang inisiatif menyapa. Cowok itu tampak tersenyum. Tapi siapa pun tahu kalau matanya masih mencari sesuatu. Ya mencari perempuan yang tak mungkin ada di sini.
"Gak tega gue kalo lihat dia...."
Beberapa sudah berjalan menuju basemen. Beberapa terhenti di lobi untuk mengobrol dengan Adrian.
"Gue gak terbayang sih."
"Apalagi gue."
"Gue sempet salah paham sama dia."
"Gue juga. Karena lama banget dia baru ajak Cassie nikah."
Yang lain mengangguk-angguk sebelum berpisah untuk masuk ke mobil masing-masing. Aementara Adrian masih mengobrol. Walau tak sampai 20 menit karena para cowok ini pun ingin pulang. Ia?
Matanya masih berkaca-kaca dan sedang menatap ke arah pintu lift maupun antrian keluar-masuk tap kartu. Biasanya ia akan melihat perempuan itu sudah riang dari kejauhan sambil melambaikan tangan ke arahnya. Sayangnya, tidak untuk hari ini bahkan hari-hari berikutnya.
Terakhir ketika ia memutuskan untuk pulang ke Depok namun tak sengaja berbelok ke arah yang berbeda, akhirnya malah membawanya ke jalan lama. Jalan yang dulu sering ia lewati semasa SMA. Ia bahkan seakan bisa melihatnya sendiri yang sedang mengendarai sepeda motor dengan baju SMA-nya. Tapi tak sendiri. Ada gadis yang juga ceria, duduk di belakangnya aambil sesekali tertawa. Ia mengikuti laju motor itu hingga tanpa sadar justru membawanya ke sebuah tempat. Tempat apa?
Rumah putih di sebuah komplek perumahan. Tentu sudah lama kosong. Sudah belasan tahun. Walau sesekali ia masih melihat penjaganya. Ya masih ada yang menjaga, makanya rumah ini masih tampak terawat. Ia duduk diam di atas motornya sambil menatap ke arah rumah itu. Apakah yang punya masih hidup? Apakah baik-baik saja?
Itu pertanyaan yang ada di dalam benaknya. Namun sayangnya, ia tak akan temukan jawabannya. Karena ia bahkan tak pernah bertanya bukan?
Ia hanya duduk dan menatap. Seakan-akan melihatnya sendiri hilir mudik di rumah itu untuk menjemput dan mengantar seorang gadis pulang. Namun biasanya gerbang itu selalu tertutup. Kini mendadak terbuka. Hal yang membuatnya mendadak berdiri untuk melihat siapa yang baru saja keluar. Siapa?
Ia tak kenal. Orang itu masuk ke dalam mobil. Kemudian pergi begitu saja. Hal yang tentu saja membuat Adrian penasaran.
"Yang tadi siapa, pak?"
@@@